Minggu, 05 April 2015

paradigma metode penelitian kualitatif_Safarudin


TUGAS
METODE KUALITATIF
PARADIGMA DALAM METODE KUALITATIF
Nama : Safarudin
Nim :1111052000027
Jurusan : Bimbingan penyuluhan islam (BPI)
Dosen : Tantan Hermansyah, M.Si.
1.      PARADIGMA DALAM METODE KUALITATIF
Penelitian pada hakikatnya merupakan suatu upaya untuk menemukan kebenaran atau untuk lebih membenarkan kebanaran. Usaha untuk mencapai kebenaran yang di lakukan para filsuf, peneliti dan praktisi melalui model tertentu. Model tersebut di sebut dengan paradigma, paradigma menurut:
·         Bogdan dan Biklen (1982;32) adalah kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berfikir dan penelitian.
·         Harmon (1970) Berdasarkan definisi Khun tersebut, Harmon mendefinisikan paradigma sebagai cara mendasar untuk mempersepsi, berfikir, menilai dan melakukan yang berkaitan dengan sesuatu secara khusus tentang visi realitas
·         Capra (1996) mendefinisikan paradigm sebagai konstelasi konsep, nilai-nilai persepsi dan praktek yang dialami bersama oleh masyarakat, yang membentuk visi khusus tentang realitas sebagai dasar tentang cara mengorganisasikan dirinya. Pertama ada realitas objektif yang ditelaah, kedua paradigma sebagai pandangan dunia seseorang tersebut, membangun realitas yang dipersepsikan tentang realitas.
Ada bermacam-macam paradigma, tetapi yang mendominasi ilmu pengetahuan adalah scientific paradigm (paradigma keilmuan, namun untuk memudahkan diterjemahkan secara harfiah sebagai paradigma ilmiah) dan naturalistic paradigm atau paradigma alamiah. Paradigma ilmiah bersumber dari pandangan positivism, sedangkan paradigma alamiah bersumber pada pandangan fenomenologis.
Positivisme berakar pada pandangan teoritis August Comte dan Emile Durkheim. Kenyataan adalah tunggal, nyata dan fragmentaris, pencari tahu dan yang tahu adalah bebas, jadi ada dualisme, inkuirinya bebas nilai. Paradigma alamiah bersumber mula-mula dari pandangan Max Weber yang di teruskan oleh Irwin Deutcher yang di kenal dengan pandangan fenomenologis. Kenyataan adalah jama'dan di bentuk dab merupakan keutuhan,pencari tahu dan yang tahu aktif bersama, jadi tidak dapat di pisahkan dan inkuirinya terikat oleh nilai[1]
A.      Pandangan-Dunia Post-posititivisme
§  Asumsi-asumsi post-positivis merepresentasikan bentuk tradisional penelitian, yang kebenarannya lebih sering disematkan untuk penelitian kuantitatif ketimbang penelitian kualitatif. Pandangan dunia ini terkadang disebut metode saintifik atau penelitian sains. Ada pula yang menyebutnya sebagai penelitian positivis/post-positivis, sains empiris, dan post-positivisme. Istilah terakhir disebutkan post-positivisme karena ia merepresentasikan pemikiran post=positivisme, yang menentang gagasan tradisional tentang kebenaran absolut ilmu pengetahuan (Phillips & Burbules), dan mengakui bahwa kita tidak bias terus menjadi "orang yang yakin/positif" pada klaim-klaim kita tentang pengetahuan ketika kita mengaji perilaku dan tindakan manusia.
§  Kaum post-positivis mempertahankan filsafat deterministik bahwa sebab-sebab (faktor-faktor kausatif) sangat mungkin menentukan akibat atau hasil akhir. Untuk itulah, problem-problem yang untuk mengidentifikasikan factor-faktor penyebab yang mempengaruhi hasil akhir, sebagaimana yang banyak kita jumpai dalam penelitian eksperimen kuantitatif. Filsafat kaum post-positivis juga cenderung reduksionistis yang orentasinya adalah mereduksi gagasan-gagasan benar menjadi gagasan-gagasan terpisah yang lebih kecil untuk diuji lebih lanjut, seperti halnya variabel-variabel yang umumnya terdiri dari sejumlah rumusan masalah hipotesis penelitian.
§  Pengetahuan bersifat konjektural/terkaan (dan antifondasional/tidak berlandasan apapun) bahwa kita tidak akan pernah mendapatkan kebenaran absolut. Untuk itulah, bukti yang dibangun dalam penelitian sering kali lemah dan tidak sempurna. Karena alasan itu pula, banyak peneliti yang berujar bahwa mereka tidak dapat membuktikan hipotesisnya.
§  Penelitian merupakan proses membuat klaim-klaim, kemudian menyaring sebagian klaim tersebut menjadi "klaim-klaim lainnya".yang sebenarnya jauh lebih kuat. Sebagian besar penelitian kuantitatif, misalnya, selalu diawali dengan pengujian atas sesuatu teori.
§  Pengetahuan dibentuk oleh data, bukti, dan pertimbangan-pertimbangan logis. Dalam praktiknya, peneliti mengumpulkan informasi dengan menggunakan instrument-instrumen pengukur tertentu yang diisi oleh para partisipan atau dengan melakukan observasi mendalam di lokasi penelitian.
§  Penelitian harus mampu mengembangkan statemen-statemen yang relavan dan benar, statemen-statemen yang dapat menjelaskan situasi yang sebenarnya atau dapat mendeskripsikan relasi kuasalitas dari suatu persoalan. Dalam penelitian kuantitatif, peneliti membuat relasi antarvariabel dan mengemukakan dalam bentuk pertanyaan dan hipotesis.
§  Aspek terpenting dalam penelitian adalah sikap objektif, para peneliti harus menguji kembali medote-metode dan kesimpulan-kesimpulan yang sekiranya mengandung bias. Untuk itulah, dalam penelitian kuantitatif, standar validasi dan reliabilitas menjadi dua aspek penting yang wajib dipertimbangkan oleh peneliti.
B.      Pandangan-Dunia Konstruktivisme Sosial
§  Kelompok lain memiliki pandangan-dunia yang berbeda. Salah satunya adalah pandangan-dunia konstruktivisme sosial (yang sering kali dikombinasikan dengan interpretivisme) (lihat Mertens, 1998). Pandangan-dunia ini biasanya dipandang sebagai suatu pendekatan dalam penelitian kualitatif. Gagasan konstruktivisme sosial berasal dari Mannheim dan buku-buku seperti the social construction of reality-nya Berger dan Luekmann (1967) dan Naturalistic inquiry-nya Lincoln dan Guba (1985). Dewasa ini, penulis-penulis yang getol mengkaji paradigma konstruktivisme sosial antara lain Lincoln dan Guba (2000), Schwandt (2007), dan Crotty (1998).
§  Konstuktivisme sosial meneguhkan asumsi bahwa individu-individu selalu berusaha memahami dunia di mana mereka hidup dan berkerja. Mereka mengembangkan makna-makna subjektif atau pengalaman-pengalaman mereka, makna-makna yang diarahkan pada objek-objek atau benda-benda tertentu. Makna-makna ini pun cukup banyak dan beragam sehingga peneliti dituntu untuk lebih mencari komoleksitas pandangan-pandangan ketimbang mempersempit makna-makna menjadi sejumlah katagori dan gagasan peneliti berusaha mengandalkan sebanyak mungkin pandangan partisipan tentang situasi yang tengah diteliti.untuk mengeksporaasi pandangan-panangan ini, pertanyaan-pertanyaan pundapat diajukan, pertanyaan-pertanyaan itu bias jadi sangat luas dan umum sehingga partisipan dapat mengkotruksi makna atas situasi tersebut, yang biasanya tidak asli atau tidak dipakai dalam interaksi dengan orang lain. Semakin terbuka pertanyaan tersebut tentu akan semakin baik, agar peneliti bias mendengarkan dengan cermat apa yang dibicarakan dan dilakukan partisipan dalam hidup mereka.
§  Makna-makan subjektif ini sering kali dinegosiasi secara sosial dan historis. Makan ini tidak sekedar dicetak untuk kemudian dibagikan kepada individu-individu, tetapi harus dibuat melalui interaksi dengan mereka (karena itulah dinamakan kosntruktivisme sosial) dan melalui norma-norma historis dan sosial yang berlaku dalam kehidupan mereka sehari-hari. Makna itu juga
§  harus ditekankan pada konteks tertentu di mana individu-individu ini tinggal dan berkerja agar peneliti dapat memahami latar belakang historis dan kultural mereka.
§  Terkait dengan kosntruktivisme ini, Cortty (1998) memperkenalkan sejumlah asumsi:
§  Makna-makna dikostruksi oleh manusia agar mereka bias terlibat dengan dunia yang tengah mereka tafsirkan. Para peneliti kualitatif cenderung menggunakan pertanyaan terbuka agar partisipan dapat mengungkapkan pandangan-panfangannya.
§  Manusia senantiasa terlibat dengan dunia mereka dan berusaha memahaminya berdasarkan perspektif historis dan sosial mereka sendiri, kita semua dilahirkan kedunia makna (world of meaning) yang dianugrahkan oleh budaya di sekeliling kita . untuk itulah, para peneliti kualitatif harus memahami konteks atau latar belakang partisipan mereka dengan cara mengunjungi konteks tersebut dan mengumpulkan sendiri informasi yang dibutuhkan . mereka juga harus menafsirkan apa yang mereka cari: sebuah penafsiran yang dibentuk oelh pengalaman dan latar belakang mereka sendiri.
§  Yang menciptakan makna pada dasarnya adalah lingkungan sosial, yang muncul dalam dan diluar interaksi dengan komunitas manusia, proses penelitian kualitatif bersifat induktif di mana di dalamnya peneliti menciptakan makna dari data-data lapangan yang dikumpulkan.
C.      Pandangan-Dunia Advokasi dan partisipatoris
§  Terdapat kelompok lain yang memiliki asumsi-asumsi filosofis berdasarkan pada pendekatan advokasi dan partisipatoris. Pendekatan ini muncul sejak 1980-an hingga 1990-an dari sejumlah kalangan yang merasa bahwa asumsi-asumsi post-positivis telah membebankan hokum-hukum dan teori-teori structural yang sering kali tidak sesuai dengan tidak menyertakan individu-individu yang terpinggirkan dalam masyarakat kita atau isu-isu kejadian sosial yang memang perlu dimunculkan. Pandangan dunia ini memang cocok dengan penelitian kualitatif, namun ia juga bnisa menjadi dasar untuk penelitan kuantitatif.
§  Dalam sejarahnya, pembahasan tentang advokasi/partisipatoris (atau emansipatoris) dapat kita jumpai dalam kajian yang dilakukan oleh penulis-penulis seperti Marx, ASdorno, Marcuse Habermas, dan Freire (Neuman, 2000). Merupakan sederetan penulis masa kini yang aktif mengkaji perspektif advokasi dan partisipatoris ini. Yang jelas, mereka semua merasa bahwa sikap konstruktivis tidak memadai dalam menganjurkan (mengadvokasi) program aski untuk membantu orang-orang yang termajinalkan. Pandangan-Dunia advokasi dan partisipartoris berasumsi bahwa peneliti harus dihubungkan dengan poitik dan agenda polotis. Untuk itulah, penelitian ini pada umumnya memiliki agenda aksi demi reformasi yang diharapkan dapat mengubah kehidupan para partisipan, institute-institut di mana mereka hidup dan berkerja, dan kehidupan para penelitian itu sendiri. Pandangan-duian ini menyatakan bahwa ada isu-isu tertentu yang perlu mendapatkan perhatian lebih, utamanya isu-isu menyangkut kehidupan sosial dewasa ini, seperti pemberdayaan, ketidakadilan, penindasan, penguasaan, ketertindasan, dan pengasingan. Peneliti dapat mengawali penelitian mereka dengan salah satu dari isu-isu ini sebagai focus penelitiannya.
§  Pandangan-dunia filosofis advokasi/partisipatoris focus pada kebutuhan-kebutuhan suatu kelompok atau individu tertentu yang mungkin termajinalkan secara sosial. Untuk itulah, tidak menutup kemungkinan diintegrasikannya pandangan-dunia ini dengan perspektif-perspektif teoretis lainnya yang mengkonstruksi suatu gambaran tentang isu-isu/masalah-masalah yang hendak diteliti, orang-orang yang diselidiki, dan perubahan-perubahan yang diinginkan, seperti perspektif feminis, diskursus rasialisme, teori kritis, teori queer, dan teori disability.
§  Meskipun penjelasan saya sejak tadi cenderung bersifat generalisasi terhadap kelompok-kelompok yang termarginalkan, setidaknya saya perlu membaca ringkasan Kemmis dan Wilkinson (1998) tentang karakteristik-karakteristik inti dari penelitian advikasi atau partisipatoris:
§  Tindakan partisipatoris bersikap dialektis dan difokuskan untuk membawa perubahan.
§  Penelitian ini ditekankan untuk membantu individu-individu agar bebas dari kendala-kendala yang muncul dari media, bahasa, aturan-aturan kerja, dan relasi kekuasaan dalam ranah pendidikan.
§  Penelitian ini bersifat emansipatoris yang berarti bahwa penelitian ini membantu membebaskan manusia dari ketidakadilan yang dapat membatasi perkembangan dan determinasi diri.
§  Penelitian ini juga bersifat praktis dan kolaboratif karena ia hanya dapat sempurna jika dikolaborasikan dengan penelitian-penelitian lain, dan bukan menyempurnakan penelitian-penelitian yang lain.
2.      Pandangan-Dunia pragmatic
§  Sebagai salah satu paradigma filosofis untuk penelitian metode campuran, Tashakkori dan Teddlie (1998), Morgan (2007, dan Patton (1990) menekankan pentingnya paradigma pragmatic ini bagi para peneliti metode campuran, yang umumnya harus berfokus pada masalah-masalah penelitian dalam ilmu sosial humaniora, kemudian menggunakan pendekatan yang beragam untuk memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam tentang problem-problem tersebut. Berdasarkan kajian Cherryholmes (1992), Morgan (2007), dan pandangan saya pribadi, pragmatism pada hakikatnya merupakan dasar filosofis untuk setiap bentuk penelitian, khususnya penelitian metode campuran:
§  Pragmatism tidak hanya diterapkan untuk satu system filsafat atau realitas saja. Pragmatism dapat digunakan untuk penelitian metode campuran yang didalamnya para peneliti bias dengan bebas melibatkan asumsi-asumsi kuantitatif dan kualitatif ketika mereka terlibat dalam sebuah penelitian.
§  Setiap peneliti memiliki kebebasan memilih. Dalam hal ini, mereka bebas untuk memilih metode-metode, teknik-teknik, dan prosedur-prosedur penelitian yang dianggap terbaik untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan mereka.
§  Kaum pragmatis tidak melihat dunia sebagai kesatuan yang mutlak. Artinya, para peneliti metode campuran dapat menerapkan berbagai pendekatan dalam mengumpulkan dan menganalisis data ketimbang hanya menggunakan satu pendekatan saja (jika tidak kuantitatif atau kualitatif).
§  Kebenaran adalah apa yang terjadi pada saat itu. Kebenaran tidak didasarkan pada dualitas antara kenyataan yang berada di luar pikiran dan kenyataan yang ada dalam pikiran.
§  Para peneliti pragmatis selalu melihat apa dan bagaimana memeliti, seraya mengetahui apa saja akibat-akibat yang akan mereka terima, kapan dan dimana mereka harus menjalankan penelitian tersebut.
§  Kaum pragmatis setuju bahwa penelitian selalu muncul dalam konteks sosial, historis, politis, dan lain sebagainya.
§  Kaum pragmatis percaya akan dunia eksternal yang berada diluar pikiran sebagaimana yang berada di dalam pikiran manusia.
§  Untuk itulah, bagi para peneliti metode campuran, pragmatisme dapat membuka pintu untuk menerapkan metode-metode yang beragam, pandangan-dunia yang berbeda-beda, asumsi-asumsi yang bervariasi, serta bentuk-bentuk yang berbeda dalam pengumpulan dan analisis data.[2]
D.     Strategi-Strategi Penelitian
§  Para peneliti hendaknya jangan hanya memilih penelitian kualitatif,kuantitatif,atau metode campuran untuk diterapkan;mereka juga harus menentukan jenis penelitian dalam tiga pilihan tersebut.Strategi-strategi merupakan jenis-jenis rancangan penelitian kualitatif,kuantitatif,dan metode campuran yg menetapkan prosedur-produr khusus dalam penelitian.beberara orang menyebut strategi penelitian dengan istilah pendekatan penelitian (Creswell,2007) atau metodologi penelitian (Mertens,1998).
§  Strategi-strategi yang tersedia bagi peneliti sebenarnya sudah muncul bertahun-tahun lalu saat teknologi komputer tlah mempercepat aktivitas kita dalam menganalisis data-data yg rumit.strategi-strategi tersebut hadir ketika manusia sudah mampu mengartikulasikan prosedur-prosedur baru dalam melakukan penelitian ilmu sosial. Pililah salasatu dari strategi-strategi penelitian yg sering kli di gunakan dalam ilmu sosial.
DAFTAR PUSTAKA
J. Moleong, Lexy. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja            Rosdakarya Offset.
W.Creswell, John. 2010. Research Design : Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan       Mixed. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.


[1]  Lexy J. Moleong "Metodologi Penelitian Kualitatif". (Remaja Rosda Karya: Bandung),. H.49-52.
[2] ohn W.Creswell, "Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed", (Pustaka Pelajar: Yogyakarta),. H.8-17.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini