KISAH SUKSES PEJUANG EKOLOGI
Lubang resapan biopori adalah lubang silindris yang dibuat secara vertikal ke dalam tanah dengan diameter 10 cm dan kedalaman 100 cm atau kurang jika air tanah dangkal. Selanjutnya agar organisme tanah bisa bekerja membentuk biopori, lubang yang sudah dibuat tersebut diisi dengan sampah organik sebagai makanan organisme tanah. Pengisian sampah tersebut diatur sedemikian rupa sehingga tidak terlalu padat agar tersedia ukup oksigen untuk mendukung organisme tanah pembentuk biopori. Ukuran diameter 10 cm merupaka ukuran yang sudah dipikirkan secara cermat oleh Kamir R. Brata. Jika kurang dari 10 cm maka akan sulit untuk memasukkan sampah ke dalam lubang tersebut. Ukuran 10 cm juga membuat tikus enggan masuk karena meskipun bisa masuk namun tidak bisa berbelok. Kedalaman 100 cm juga diperhitungkan agar tersedia cukup oksigen agar sampah yang dimasukkan segera diolah oleh organisme tanah sebelum mengalami pembusukan yang menghasilkan gas metan. Kedalaman yang kurang dari kedalaman air muka tanah tersebut juga dimaksudkan agar air yang masuk mengalami proses bioremediasi sebelum masuk ke dalam air tanah.
Penemu dan Pencetus Lubang Resapan Biopori
Ir. Kamir Raziudin Brata, beliau adalah lektor kepala dalam mata kuliah Ekologi Tanah sekaligus Dosen Fakultas Pertanian di Institut Pertanian Bogor dan beliau juga adalah penemu pertama serta pencetus Lubang resapan Biopori.
Berbeda dengan pemikiran umum yang berkembang saat ini dimana teknologi diidentikkan dengan sesuatu yang canggih, rumit, serta memerlukan biaya yang besar untuk diterapkan, Kamir Raziudin Brata justru dengan brilian mengembangkan suatu teknologi yang terlihat sederhana, murah, dan mudah dilakukan oleh setiap orang, serta multi guna. Salah satu manfaat teknologi ini yaitu mengatasi banjir. Teknologi ini dikenal sebagai teknologi Lubang Resapan Biopori (LRB). Dinamakan biopori karena memanfaatkan aktivitas fauna tanah atau akar tanaman (bio) yang membentuk lubang-lubang terowongan kecil (pore) di dalam tanah. Peran organisme di dalam tanah itulah yang sering dilupakan dalam merancang konsep penanganan banjir. Misalkan pembuatan waduk, jika aliran air menuju waduk tersebut masih didominasi oleh aliran permukaan tanah, maka waduk tersebut akan mengalami pendangkalan yang disebabkan material erosi yang terbawa aliran permukaan tersebut. [i]
Lubang resapan biopori adalah lubang silindris yang dibuat secara vertikal ke dalam tanah dengan diameter 10 cm dan kedalaman 100 cm atau kurang jika air tanah dangkal. Selanjutnya agar organisme tanah bisa bekerja membentuk biopori, lubang yang sudah dibuat tersebut diisi dengan sampah organik sebagai makanan organisme tanah. Pengisian sampah tersebut diatur sedemikian rupa sehingga tidak terlalu padat agar tersedia ukup oksigen untuk mendukung organisme tanah pembentuk biopori. Ukuran diameter 10 cm merupaka ukuran yang sudah dipikirkan secara cermat oleh Kamir R. Brata. Jika kurang dari 10 cm maka akan sulit untuk memasukkan sampah ke dalam lubang tersebut. Ukuran 10 cm juga membuat tikus enggan masuk karena meskipun bisa masuk namun tidak bisa berbelok. Kedalaman 100 cm juga diperhitungkan agar tersedia cukup oksigen agar sampah yang dimasukkan segera diolah oleh organisme tanah sebelum mengalami pembusukan yang menghasilkan gas metan. Kedalaman yang kurang dari kedalaman air muka tanah tersebut juga dimaksudkan agar air yang masuk mengalami proses bioremediasi sebelum masuk ke dalam air tanah.
Dengan demikian, lubang resapan biopori ini merupakan suatu teknologi yang multi guna. Teknologi ini mampu mencegah genangan dan banjir, mencegah erosi dan longsor, meningkatkan cadangan air bersih, penyuburan tanah dan mengubah sampah organik menjadi kompos sehingga mengurangi emisi gas metan yang jauh lebih kuat dalam menyebabkan pemanasan global dibandingkan gas karbondioksida. Manfaat tersebut telah teruji secara ilmiah di lahan percobaan sejak tahun 1993, maupun secara empiris di berbagai tempat yang sudah menerapkannya dengan benar. Di sekitar rumah serta kantor Kamir R. Brata bisa dilihat lubang-lubang resapan biopori, beliau mengatakan bahwa suatu teknologi sebelum dianjurkan kepada orang lain harus bisa dibuktikan secara ilmiah serta ia harus memberi contoh dengan tindakan nyata sebelum mengajak orang lain untuk membuatnya.
Kepedulian serta rasa tanggung jawab tersebut tumbuh dari panggilan hati dan akal budinya yang sudah sejak lama bergelut dalam disiplin ilmu tanah. Kecintaannya akan ilmu tanah dimulai sejak kecil, dimana beliau sebagai anak petani telah berinteraksi dengan tanah sejak kecil. Saat anak-anak lain masih terlelap, putra pasangan Brata dan Rumsari ini sudah membantu ayahnya mencangkul di sawah sebelum berangkat ke sekolah. Selain membantu mencangkul, beliau juga mencari rumput bagi ternak kambing serta membantu mengurus adik-adiknya karena ia merupakan anak kedua dari 11 bersaudara. Kesibukan tersebut tak menghalanginya untuk menuntut ilmu di bangku sekolah. Saat SD ia sempat mengikuti sekolah umum dan madrasah sekaligus. Saat SMP dan SMA, pria yang dilahirkan pada 12 Desember 1948 ini tetap bersemangat menuntut ilmu meskipun harus bersepeda sejauh 11 km untuk mencapai sekolah.
Selepas SMA beliau meneruskan pendidikan di IPB untuk mendalami ilmu-ilmu dan teknologi pertanian pada tahun 1968. Beliau menuturkan bahwa saat itulah mulai diberlakukan kurikulum sarjana 6 tahun. Untuk itu diadakan Mapram selama 2 minggu sebagai ajang pengenalan kampus dan teman-teman seangkatan. Kegiatan itu memberikan pengalaman yang merndalam baginya, beliau menuturkan bahwa saat itu beliau bisa mengenal hampir seluruh mahasiswa seangkatan. Lalu pada semester 6 beliau mulai mendalami ilmu konservasi tanah dan air. Dari sinilah ia mulai menyadari bahwa pengolahan tanah untuk pertanian pun berpotensi merusak tanah, karena setiap pengolahan tanah pasti ada penekanan dan penggeseran tanah, sehingga menghalangi peresapan air ke dalam tanah. Contoh termudah yaitu pada areal persawahan, tanah dilumpurkan agar air tidak mudah meresap ke dalam tanah. Penanaman di sawah tergenang tersebut mudah, namun efek jangka panjangnya justru merugikan. Pelumpuran akan merusak biopori yang dibuat oleh alam, akibatnya ketika air sudah jenuh akan langsung mengalir terbuang percuma serta bersama pupuk yang larut ikut terbawa aliran air permukaan tersebut, kemudian mencemari lingkungan tempat air tersebut terkumpul. Padahal petani sudah mengeluarkan biaya yang relatif banyak untuk membiayai pemupukan tersebut. beliau menuturkan bahwa di negara maju proses pelumpuran ini hanya boleh dilakukan di dataran rendah, yang memang pergerakan airnya lambat. Sementara di Indonesia, pegunungan yang seharusnya dijadikan tempat peresapan air justru dijadikan sawah.
Kecintaannya pada ilmu tanah membuat belia memilih untuk mengawali karir sebagai Penanggung-jawab Test Farm P4S-IPB pada tahun 1974 selepas ia menyelesaikan kuliah s1. Kemudian sejak tahun 1976 beliau aktif mengajar di program studi Ilmu Tanah di IPB. Untuk memperdalam ilmu tanah, beliau pun mengambil s2 bidang studi Soil Physics di The University of Western Australia pada tahun 1992. Sejak itulah beliau mulai fokus melakukan penelitian tentang mulsa vertikal yang akirnya dikenal dengan nama lubang resapan biopori. Beberapa penelitiannya terkait hal itu antara lain "Pemanfaatan Sisa Tanaman Sebagai Mulsa Vertikal (Vertical Mulch) dalam Usaha Konservasi Tanah dan Air pada Pertanian Lahan Kering di Latosol Darmaga" (1993), "Efektivitas Mulsa Vertikal (Vertical Mulch) dalam Pengendalian Aliran Permukaan, Erosi, dan Kehilangan Unsur Hara Pada Pertanian Lahan Kering di Latosol Darmaga" (1994), dan "Penggunaan Cacing Tanah Untuk Peningkatan Efektivitas Mulsa Vertikal Sebagai Tindakan Konservasi Tanah dan Air Terpadu pada Pertanian Lahan Kering di Latosol Darmaga" (1995).
Meskipun penelitian tersebut telah lama dilakukan, hal itu baru dikenal secara luas semenjak peristiwa Banjir Jakarta 2007 yang merendam hampir 60% wilayah Jakarta. Saat itulah media mulai ramai mencari berbagai solusi untuk mengatasi banjir, salah satunya bertanya ke IPB. Lalu Kamir R. Brata menawarkan teknologi mulsa vertikal tersebut, dan kalangan media sangat terkesan saat melihat daya resap air di tanah kebun percobaan Cikabayan, tempat penelitian teknologi mulsa vertikal Kamir Raziudin Batra. Kalangan media kemudian mengusulkan agar teknologi mulsa vertikal tersebut diubah menjadi biopori agar lebih mudah diingat dan diucapkan. Kamir R. Brata menyetujui dengan catatan agar liputan media tidak hanya menitikberatkan pada fungsi untuk resapan air saja, jangan sampai melupakan tentang penekanan pada peran makhluk hidup di dalam tanah dalam teknologi tersebut. Hal ini terbukti pada kesalahpahaman masyarakat luas saat ini tekait dengan biopori, misalnya lubang resapan justru dilapisi paralon sehingga biopori tidak bisa terbentuk, lubang dibuat terlalu besar, ataupun lubang terlalu dalam.
Ditengah banyaknya kesalahpahaman tersebut, Kamir R. Brata tetap gigih menyosialisasikan konsep dan penerapan LRB yang benar melalui berbagai pelatihan, seminar, dan publikasi tulisan ilmiah. beliau menginginkan agar setiap orang bertanggung jawab atas lingkungannya, yang juga dihuni oleh makhluk-makhluk lain yang tidak dikaruniai akal sebagaimana manusia. Minimal setiap orang bertanggung jawab melakukan perbaikan di lahan yang dikuasai masing-masing, sekecil apapun. Hal itu telah membuat Walikota Bogor memberinya penghargaan sebagai "Inovator Teknologi Lubang Resapan Biopori" pada tahun 2007. Gubernur DKI juga menyematkan penghargaan sebagai "Motivator Penerapan Teknik Lubang Resapan Biopori di Provinsi DKI Jakarta" kepadanya pada tahun 2008. Kemudian pada tahun 2009 Presiden RI mengganjarnya dengan penghargaan "Satyalancana Karya Satya 30 Tahun". Lalu pada tahun 2010 beliau juga menerima penghargaan "Inspirasi Indonesia" dari Direktur Utama SCTV pada tahun 2010.[ii]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar