Dauatus Saidah
1113054000016
PMI 4
Teori Tipologi menurut Edward Spranger
Kehidupan manusia dipengaruhi dari berbagai macam faktor, dan budaya merupakan salah satu dari sekaian banyak faktor. Hal itu menjadi sebuah kenyataan sehingga kebudayaan menjadi suatu hal yang tidak lepas dari kehidupan sehari-hari. Kebudayaan, Menurut K.H. Dewantara, Adalah hasil budi daya manusia yang dapat di pergunakan untuk memudahkan hidup manusia.
Tipologi adalah pengetahuan yang berusaha menggolongkan manusia menjadi tipe-tipe tertentu atas dasar faktor-faktor tertentu, misalnya karakteristik fisik, psikis, pengaruh dominan nilai-nilai budaya.
Dengan demikian tipologi berdasar nilai kebudayaan bisa diartikan sebagai tipe-tipe pengolongan manusia hal-hal yang bersangkutan dengan akal untuk mempermudah hidup manusia.
TIPOLOGI BERDASARKAN KEBUDAYAAN MENURUT E. SPRANGER
Menurut Spranger, manusia dapat dibedakan atas 6 (enam) nilai kebudayaan, yaitu :
1. Manusia Ekonomis
Pada umumnya tipe ini penuh dengan cita-cita yang praktis. Suatu perbuatan tertentu hanya akan berharga baginya kalau efek perbuatan itu bermanfaat. Pada pokoknya dalam hidupnya segala sesuatu baik pribadi maupun waktunya dibaktikannya kepada perjuangan hidup dan selalu mencari kehidupan yang menggembirakan dan menyenangkanl. Jadi manusia ekonomis itu selalu menimbanga segala-galanya dari sudut faedah dan niai ekonomisnya saja. Begitu pula terhadap ilmu pengetahuan hanya ada harganya bila ilmu pengetahuan itu penting bagi manusia, dalam arti dapatkah ilmu pengetahuan itu memudahkan dan menyenangkan hidup manusia. Terhadap masyarakat pendirian manusia ekonomis itu bersifat egocentris, bahkan juga egoistis. Ia hanya mementingkan dirinya sendiri. Ia menimbanga orang berdasarkan kekuatan bekerja dan prestasi orang itu. Mengenai dunia estetika dan dunia kesenia pada umumnya kurang begitu menarik bagi mereka. Dengan singkat dapat kita katakan bahwa manusia ekonomis itu cita-citanya ialah bekerja.
2. Manusia Berkuasa (Politik)
Manusia tipe ini tidak begitu mengenal obyektivitas dan alasan-alasan aestetis tidak penting baginya. Segala pikirannya dipusatkan pada satu hal satu tujuan. Ingin berkuasa, menjajah, memerintah, dan ini merupakan kegembiraan hidupnya.
Hal-hal yang ada hubungannya dengan ekonomi kadang-kadang sangat penting bagi manusia ingin berkuasa ini. Sebab menurut dia kekuasaan ekonomi kadang-kadang merupakan salah satu jalan untuk menguasai orang lain. Jadi ekonomi itu hanya merupakan alat saja baginya, sedang dia sendiri tidak perlu bersifat ekonomi.
Kalau dia bergerak dalam lapangan aestetika, hal ini dipergunakannya sebagai jalan untuk mencapai tujuannya. Tidak jarang keindahan itu digunakan sebagai lambang kekuasaan.
Pegangganya orang ingin berkuasa itu harus punya fantasi besar. Sebab menurut dia rencana-rencana yang besar tidak dapat dibuat tanpa adanya fantasi. Juga menurut mereka ini bahwa kebijakan yang setinggi-tingginya ialah kekuatan.
Pokoknya segala sesuatu ditujukan kepada kekuasaan dan kekuatan diri sendiri. Dalam hal ini kekuasaan negara disamakan dengan kekuasaan diri sendiri. Cita-citanya ialah raja dan pemerintah.
3. Manusia Sosial
Manusia sosial dalam pokok hidupnya ialah seseorang yang mengabdi kepada sesamanya. Nilai-nilai yang tertinggi dan terbesar yang tersimpul dalam pengabdian ini ialah kecintaan.
Menurut Spranger kecintaan itu dapat ditujukan sesorang atau orang lain dalam lingkungan terbatas, tetapi kecintaan itu dapa pula meliputi segala-galanya. Manusia sosial mencintai tanpa mengharapkan apa-apa, ia menyerahkan jiwa raganya untuk orang lain. Dia tidak bertanya siapa yang benar atau apakah sesuatu itu betul, yang penting ialah sedapat mungkin ia memberik pertolongan.
Antara sifat-sifat sosial dan aestetis tampaknya seolah-olah tak ada perbedaann. Tapi kadang-kadang sebaliknya, manusia sosial mengindahkan pula orang yang hina, yang sangat membutuhkan pula kecintaan, sebaliknya orang aestetis sering menjauhkan diri dari mereka itu dengan perasaan mual, jijik dan sebagainya.
Manusia social semboyannya ialah berbakti kepada orang lain. Sebaliknya tipe social yang murni itu hampir tidak ada di dunia ini. Sebab kebanyakan apa yang disebut nilai sosial itu sudah terjalin dengan nilai lain. Misalnya tiap perbuatan baik yang telah kita lakukan seakan-akan selalu mempengaruhi perasaan kita sendiri yaitu perasaan telah menjadi orang baik. Jadi terang di sini kalau cinta diri ikut berbicara pula.
4. Manusia llmu Pengetahuan (Teoritis)
Manusia teoritis ini biasanya seorang ahli ilmu pengetahuan yang tipis. Dia mempelajari ilmu pengetahuan itu untuk ilmu pengetahuan itu sendiri, tanpa memikir manfaat yang praktis dan hasil-hasil ilmu pengetahuan itu.
Pendiriannya obyektif terhadap segala hal/masalah. Selalu mencoba mencari ketarangan-keterangan yang logis dan masuk akal tentang hal-hal yang menimbulkan masalah itu. Sedikit pun ia tidak suka kepada sesuatu yang bersifat samara-samar. Segala sesuatu harus terang dan jelas. Pada umumnya manusia teoritis ini tidak memperdulikan uang dan kenikmatan.
Hal-hal yang aestetis pun hampir tidak diperdulikannya. Dalam lapangan sosial tidak begitu banyak yang diharapkan daripadanya. Ia jarang mencari hubungan dengan tetangganya dan orang lain.
Bahkan kadang-kadang ia menganggap rendah orang banyak. Dalam lapangan politik kalau manusia teoritis ini menceburkan diri paling-paling akan menjadi seorang pembangunan sisitem teoritis, yang tidak selaras dengan praktek kehidupan sehari-hari. Cita-cita dari tipe ini tidak lain ialah berpikir dan belajar.
Politknya akan selalu bersifat ilmu pengetahuan dan teoritis. Kerapkali orang teoritis ini tidak aktif, sebab itu ia selalu memperhatikan pada masalah-masalah yang terbatas dan tidak jelas mengambil keputusan-keputusan.
5. Manusia Kesenian (Aestetis)
Pada umumnya manusia aestetis ini cenderung kepada perseorangan (individualisme). Atau dengan kata lain hak-hak pribadi lebih penting baginya dari pada hak-hak golongan. Kalaupun dia bergabung dengan orang lain hal itu biasanya tidaklah mendalam dan hanya sepintas lalu. Dapat kita katakana bahwa manusia aestetis itu tidak berada dalam hidup yang sebenarnya. Dia akan melihat sesuatu yang indah itu sebagai nilai tertinggi. Ia selalu berusaha melepaskan diri dari segala permintaan, tuntutan yang diajukan orang lain kepadanya.
Cita-cita manusia aestetis ini ialah menikmati hal-hal disekitarnya.
6. Manusia Agama (Religi)
Manusia religi mencari nilai-nilai tertinggi pada makna hidup, ia mencari TUHAN. Dia tidak akan tentram, belum puas, bahkan kadang-kadang merasa tersayat, apabila ia belum mendapat kepastian akan hal itu. Sebaliknya ia merasa ketenangan dan ketentraman apabila ia telah mendapatkan nilai-nilai tertinggi tadi. Memang keistimewaan dari manusia religi ini ialah ia mencari nilai-nilai tertinggi dan memujanya sekali.
Contoh kasus
Kasus Enron Internasional di India Enron sebuah perusahaan dibidang energi yang berasal dari USA pada 1990 mencoba untuk menggarap pasar india yaitu dengan membangun instalasi energi yang diperlukan oleh industri di India. Namun dalam pelaksanaanya, Enron mengalami beberapa hambatan sebelum tujuanya untuk dapat menjadi penyedia energi tunggal di India dapat tercapai. Hambatan itu berupa halangan dan sulitnya negosiasi yang dilakukan Enron terhadap pemerintahan lokal Maharashtra yaitu daerah yang akan menjadi lokasi pembangunan proyek energi yang didanai oleh Enron. Hal ini disebakan oleh adanya pergantian kekuasaan dimana partai penguasa yang baru di Maharashtra koalisi BJP dan Shiv Sena. BJP dan Shiv Sena mengangkat isu korupsi dan ajaran swadesi dari Gandhi dalam kampanye sebelum kemenanganya. Sehingga setelah BJP berkuasa di Mahrashtra proyek Enron tertunda beberapa lama, BJP menuduh pemerintahan sebelumnya telah melakukan korupsi dan kolusi dengan Enron untuk menggoalkan pembangunan proyek Enron. Walaupun tuduhan itu tidak terbukti, tapi sempat memunculkan ketegangan antara pihak Enron dan pemerintah lokal Maharashtra. Enron terus mengadakan perundingan baik melalui konsolidasi dengan pemerintah lokal Maharashtra, maupun dengan upaya penekanan Bill Clinton terhadap pemerintah India supaya proyek Enron dapat diteruskan.
(Sumber)
Arlianti, Novfyta. 2010. Landasan Ilmu Pendidikan Kebudayaan dan Kepribadian.
Sujanto, Agus. 2006. Psikoogi Kepribadian. Jakarta: Bumi aksara
http://gakapa2.blogspot.com/2013/03/makalah-tentang-tipologi-berdasarkan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar