Sabtu, 15 Desember 2012

Atika Suri_Laporan 6_konflik sosial: kerusuhan Poso

KONFLIK SOSIAL BERNUANSA AGAMA: TRAGEDI KERUSUHAN POSO
Oleh: Atika Suri (1112051100009)
Jurnalistik 1A
 
I.                   Latar Belakang
Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977) konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada bangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan diantara dua pihak atau lebih secara berterusan. Disisi lain, Gibson dalam et al (1997 : 437) beranggapan bahwa konflik dilahirkan dari hubungan yang saling tergantung, hal ini terjadi jika masing-masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain. Sedangkan Pace dan Faules (1994 : 249) menyatakan bahwa konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan didiami.
Sebagai makhluk sosial, manusia hidup bermasyarakat sehingga mau tidak mau, sadar tidak sadar, interaksi antar makhluk sosial dalam hal ini masyarakat akan senantiasa terjadi. Intensitas interaksi yang terjadi itulah yang menjadi salah satu faktor penyebab timbulnya konflik, karena melalui interaksi seseorang dapat menemukan kecocokan dengan orang lain, dan bahkan sebaliknya seseorang dapat menemukan ketidak cocokan dari orang lain, yang pada tahap lebih lanjut dapat memunculkan konflik, hal yang sangat tidak diharapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Ketidak cocokan itu bisa timbul karena tidak adanya rasa saling pengertian dan toleransi terhadap perbedaan, baik itu perbedaan ras, agama, suku, maupun bangsa. Bahkan dalam hal konflik semacam ini, perbedaan pemikiran, pendapat, dan sudut pandang pun dapat memicu terjadinya konflik. Konflik akan terjadi dan terus berkembang jika tidak dicegah atau tidak ada upaya untuk menanggulanginya.
Konflik dalam masyarakat dapat terjadi antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan individu, maupun antara kelompok dengan kelompok. Konflik antar kelompok ini merupakan konflik yang sering muncul, atau dengan kata lain "terekspouse" karena melibatkan banyak pihak. Salah satu contoh konflik semacam ini adalah kerusuhan yang sempat terjadi di wilayah Poso, Sulawesi Tengah, yang sempat dirasakan secara langsung oleh rekan dari peneliti sendiri, karena itulah peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai kerusuhan yang pernah terjadi di Poso.
 
II.                Pertanyaan Pokok Penelitian
1.       Bagaimana latar belakang munculnya kerusuhan di Poso, dan upaya apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah?
 
III.             Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode kualitatif dengan penggabungan teknik wawancara serta gathering data. Narasumber pada penelitian kali ini adalah Muhammad Taufiq, mahasiswa Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Jogjakarta, rekan peneliti yang merasakan langsung kejadian kerusuhan di Poso saat itu. Wawancara dilakukan dengan menggunakan media komunikasi telepon genggam dikarenakan narasumber saat ini menetap di Jogjakarta, sedangkan peneliti menetap di Jakarta. Disamping itu peneliti juga menggunakan teknik gathering data dengan menggunakan buku terkait. Adapun penelitian ini dilaksanakan pada 14 Desember 2012.
 
IV.             Gambaran Subjek penelitian
Kabupaten Poso Sulawesi Tengah merupakan suatu wilayah yang memiliki panorama alam yang indah, berjarak 219 kilometer dari ibukota provinsi Palu, terbentang dari arah tenggara ke barat teluk tomini dan teluk talo. Kabupaten ini mempunyai luas sebesar 7.897 dan jumlah penduduknya pada tahun 2012 mencapai 213.096 jiwa. Ibu kota kabupaten ini terletak di kota Poso.
Pada mulanya penduduk yang mendiami daerha Poso berada di bawah kekuasaan pemerintah ra-raja yang terdiri dari raja Poso, raja Napu, raja Mori, raja Toro, raja Una Una dan raja Bungku yang satu sama lain tidak ada hubungannya.
Keenam wilayah kerajaan tersebut dibawah pengaruh tiga kerajaan, yakni: wilayah bagian selatan tunduk kepada kerajaaan Luwu yang berkedudukan di Palopo, sedangkan wilayah bagian utara tunduk dibawah pengaruh raja Sigi yang berkedudukan di Sigi (daerah kabupaten Donggala) dan khusus wilayah bagian timur yakni daerah Bungku termasuk daerah kepulauan tunduk kepada raja Ternate.
Sejak tahun 1880 pemerintah Hindi Belanda di Sulawesi bagian utara mulai menguasai Sulawesi tengah dan secara berangsur-angsur berusaha untuk melepaskan pengaruh raja Luwu dan raja Sigi di daerah Poso.
Pada 1918 seluruh wilayah Sulawesi Tengah dalam lingkungan kabupaten Poso yang sekarang telah dikuasai oleh Hindia Belanda dan mulailah disusun pemerintahan sipil. Kemudian oleh pemerintah Belanda wilayah Poso dalam tahun 1905-1918 terbagi dalam dua kekuasaan  pemerintah, sebagian masuk wilayah keresidenan Manado, yakni Onderafdeeling (kedewaan) Kolonodale dan Bungku, sedangkan kedudukan raja-raja dan wilayah kekuasaanya tetap dipertahankan dengan sebutan Self Bestuure-Gabieden (wilayah kerajaan) berpegang pada peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda yang disebut Self Bestuure atau Peraturan Adat Kerajaan (hukum adat).
Pada 1919 seluruh wilayah Poso digabungkan dialihkan dalam wilayah keresidenan Manado dimana Sulawesi Tengah terbagi dalam dua wilayah yang disebut Afdeeling, yaitu: Afdeeling Donggala dengan ibu kotanya Donggala dan Afdeeling Poso dengan ibu kotanya kota yang dipimpin oleh masing-masing Asisten Residen.
Sejak 2 Desember 1948, Daerah Otonom Sulawesi Tengah terbentuk yang meliputi Afdeeling Donggala dan Afdeeling Poso dengan ibukotanya Poso yang terdiri dari tiga wilayah Onder Afdeeling Chef atau lazimnya disebut pada waktu itu Kontroleur Atau Hoofd Van Poltseyk Bestuure (HPB).
 
V.                Analisis
Kerusuhan Poso pada awalnya disebabkan oleh perselisihan remaja yang kemudian membesar atau dibesar-besarkan oleh provokator. Kerusuhan itu dimulai pada tahun 1996. Pada kerusuhan yang terjadi di Poso saat itu, sistem penyerangan yang dilakukan bermacam-macam, yaitu ada yang melakukan serangan dengan frontal fisik, gerilya, atau bahkan saling serang fasilitas. Awalnya kerusuhan ini dimulai dengan penculikan, penemuan mayat, serta kerusakan fasilitas, namun kemudian berkembang ke penyerangan fisik secara langsung dan terang-terangan. Adapun wilayah cakupan konflik untuk kasus kontak fisik berada di kota, sedangkan untuk gerilya dan kasus kehilangan terjadi terjadi di pesisir.
Target korban pada penculikan dan pembunuhan yang dilakukan pada saat itu adalah bukan hanya orang-orang tertentu yang dianggap "layak" untuk dibasmi, melainkan juga target-target lain secara sembarang selama ada kesempatan. Pihak yang berkonflik pada peristiwa ini terbagi menjadi dua kubu, yang mengatas namakan sebagai kubu putih (kaum muslim) dan kubu merah (kristen), yang masing-masing kubu ini memiliki pemimpin namun tidak jelas siapa pemimpinnya.
Konflik ini bisa terus berkembang dan berkepanjangan meskipun para orang tua senantiasa menghindari dampak konflik pada anak, disebabkan karena ulah provokator yang tak bertanggung jawab. Cara provokator melakukan provokasinya adalah dengan merusak fasilitas satu pihak dan mengkambinghitamkan pihak yang lain, atau dengan kata lain dengan cara "adu domba", namun motif pelaku belum diketahui sejauh ini.
Tragedi kerusuhan poso merupakan konflik horizontal antara kelompok muslim dan kristen. Identitas kedua kelompok ini terlihat secara gamblang dalam proses kerusuhan terutama dari segi-segi keterlibatan, keberpihakan, sasaran yang dipilih serta media dan simbol-simbol keagamaan yang digunakan oleh tokoh dan pendukung masing-masing kelompok. Luputnya transmigran asal Bali (Hindu) dari sasaran amuk massa kelompok merah yang berada di satu jalur dengan lokasi transmigran muslim yang dihancurkan, menguatkan dugaan bahwa konflik ini adalah antar kelompok agama dan bukan antar etnis. Namun begitu agama bukan merupakan penyebab utama. Peran agama lebih berfungsi selaku faktor pengiring yang datang belakangan yang dimanfaatkan oleh masing-masing kelompok untuk menggalang solidaritas dan memicu semangat kelompok, sehingga suasana konflik menajam dan eskalasi kerusuhan makin sulit dikendalikan. Sementara pemicu utamanya lebih banyak diakibatkan praktek-praktek tidak sehat diseputar perebutan kekuasaan dan sumberdaya ekonomi, keterbatasan aparat keamanan, krisis kepemimpinan dan pemerintahan yang tidak efektif, supremasi hukum yang mandul, masih kentalnya budaya ingin menang dan benar sendiri, serta nuansa reformasi dan globalisasi yang cenderung makin liar, nakal, dan lepas kendali.
Berlarut-larutnya kerusuhan sehingga menjadi bencana nasional, banyak peredaran senjata dan amunisi ke tangan masyarakat, pengakuan dan indikasi adanya latihan kemiliteran serta penyerangan mendadak yang terencana bahkan sinyalemen keterlibatan pihak asing, serta penggalian (kuburan massal), menunjukkan tidak berfungsinya aparat keamanan. Oleh karena itu peningkatan personel kepolisian, keterampilan, fungsi intelejen, sarana dan fasilitas keamanan sesuai dengan luasnya wilayah dan kompleksitas masalah merupakan kebutuhan mendesak. Kondisi dan situasi Poso pasca Deklarasi Malino, yang semakin baik, lantaran kebijakan yang bersifat darurat seperti banyaknya pos-pos penjagaan dengan droping tenaga bantuan tersebut ditarik kembali, dikhawatirkan akan menjadi rawan kembali. Perlu disusun kebijakan jangka panjang.
Ditilik dari komposisi penduduk menurut agama, terdapat dua kelompok agama yang dominan yakni islam dan kristen, meskipun terdapat juga agama lain seperti hindu, katolik, dan budha. Kelompok islam sebagian besar pendukung aspirasi NU dengan pengaruh al-khairat yang berpusat di Palu sangat kuat. Sementara kelompok kristen didominasi protestan dengan sinode gereja kristen sulawesi tengah yang berpusat di tentena. Konsentrasi kelompok agama ini, sangat menguntungkan upaya pembinaan oleh setiap kelompok, tapi juga mudah dimanfaatkan sebagai tenaga pendukung, serta sasaran tembak bagi kepentingan masing-masing kelompok. Tambahan pula kerusuhan intensif dan berkepanjangan, sangat efektif meningkatkan sikap militansi keagamaan kelompok yang dapat mempertajam konflik dan rasa permusuhan. Selain itu dominasi kelompok merupakan lahan subur bagi tumbuh kembangnya praktek KKN, perlakuan tidak adil atau tekanan berlebihan terhadap kelompok minoritas dan lemah yang pada gilirannya banyak mengundang protes, perlawanan serta konflik yang makin menajam.
Orientasi kekuasaan dan jabatan berlebihan yang terus berkembang sampai saat ini, selain menyuburkan praktek KKN yang terkesan dibiarkan dengan pengawasan longgar, telah menggerogoti dan membuat keropos sebagian besar lembaga dan pranata publik, baik dipemerintahan maupun di kalangan swasta. Ditengah kondisi seperti ini, berkembang persaingan sengit dan tidak sehat. Masing-masing pesaing dengan kelompok pendukungnya saling menyingkirkan dan menjatuhkan lawannya dengan beragam cara bila perlu dengan kekerasan dan cara-cara lain yang tak pantas menurut ukuran normatif dan ketentuan berlaku. Konon jabatan bupati dan posisi-posisi bergengsi di kabupaten Poso yang sebelumnya dipegang oleh kelompok kristen, dua periode terakhir beralih tangan ke kelompok muslim. Hal ini diduga menimbulkan kekecewaan pihak kristen dan berusaha merebutnya kembali. Wacana yang berkembang bagi kemungkinan pemekaran wilayah Poso lebih dari suatu kabupaten, sehingga kedua kelompok mendapatkan porsi, merupakan salah satu alternatif yang mungkin perlu dipertimbangkan, tentunya tanpa harus mengorbankan faktor-faktor objektif dan ketentuan yang berlaku. Andaikata alternatif tersebut yang diambil, hendaknya diatur sedemikian rupa agar tidak mengundang gejolak dan konflik baru.
Efektifitas pemerintahan dan penegak hukum yang banyak dinilai tidak menjalankan fungsi dengan baik , merupakan salah satu aspek yang memicu muncul dan berlarut-larutnya konflik. Proses peradilan terhadap para tokoh dan pelaku kerusuhan yang tidak terselesaikan sampai saat ini, serta pengembalian milik korban kerusuhan, merupakan salah satu kunci penyelesaian konflik kerusuhan Poso yang harus dituntaskan.
Dampak modernisasi dan globalisasi, disamping meningkatkan kesejahteraan, sekaligus juga mengakibatkan erosi dan distorsi nilai dan norma-norma yang mengaburkan batas-batas benar salah dan baik buruk yang selama ini dijadikan acuan masyarakat.
Luka dendam dan frustasi mendalam yang diderita para korban kerusuhan, selain memerlukan bimbingan kerohanian melalui berbagai kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan, harus ditopang dengan usaha yang lebih banyak lagi secara serius, terarah, terencana, terprogram, dan terus menerus dari semua pihak agar mereka dapat berupaya menjalani kehidupan keseharian mereka secara wajar dan layak.
Untuk menyelesaikan dan mencegah konflik, dibutuhkan manejemen konflik melalui latihan atau training  yang intensif, dan terarah dengan memanfaatkan jasa pakar dari berbagai pihak terkait. Pesertanya terdiri dari para tokoh dan tenaga lokal masing-masing wilayah setempat yang berasal dari segenap lapisan masyarakat. Dengan begitu diharapkan tiap wilayah memiliki tenaga-tenaga kader mandiri yang sewaktu-waktu bisa diminta bantuan dan jasanya, baik untuk menangani persoalan konflik yang berlangsung, maupun persoalan konflik lain muncul kemudian.
 
 
DAFTAR PUSTAKA
ü  Buku: Konflik Sosial Bernuansa Agama Di Indonesia, Diterbitkan Oleh : Departemen Agama RI, Badan Litbang Agama Dan Diklat Keagamaan, Puslitbang Kehidupan Beragama, Bagian, Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama : Jakarta, 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini