Sabtu, 29 September 2012

Andre Anang Pratama, Jurnalistik 1 A

TEORI KRITIS
Oleh:
Andre Anang Pratama
Teori kritis adalah produk sekelompok neo-Marxis Jerman yang tak puas dengan keadaan teori Marxian (Bernstein, 1995; Kellner, 1993; untuk tinjauan yang lebih luas terhadap teori kritis, lihat Agger, 1998), terutama kecenderungannya menuju determinasi ekonomi. The Institute of Social Research, organisasi yang berkaitan dengan teori kritis ini resmi didirikan di Frankfurt, Jerman, 23 Februari 1923. Meski sejumlah anggotanya telah aktif sebelum organisasi itu didirikan (Wiggershaus, 1994). Teori kritis telah berkembang melampaui batas aliran Frankfurt (Calhoun dan Karaganis, 2001; Telos, 1989-90). Teori kritis berasal dari dan sebagian besar berorientasi ke pemikir Eropa, meski pengaruhnya tumbuh dalam sosiologi Amerika (Marcus, 1999; van den Berg, 1980).
Pada perkembangannya, terminologi teori kritis lebih banyak dihubungkan dengan dua pandangan. Pertama, pandangan Frankfurt School (Mazhab Frankfurt) seperti: Max Horkheimer, Theodor Adorno, Walter Benyamin, Herbert Marcus, Erich Fromm, Albrecht Wellmer, Karl-Otto Apel, Axel Honneth dan Jurgen Habermas. Kedua, pandangan dari karya dan pemikiran Antonio Gramsci. Implisit dari karakter pemikiran mereka ialah upaya untuk membangun emansipasi manusia terhadap modernitas dan kemajuan kapitalisme yang 'menghancurkan' potensi kemanusiaan. Tetapi kedua pandangan tersebut tidak saling memberikan pengakuan satu sama lain. Karakter emansipatoris teori kritis tercermin melalui beberapa syarat, yaitu: a) bersikap kritis dan curiga terhadap zamannya. b) berpikir secara 'historis'. c) tidak memisahkan teori dari praktek, tidak melepaskan fakta dari nilai semata-mata untuk mendapatkan hasil yang objektif (Adian 2005). Dengan demikian, teori kritis lebih bersifat reflektif (membongkar yang tidak setara) ketimbang mengutamakan objektifitas ilmu pengetahuan.
Kemunculan teori kritis adalah 'reaksi' dan kritik terhadap positivisme ilmu pengetahuan yang sangat dujunjung oleh kaum behavioralisme. Teori kritis bukanlah sesuatu yang muncul dari ruang hampa melainkan hasil dialektika dari berbagai pemikiran tradisi kritis sebelumnya – sebuah perpaduan dari pemikiran Kant, Hegel, Marx dan psokoanalisis Freud. Kant memahami kritik sebagai upaya untuk mengenal keterbatasan rasio dalam setiap klaim pengetahuan; Hegel memahami kritik sebagai refleksi diri atas berbagai rintangan, tekanan, dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri dari rasio dalam sejarah; Marx memahami kritik sebagai usaha-usaha emansipatoris dari penindasan dan usaha-usaha alienasi yang dihasilkan oleh hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat, sementara Freud memahami kritik sebagai pembebasan individu dari irrasionalitas dari ketidaksadaran menjadi sadar.
Horkheimer menyebutnya Teori Kritis (sebagai pembeda atas Teori Tradisional-Behavioralisme), yang setidaknya memiliki 4 karakter, yaitu: pertama, teori kritis bersifat historis artinya diperkembangkan berdasarkan situasi masyarakat yang konkret dan berpijak diatasnya; kedua, teori kritis disusun atas kesadaran akan keterlibatan para pemikirnya; ketiga, teori kritis memiliki kecurigaan kritis terhadap masyarakat actual; dan keempat, teori kritis itu merupakan teori yang bersifat praktis.
Tujuan teori kritis adalah menghilangkan berbagai bentuk dominasi dan mendorong kebebasan, keadilan dan persamaan. Teori ini menggunakan metode reflektif dengan cara mengktitik secara terus menerus terhadap tatanan atau institusi social, politik atau ekonomi yang ada, cenderung tidak kondusif bagi pencapaian kebebasan, keadilan dan persamaan.
Ciri khas teori kritis tidak lain ialah bahwa teori in tidak sama dengan pemikiran filsafat dan sosiologi tradisional atau tidak bersifat kontemplatif atau spekulatif murni. Pada titik tertentu ia memandang dirinya sebagai pewaris ajaran Karl Marx, sebagai teori yang menjadi emansipatoris. Pada dasarnya, esensi Teori Kritis adalah 'kontruktivisme', yaitu memahami keberadaan struktur-struktur sosial dan politik sebagai bagian atau produk dari intersubyektivitas dan pengetahuan cara alamiah memiliki karakter politis. Sifat politis pengetahuan ini berkembang dari atau dipengaruhi oleh tiga pemikiran yang berbeda.
1. Pemikiran Kant mengenai keterbatasan pengetahuan, yaitu bahwa manusia tidak dapat memahami dunia secara keseluruhan melainkan hanya sebagian saja (parsial).
2. Pemikiran Hegel dan Marx bahwa teori dan pembentukan teori tidak bisa dipisahkan dari masyarakat. Ilmuan harus melakukan refleksi terhadap teori atau proses pembentukan teori tersebut.
3. Pemikiran Horkheimer yang membedakan teori ke dalam dua kategori, yakni tradisional dan kritis. Teori tradisional menganggap adanya pemisah antara teoritisi dan objek kajiannya. Artinya, teori tradisional berawal dari asumsi mengenai keberadaan realitas yang berada di luar pengamat, sementara teori kritis menolak asumsi pemisah antara subyek-obyek dan beragumen bahwa teori selalu memiliki dan melayani tujuan atas fungsi tertentu.
1.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini