Jumat, 01 Januari 2016

UAS Soskot_Pengusaha Kecil yang Tangguh_Jaenun Noni, Risna Siti Rahmah, dan Siti Maghfiroh_PMI 3

PENGUSAHA KECIL YANG TANGGUH
"Dissa Syakina Ahdanisa"
(Pemilik Deaf Cafe Fingertalk)

I.     Pendahuluan
A.    Latar Belakang
Sebagian besar masalah yang dihadapi para penyandang disabilitas adalah sulitnya mendapat pekerjaan. Hal ini dikarenakan pandangan ketidakmampuannya, mereka sulit bersaing dengan orang normal. Selain itu, lapangan pekerjaan yang membuka pekerjaan untuk para disabilitas sulit ditemukan. Akibatnya tidak sedikit pengangguran dari kaum disabilitas.

Untuk menjawab permasalahan tersebut sangat dibutuhkan peran wirausaha (entrepreneur), yaitu sumber daya manusia yang memiliki kemampuan yang kreatif, inovatif, dinamis, dan proaktif terhadap tantangan yang ada. Selain itu, dengan adanya peran wirausaha yang mampu melihat peluang dan tantangan yang ada, dapat juga memberi manfaat baik bagi dirinya maupun orang lain. Namun, saat ini menjadi entrepreneur business saja tidak cukup, tetapi sudah seharusnya menjadi social entrepreneur.
Social Entrepreneurship merupakan sebuah istilah turunan dari kewirausahaan. Gabungan dari dua kata, social yang artinya kemasyarakatan, dan entrepreneurship yang artinya kewirausahaan. Pengertian sederhana dari Social Entrepreneur adalah seseorang yang mengerti permasalahan sosial dan menggunakan kemampuan entrepreneurship untuk melakukan perubahan sosial (social change), terutama meliputi bidang kesejahteraan (welfare), pendidikan (education) dan kesehatan (healthcare) (Santosa, 2007).
Perbedaan pokok keduanya terletak pada pemanfaatan keuntungan. Bagi business entrepreneur keuntungan yang diperoleh akan dimanfaatkan untuk ekspansi usaha, sedangkan social entrepreneur keuntungan yang didapat sebagian atau seluruhnya diinvestasikan kembali untuk pemberdayaan masyarakat. Maka, keberhasilan social entrepreneur diukur dari manfaat yang dirasakan oleh masyarakat.
Social Entrepreneur memiliki peran dalam mengurangi angka pengangguran, terutama bagi para penyandang disabilitas yang agak sulit mendapat pekerjaan. Kegiatan Social Entrepreneur secara otomatis menyerap tenaga kerja sehingga memberi kesempatan kerja. Social Entrepreneur merupakan suatu usaha yang dibuat orang kemungkinan besar dibidang pendidikan, kesehatan, lingkungan dan bidang lainnya yang membutuhkan manusia sebagai tenaga kerja.
Salah satu pengusaha Dissa Syakina mendirikan sebuah cafe yang bernama "Deaf Cafe Fingertalk". Cafe yang sengaja dibuat untuk memberdayakan para penyandang disabilitas. Umumnya cafe atau rumah makan selalu menghadirkan pramusaji yang piawai dan pandai berkomunikasi dengan pelanggan. Lalu bagaimana jika sebuah cafe dengan pramusaji yang memiliki keterbatasan pendengaran dan berbicara.
Begitulah yang terjadi di Deaf Cafe Fingertalk yang memiliki lima orang pekerja, dimana semua pramusajinya memiliki keterbatasan pendengaran atau tunarungu. Cafe ini digagas oleh Dissa Syakina, cafe yang bisa memberdayakan orang-orang berkebutuhan khusus seperti tunarungu. Dengan berdirinya cafe ini tentu saja sedikit membuka lapangan pekerjaan bagi para penyandang disabilitas yang kadang sulit mendapat pekerjaan. Selain diberdayakan menjadi pramusaji, di Fingertalk ini dibuka pula workshop bagi para penyandang disabilitas lainnya.
 Oleh karena itu, menarik untuk dikaji lebih lanjut mengenai pengusaha yang bergerak di bidang kuliner ini. Karena tidak hanya sekedar mencari keuntungan dari usahanya tetapi dapat memberi kesempatan kepada penyandang disabilitas untuk dapat bekerja.

B.     Tinjauan Teori
Max Weber adalah sosiolog kelahiran Jerman dan sebaya dengan George Simmel, seorang sosiolog Jerman lainnya. Bagi Weber, sosiologi adalah bertujuan untuk memberikan penjelasan tentang tindakan individu atau menghubungkan mengapa sampai orang bertindak demikian dan untuk apa dia bertindak seperti itu. (Zanden, 1988:19)[1]
Berakar dari pemikiran Max Weber Konstruktivis berfokus pada kekuatan ide yang menjadi kesepakatan bersama. Max Weber mendefinisikan kontruktivis sebagai suatu tindakan indvidu yang berpengaruh terhadap masyarakat sosial. Asumsi dasarnya adalah bahwa ide membentuk realitas. Karena itu realitas bukan hal yang bersifat objektif dan terpisah dari pengamat. Maka dari itu realitas sosial adalah sebuah konstruksi sosial yang intersubjektif. Kontruktivis yang ditelusuri dari pemikiran Weber merupakan suatu ide yang ide tersebut menjadi sebuah realita atau tindakan individu yang disebabkan oleh tindakan sosial tersebut.
Kontruktivis dapat dilihat dari tindakan rasional, berikut empat tipologi tindakan sosial yang dikaji oleh Weber anatara lain: (1) Zweckrationalitat (rasionalitas instrumental), yaitu tindakan yang dilakukan dengan mempertimbangkan tujuan dan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan. Sebuh tindakan yang mencerminkan efektivitas dan efesiensi. (2) Wetrationalitat (rasionalitas tujuan), yaitu tindakan yang melihat alat-alat hanya sekedar pertimbangan dan perhitungan yang sadar, sebab tujuan yang terkait dengan nilai-nilai sudah ditentukan. (3) Tindakan tradisional ialah tindakan yang dilakukan berdasarkan kebiasaan tanpa perencanaan, tanpa refleksi yang sadar. (4) Tindakan efektif, yaitu tindakan yang dilakukan dan didominasi oleh perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan yang sadar.[2]
Selain Weber, tokoh lain yang juga berpendapat sepertinya adalah Peter Ludwing Berger dan Thomas Luckman. Peter L. Berger dan Thomas Luckman mencetuskan sebuah teori sosiologi kontemporer, yaitu kontruksi sosial. Dalam menjelaskan paradigma kontruktivis, realitas sosial merupakan kontruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Individu adalah manusia yang bebas melakukan hubungan antara manusia yang satu dengan yang lain. Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikontruksi berdasarkan kehendaknya.

C.    Metode Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif. Metode penelitian kualitatif digunakan karena studi yang diteliti mengenai peran individu dengan motivasinya mempelopori atau mendirikan sesuatu. Sehingga sesuai dengan teori yang digunakan, yaitu teori Max Weber. Metode pengumpulan data yang berhubungan dengan tindakan sosial individu. Metode ini bertujuan untuk memberikan penjelasan tentang tindakan individu atau menghubungkan mengapa sampai orang bertindak demikian dan untuk apa dia bertindak seperti itu. Selain itu metode kualitatif lebih bersifat fleksibel, dikarenakan melihat sesuatu dari apa adanya bukan dunia yang seharusnya.
Data primer akan diperoleh melalui wawancara mendalam dengan pendiri "Deaf Cafe Fingertalk" dan data sekunder akan diperoleh dari dokumen "Deaf Cafe Fingertalk" untuk menunjang penelitian.

II.  Gambaran Lokasi
Nama Perusahaan          : Deaf Cafe Fingertalk
Bidang Usaha             : Cafe dan Workshop
Pemilik Perusahaan        : Dissa Syakina Ahdanisa
Tanggal Berdiri              : 3 Mei 2015
Alamat                           : Jln. Pinang No. 37, Pamulang Timur, Tangerang Selatan

Lokasi cafe ini dapat mudah ditemui. Masyarakat sekitar lebih sering menyebut Gang Pinang. Lokasi ini tidak jauh dari bundaran pamulang, yaitu ditempuh dari Jalan Dr. Setiabudi.
Setelah memasuki Gang Pinang, ada sebuah papan penunjuk 'Fingertalk' yang mengarah di sebuah rumah bercat kuning. Rumah tersebut didesain menjadi sebuah kafe dengan dominasi warna kuning dan merah muda. Begitu juga meja dan kursi yang dihadirkan variatif baik model maupun warnanya.
Di atas meja makan terdapat daftar isyarat tubuh untuk sapaan sederhana. Bahasa tubuh yang bisa langsung dipraktekkan itu adalah 'makan', 'minum', 'kopi', 'teh', 'enak sekali', 'pedas', 'terimakasih', 'maaf', dan lainnya. Mereka akan memahami jika kita ingin belajar singkat dan langsung mempraktekkan saapan sederhana kepadanya. Para pramusaji akan menunggu jika kita ingin memesan dengan menggunakan isyarat, namun jika ingin lebih cepat bisa langsung tunjuk menu atau menulis langsung di kertas.
 Tidak hanya daftar isyarat tubuh untuk sapaan sedehana saja, dua buah poster terpampang di dinding yang menunjukkan bahasa tubuh untuk huruf A-Z. Hal itu terutama diperuntukkan untuk memperkenalkan nama.
Di dalam cafe terdapat 5 orang yang bekerja yaitu, Nurul (20 tahun) asal Bandung, Friska (25 Tahun) asal Bali, Wawan (27 tahun) asal Jember, Sari (30 tahun) asal Bandung, dan Santi (31 tahun) asal Pamulang. Selain cafe adapula pekerja yang ditempatkan di workshop berjumlah 3 orang dibawah pelatihan Pat Sulistyowati, mereka diberi pelatihan seperti menjahit, merajut, dan membuat kerajinan lainnya.

III.     Hasil Observasi
A.    Profil dan Perjalan Hidup
Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan dapat dianalisis mengenai pengusaha kecil yang tangguh, yaitu Dissa Syakina Ahdanisa sebagai penggagas Deaf Cafe Fingertalk, yang memberdayakan orang-orang tunarungu. Namun, sebelum dianalisis terlebih dahulu mendalami profil pribadi pengusaha. Bagaimana gambaran lingkungan kehidupannya, serta jaringan-jaringan yang dimiliki sehingga dapat mendirikan cafe yang sangat unik ini, atau lebih mudah diingat dengan kisah perjalanan hidupnya sampai mendirikan Cafe tersebut.
Dissa Syakina Ahdanisa, seorang wanita berusia 25 tahun lulusan bisnis administrasi Ritsmumeikan Asia Pacific University (APU), Jepang dan lulusan perbankan Universitas New South Wales, Australia. Dissa merupakan anak sulung dari empat bersaudara.
Dia bekerja sebagai Equity Analyst di sebuah Bank Internasional. Sejak kecil Dissa tumbuh di lingkungan yang dipenuhi dengan kesempatan untuk bekerja sosial, mulai dari bakti sosial di sekolah hingga kunjungan ke panti asuhan bersama keluarga. Termasuk dengan adanya pondok kecil di rumahnya, tempat belajar anak-anak yatim dan dhuafa.
Pengalaman tersebut secara tidak langsung mendorong Dissa untuk terlibat di banyak kegiatan sosial baik di dalam maupun di luar Indonesia. Berkesempatan untuk menuntut ilmu di Jepang dan Australia, Dissa selalu berusaha terlibat dalam kegiatan sosial yang diadakan oleh Universitas tempatnya belajar. Salah satunya adalah ketika Dissa berkesempatan untuk pergi ke India untuk membantu program pemberdayaan perempuan sekaligus mengajarkan bahasa Inggris kepada anak-anak Dalit.
Kegiatannya di India kemudian mendorong Dissa untuk menjadi relawan di tempat yang baru, yaitu di Nikaragua, Amerika Tengah. Disana Dissa membantu mengatur keuangan sebuah NGO lokal sekaligus menjadi asisten pengajar bahasa Inggris. Namun, ada hal lain yang ditemukan disana. Ketika menjadi relawan di Nikaragua sempat berjalan-jalan dan menemukan sebuah cafe dengan konsep semua pramusajinya adalah tunarungu.
Dari situlah bermula keinginan untuk mendirikan cafe dengan konsep serupa di Indonesia. Dissa juga ingin mengikuti jejak sang ibu untuk bisa membantu kaum tunarungu. Dissa ingin mewujudkan impian untuk bisa membangun "sesuatu" bagi para deaf atau tunarungu.
Dissa mengungkapkan, keinginannya sempat redup karena tidak adanya koneksi dengan komunitas deaf. Pada tahun 2004 Dissa bertemu dengan pemilik cafe dengan konsep yang derupa di Nikaragua tempatnya tadi sebagai relawan disana, yaitu Tio Antonio, seorang pria asal Spanyol, yang memberi nama cafenya "Cafe de la Sonrisas". Terinspirasi dengan Cafe de la Sonrisas, Dissa membawa pengalamannya ke tanah air dan mendirikan Deaf Cafe Fingertalk untuk memberikan kesempatan yang sama bagi penyandang tunarungu di Indonesia.
Sejak lama Dissa mempunyai keinginan yang bisa memberdayakan orang-orang dengan kebutuhan khusus seperti tunarungu. Maka di usianya yang ke 25 tahun inilah Cafe itu terwujud. Tepatnya pada hari Minggu, 3 Mei 2015 cafe ini dibuka. Diresmikan oleh Walikota Tangerang Selatan, Airin Rachmi Diany bersedia hadir setelah orangtua Dissa mengirimkan surat undangan ke kantor Ibu Airin Rachmi Diany. Sejak saat itu, cafe yanag juga menyediakan workshop bagi para tunarungu ini resmi dibuka.
Deaf Cafe Fingertak, merupakan kafe tunarungu pertama di Indonesia. Sebuah kafe dan workshop yang memberdayakan para tunarungu dari kalangan pemuda hingga lansia. Kafe ini diharapkan bisa menambah lapangan pekerjaan baru bagi para tunarungu, sekaligus menambah keahlian yang mereka miliki dengan program pelatihan menjahit dan menyulam. Fingertalk juga berupaya menjadi sarana belajar bahasa isyarat serta wadah bertemunya teman-teman tunarungu dengan orang-orang yang mendengar (hearing), sehingga kedepannya dapat menghapus stigma-stigma negatif tentang teman-teman difabel yang sering muncul di masyarakat.
Niat baiknyapun tidak berjalan mulus, mengangkat tunarungu sebagai pekerja bukan hal yang mudah.  Ternyata jalan Dissa untuk menembus komunitas deaf tidak semulus dugaannya. Bahkan sebelum cafe ini berdiri Dissa harus menunggu hingga lima bulan, sejak Desember 2014. Untuk bertemu dengan karyawannya saat ini, mereka satu per satu harus didekati dengan cara khusus untuk menyampaikan maksud Dissa. Dissa pun akhirnya meminta bantuan Pat Sulistyowati, mantan Ketua Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia. Pat menyambut baik Dissa dan menyanggupi untuk membantu. Pat adalah seorang guru keterampilan. Dia juga membuka les jahit di rumahnya khusus untuk tunarungu.
Setelah kini Dissa berhasil mendirikan dan merekrut para pegawai, perjuangan Dissa pun tidak terhenti sampai disitu saja. Dissa harus belajar agar dapat menemukan pola kerjasama yang sesuai dengan pegawainya. Sebab, mereka dinilai memiliki perasaan yang lebih sensitif ketimbang pegawai yang normal pada umumnya.
Saat tidak nyaman dalam suatu keadaan contohnya, raut wajah mereka akan langsung jelas menggambarkan hal tersebut. Untungnya, sebelum memutuskan terjun dalam dunia bisnis ini, Dissa belajar bahasa dari Pat. Dia belajar bahasa isyarat, memahami sifat-sifat mereka, serta cara berkomunikasi dengan baik kepada mereka.
Dengan adanya Fingertalk ini, Dissa ingin menunjukkan lebih banyak lagi nilai tambah yang dimiliki oleh para teman-teman difabel. Sebagai pemuda Indonesia dan dengan dukungan dari keluarga dan teman-teman. Dissa yakin dapat mencapainya, ujar Dissa. Sekarang Dissa Syakina Ahdanisa masuk dalam nominasi "Penghargaan Pemuda Indonesia 2015" kategori "Wirausaha Berbasis Sosial" yang diselenggarakan oleh Kementrian Pemuda dan Olahrga.

B.     Analisis
Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan dan telah mengetahui sekilas profil serta bagaimana perjalanan hidup Dissa Syakina Ahdanisa untuk mendirikan Cafe Fingertalk ini maka dapat dianalisis sesuai dengan apa yang diamati. Dari beberapa cafe yang ada, kafe ini sangat menarik. Bukan karena bentuk kafenya atau menunya, tetapi dari para pramusajinya. Cafe dengan nama Fingertalk yang berarti berbicara dengan jari ini memang menarik. Pramusajnya semuanya tunarungu. Tentu saja menjadi peluang bagi para penyandang disabilitas khususnya tunarungu yang memunyai keahlian tetapi sulit mendpat pekerjaan.
 Pertama, hasil pengamatan yang telah dilakukan dapat dianalisis dengan merujuk pada teori sosial yang kemukakan oleh Max Weber yaitu, teori kontruktivis. Dalam teori Max Weber dijelaskan bahwa individu manusia dalam masyarakat merupakan aktor yang kreatif. Oleh karena itu dalam hal ini yang dianalisis berhubungan dengan tindakan sosial individu. Hal ini untuk memberikan penjelasan tentang tindakan individu atau menghubungkan mengapa sampai orang bertindak demikian dan untuk apa dia bertindak seperti itu.
Dari hal yang dilakukan oleh Dissa Syakina Ahdanisa ini sesuai dengan teori Weber yaitu, sebagai aktor atau orang yang mempelopori. Dia dapat melihat peluang dan tantangan yang ada disekitarnya. Max Weber mendefinisikan kontruktivis sebagai suatu tindakan indvidu yang berpengaruh terhadap masyarakat sosial. Asumsi dasarnya adalah bahwa ide membentuk realitas. Dissa Syakina Ahdanisa menjadi pengusaha di bidang kuliner ini dengan mendirikan Deaf Cafe Fingertalk bukan hanya sekedar untuk mencari keuntungan diri sendiri. Melainkan dapat juga membantu dan memberdayakan para penyandang disabilitas khususnya tunarungu yang sulit mencari lapangan pekerjaan dan sering kali ditolak dalam melamar pekerjaan yang jelas sangat dirasakan  bagi para penyandang tunarungu yang sulit mendapat pekerjaan.

"Saya ingin tunarungu punya akses pada pekerjaan, saya bikin kafe ini biar masyarakat berbaur dengan orang tunarungu."

Kedua, dari bentuk usaha ini merupakan bentuk usaha yang tergolong dalam social entrepreneurship. Social Entrepreneurship merupakan sebuah istilah turunan dari kewirausahaan. Dimana memasukan unsur sosial dalam berwirausaha. Dissa Syakina Ahdanisa ini jelas sekali sebagai social entrepreneur (wirausaha sosial) karena bisa memberdayakan para penyandang disabilitas khususnya penyandang tunarungu yang sulit mendapatkan pekerjaan. Maka jika dianalisis Dissa Syakina Ahdanisa sesuai digolongkan kedalam social entrepreneur karena jelas manfaat yang dirasakan bukan hanya untuk dirinya sendiri melainkan bisa dirasakan oleh orang lain.
Perbedaan pokok dari pengusaha bisnis pada umumnya terletak pada pemanfaatan keuntungan. Bagi business entrepreneur keuntungan yang diperoleh akan dimanfaatkan untuk ekspansi usaha, sedangkan social entrepreneur keuntungan yang didapat sebagian atau seluruhnya diinvestasikan kembali untuk pemberdayaan masyarakat. Maka, keberhasilan social entrepreneur diukur dari manfaat yang dirasakan oleh masyarakat.
Social Entrepreneur memiliki peran dalam mengurangi angka pengangguran, terutama bagi para penyandang disabilitas yang agak sulit mendapat pekerjaan. Kegiatan Social Entrepreneur secara otomatis menyerap tenaga kerja sehingga memberi kesempatan kerja.
Salah satu contohnya adalah Nurul Andriyani, perempuan berusia 20 tahun asal Bandung ini sering kali ditolak saat melamar pekerjaan. Sejak lulus dari Sekolah Luar Biasa (SLB), Nurul sudah lima kali ditolak saat melamar pekerjaan. Begitu juga dengan cerita pramusaji dan pegawai lainnya, yang semuanya hampir dengan kisah yang sama. Disini memang sangat terlihat jelas dengan adanya wirausaha sosial memang jelas sangat membantu dalam membuka lapangan pekerjaan, khususnya bagi para penyandang tunarungu yang sering ditolak saat melamar pekerjaan.
Ketiga, dari segi komunikasi. Dengan hadirnya Cafe Fingertalk yang terkesan unik ini tentu saja mengundang banyak pengunjung untuk berkunjung ke kafe ini. Selain untuk sekedar makan, sebagian tamu yang datang karena tertarik dengan pramusajinya yang tunarungu. Para tamu-tamu yang berkunjung ke Cafe Fingertalk ini dapat mempelajari bahasa isyarat yang disediakan di setiap meja makan. Jadi yang membuat cafe ini berbeda selain pramusajinya adalah tunarungu dengan level pendengaran yang berbeda, kafe ini juga menggunakan cara-cara untuk berkomunikasi. Untuk lebih mudah berkomunikasi akhirnya cafe ini menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi. Dissa dengan pramusaji, pramusaji dengan sesama pramusaji dengan menepuk pundak dan pramusaji dengan tamu-tamu yang berkunjung ke kafe. Di kafe ini tersedia aneka panduan cara menggunakan bahasa isyarat. Diantaranya poster dalam huruf alfabet dengan bahasa isyarat dan panduan lainnya seperti cara dan instruksi memesan makanan yang tergambar lewat gambar.
Tidak banyak restoran yang mau mempekerjakan pramusaji para penyandang tunarungu seperti pramusaji di Cafe Fingertalk ini. Jadi semua pramusaji di Cafe Fingertalk ini dilatih secara mandiri, tapi jika komunikasi antara pramusaji dan tamu terlihat sulit kafe ini pun menyediakan kertas dan pulpen agar memudahkan tamu untuk dapat memesan makanan agar cepat dimengerti oleh pramusaji.
Banyak dari mereka pramusaji tunarungu yang bertemu dengan masyarakat luas, teman-teman tunarungu menjadi lebih percaya diri dan termotivasi untuk bekerja lebih keras, giat, dan ramah juga.
Hadirnya Cafe Fingertalk ini selain diharapkan bisa menambah lapangan pekerjaan baru bagi para tunarungu. Cafe Fingertalk juga menjadi sarana belajar bahasa isyarat serta wadah bertemunya teman-teman tunarungu dengan orang-orang yang mendegar (hearing), sehingga kedepannya dapat menghapus stigma-stigma negatif tentang teman-teman difabel yang sering muncul di masyarakat.

"Kami ingin di Fingertalk ini masyarakat yang mendengar, yang hearing, tidak tunarungu itu bisa, mau belajar bahasa isyarat Indonesia dan berkomunikasi dengan teman-teman tunarungu. Jadi walaupun mereka tidak di Fingertalk, setidaknya mereka diluar bisa menyapa para tunarungu atau jika para tunarungu butuh bantuan di jalan mereka bisa sedikit-sedikit membantu, dan saya dan teman-teman disini sudah sangat senang."

Kepedulian pemeliknya mendapat respon positif dari masyarakat. Selain karena berkomunikasi di kafe ini unik, pramusajinya juga ramah sehingga membuat kita menjadi nyaman. Kita dapat  belajar serta memahami satu sama lain.
Selain masyarakat pada umumnya, kafe ini juga sering mendapat kunjungan dari komunitas tunarungu alhasil kafe ini setiap sudut ruangannya selalu ramai. Pengunjung yang datang pada Jumat, Sabtu, Minggu sekitar 20 sampai 30 orang, untuk  hari-hari biasa hanya sekitar 10 sampai 15 orang. Walau memiliki keunikan Dissa tidak ingin masyarakat menilainya hanya dari segi pegawainya saja semata yang khusus karena tunarungu. Tetapi, kualitas makanan dan penyajian juga sangat diperhatikan. Dari sisi inovasi Dissa banyak membuat menu-menu baru. Agar lebih dikenal luas Dissa sering memasarkan kafe dan menu-menu makanannya melalui sosial media.
Selanjutnya, selain pemberdayaan tunarungu sebagai pramusaji. Fingertalk juga melakukan pemberdayaan kreatifitas tunarungu yang tertuang melalui berbagai aneka ragam kerajinan. Lewat workshop di Cafe Fingertalk ini para difabel khususnya tunarungu bisa mendapat kesempatan untuk belajar menyulam, menjahit, dan membuat produk konveksi yang unik dan menarik.
Dengan berdirinya Cafe dan Workshop Fingertalk ini Dissa dan kawan-kawan membuktikan bahwa tidak ada hambatan dan batasan bagi para penyandang tunarungu dalam bekerja dan berkreatifitas. Selain itu teman-teman tunarungu tidak ada batasan untuk bisa bersosialisasi dengan siapapun itu, dan semua terlihat sama seperti masyarakat umum lainnya.
Dari beberapa poin-poin yang telah dianalisis yang sekiranya tadi bersifat positif. Namun, disisi lain tentu saja dalam berwirausaha tidak selalu berjalan mulus. Niat baiknyapun tidak selamanya berjalan mulus sesuai dengan harapan. Merekrut tunarungu sebagai pegawaipun bukan hal yang mudah. Dissa pun akhirnya meminta bantuan Pat Sulistyowati (Mantan Ketua Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia). Dissa juga terlibat komunikasi antara pramusaji dan tamu. Disini Dissa memperlakukan karyawannya secara profesional.

"Jadi sekarang kitapun on the job training, jadi bertemu dengan tamu langsung dicoba bagaimana cara menghandle, jika ada problem langsung result on the spot, sangat menantang untuk mereka juga." Ujar Dissa

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan terlihat dan dapat dianalisis. Sebagai pengusaha tentu saja banyak mengalami suka dan duka dalam wirausaha. Terutama sebagai sosial entrepreneur karena keberhasilannya tidak hanya diukur dari berapa banyak keuntungan yang diperoleh oleh diri sendiri, melainkan berapa besar manfaat yang dapat dirasakan oleh orang lain atau masyarakat.
Secara garis besar kita bisa mengetahui poin-poin penting dari pengamatan yang telah dilakukan. Pertama, ada hal yang membedakan Cafe Fingertalk dengan tempat makan lain pada umumnya. Hal yang membedakan Cafe Fingertalk ini berbeda dengan tempat makan lainnya selain pramusajinya para penyandang tunarungu, agar lebih mudah berkomunikasi antara satu sama lain maka Cafe Fingertalk ini menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi. Antara Dissa dengan pramusaji, pramusaji dengan sesama pramusaji, dan juga antara pramusaji dengan para tamu yang berkunjung ke Cafe Fingertalk ini. Kedua, cara pengunjung memesan makanan bisa dengan menggunakan bahasa isyarat yang tersedia dalam bentuk buku, namun bisa langsung menunjuk menu ataupun menulis langsung di kertas yang disediakan. Ketiga, di Fingertalk ini selain teman-teman tunarungu yang bekerja sebagai pramusaji, adapula yang diberdayakan melalui workshop dibawah pelatihan Pat Sulistyowati yaitu, pelatihan menyulam dan menjahit.
Selain suka dan duka, terdapat pula kelebihan dan kekurangan dari didirikannya Cafe Finger Talk ini yang telah dijabarkan tadi diatas. Baik itu dari faktor internal maupun eksternal, contohnya dari faktor internal bagaiamana kekuatan (Strength) dari didirikan kafe ini dan kelemahan (weakness) dari kafe ini pula. Sedangkan jika dilihat dari faktor eksternal kita bisa melihat dari peluang (opportunities) yang ada. Namun, juga harus diperhatikan ancaman (Threats), ancaman yang paling dikhawatirkan adalah keacuhan konsumen. Biasanya konsumen hanya tertarik terhadap apa yang menjadi ikon populer saat ini apa.
Namun, dari kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, tetap saja dengan didirikannya Namun, dari kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, tetap saja dengan didirikannya Cafe dan Workshop Fingertalk oleh Dissa Syakina Ahdanisa ini setidaknya memberi manfaat bagi masyarakat sekitar. Jenis wirausaha ini tidak hanya sekedar mencari keuntungan semata seperti business entrepreneur, yang keuntungannya akan dimanfaatkan untuk ekspansi usaha.
Tetapi dengan didirikannya Cafe Fingertalk dan adapula workshop di dalamnya sama-sama bagi para penyandang tunarungu lebih menjadi social entrepreneur, keuntungan yang didapat sebagian atau seluruhnya diinvestasikan kembali untuk orang lain yang telibat aktif sebagai pekerja. Maka, keberhasilan social entrepreneur diukur dari manfaat yang dirasakan oleh orang lain.
Secara luas, kita dapat mengatakan bahwa  social entrepreneurhip merupakan istilah dari segala bentuk aktivitas yang bermanfaat secara sosial. Entrepreneur sosial adalah orang-orang yang mampu menciptakan sesuatu yang dapat mempengaruhi paradigma dan memenuhi kebutuhan masyarakat.
Sebagai seorang wirausaha Dissa Syakina Ahdanisa sudah bisa membuktikan bahwa untuk menjadi pengusaha yang tangguh pasti akan melalui banyak proses untuk menuju harapan yang diinginkan. Kiranya sampai saat ini usaha yang baru dirintisnya selama enam bulan ini sudah cukup membanggakan, karena Dissa Syakina Ahdanisa tidak hanya sebatas menjadi seorang wirausaha biasa melainkan mampu menjadi seorang social entrepreneur yang bisa membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain. Khususnya bagi para penyandang tunarungu yang sulit mendapat pekerjaan dan sering ditolak ketika melamar pekerjaan.
Namun dalam pandangan global, dikotomi smacam itu kian kabur. Mereka (business entrepreneur dan social entrepreneur) sesungguhnya berbicara dalam bahasa yang sama, yaitu inovasi, manajemen, efektivitas, mutu, dan kompetisi.

IV. Kesimpulan
Menjadi pengusaha yang tangguh pasti harus melalui tahapan-tahapan atau proses untuk mendapatkan hasil sesuai harapan. Namun menjadi pengusaha yang tangguh bukan hanya memikirkan keuntungan untuk diri sendiri tetapi, mampu memberikan manfaat bagi orang lain atau masyarakat. Terutama bagi para penyandang disabilitas seperti tunarungu yang sulit mendapat pekerjaan.
Untuk menjawab permasalahan tersebut sangat dibutuhkan peran wirausaha (entrepreneur), yaitu sumber daya manusia yang memiliki kemampuan yang kreatif, inovatif, dinamis, dan proaktif terhadap tantangan yang ada. Selain itu, dengan adanya peran wirausaha yang mampu melihat peluang dan tantangan yang ada, dapat juga memberi manfaat baik bagi dirinya maupun orang lain. Namun, saat ini menjadi entrepreneur business saja tidak cukup, tetapi sudah seharusnya menjadi social entrepreneur.
Salah satu pengusaha Dissa Syakina mendirikan sebuah cafe yang bernama "Deaf Cafe Fingertalk". Cafe yang sengaja dibuat untuk memberdayakan para penyandang disabilitas. Dengan adanya kafe ini tentu saja memberikan kemudahan bagi penyandang disabilitas untuk mendapatkan pekerjaan.
Tindakan Dissa ini sesuai dengan teori Max weber yaitu kontruktivis, dijelaskan bahwa individu manusia dalam masyarakat merupakan aktor yang kreatif. Hal ini untuk memberikan penjelasan tentang tindakan individu atau menghubungkan mengapa sampai orang bertindak demikian dan untuk apa dia bertindak seperti itu.
Max Weber juga mendefinisikan kontruktivis sebagai suatu tindakan indvidu yang berpengaruh terhadap masyarakat sosial. Asumsi dasarnya adalah bahwa ide membentuk realitas. Dissa Syakina Ahdanisa menjadi pengusaha di bidang kuliner ini dengan mendirikan Deaf Cafe Fingertalk bukan hanya sekedar untuk mencari keuntungan diri sendiri. Melainkan dapat juga membantu dan memberdayakan para penyandang disabilitas khususnya tunarungu yang sulit mencari lapangan pekerjaan dan sering kali ditolak dalam melamar pekerjaan yang jelas sangat dirasakan  bagi para penyandang tunarungu yang sulit mendapat pekerjaan.

DAFTAR PUSTAKA

Lupiyoadi, Rambat. 2007. Entrepreneurship: From Mindset to Strategy. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Nurdin, Amin & Ahmad Abrori. 2006. Mengerti Sosiologi: Pengantar untuk Memahami Konsep-Konsep Dasar. Jakarta: UIN Jakarta Press.
Sarosa, Samiaji. 2012. Penelitian Kualitatif: Dasar-Dasar. Jakarta: Indeks.
Wirawan, I. B. 2012. Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma: Fakta Sosial, Definisi Sosial, Dan Perilaku Sosial. Jakarta: KENCANA.


[1] Drs. M. Amin Nurdin, MA & Ahmad Abrori, M. Si, Mengerti Sosiologi: Pengantar untuk Memahami  Konsep-konsep Dasar, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), hlm. 10.
[2] Prof. Dr. I. B. Wirawan, Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma: Fakta Sosial, Definisi Sosial, & Perilaku Sosial, (Jakarta: KENCANA, 2012), hlm. 101.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini