Selasa, 10 Juni 2014

Sosiologi Pedesaan Fakhru Aljumrotul Ula

Fakhru Aljumrotul Ula
Fajar Luzuardi
Adiatma
Sosiologi Pedesaan

SERBUAN IMPOR PANGAN YANG MINIM PERLINDUNGAN DI ERA LIBERALISASI
            Sebutan negara agraris untuk Indonesia nampaknya tidak layak lagi disandang, bagaimana tidak negara yang notabene memiliki hamparan tanah yang luas dan subur malah impor bahan pokok dari luar. Saya yakin apabila terus-terusan begini maka bukan tidak mungkin Indonesia akan ketergantungan kepada negara lain layaknya orang yang kecanduan narkotika dan akhirnya terpuruk, kecuali kalau ada perubahan sistem dimana pertanian Indonesia menjadi program dan prioritas utama. Hal ini tentunya menjadi tanggungjawab bersama oleh semua pihak untuk mendukung program ini. Kita harus menyamakan persepsi antara pemerintah, distributor atau pengusaha logistik dan petani apabila ingin mewujudkan Indonesia bebas dari ketergantungan impor bahan pangan, dalam hal ini seharusnya tidak ada yang dirugikan dan tidak ada pihak yang ingin mengeruk keuntungan untuk dirinya sendiri.
            Negara Indonesia merupakan negara yang mempunyai kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Hal ini terbukti dengan keadaan tanah Indonesia yang sangat subur. Negara Indonesia memiliki peran penting sebagai produsen bahan pangan di mata dunia. Indonesia adalah produsen beras terbesar ketiga dunia setelah China dan India. Kontribusi Indonesia terhadap produksi beras dunia sebesar 8,5% atau 51 juta ton. China dan India sebagai produsen utama beras berkontribusi 54%. Vietnam dan Thailand yang secara tradisional merupakan negara eksportir beras hanya berkontribusi 5,4% dan 3,9%.
            Dalam konteks pertanian umum, Indonesia memiliki potensi yang luar biasa. Kelapa sawit, karet, dan coklat produksi Indonesia mulai bergerak menguasai pasar dunia. Namun, dalam konteks produksi pangan memang ada suatu keunikan. Meski menduduki posisi ketiga sebagai negara penghasil pangan di dunia, hampir setiap tahun Indonesia selalu menghadapi persoalan berulang dengan produksi pangan terutama beras. Produksi beras Indonesia yang begitu tinggi belum bisa mencukupi kebutuhan penduduknya, akibatnya Indonesia masih harus mengimpor beras dari Negara penghasil pangan lain seperti Thailand. Salah satu penyebab utamanya adalah jumlah penduduk yang sangat besar. Data statistik menunjukkan pada kisaran 230-237 juta jiwa, makanan pokok semua penduduk adalah beras sehingga sudah jelas kebutuhan beras menjadi sangat besar.
            Penduduk Indonesia merupakan pemakan beras terbesar di dunia dengan konsumsi 154 kg per orang per tahun. Bandingkan dengan rerata konsumsi di China yang hanya 90 kg, India 74 kg, Thailand 100 kg, dan Philppine 100 kg. Hal ini mengakibatkan kebutuhan beras Indonesia menjadi tidak terpenuhi jika hanya mengandalkan produksi dalam negeri dan harus mengimpornya dari negara lain.
            Selain itu, Indonesia masih mengimpor komoditas pangan lainnya seperti 45% kebutuhan kedelai dalam negeri, 50% kebutuhan garam dalam negeri, bahkan 70% kebutuhan susu dalam negeri dipenuhi melalui impor.
Faktor lain yang mendorong adanya impor bahan pangan adalah iklim, khususnya cuaca yang tidak mendukung keberhasilan sektor pertanian pangan, seperti yang terjadi saat ini. Pergeseran musim hujan dan musim kemarau menyebabkan petani kesulitan dalam menetapkan waktu yang tepat untuk mengawali masa tanam, benih besarta pupuk yang digunakan, dan sistem pertanaman yang digunakan. Sehingga penyediaan benih dan pupuk yang semula terjadwal, permintaanya menjadi tidak menentu yang dapat menyebabkan kelangkaan karena keterlambatan pasokan benih dan pupuk. Akhirnya hasil produksi pangan pada waktu itu menurun.
            Bahkan terjadinya anomali iklim yang ekstrem dapat secara langsung menyebabkan penurunan produksi tanaman pangan tertentu, karena tidak mendukung lingkungan yang baik sebagai syarat tumbuh suatu tanaman. Contohnya saat terjadi anomali iklim El Nino menyebabkan penurunan hasil produksi tanaman tebu, sehingga negara melalukan impor gula.
            Penyebab impor bahan pangan selanjutnya adalah luas lahan pertanian yang semakin sempit. Terdapat kecenderungan bahwa konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian mengalami percepatan. Dari tahun 1981 sampai tahun 1999 terjadi konversi lahan sawah di Jawa seluas 1 Juta Ha di Jawa dan 0,62 juta Ha di luar Jawa. Walaupun dalam periode waktu yang sama dilakukan percetakan sawah seluas 0,52 juta ha di Jawa dan sekitar 2,7 juta Ha di luar pulau Jawa, namun kenyataannya percetakan lahan sawah tanpa diikuti dengan pengontrolan konversi, tidak mampu membendung peningkatan ketergantungan Indonesia terhadap beras impor.
            Ketergantungan impor bahan baku pangan juga disebabkan mahalnya biaya transportasi di Indonesia yang mencapai 34 sen dolar AS per kilometer. Bandingkan dengan negara lain seperti Thailand, China, dan Vietnam yang rata-rata sebesar 22 sen dolar AS per kilometer. Sepanjang kepastian pasokan tidak kontinyu dan biaya transportasi tetap tinggi, maka industri produk pangan akan selalu memiliki ketergantungan impor bahan baku.
            Faktor-faktor di atas yang mendorong dilakukannya impor masih diperparah dengan berbagai kebijakan-kebijakan pemerintah yang semakin menambah ketergantungan kita akan produksi pangan luar negeri. Seperti kebijakan dan praktek privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi.
            Privatisasi, akar dari masalah ini tidak hanya parsial pada aspek impor dan harga seperti yang sering didengungkan oleh pemerintah dan pers. Lebih besar dari itu, ternyata negara dan rakyat Indonesia tidak lagi punya kedaulatan, yakni kekuatan dalam mengatur produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangan. Saat ini di sektor pangan, kita telah tergantung oleh mekanisme pasar yang dikuasai oleh segelintir perusahaan raksasa. Privatisasi sektor pangan—yang notabene merupakan kebutuhan pokok rakyat—tentunya tidak sesuai dengan mandat konstitusi RI, yang menyatakan bahwa "Cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat". Faktanya, Bulog dijadikan privat, dan industri hilir pangan hingga distribusi (ekspor-impor) dikuasai oleh perusahaan seperti Cargill dan Charoen Phokpand. Mayoritas rakyat Indonesia jika tidak bekerja menjadi kuli di sektor pangan, pasti menjadi konsumen atau end-user. Privatisasi ini pun berdampak serius, sehingga berpotensi besar dikuasainya sektor pangan hanya oleh monopoli atau oligopoli (kartel), seperti yang sudah terjadi saat ini.
            Liberalisasi, disebabkan oleh kebijakan dan praktek yang menyerahkan urusan pangan kepada pasar (1998, Letter of Intent IMF), serta mekanisme perdagangan pertanian yang ditentukan oleh perdagangan bebas (1995, Agreement on Agriculture, WTO). Akibatnya negara dikooptasi menjadi antek perdagangan bebas. Negara ini pun melakukan upaya liberalisasi terhadap hal yang harusnya merupakan state obligation terhadap rakyat. Market access Indonesia dibuka lebar-lebar, bahkan hingga 0% seperti kedelai (1998, 2008) dan beras (1998). Sementara domestic subsidy untuk petani kita terus berkurang (tanah, irigasi, pupuk, bibit, teknologi dan insentif harga). Di sisi lain, export subsidy dari negara-negara overproduksi pangan seperti AS dan Uni Eropa beserta perusahaan-perusahaannya malah meningkat. Indonesia pun dibanjiri barang pangan murah, sehingga pasar dan harga domestik kita hancur. Hal ini jelas membunuh petani kita.
            Deregulasi, beberapa kebijakan sangat dipermudah untuk perusahaan besar yang mengalahkan pertanian rakyat. Seperti contoh UU No. 1/1967 tentang PMA, UU No. 4/2004 tentang Sumber Daya Air, Perpres 36 dan 65/2006, UU No. 18/2003 Tentang Perkebunan, dan yang termutakhir UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal. Dengan kemudahan regulasi ini, upaya privatisasi menuju monopoli atau kartel di sektor pangan semakin terbuka. Hal ini semakin parah dengan tidak diupayakannya secara serius pembangunan koperasi-koperasi dan UKM dalam produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangan.
            Dengan sistem kebijakan dan praktek ini, Indonesia kini tergantung kepada pasar internasional (harga dan tren komoditas). Maka saat terjadi perubahan pola-pola produksi – distribusi – konsumsi secara internasional, kita langsung terkena dampaknya. Kasus kedelai 2008 ini sebenarnya bukanlah yang pertama, karena ada kasus-kasus sebelumnya (beras pada tahun 1998, susu pada tahun 2007, dan minyak goreng pada tahun 2007). Hal ini akan sedikit banyak serupa pada beberapa komoditas pangan yang sangat vital bagi rakyat yang masih tergantung pada pasar internasional: beras, kedelai, jagung, gula, singkong dan minyak goreng.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini