Jumat, 14 Maret 2014

Deshinta Ria Liany_Tugas2_Teori Max Weber

TEORI MAX WEBER

TEORI KAPITALISME
Etika Protestan dan kapitalisme
Kaum Marxisme menegaskan bahwa agama Protestant merupakan suatu refleksi ideologis dari perubahan-perubahan ekonomi yang didatangkan dengan perkembangan awal kapitalisme. Dengan menolak hal ini sebagai suatu titik pengelihatan yang wajar, karya Weber bermula dari keganjilan penyimpangan yang jelas terlihat dan yang diidentifikasinya serta penjelasannya merupakan orisinalitas sebenarnya dari Etika Protestan. Biasanya demikianlah bahwa mereka yang hidupnya terpaut dengan kegiatan ekonomi dan dengan pengejaran keuntungan, bersikap acuh tidak acuh terhadap agama, bahkan suka bermusuhan dengan agama, karena kegiatan-kegiatan mereka tertuju pada dunia ‘materil’. Akan tetapi agama Protestan disiplin yang lebih keras daripada penganut agama Katolik, dan dengan demikian memasukkan suatu faktor keagamaan di semua bidang kehidupan para penganutnya. Dari sini dapat dilihat hubungan antara agama Protestan dengan kapitalisme modern.

Bahwa kepercayaan-kepercayaan dalam agama Protestan telah merangsang kegiatan ekonomi. Contoh:
Berkembang dan suksesnya kapitalisme di Eropa merupakan contoh nyata dari penerapan teori ini. Pada awal mulanya kapitalisme muncul karena adanya ajaran Protestan oleh Calvin yang mengajarkan bahwa untuk dapat masuk surga nantinya, manusia harus berbuat kebaikan sebanyak mungkin didunia. Hal ini membuat orang-orang termotivasi untuk bekerja keras dan bersungguh-sungguh untuk memperoleh sesuatu. Hal ini nantinya akan berdampak pada pembangunan ekonomi.
Berbagai bentuk lain dari kapitalisme yang ditemukan oleh Weber, semuanya didapatkan dalam masyarakat-masyarakat yang ditandai secara khas oleh ‘tradisionalisme ekonomi’. Sikap-sikap terhadap kerja, yang menandai secara khas tradisionalisme, dijelaskan secara grafis, oleh pengalaman majikan-majikan kapitalisme modern, yang telah berusaha memperkenalkan metode-metode produksi kontemporer ke dalam komunitas-komunitas yang belum pernah mengenal metode-metode tersebut sebelumnya.
Bilamana sang majikan tertarik untuk memperoleh daya upaya yang setinggi-tingginya, memperkenalkan suatu Sistem upah menurut satuan hasil kerja, sehingga para pekerja secara potensial dapat meningkatkan pendapatannya jauh di atas penghasilan yang mereka bisa peroleh, seringkali hasil dari cara pengupahan ini, ialah kemunduran jumlah kerja dan bukan kebalikannya. Pekerja tradisional tidak berpikir dalam konteks untuk berusaha meningkatkan upah hariannya setinggi mungkin. Tetapi dia lebih memikirkan berapa banyak pekerjaan yang harus dia lakukan agar bisa memperoleh penghasilan yang bisa menutupi kebutuhan biasanya. Orang tidak secara “alamiah” menghendaki berpenghasilan banyak, akan tetapi dia ingin hidup sebagaimana biasa dia hidup, serta sebagaimana dia sudah terbiasa untuk hidup dan mendapatkan penghasilan sesuai dengan kebutuhan kehidupan biasanya. Jadi tradisionalisme sama sekali bertolak belakang dengan ketamakan untuk memperoleh kekayaan.
Weber juga berpendapat bahwa, keserakahan pribadi terdapat di semua masyarakat, dan dalam kenyataan keserakahan itu lebih menjadi ciri khas dari masyarakat pra-kapitalis dari pada masyarakat kapitalis. Kapitalisme modern, pada kenyataannya bukan didasarkan atas pengejaran keuntungan yang tidak bermoral, akan tetapi berdasarkan kewajiban bekerja dengan disiplin sebagai suatu tugas


TEORI SOSIOLOGIS INTERPRETATIF (VERSTEHEN)
Menurut Max Weber, sosiologi adalah ilmu yang memiliki kelebihan daripada ilmuan alam. Kelebihan tersebut terletak pada kemampuan sosiolog untuk memahami fenomena sosial, sementara ilmuan alam tidak dapat memperoleh pemahaman serupa tentang perilaku atom atau ikatan kimia. Kata pemahaman dalam bahasa Jerman adalah verstehen.
Pemakaian istilah verstehen ini secara khusus oleh Weber dalam penelitian historis adalah sumbangan yang paling banyak dikenal, dan paling kontroversial, terhadap metodologi sosiologi kontemporer. Ketika kita mengerti apa yang dimaksud Weber dengan kata verstehen, kita akan menggarisbawahi beberapa masalah dalam menafsirkan maksud
Weber, muncul dari masalah umum dalam pemikiran metodologis Weber. Seperti dikemukakan Thomas Burger, Weber tidak utuh dan konsisten dengan pernyataan metodologisnya. Ia cenderung gegabah dan tidak tepat sasaran karena merasa bahwa ia sekedar mengulangi gagasan-gagasannya yang pada zamannya terkenal di kalangan sejarawan Jerman. Terlebih lagi, seperti ditegaskan diatas, Weber tidak terlalu memikirkan refleksi metodologis.
Pemikiran Weber tentang verstehen lebih sering ditemukan di kalangan sejarawan Jerman pada zamannya dan berasal dari bidang yang dikenal dengan hermeneutika. Hermeneutika adalah pendekatan khusus terhadap pemahaman dan penafsiran tulisan-tulisan yang dipublikasikan. Tujuannya adalah memahami pemikiran pengarang maupun struktur dasar teks. Weber dan lainnya berusaha memperluas gagasannya dari pemahaman teks kepada pemahaman kehidupan sosial : memahami aktor, interaksi, dan seluruh sejarah manusia. Satu kesalahpahaman yang sering terjadi menyangkut konsep verstehen  adalah bahwa dia dipahami sekedar sebagai penggunaan intuisi, irasional, dan subyektif. Namun secara kategoris Weber menolak gagasan bahwa verstehen hanya melibatkan intuisi, keterlibatan berdasarkan simpati, atau empati. Baginya, verstehen melibatkan penelitian sistematis dan ketat dan bukannya hanya sekedar merasakan teks atau fenomena sosial.
Dengan kata lain, bagi Weber verstehen adalah prosedur studi yang rasional. Sejumlah orang menafsirkan verstehen, pernyataan-pernyataan Weber, tampaknya terbukti kuat dari sisi penafsiran level individu terhadap verstehen. Namun sejumlah orang juga menafsirkan bahwa verstehen yang dinyatakan oleh Weber adalah sebagai teknik yang bertujuan untuk memahami kebudayaan. Seiring dengan hal tersebut, W.G. Runciman (1972) dan Murray Weax (1967) melihat verstehen sebagai alat untuk mempelajari kebudayaan dan bahasa tertentu.
Max Weber juga memasukkan problem pemahaman dalam pendekatan sosiologisnya, yang sebagaimana cenderung ia tekankan adalah salah satu tipe sosiologis dari sekian kemungkinan lain. Karena itulah ia menyebut perspektifnya sebagai sosiologi interpretatif atau pemahaman. Menjadi ciri khas rasional dan positivisnya bahwa ia mentransformasikan konsep tentang pemahaman. Meski begitu baginya pemahaman tetap merupakan sebuah pendekatan unik terhadap moral atau ilmu-ilmu budaya, yang lebih berurusan dengan manusia ketimbang dengan binatang atau kehidupan non hayati lainnya.
Manusia bisa memahami atau berusaha memahami niatnya sendiri melalui instropeksi, dan ia bisa menginterpretasikan perbuatan orang lain sehubungan dengan niatan yang mereka akui atau diduga mereka punyai.
Dengan kata lain verstehen adalah suatu metode pendekatan yang berusaha untuk mengerti makna yang mendasari dan mengitari peristiwa sosial dan historis. Pendekatan ini bertolak dari gagasan bahwa tiap situasi sosial didukung oleh jaringan makna yang dibuat oleh para aktor yang terlibat di dalamnya.
Namun dalam berjalannya waktu teori ini banyak mendapatkan kritikan. Kritik yang berkaitan mengenai metode verstehen menganggap Weber terperangkap di antara dua persoalan terkait dengan verstehen ini. Di satu sisi, verstehen tidak bisa semata – mata berarti intuisi subjektif karena demikian, maka verstehen tidak akan ilmiah. Di sisi lain, sosiolog tidak dapat begitu saja menyatakan makna objektif fenomena sosial. Weber menandaskan bahwa metode ini terletak di antara dua pilihan, tapi sayangnya dia tidak pernah menjelaskan bagaimana itu bisa terjadi.

TEORI TINDAKAN SOSIAL
Tindakan sosial menurut Max Weber adalah suatu  tindakan  individu sepanjang  tindakan  itu mempunyai makna atau arti subjektif  bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain (Weber dalam Ritzer 1975).  Suatu  tindakan  individu  yang  diarahkan  kepada  benda  mati  tidak  masuk  dalam  kategori tindakan sosial. Suatu tindakan akan dikatakan sebagai tindakan social ketika  tindakan tersebut benar-benar diarahkan kepada   orang  lain (individu lainnya). Meski tak jarang tindakan  sosial  dapat  berupa  tindakan  yang  bersifat membatin  atau  bersifat  subjektif  yang mungkin terjadi  karena  pengaruh  positif  dari  situasi  tertentu.  Bahkan terkadang tindakan dapat berulang kembali  dengan sengaja sebagai akibat dari pengaruh situasi yang serupa atau berupa persetujuan secara pasif dalam situasi tertentu (Weber dalam Turner 2000).
Ciri-ciri tindakan sosial
Ada 5 ciri pokok  Tindakan sosial menurut Max Weber  sebagai  berikut:
1.      Jika  tindakan manusia  itu menurut aktornya mengandung makna subjektif dan hal  ini bisa meliputi berbagai  tindakan nyata
2.      Tindakan nyata  itu bisa bersifat membatin  sepenuhnya 3
3.      Tindakan  itu  bisa  berasal  dari  akibat  pengaruh  positif  atas  suatu  situasi,  tindakan yang sengaja diulang, atau  tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam dari pihak mana pun
4.      Tindakan  itu  diarahkan  kepada  seseorang  atau  kepada  beberapa  individu
5.      Tindakan  itu memperhatikan  tindakan orang  lain dan  terarah  kepada orang  lain  itu.
Selain  kelima  ciri pokok  tersebut, menurut Weber  tindakan sosial dapat pula dibedakan dari sudut waktu sehingga ada tindakan yang diarahkan kepada waktu sekarang, waktu  lalu, atau waktu yang akan datang. Sasaran suatu tindakan social bisa individu tetapi juga bisa kelompok atau sekumpulan orang. Campbell  (1981).
Tipe tindakan sosial
Weber membedakan tindakan sosial manusia ke dalam empat tipe yaitu:
1.            Tindakan rasionalitas instrumental (Zwerk Rational)
Tindakan ini merupakan suatu tindakan sosial yang dilakukan seseorang didasarkan atas pertimbangan dan pilihan sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan ketersediaan alat yang dipergunakan untuk mencapainya. Contohnya : Seorang siswa yang sering terlambat dikarenakan tidak memiliki alat transportasi, akhirnya ia membeli sepeda motor agar ia datang kesekolah lebih awal dan tidak terlambat. Tindakan ini telah dipertimbangkan dengan matang agar ia mencapai tujuan tertentu. Dengan perkataan lain menilai  dan  menentukan  tujuan  itu dan bisa saja  tindakan  itu dijadikan sebagai cara untuk mencapai  tujuan  lain.
2.            Tindakan rasional nilai (Werk Rational)
Sedangkan tindakan rasional nilai memiliki sifat bahwa alat-alat yang ada hanya merupakan pertimbangan dan perhitungan yang sadar, sementara tujuan-tujuannya sudah ada di dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut. Contoh : perilaku beribadah atau seseorang mendahulukan orang yang lebih tua ketika antri sembako. Artinya, tindakan sosial ini telah dipertimbangkan terlebih dahulu karena mendahulukan nilai-nilai sosial maupun nilai agama yang ia miliki.
3.            Tindakan  afektif/Tindakan yang dipengaruhi emosi  (Affectual Action)
Tipe tindakan sosial ini lebih didominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan sadar. Tindakan afektif sifatnya spontan, tidak rasional, dan merupakan ekspresi emosional dari individu. Contohnya: hubungan kasih sayang antara dua remaja yang sedang jatuh cinta atau sedang dimabuk asmara.Tindakan ini biasanya terjadi atas rangsangan dari  luar yang bersifat otomatis sehingga bias berarti
4.            Tindakan  tradisional/Tindakan karena kebiasaan (Traditional Action)
Dalam tindakan jenis ini, seseorang memperlihatkan perilaku tertentu karena kebiasaan yang diperoleh dari nenek moyang, tanpa refleksi yang sadar atau perencanaan. Tindakan pulang kampung disaat lebaran atau Idul Fitri.

TEORI KARISMA
Ada kecenderungan khusus yang perlu diteliti lebih mendalam kaitannya dengan persoalan-persoalan sosial di masyarakat, baik itu menyangkut dunia politik, ekonomi, maupun agama. salah satu hal penting yang patut untuk diulas leibh mendalam lagi yakni  persoalan kepemimpinan karismatik (charismatic leadership) yang merupakan cenderung terhadap konsep politik. Hal ini penting mengingat peran dunia politik merupakan suatu aturan permainan yang bermain dalam ranah kekuasan dan hal itu cukup menjadi hal yang kompetitif dalam masyarakat ketika sudah menyangkut persoalan kekuasaan. Kepemimpinan kharismatik menjadi salah satu faktor khusus yang perlu dipertimbangkan dalam suatu pemetaan akan seorang pemimpin yang nantinya akan memiliki legalitas-otoritas untuk menentukan suatu kebijakan.
            Teori kepemimpinan karismatik saat ini sangatlah dipengaruhi oleh ide-ide ahli sosial yang bernama Max Weber. Karisma adalah kata dalam bahasa Yunani yang berarti “berkat yang terinspirasi secara agung atau dengan bahasa lain yakni anugerah”, atau dalam bahasa Kristen yakni rahmat (grace), seperti kemampuan untuk melakukan keajaiban atau memprediksikan peristiwa masa depan, sehingga melahirkan suatu perubahan yang radikal. Konsep kharismatik (charismatic) atau kharisma (charisma) menurut Weber lebih ditekankan kepada kemampuan pemimpin yang memiliki kekuatan luarbiasa dan mistis. Menurutnya, ada lima faktor yang muncul bersamaan dengan kekuasaan yang kharismatik, yaitu : Adanya seseorang yang memiliki bakat yang luarbiasa, adanya krisis sosial, adanya sejumlah ide yang radikal untuk memecahkan krisis tersebut, adanya sejumlah pengikut yang percaya bahwa seseorang itu memiliki kemampuan luarbiasa yang bersifat transendental dan supranatural, serta adanya bukti yang berulang bahwa apa yang dilakukan itu mengalami kesuksesan.
            Melihat definisi di atas, Weber menggunakan istilah itu untuk menjelaskan sebuah bentuk pengaruh yang bukan didasarkan pada tradisi atau otoritas formal tetapi lebih atas persepsi pengikut bahwa pemimpin diberkati dengan kualitas yang luar biasa. Sebab Menurut Weber, kharisma terjadi saat terdapat sebuah krisis sosial, seorang pemimpin muncul dengan sebuah visi radikal yang menawarkan sebuah solusi untuk krisis itu, pemimpin menarik pengikut yang percaya pada visi itu, mereka mengalami beberapa keberhasilan yang membuat visi itu terlihat dapat dicapai, dan para pengikut dapat mempercayai bahwa pemimpin itu sebagai orang yang luar biasa.
            Seorang yang berkharisma merupakan orang yang menciptakan suatu perubahan eksistensial. Namun terkadang, hal itu dianggap sebagai suatu pembaharuan terhadap adat, atau melahirkan perpecahan dunia. Asumsi lain tentang pemimpin kharismatik adalah orang yang dianggap dan dipersepsikan negatif, karena mengadakan keretakan (breakthrough), yang dilatar belkangi oleh sikapnya yang memperlihatkan suatu bentuk kemerdekaan yang baru dan mau tidak mau akan menuntut sebuah ketaatan yang baru juga, antara seorang pemimpin dengan pengikut.
            Tipe kharismatik merupakan salah satu dari tiga tipe yang dikemukakan oleh Weber sebagai postulat ideal dalam memandang peranan pemimpin-pemimpin keagamaan terhadap pola sosial di masyarakat. Apakah mereka juga masuk dalam tipe yang dirumuskan oleh Weber dalam konsep kharismatik, atau malah tidak. Sebenarnya Weber menjadikan tipe otoritas atau sistem kepercayaan yang mengabsahkan hubungan -hubungan dalam masyarakat menjadi tiga, yaitu dominasi hukum (legal-rasional), tradisional (estabilished), dan kharismatik (pemimpin). Kekuasaan tradisional atas dasar suatu kepercayaan yang telah ada (estabilished) pada kesucian tradisi kuno. Kekuasaan yang rasional atau berdasarkan hukum (legal) adalah kekuasaan yang didasarkan atas kepercayaan terhadap legalitas peraturan-peraturan dan hak bagi mereka yang memegang kedudukan, yang berkuasa berdasarkan peraturan-peraturan untuk mengeluarkan perintah. Kekuasaan tradisional atas dasar suatu kepercayaan yang telah ada (estabilished) pada kesucian tradisi kuno. Dengan kata lain yakni bentuk kepercayaan terhadap legalitas praktek-praktek yang telah disucikan dan dibakukan. Sedangkan Kekuasaan kharismatik merupakan dominasi atau otoritas  yang didapatkan atas pengabdian diri atas kesucian, sifat kepahlawanan atau yang patut diteladani dan dari ketertiban atas kekuasaannya.
            Perbedaan mendasar antara tipe tradisional dan hukum dengan kharisma yaitu terletak pada sifatnya. Tradisional dan hukum merupakan bentuk relasi yang stabil dan terus menerus, sedangkan kharisma murni berusia pendek. Menskipun demikian, seorang pemimpin yang berkharisma, itu juga dapat dan bisa mewarisi ke-kharismaan-nya kepada orang lain atau istilah Weber rutinisasi kharisma.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini