Selasa, 17 Juli 2012

Agrarian Reform for Community Development in Rural Society

STRATEGI REFORMA AGRARIA DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MISKIN DI PEDESAAN
Oleh: Tantan Hermansah[*]
ABSTRAK
Kemiskinan yang sudah lama didera oleh bangsa Indonesia mengharuskan adanya perubahan pendekatan. Program reforma agraria yang saat ini akan digulirkan oleh pemerintah, merupakan peluang baru untuk melakukan perubahan pendekatan penanggulangan kemiskinan ini. Dengan pendekatan asset building, penulis menemukan bahwa reforma agraria sebagai konsep dan praktik pembangunan sangat relevan untuk melalukan pemberdayaan kaum miskin di pedesaan. Pendekatan asset building ini akan menjadikan program reforma agraria efisien dalam mencapai tujuan intinya: mengentaskan kemiskinan di Indonesia
Key Words:  Reforma Agraria, Miskin, Pemberdayaan, Pedesaan

PENDAHULUAN

Kemiskinan di Indonesia adalah permasalahan kronis. Jika menggunakan adagium penyakit jantung, kemiskinan di Indonesia sudah memasuki stadium 3. Sehingga pelbagai strategi dan pendekatan sudah dilakukan. Di masa Orde Baru—sekedar kilas balik—pemerintah menggunakan strategi Revolusia Hijau untuk mengatasi kemiskinan di pedesaan. Sedangkan untuk kemiskinan di perkotaan, pemerintah menggunakan pendekatan pembangunan sentra-sentra industri. Semuanya dikerangkai oleh sebuah perspektif: ekonomi adalah panglima. Hasilnya? Indonesia melesat menjadi salah satu keajaiban Asia (the miracle of asia) dengan deretan penghargaan dan pujian.
Namun apa yang dilakukan oleh rejim Orde Baru ternyata harus dibayar mahal oleh bangsa ini. Tidak dilekatkannya teori pembangunanisme yang mengusung "trickle down effect"itu kepada kebutuhan aktual dan jangka panjang rakyat, menyebabkan prestasi Orde Baru ibarat tulisan di atas pasir. Ada sebentar lalu kemudian hilang tak berbekas. Dan saat ini kita dikejutkan betapa untuk prestasinya itu Orde Baru telah mengobral sumberdaya yang kita miliki—baik alam maupun manusianya—secara murah meriah kepada kegagahan dan kedigdayaan asing dan kapitalisme. Hasilnya: Indonesia menjadi negeri terburuk di bidang pengelolaan sumberdaya alam, penyedia buruh murah yang rawan pelanggaran HAM, dan sebagainya. Sehingga tatkala petaka ekonomi menerpa, Indonesia menjadi negeri yang sudah satu dekade belum bisa bangkit dari krisis.
Dengan praktik pembangunan seperti itu, alih-alih menyelesaikan substansi masalah kronis bangsa ini, yakni kemiskinan, pasca Orde Baru tumbang kemiskinan meledak dengan sejumlah borok lain yang tidak kalah kronisnya seperti korupsi, kolusi, nepotisme, dan birokrasi yang jauh dari publik.
Kemiskinan menjadi prioritas untuk diselesaikan karena tidak hanya menyangkut agenda satu rejim pemerintahan. Kemiskinan adalah agenda bangsa, agenda ummat, dan agenda dunia. Karena kemiskinan adalah mimpi buruk yang akan menyebabkan timbulnya berbagai penyakit lain yang juga sangat berbahaya. Rasulullah sendiri mewanti-wanti mengenai fenomena kemiskinan ini, bahwa "tidak jarang kemiskinan membawa kepada kekufuran".[1] Dalam sebuah pidatonya, peraih Nobel dan sekaligus Bapak Pejuang Kemiskinan Dunia Prof Mohamad Yunus mengatakan bahwa: "Mari kita musiumkan kemiskinan!"[2]

FAKTA KEMISKINAN DAN DESA DI INDONESIA

Di Indonesia, perdebatan mengenai isu ini dimulai lebih epistemologis, yakni identifikasi siapa yang dikategorikan sebagai miskin. Entah karena yang miskin terlalu banyak, dan seperti kita ketahui bahwa pembangunan itu segmented, maka perdebatan di tataran ini menjadi seru. Para ahli berkutat mulai dari hal-hal yang eksak dengan membuat ukuran-ukuran mengenai gradasi kemiskinan. Sehingga kemudian muncul ukuran kemiskinan versi Sajogyo, BKKBN, BPS, dll. Setelah itu, diskursus masuk ke ranah axiologis. Para ahli banyak menyajikan hasil riset mengenai penyebab kemiskinan. Ada yang menyebutkannya disebabkan faktor kultural, struktural, bawaan, lack of asset, lack of acces, dll. Semuanya berupaya menjelaskan substansi kemiskinan dari sudut pandangnya masing-masing.
Banyak kalangan melihat mengenai faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan semakin berlanjut. Untuk mempermudah—tanpa bermaksud menyederhanakan—kita akan membaginya dalam dua pandangan. Pandangan pertama yang melihat bahwa kemiskinan terjadi disebabkan orang individunya sendiri yang malas, tidak kreatif, minus motivasi untuk berkembang, dan kurang gigih menghadapi tantangan. Kelompok model ini, jika ditakdirkan mendapatkan satu posisi sosial-ekonomi tertentu, sangat menyukai stabilitas dan cenderung anti perubahan. Pandangan pertama ini berjangkar pada perilaku, sikap yang diambil, dan pandangan-pandangan mengenai proyeksi dan orientasi kehidupannya.
Kelompok kedua mewakili pandangan bahwa kemiskinan lebih merupakan masalah politik, ketimbang masalah budaya dan faktor internal. Bagi kelompok ini maka negara harus menjadi sandaran bagi bergerak dan tumbuhnya kreatifitas sehingga warga bisa memacu diri untuk lebih maju dan sukses. Selain itu, menurut Suharto (2002) kemiskinan sebaiknya tidak dilihat hanya dari karakteristik si miskin secara statis, melainkan dilihat secara dinamis yang menyangkut usaha dan kemampuan si miskin dalam merespon kemiskinannya.[3]
Tulisan ini memosisikan diri pada pandangan yang kedua. Di mana kemiskinan dilihat sebagai masalah struktural sehingga pendekatan dalam penyelesaiannya pun harus melalui politik dalam bentuk dan kebijakan pembangunan yang strategis, fokus, jelas target dan tujuannya, serta operasional dan memang menjadi masalah substansi kemiskinan itu sendiri. Oleh karena pendekatannya adalah ekonomi-politik, maka keseluruhan analisis dan fakta serta data yang disajikan dikerangkai suatu perspektif ekonomi politik itu sendiri.
Salah satu wajah kemiskinan di Indonesia adalah fakta bahwa sebagian wilayah dan subyek kaum miskin ada di pedesaan. Agar lengkapnya, mari kita cermati data berikut: berbasiskan data Biro Pusat Statistik (BPS) jika melihat dari sisi garis kemiskinan, tren garis kemiskinan selama 7 tahun terakhir mengalami peningkatan cukup signifikan. Artinya, secara fakta ada peningkatan yang cukup tajam pada pendapatan masyarakat yang masuk kepada kategori miskin. Hal ini bisa dilihat bahwa pada tahun 1999, garis kemiskinan di wilayah perkotaan sebesar 92.409 Rp/Kap/Bulan, naik sekitar 115% menjadi 198.868 Rp/Kap/Bulan pada Maret 2006. Pada periode yang sama, garis kemiskinan di wilayah perdesaan juga mengalami peningkatan sekitar 100% dari 74.272 Rp/Kap/Bulan menjadi 148.912 Rp/Kap/Bulan (lihat Gambar 1). Secara umum grafik di atas memperlihatkan bahwa garis kemiskinan di wilayah perkotaan jauh lebih tinggi dibandingkan wilayah perdesaan. Penetapan bahwa garis kemiskinan pedesaan lebih rendah daripada perkotaan tidak menjadikan bahwa kualitas ekonomi dan pendapatan pedesaan jauh lebih rendah dari kota. Namun hal itu semata-mata didasarkan kepada bahwa kebutuhan expenditure masyarakat miksin perkotaan jauh lebih tinggi daripada masyarakat miskin pedesaan.
Text Box:   Sumber: BPS Diolah

Gambar 1:

Angka kemiskinan di Indonesia pada kota dan desa

Sedangkan jika dilihat  pada aspek jumlah penduduk miskin per wilayah (gambar 2), secara keseluruhan jumlah penduduk miskin pada periode 1999-2005 terus mengalami penurunan, kemudian mengalami kenaikan cukup tajam mulai Februari 2005-Maret 2006, sebagai dampak dari kenaikan harga BBM per 1 Maret dan 1 Oktober 2005. Sedangkan secara Kawasan, jumlah penduduk miskin di Desa periode 1999-Maret 2006 sekitar 2 kali lebih banyak daripada jumlah penduduk miskin di kota.[4]
Text Box:    Sumber: BPS Diolah

Gambar 2:

Jumlah penduduk miskin di Indonesia dilihat per wilayah

Masih menurut BPS, jumlah penduduk desa yang berada di bawah garis kemiskinan pada tahun tahun 2006 telah mencapai 21,90% dari total jumlah penduduk desa. Sedangkan jumlah penduduk miskin perkotaan mencapai 13,36% dari total jumlah penduduk kota. Adapun total dari jumlah penduduk miskin Indonesia sendiri mencapai 39.05 juta orang atau 17,75% penduduk. Selain itu jumlah siginfikan yang cukup mempengaruhi adalah masalah pengangguran. Dari data tersebut juga tampak bahwa desa menyumbang cukup besar pengangguran terbuka yakni 5,82 juta jiwa atau 8,44% dari total penduduk pedesaan. Jumlah ini semakin membengkak jika ditotal dengan jumlah pengangguran setengah terbuka pedesaan yang berjumlah 23,00 juta jiwa atau 36,76% dari total penduduk desa[5].
Dalam konteks ini, menjadi sangat relevan keputusan pemerintah untuk segera melaksanakan program Reforma Agraria. Sehingga pernyataan pemerintah melalui Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Republik Indonesia tanggal 22 Mei 2007[6] lalu patut disambut dengan baik, khususnya bagi agen perubahan yang selama ini berjuang untuk melakukan pengentasan kaum miskin dan masyarakat pedesaan, dan tentu kaum miskin pedesaan sendiri. Hal ini semata-mata karena salah satu agenda reforma agraria yang diusung memiliki misi besar, yakni membantu mengatasi persoalan kemiskinan dan pengangguran.
Tulisan ini secara ringkas akan menganalisis program reforma agraria ini dengan pendekatan asset building. Pendekatan ini didasarkan kepada banyak pengalaman negara maju, seperti Canada, Inggeris, Amerika Serikat, dll., sukses melakukan pengentasan kemiskinan dengan pendekatan asset building ini. Tentu saja, perspektif ini terasa sangat baru untuk kajian seperti ini. Apalagi penulis hanya akan memotret program dari berbagai kredo normatif baik yang ada dalam aturan maupun rancangan atau agenda kebijakan pemerintah sendiri.

REFORMA AGRARIA: BASIS KONSEPTUAL

Reforma agraria merupakan agenda politik yang dilakukan oleh negara dengan maksud untuk menyejahterakan rakyatnya. Hal ini dilakukan dengan cara melakukan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (Landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat, serta menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumberdaya alam yang timbul selama ini...[7]
Sumbu dari reforma agraria adalah keadilan sosial. Karena dalam reforma agraria negara melakukan pendistribusian aset—khususnya yang berbasis sumberdaya agraria—kepada kaum miskin tidak bertanah agar mereka mampu melakukan peningkatan taraf kehidupannya. Di sisi lain, reforma agraria juga menghendaki adanya pemeliharaan ekologi tanah sehingga memberikan jaminan bagi masa depan bangsa untuk tetap bisa mengakses sumberdaya agraria ini di masa mendatang.
Menurut pakar reforma agraria Gunawan Wiradi, dalam sejarahnya yang amat panjang, yaitu lebih dari 2500 tahun, gagasan tentang "pembaruan agraria" tentu saja mengilhami perkembangan, baik dalam konsptualisasinya maupun modal dan programnya. Namun, intinya tetap sama, yaitu "penataan-ulang struktur pemilikan dan penguasaan sumber agraria demi kesejahteraan masyarakat, khususnya rakyat kecil, petani dan buruh tani" (Cf. Russel King, 1977). Inilah yang biasa disebut land reform. Untuk menghindari kerancuan istilah, maka dalam wacana tingkat dunia, sebagian ilmuwan lalu menggunakan istilah dalam bahasa Spanyol, Reforma Agraria. Makna agraria bukanlah hanya sebatas tanah, apalagi hanya sebatas tanah pertanian. Sedangkan ada dua tujuan utama, yaitu: (a) mengusahakan terjadinya transformasi sosial, dan (b) menangani konflik sosial, serta mengurangi peluang konflik di masa depan.[8]
Dalam konteks sejarah Indonesia, reforma agraria bisa dikatakan dimulai sejak lama. Bahkan sejak Indonesia merdeka, penataan struktur keagrariaan nasional yang feodalistik dan kolonialistik-yang dicirikan oleh adanya sistem pertuanan dan konsentrasi aset keagrariaan—kepada sistem yang  berkeadilan sosial, secara resmi dicanangkan oleh Presiden Sukarno pada tanggal 1 Januari 1961. Pencanangan reforma agraria yang saat itu disebut landreform dilakukan setelah Undang-undang Pokok Agraria disahkan dan setelah lahir Undang-undang 56 Prp 1960 tentang Penetapan Luas Lahan Pertanian.[9]
Sejak saat itu, paling tidak 1,1 juta hektar lahan berhasil didistribusikan pemerintah kepada rakyat. Sayangnya, program mulia harus berakhir dan mengalami titik balik seiring dengan kejatuhan rejim dan tampilnya rejim otoriter Orde Baru, di mana reforma agraria baik sebagai pemikiran apalagi gerakan sosial, bukan hanya dihambat, tapi lebih jauh lagi dibungkam.
Seiring dengan tumbangnya rejim Orde Baru, reforma agraria mulai menggeliat lagi. Peluang besarnya adalah ketika tampilnya Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden RI. Di antara calon presiden waktu itu, SBY adalah satu-satunya presiden yang mengusung reforma agraria sebagai salah satu agenda politiknya.[10]
Reforma agraria menjadi sangat strategis karena paling tidak ada tujuh hal persoalan struktural yang dihadapi bangsa ini: (a) tingginya tingkat pengangguran (b) tingginya tingkat kemiskinan, (c) tingginya konsentrasi aset agraria pada sebagaian kecil anggota masyarakat, (d) tingginya sengketa dan konflik pertanahan di seluruh Indonesia, (e) rentannya ketahanan pangan dan ketahanan enerji rumahtangga dari sebagian besar masyarakat kita, (f) semakin menurunnya kualitas lingkungan hidup, dan (g) lemahnya akses sebagian terbesar masyarakat terhadap hak-hak dasar rakyat termasuk terhadap sumber-sumber ekonomi.[11]
Di sisi lain, reforma agraria merupakan praktik pembangunan yang benar-benar pro rakyat. Beberapa negara yang sudah maju sebelumnya telah meletakan program reforma agraria ini sebagai landasan pokok bagi pembangunan masyarakatnya. Hal ini bisa dilihat pada kesuksesan Jepang dengan industrialisasi yang juga mengakar kepada masyarakat pedesaan. Begitu juga dengan negara Korea Selatan, Taiwan, bahkan China. Semua negara itu menjadikan reforma agraria sebagai pondasi dasar bagi pembangunan masyarakatnya.

PENDEKATAN TEORITIS

Kajian ini akan menggunakan pendekatan pemberdayaan masyarakat melalui konsep asset building. Konsep asset building ini diturunkan dari satu teori yang dirumuskan oleh M. Sherraden.[12] Untuk memahami konsep ini terlebih dahulu harus dilihat bagaimana model pengentasan kemiskinan yang sudah banyak dilakukan.
Sebagaimana kita ketahui, berbagai program pengentasan kemiskinan saat ini hanya diarahkan pada usaha memadukan "income generating" dan "income maintenance". Padahal di lapangan, program itu hanya bisa dilakukan sebagai perantara saja. Artinya dua modus itu tidak akan cukup bisa membuat orang miskin beranjak dari lilitan kemiskinan mereka. Di sini, konsep "assets accumulation" melalui kegiatan tabungan (saving) yang terprogram menjadi sangat strategis. Hal ini tidak lain karena dalam assets accumulation mengarah pada orientasi hasil dari kedua proses yang pertama. Pada assets accumulation ini orientasi keberhasilan diukur dengan seberapa mampu individu penerima program bisa mengakumulasikan aset yang dimilikinya dari waktu ke waktu.
Mengapa hal ini penting, Yustika (2007) memberikan ilustrasi sebagai berikut: Investasi besar umumnya dilakukan dengan meminjam dana bank. Investor bisa mendapatkan pinjaman karena ia memiliki aset yang dapat dijadikan agunan. Kesimpulannya jika individu memiliki aset, akan berorientasi kepada investasi. Di sinilah, urgensi program reformasi tanah yang sedang diinisiasi pemerintah untuk diimplementasikan. Dengan kepemilikan lahan, penduduk miskin bisa melakukan investasi sekaligus masuk pasar.[13]
Di sisi lain, konsep asset building merupakan anti tesis pada asumsi kemiskinan yang selama ini dibangun, yaitu masalah pendapatan. Padahal kemiskinan lebih kepada masalah aset. Pendekatan penanganan kemiskinan kepada masalah "pendapatan" cenderung karitatif dan tidak mendidik karena lebih bersifat konsumtif semata.
Meskipun bukan berarti mengabaikan konsep di atas, konsep asset building diajukan untuk mencoba untuk melengkapi strategi pengurangan kemiskinan yang ada. Strategi baru ini bertujuan untuk benar-benar mengentaskan kaum miskin lepas dari jeratan kemiskinan dan bukan sekedar mengurangi kesulitan-kesulitan yang dihadapi kaum miskin yang sifatnya ad hoc dan tak berkesinambungan. Pendekatan aset ini mendorong kita untuk melihat bahwa minimnya aset produktif yang dimiliki kaum miskin membuat mereka sulit untuk keluar dari jeratan kemiskinan. Pendekatan ini akan memungkinkan suatu terobosan penting dalam melahirkan kebijakan-kebijakan dalam memerangi kemiskinan. Aset di sini pun tidak hanya aset-aset yang bersifat finansial namun juga meliputi kapital manusia, modal sosial, rumah, dan aset-aset fisik lainnya yang dapat diakumulasi, disimpan, dan diuangkan pada saat-saat yang diperlukan.[14]
Dengan pemahaman seperti ini, lebih lanjut Sherraden menjelaskan bahwa dihadirkannya aset untuk orang miskin akan memiliki beberapa dampak nyata dalam kehidupan sosial dan ekonominya, yaitu:
  1. Akses. Dengan mengikuti program assets accumulation peserta akan mendapatkan akses baru kepada lembaga-lembaga keuangan yang bisa memberikan berbagai kemungkinan untuk melakukan perubahan pendapatan, yang dengan sendirinya bisa berpotensi mengembangkan aset yang dimilikinya;
  2. Insentif. Program insentif pasti diberikan karena peserta pengikut program akan melakukan kegiatan tabungan yang semakin lama semakin besar, sehingga insentif yang didapatkan pasti juga lebih besar;
  3. Informasi. Program assets accumulation harus dilakukan melalui suatu pemahaman yang mendalam mengenai sistem kerja dan teknisnya. Sehinggan kesadaran dan pengetahuan tentang akses dan insentif harus ada sebelum masyarakat dapat bertindak dalam kondisi tersebut. Di sini menjadi semakin bahwa akan ada share informasi yang sangat berguna bagi peserta program;
  4. Fasilitas. Tentu saja, sebagai konsekwensi dari keikutsertaan program maka si peserta akan mendapatkan berbagai fasilitas yang terkait dengan kesuksesan program ini. Fasilitas bisa berupa pendampingan (asistensi), atau fasilitas lain yang menunjang kegiatannya.[15]
Selain ini, akumulasi aset ini juga akan memberikan dampak ekonomi, personal, keluarga dan rumah tangga, hubungan komunitas, publik dan politik, dan antar generasi. Pada dampak ekonomi, antara lain bisa dilihat pada dimilikinya tabungan, modal ekonomi sendiri, memiliki dana yang bisa dijaminkan untuk memperbesar opportunity, dll; Sedangkan dampak sosial bisa dilihat pada meningkatnya kemampuan bersosialisasi dalam dan luar komunitasnya, dan juga berpartisipasi dalam berbagai keputusan sosial di lingkungannya; Dampak psikologis bisa dilihat pada meningkatnya kepercayaan diri, menurunnya depresi, memiliki harapan dan optimisme, dll.
Konsep assets accumulation ini tidak mungkin bisa dilakukan jika negara berpangku tangan. Dengan kata lain, konsep ini hanya bisa jalan jika negara melakukan intervensi dalam kebijakan sosialnya.
Secara normatif, sebenarnya konsep ini sudah secara eksplisit disebutkan dalam konstitusi kita. Dalam UUD 1945 khususnya Pasal 34 mengamanatkan bahwa "fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara" (ayat 1), dan "negara berkewajiban menangani fakir miskin melalui pemberdayaan dan bantuan jaminan sosial" (ayat 3). Selanjutnya komitmen nasional dalam pemberdayaan fakir miskin dituangkan dalam Keputusan Presiden RI Nomor 124 tahun 2001 jo. Nomor 8 tahun 2002 tentang Komite Penanggulangan Kemiskinan; dengan tujuan meningkatkan kerja sama, dukungan dan sinergi semua pihak baik sektor, pemerintah daerah, masyarakat maupun dunia usaha dalam menanggulangi masalah kemiskinan. 
Di sisi lain, reforma agraria saat ini sudah mendekati momentumnya. Sehingga makna tanah merupakan karunia Tuhan yang Maha Kuasa untuk kesejahteraan Bangsa Indonesia dan hubungannya bersifat abadi dan juga asasi itu harus segera diwujudkan dalam bentuk kebijakan teknis. Dalam UUD 45 pasal 3, dinyatakan bahwa "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".[16] Artinya segala upaya yang dilakukan di atas sumberdaya agraria ini harus diorientasikan hanya untuk kesejahteraan sosial.
Untuk pengejawantahannya, pemerintah sudah membuah kebijakan yang berkaitan dengan penataan, pemanfaatan, penguasaan, dan pemilikan sumberdaya agraria ini dalam satu kebijakan yang dikenal sebagai Undang-undang Pokok Agraria No 05 Tahun 1960. Undang-undang yang tinggal menunggu Peraturan Pemerintahnya itu dengan tandas menjelaskan apa, mengapa, dan untuk apa reforma agraria dilakukan di Indonesia. Namun intinya, UU tersebut memberikan kewenangan kepada negara untuk bertanggungjawab pada masalah pertanahan. Kewenangan yang diberikan itu adalah: (a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa; (b) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa; dan, (c) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang, dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.[17] 
Dengan demikian menjadi sangat jelas bahwa reforma agraria di Indonesia adalah proyek besar yang didalamnya bersemai cita-cita tertinggi dari bangsa ini, yakni ingin menjadikan bangsa ini lebih sejahtera, demokratis dan adil.

STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA MELALUI REFORMA AGRARIA

1.      Pendekatan: Asset Building

Reforma agraria dalam beberapa hal memang merupakan program "bagi-bagi tanah". Namun konteks reforma agraria saat ini tidak berhenti di sana. Sebab UUPA sendiri mengamanatkan bahwa: "Akhirnya ketentuan itu perlu dibarengi pula pemerian kredit, bibit dan bantuan-bantuan lainnya dengan syarat-syarat yang ringan, sehingga pemiliknya tidak akan terpaksa bekerja dalam lapangan lain, dengan menyerahkan penguasaan tanahnya kepada orang lain."(Penjelasan Umum romawi II angka 7). Maka dengan sendirinya reforma agraria di Indonesia menghendaki adanya satu lembaga penunjang yang bisa memberikan akses kepada masyarakat dalam mengelola lahan perolehannya.
Sebagaimana dijelaskan di atas, akumulasi aset hanya bisa terlaksana jika negara merupakan instrumen penggerak dan rakyat adalah subyek yang digerakan. Tahapan-tahapan dalam reforma agraria melalui pengembangan aset dilaksanakan sebagai berikut:
Pertama-tama lahan yang akan menjadi obyek reforma agraria dipetakan berdasarkan kriterianya. Kriteria itu dibagi berdasarkan keterangan yang dijelaskan oleh Kepala BPN ada tiga kelompok tanah yang dialokasikan untuk program lahan bagi rakyat miskin ini. Kelompok pertama tanah-tanah yang menurut undang-undang sudah jadi peruntukan, termasuk tanah-tanah land reform di masa lalu yang luasnya kurang lebih 1,1 juta hektar. Kelompok kedua, tanah dari hutan produksi konversi. Secara khusus, tanah yang dialokasikan untuk ini seluas 8,15 juta hektar. Kelompok ketiga, tanah yang sekarang ini dalam proses sertifikasi Departemen Kehutanan dan BPN yang pemanfaatannya sedikit telantar di daerahdaerah yang memperoleh pelepasan kawasan hutan yang luasnya masih dalam proses identifikasi.[18]
Kriteria di atas jelas merujuk kepada satu konsep mengenai subyek yang akan mendapatkan lahan dan obyek yang akan didistribusikan. Hal ini sangat penting mengingat, jika perspektif asset building yang dikembangkan, salah satu yang harus jelas subyek penerima program serta aset yang akan diraih. Dengan begitu maka sasaran dari program menjadi sangat nyata, terarah, dan bisa diprediksikan capaian kemajuannya.
Setelah subyek terpetakan, sesuai dengan konsep dari asset building, maka obyek (lahan) yang akan didapatkanpun disimulasi agar bisa sesuai atau mencapai titiktemu antara subyek dan obyek. Jika keduanya sudah terisi baru dirumuskan target aset dari masing-masing subyek atas obyek yang sudah ada. Bisa jadi bahwa land reform, atau pembagian lahan yang merupakan hak kaum miskin yang sudah dipetakan tadi menjadi, menjadi titik awal dalam melakukan asset building subyek peserta. Contoh sederhana bisa dilihat pada ilsutrasi berikut:
Katakanlah si "X" adalah subyek yang sudah jelas harus menerima program reforma agraria melaui pembagian lahan. Lahan bagi si "X" adalah aset yang bisa dijadikan sebagai pintu awal untuk mengembangkan asetnya yang lain. Agar aset yang diperolehnya efektif bagi dia secara sosial ekomi, maka melalui pendampingan ia dibantu untuk merumuskan target aset yang dicapai kelak. Katakanlah dengan sebidang hak tanah yang diperolehnya itu ia ingin memiliki rumah yang layak. Maka, melalui access reform seperti yang diinginkan oleh UUPA, ia diberikan modal untuk mengelola lahannya. Pendampingan harus tetap dilakukan agar usaha yang dikembangkan bisa memberikan hasil sesuai yang diharapkan dan target aset yang diinginkan bisa terealisasi. Selain itu, subyek juga diberikan gambaran dan analisis hasil usaha serta peruntukan dari setiap penghasilan yang didapatkan nanti.
Selanjutnya dari hasil setiap aktivitas usaha yang dilakukan subyek penerima hak, sesuai dengan tuntutan program ia harus menyisihkan sebagiannya untuk menjadi tabungan terporgram. Dalam jangka waktu yang ditetapkan, ia akan mendapatkan aset. Misalnya, jika subyek menargetkan aset seharga 5 juta rupiah dalam jangka waktu 2 tahun, sementara sisa kebutuhan bersih yang didapatkan dari hasil usahanya hanya rata-rata Rp.100.000/ bulan, maka sisanya, yakni Rp.108,333.33 akan dipenuhi oleh pemerintah sebagai insentif. Tentu saja, besarnya insentif yang diberikan sangat bervariasi sesuai dengan perhitungan dan analisis pendamping nanti. Semakin besar dana yang bisa disisihkan oleh subyek, berarti insentif yang didapatkan bisa semakin kecil. Satu hal yang perlu dicatat bahwa meskipun target aset dihitung/ dianalisis berdasarkan kebutuhan aktual subyek tetapi tetap harus disesuaikan dengan kebutuhan mendesaknya.
Misalnya, jika seseorang hasil analisis kebutuhan minimumnya dia disarankan menargetkan untuk memperoleh aset berupa barang konsumsi seperti untuk perbaikan rumah, maka subyek hendaknya mengikuti hal itu. Baru pada periode berikutnya, ia merumuskan kembali kebutuhan aktualnya yang lain.
Dari ilustrasi di atas, sangat tampak bagaimana asset building bekerja menstimulasi aset melalui sistem yang dikembangkan. Di sana juga sangat kentara bagaimana kaum miskin mendapatkan kemudahan akses kepada sumber keuangan. Sehingga dengan akses yang lebih mudah ia berpotensi meningkatkan asetnya di kemudian hari. Kemudian, agar asetnya berkembang sesuai dengan keinginan program sistem insentif tampak pada pelaku-pelaku yang konsisten mengikuti prosedurnya. Selain itu, dalam proses pendampingan subyek akan selalu mendapatkan informasi dan pengetahuan baru, mulai dari perencanaan, sampai kepada strategi-strategi pengembangan aset di masa mendatang. Puncaknya, subyek pun akan mendapatkan berbagai fasilitas. Mulai dari kemudahan, pembinaan, dan lain-lain.
Intinya dari program ini adalah bahwa dengan formula reforma agraria ini, maka keluarga miskin di pedesaan akan mampu memiliki aset. Lebih jauh, menurut Sherraden dengan dimilikinya aset pada keluarga bisa menyebabkan: (1) Meningkatkan stabilitas keluarga; (2) Menciptakan orientasi masa depan; (3) Menstimulasi berkembangnya aset yang lain; (4) Memiliki fokus dan spesialisasi; (5) Memiliki dasar pengambilan resiko; (6) Meningkatkan efektifitas personal; (7) Meningkatkan pengaruh social; (8) Meningkatkan partisipasi politik; dan (9) Meningkatkan kesejahteraan anak. Selain itu, Sherraden juga menambahkan bahwa dampak lainnya yaitu: dampak ekonomi, personal, keluarga dan rumah tangga, hubungan komunitas, publik dan politik, dan antar generasi.[19]
Jika sistem dan mekanisme ini terus bergulir dengan baik maka tidak mustahil dalam jangka waktu yang tidak lama subyek miskin akan segera beranjak dari kemiskinan. Bukan hanya itu, kepemilikan akan suatu aset akan menyebabkan seseorang lebih independen dalam keputusan-keputusan politik yang berkaitan dengan diri. Sehingga dengan sendirinya, hal ini akan memperkental partisipasi mereka dalam demokrasi di Indonesia.
Mengapa hal ini demikian penting, karena seperti kita saksikan bahwa selama ini rakyat miskin selalu menjadi "tumbal" kelompok-kelompok oportunis dan pragmatis, terutama dalam mendapatkan kekuasaan. Sedangkan di sisi lain, secara kuantitatif jumlah kaum miskin sangat banyak dan sangat mudah diintervensi oleh kepentingan mereka. Dan sebaliknya, dengan kaum miskin yang independen dalam melakukan keputusan pilihan karena paling tidak mereka sudah "aman" secara ekonomi, rasionalitas politik mereka akan bekerja dengan baik dan maksimal.

2.      Pelaksanaan: Pengubahan Kesadaran

Program reforma agraria dengan pendekatan asset building tidak lain hanya untuk pengubahan kesadaran rakyat akan pentingnya membangun dan mengembangkan aset. Dengan kepenguasaan atas satu bentuk aset maka seseorang—terlebih rakyat miskin—akan bisa memberdayakan dirinya sendiri. Selain itu, model pemberdayaan berbasis pengembangan aset akan memberikan satu bentuk kesadaran baru kepada mereka khususnya dalam permasalahan mengubah nasib.
Kesadaran ini penting dibangun mengingat, banyaknya kesalahan dalam program-program pemberdayaan telah menyebabkan masyarakat menjauh dari sistem dan nilai-nilai yang sejatinya hidup dalam kultur mereka sendiri. Sebagai contoh adalah nilai-nilai solidaritas yang sejatinya menjadi ciri dan karakter warga pedesaan telah hilang berganti dengan kesadaran semu yang justru menjadikan kehidupan mereka makin kesusahan. Terlebih ketika rejim Orde baru berkuasa. Intervensi pembangunan yang diusungnya bukan hanya telah menggerus nilai-nilai dasar yang selama ini menjadi darah kehidupan sosial-budaya-ekonomi mereka, tapi lebih jauh lagi menjadikan warga desa kehilangan daya hidupnya sendiri. Meski harus kita akui bahwa realitas ini sudah jauh berlaku dan terjadi sebelum Orde Baru. Dalam studi panjang, Husken (1998) menjelaskan bahwa seiring masuknya modernisasi ke pedesaan di Indonesia, daya dukung solidaritas sosial yang tadinya menjadi bukan sekedar modal sosial tetapi juga modal ekonomi itu perlahan tapi pasti melemah. Sehingga secara perlahan pula, terjadi peluruhan karakter masyarakat desa: Homogenitas melemah dan terjadi pelapisan sosial yang semakin tajam. Bahkan kemudian menajam menjadi polarisasi yang menyebabkan kapitaslisme merasuki sistem kehidupan. Inilah yang oleh Husken kemudian diidentifikasi sebagai bibit buit diferensiasi sosial pada masyarakat desa.[20]
Maka program reforma agraria berbasis aset dipastikan akan mengembalikan desa kepada jati dirinya yang asli, yang genuine, dan orisinil. Selain itu, reforma agraria dengan modus ini juga mendorong untuk mengubah kesadaran warga desa dari konsumtif ke produktif. Dengan model sistem tabungan terprogram, setiap subyek yang mendapatkah hak dididik untuk bisa bersikap hemat, memiliki tabungan, dan belajar merencanakan kehidupan dan masa depan dengan baik.[21]
Jika masyarakat senantiasa dididik untuk bersikap hemat, maka dana likuid warga dipastikan akan cepat meningkat. Secara makro hal ini pasti akan mempengaruhi simpanan devisa negara. Sedangkan bila saatnya seluruh tabungan itu dikeluarkan, maka dipastikan akan terjadi pergerakan ekonomi yang sangat besar. Hal ini terjadi karena seluruh dana masyarakat yang sudah sampai pada masa pencairan akan segera bergerak ke sektor-sektor riil. Kita ambil contoh jika di sebuah desa subyek peserta program ada 100 KK, dan mereka rata-rata membuat target aset sebesar RP 5 juta per KK dalam jangka waktu dua tahun, maka bisa dilihat bahwa pada saatnya dana itu dikembalikan kepada rakyat akan ada perputaran uang sebesar Rp. 500 juta dan itu pasti mengalir kepada sektor riil, misalnya pembangunan rumah, pengembangan usaha, dll.
Terakhir, kesadaran yang terbangun seiring dengan berjalannya program adalah terjadinya perluasan dan penguatan jaringan (modal capital) pada subyek pelaku. Hal ini terjadi karena ruang dan arena pergerakan subyek menjadi semakin meluas. Subyek peserta minimal akan mengenal adanya pendamping yang akan senantiasa siap membantu merencanakan masa depannya, mempelajari cashflow usahanya, serta subyek juga akan dikenalkan kepada lembaga keuangan yang secara intens akan berhubungan dengan mereka.
Bagi kaum miskin, perluasan jaringan sosial (ekonomi) akan berdampak tidak hanya kepada pendapatannya saja, namun lebih dari itu, dampaknya juga kepada potensi dirinya semakin luas. Selain ia akan semakin percaya diri, memiliki komitmen lebih kuat dalam mengubah nasib dan lain-lain, namun hal lain yang tidak kalah penting adalah terjadinya transformasi pengetahuan yang mungkin akan berguna bagi dia dan keluarnya. Ia juga akan semakin membuka diri terhadap ilmu pengetahuan baru, sehingga ke depan mereka akan lebih bisa dikelola sebagai aset bangsa.

3.      Tujuan: Pembebasan

Harus disadari sejak awal bahwa pemberdayaan sejalan upaya-upaya dan cita-cita pembebasan. Salah satu bentuknya adalah dengan memberikan akses yang luas kepada kaum miskin untuk mendapatkan fasilitas dari negara baik itu berupa kredit, dan lain-lain. Sejalan dengan ini, peraih nobel Amartya Sen (1999) menjelaskan bahwa kaum miskin hanya butuh akses.[22] Dan Reforma agraria mengubah atau berpotensi mengubah keluarga atau kaum miskin dari keterbelengguan akan kemiskinan kepada kebebasan untuk menentukan arah dan jalan hidupnya sendiri. Sehingga reforma agraria dengan sendirinya akan memberikan benefit ekonomi, politik, dan budaya kepada dirinya, dan juga akses kepada permodalan—baik yang difasilitasi pemerintah maupun atas kreatifitas mereka sendiri. Sehingga dengan kebebasan ini mereka akan lebih mudah merancang masa depan dia maupun anak-anaknya kelak.
Selain itu dengan sendirinya, ketika rakyat miskin pedesaan terberdayakan, maka desa atau yang sejenisnya itu menjadi lebih berdaya baik secara politik maupun ekonomi. Hal ini terjadi karena rakyat pedesaan bisa lebih independen dalam menyalurkan dan menentukan pilihan-pilihan ekonomi-politiknya. Dengan demikian, maka reforma agraria di pedesaan akan memberikan kontribusi yang besar kepada semakin kokohnya demokrasi di Indonesia.  
Hal-hal lain yang bisa diprediksi ketika reforma agraria dijalankan adalah akan terjadi proses yang sangat mendasar pada kaum miskin khususnya di pedesaan, yakni kebiasaan buruk dalam menyikapi hidup. Kebiasaan-kebiasaan selalu gampang menyerah kepada nasib, tidak kreatif, dll, dengan sendirinya akan luruh karena mereka masih bisa mendapatkan cara-cara untuk mengubahnya melalui institusi yang bernama negara. Dengan demikian, model pembebasan yang terjadi dalam konteks reforma agraria adalah adanya kesamaan pandangan dari pihak negara dalam melihat rakyatnya. Di sini pula rakyat akan melihat bahwa pemerintah memang menjalankan apa yang menjadi ruh seluruh sila dari pancasila yakni keadilan sosial. Keadilan yang benar-benar melihat bahwa warga Indonesia itu satu adanya. Tidak ada orang miskin yang tidak diperhatikan, sebagaimana tidak ada orang kaya yang berlebihan diperhatinya.
Terakhir dan ini paling penting bahwa reforma agraria melalui asset building akan memberikan peluang untu membebaskan pelakunya dari ketergantungan. Ketergantungan kepada pasar, ketergantungan kepada elit, dan ketergantungan lainya yang seperti adat dan agama. Dengan aset yang dimiliki ia sangat bebas memberikan persepsi atas sesuatu sehingga dengan bebas pula ia akan mengambil sikap atasnya.

4.      Ifrastruktur Kelembagaan

Sebagai penunjang, untuk melaksanakan program asset building ini pembenahan infrastruktur kelembagaan patut dibangun. Infrastuktur itu antara lain adalah aparat yang tanggap dan paham akan makna dan substansi dari program ini, kemudian masyarakat juga diberikan pengertian yang mendalam mengenai program ini. Untuk itu, pelibatan lembaga-lembaga kemasyarakatan menjadi sangat penting agar di lapangan semua pihak bisa mendapatkan kesepahaman akan hal ini. Selain itu, kelembagaan untuk menyerap hasil produksi rakyat—jika mereka bergerak di bidang sektor riil seperti pertanian—jauh-jauh hari harus disiapkan. Sebab agar program pengembangan aset bisa berjalan dengan baik, maka jenis usaha yang akan dilakukan juga sangat penting. Di sisi lain, akses kepada pasar global, lembaga keuangan, dll., menjadi keharusan lain dalam program ini.
Tentu saja yang tidak boleh terlewat adalah adanya aturan baku yang mendukung upaya ini. Aturan inilah yang kemudian akan menjadikan semua pihak untuk menjalankan program ini dengan baik.

PENUTUP

Penjelasan singkat mengenai pengembangan aset melalui program reforma agraria ini memang masih memerlukan kajian dan elobarasi mendalam. Khususnya menguji formula dan kesahihan konsep ini di lapangan. Akan tetapi secara teoritis, reforma agraria melalui program asset building sangat signifikan dan urgen untuk dilaksanakan oleh pemerintah sekarang. Hal ini didasarkan kepada:
  1. Kemiskinan –khususnya kemiskinan di pedesaan—merupakan masalah yang sampai hari ini belum bisa dipetakan pemecahannya. Program-program karitatif yang selama ini dilakukan pemerintah masih belum menyentuh akar dan masalahnya sendiri.
  2. Pendekatan reforma agraria sangat penting karena di dalamnya ada potensi pengembangan aset bagi subyeknya. Hanya saja yang penting dipersiapkan adalah pendampingan dan pemberian pemahaman yang terus menerus kepada mereka agar bisa memahami substansi dari reforma agraria berbasis akumulasi aset ini dengan baik dan benar.
  3. Reforma agraria akan mensitumulasi perubahan-perubahan radikal dalam struktur sosial-politik-ekonomi negara ini. Saat ini yang dibutuhkan kita semua adalah meyakinkan semua pihak bahwa agenda ini tidak didasarkan kepada kepentingan pragmatis politik, namun justru hanya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. []



[*] Tantan Hermansah adalah Dosen Jurusan Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Kontak: tantan.uin.jkt@gmail.com; HP; 0852 160 92 190



[1] Hadits Riwayat As Syayuti.
[2] Yunus., M (2007). Saya mendengar ini dari sebuah TV. Namun sayang, lupa di stasiun mana. Buku M. Yunus sendiri versi Indonesia diterbitkan oleh Marjin Kiri (2007), dengan judul "Bank Kaum Miskin". Marjin Kiri: Jakarta.
[3] Suharto, Edi (2002). Coping Strategies Dan Keberfungsian Sosial: Mengembangkan Pendekatan Pekerjaan Sosial Dalam Mengkaji Dan Menangani Kemiskinan. Makalah disampaikan pada Seminar "Kemiskinan dan Keberfungsian Sosial: Merancang-Kembangkan Program Pembangunan  Kesejahteraan Sosial yang Bernuansa Pekerjaan Sosial" Selasa 17 Desember 2002 di Institut Pertanian Bogor
[4] Institute, Brighten (2007). Analisis The Brighten Institute Paper Series, Januari.
[5] BPN RI (2007). Reforma Agraria: Mandat Politik, Konstitusi, dan hukum dalam rangka mewujudkan 'tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat. BPN RI: Jakarta.
[6] Indonesia, Seputar, (2007). "Lahan Gratis bagi Warga Miskin Tunggu PP". Tanggal 23 Mei 2007.
[7] Ketetapan Majlis Permusyawaratan Rakyat No IX tahun 2001.
[8] Wiradi, Gunawan (2007). Mengapa Diperlukan Reforma Agraria? Pada: http://rumahkiri.net/index.php?option=com_content&task=view&id=383&Itemid=262
[9] Winoto, Joyo (2007). Reforma Agraria: Suatu Pengantar, BPN RI: Jakarta.. h.ii
[10] Yudhoyono, Susilo Bambang, M. Yusuf Kalla (2004). Membangun Indonesia yang aman, adil, dan sejahtera. Tp. h. 69
[11] Winoto, Joyo. Op.Cit. h.iii
[12] Pendekatan teoritis ini dielaborasi dari berbagai sumber yang ditulis oleh Sherraden, M (2006). Aset untuk Orang Miskin. Rajawali: Jakarta; Boshara, Ray (Ed) (2001) .Building assets: a report on the asset- development and ida field. CFED: Washingthon; dan Sherraden, M (2007), Asset Building: Theoretical Background & Research Questions. Paper in CSD (Revised).
[13]Yustika, Ahmad Erani (2007). Pendapatan versus Aset. Dalam Kompas, Selasa, 01 Mei 2007.
[14] Daily, Investor (2007). Perspektif Baru Menyejahterakan Orang Miskin Sunday, JAKARTA, 25 February 2007.
[15] Sherraden, Op. Cit.
[16] HP, Arimbi dan Emmy Hafild. (tt) Membumikan Mandat Pasal 33 UUD 45. Dalam http://www.pacific.net.id/~dede_s/Membumikan.htm
[17] Lihat, BPN RI, Op.Cit. h. 05
[18] Seputar Indonesia, Op. Cit.
[19] Sherraden, M. Op. Cit..
[20] Husken, Frans (1998). Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman: Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa 1830 -1980. Grasindo: Jakarta, 1998.
[21] Selama ini, program perencanaan yang berbasis keluarga yang dilakukan oleh pemerintah di Indonesia hanya satu, yakni Keluarga Berencana. Sayang pendekatan ini meski cukup berhasil tidak diimbangi oleh satu model akses reformnya.
[22] Sen, Amartya (1999). Developmen as Freedom, Oxford University Press. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini