Selasa, 14 Mei 2013

pencemaran lingkungan akibat ulah manusia_Nurul Vivi


Nurul Vivi Aryanti Pulungan
EKOMAN
Dampak Lingkungan Industri Tambang; Bumi Ratatotok Menjanjikan Emas
Dari sisi lingkungan, industri tambang mampu mengubah wajah sebuah bukit menjadi lubang yang sangat besar. Dan contohnya adalah kegiatan penambangan emas PT Newmont Raya (PT NMR) menyisakan lubang dengan ukuran 500 meter x 700 meter (35 hektar) dengan kedalaman 135 meter[1]. Atau seluas 16.500 rumah sangat sederhana (RSS). Dan praktik industry tambang ini menjadi praktik yang sangat mengerikan dengan dampak lingkungan yang luar biasa sehingga merupakan sasaran paling empuk organisasi pemerhati lingkungan. Limbah tambang atau tailing menjadi masalah utama bagi industri pertambangan.
Teluk Buyat merupakan teluk kecil yang terletak di pantai selatan Semenanjung Minahasa, Sulawesi Utara, Indonesia. Secara administratif, teluk ini berada di Kabupaten Minahasa Tenggara. Disekitar teluk ini tinggal sejumlah nelayan.
Sejak tahun 1996, PT. Newmont Minahasa Raya merupakan perusahaan cabang dari Newmont Mining Corporation yaitu perusahaan pertambangan yang bekerja sama dengan Pemerintah Republik Indonesia dalam rangka Penanaman Modal Asing. Markas Induk PT. NMR, selanjutnya dikenal dengan Newmont Gold Company (NGC) berada di Denver, Colorado, Amerika Serikat. NGC menempati posisi lima produsen emas dunia. Selain PT. NMR, di Indonesia perusahaan ini juga berkegiatan di Sumbawa, Nusa Tengara Barat dengan nama PT. Newmont Nusa Tenggara. Proyek Newmont antara lain tersebar di Kazakhtan, Kyryzstan, Uzbekistan, Peru, Brasilia, Myanmar dan Nevada. Dalam tahap eksplorasi, PT. NMR menemukan deposit emas pada tahun 1988. Kemudian kegitan penambangan akan direncanakan dengan luas 26.805,30 hektar yang akan dilakukan di wilayah perkebunan dan kawasan hutan berbukit bernama Messel, Ratatotok, kecamatan Belang kabupaten Minahasa yang berjarak 65 mil barat daya Manado. PT NMR memanfaatkan teluk buyat sebagai penimbunan tailing atau limbah pertambangan untuk kegiatan pertambangan emasnya.
Pada tahun 2004, penduduk setempat memprotes beberapa masalah kesehatan karena PT NMR dicurigai melanggar peraturan kadar limbah pertambangan sehingga limbahnya mencemari wilayah tersebut dengan bahan berbahaya. Dan aktivis lingkungan Indonesia yaitu Walhi mengklaim Newmont menimbun 2.000 ton limbah pertambangan ke teluk buyat setiap hari. Dan akhirnya pertambangan tersebut ditutup sementara.
Jalur pipa dibangun untuk menyalurkan tailing dari daerah pertambangan ke teluk yang memanjang sekitar 900 m ke laut dan menimbun bahan itu pada kedalaman 82 m. Pada bulan Juli 2004, beberapa lembaga swadaya masyarakat memulai kampanye mendakwa PT Newmont Minahasa Raya mencemari Teluk Buyat dengan sengaja, yang menimbulkan efek samping pada kesehatan warga setempat.
Nelayan setempat melihat jumlah ikan yang mati mendadak amat tinggi disertai dengan pembengkakan yang tak biasa, hilangnya ikan bandeng muda dan spesies lain di wilayah teluk. Mereka juga mengeluhkan masalah kesehatan yang tak biasa seperti penyakit kulit yang tak dapat dijelaskan, tremor, sakit kepala, dan pembengkakan aneh di leher, betis, pergelangan tangan, bokong, dan kepala. Penelitian itu menemukan beberapa logam berat seperti arsen, antimon, merkuri, dan mangan yang tersebar di sana dengan kepadatan tertinggi di sekitar daerah penimbunan.
Pada bulan November 2004, WALHI (LSM lingkungan) bersama dengan beberapa organisasi nirlaba (Indonesian Mining Advocacy Network, Earth Indonesia, dan Indonesian Center for Environmental Law) mengumpulkan laporan yang lebih menyeluruh atas keadaan Teluk Buyat, menyimpulkan teluk itu dicemari oleh arsen dan merkuri dalam kadar yang berbahaya, sehingga berisiko tinggi bagi masyarakat. Sampel endapan dasar Teluk Buyat menunjukkan kadar arsen setinggi 666 mg/kg (ratusan kali lebih besar daripada Kriteria Kualitas Perairan Laut ASEAN yang hanya 50 mg/kg) dan kadar merkuri rata-rata 1000 µg/kg (standar yang sama menetapkan 400 µg/kg). Dibandingkan dengan sampel kontrol alami dari tempat yang tak dipengaruhi penimbunan limbah pertambangan, studi itu juga menyimpulkan bahwa kadar arsen dan merkuri itu tidak alami dan satu-satunya sumber yang mungkin adalah dari penimbunan limbah pertambangan Newmont. Merkuri dan arsen tertumpuk di berbagai organisme hidup di Teluk Buyat termasuk ikan yang dimakan setiap hari oleh penduduk setempat. Kesehatan manusia berada dalam bahaya dan laporan itu merekomendasikan konsumsi ikan harus dikurangi secara signifikan dan mungkin relokasi penduduk ke daerah lain.
Pencemaran Teluk Buyat adalah bentuk bencana ekologis yang merupakan suatu bukti tidak bertanggungjawabnya kita melindungi bumi Sulut sebagai tempat tinggal dan hidup. Perusakan ekosistem laut akibat timbunan "tailing" yang mengandung logam-logam berat yang mengkontaminasi biota dan bahkan meracuni masyarakat sekitar yang bermukim di sekitar "point source" yang sangat mengantungkan hidupnya dari hasil laut perairan tersebut. Barangkali kontaminasi itupun telah tersebar di sebagian masyarakat Sulawesi Utara melalui ikan-ikan yang telah dikonsumsikan karena dampak pencemaran ini secara ekologi akan melintasi wilayah administrasi suatu wilayah.
Jadi, jelas sekali PT NMR masih lebih diuntungkan dibandingkan dengan masyarakatnya sendiri, padahal dengan adanya atau tanpa perusahaan semacam ini kesejahteraan masyarakat Sulut tidak berubah atau tidak ada perubahan positif yang signifikan. Malahan, sebetulnya kita mengeluarkan biaya tambahan karena perusahaan ini akibat pencemaran dan perusakan lingkungan alam.
Kasus Buyat, menjadi salah salah satu model pengelolaan lingkungan hidup yang harus mengorbankan masyarakat yang hidup di garis kemiskinan dan mengorbankan seluruh masyarakat Sulut sebetulnya di masa datang. Inilah kenyataan yang mesti masyarakat Sulut hadapi, terpilihnya daerah kita sebagai lahan eksploitasi emas dan terpilihnya tanah kita Indonesia sebagai ajang buang sampah beracun akibat kegiatan pengelolaan emas yang bakal mengancam keberadaan masyarakat Sulut dimasa datang. Mereka para investor merusak Indonesia membuang limbahnya di Indonesia sementara keuntungannya mereka bawa ke negaranya ke Amerika.
Referensi:


[1] Sumber: kompas, jumat 7 desember 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini