1. Teori Emile Durkheim Tentang Sosiologi Perkotaan
Menurut Durkheim, transisi sosial akan mempengaruhi kohesi sosial atau yang oleh Durkheim sendiri disebutnya sebagai solidaritas sosial. Dalam pemikiran Durkheim, masyarakat sederhana membangun kohesivitas mereka atas dasar kesamaan-kesamaan diantara anggota-anggotanya. Setiap orang di wilayah tersebut bersaudara atau setidaknya mengenal dengan baik satu dengan yang lain. Hampir semua orang mempraktekkan nilai-nilai religius dan pandangan yang sama. Dalam masyarakat seperti itu pula, latar belakang etnik, nilai-nilai sosial-kultural, dan distribusi pekerjaan sangat tidak bervariasi. Durkheim menyebutkan bahwa masyarakat yang memiliki kohesivitas sosial semacam itu sebagai masyarakat yang memiliki solidaritas sosial mekanis. Menurut Durkheim, dalam masyarakat yang lebih kompleks, modern, perkotaan, orang-orang yang ada di dalamnya berbeda satu dengan yang lainnya. Mereka meyakini agama, berafiliasi politik, etnik, dan latar belakang keluarga yang beragam. Menurut Durkheim, Solidaritas sosial di perkotaan modern, tidak didasarkan atas kesamaan-kesamaan melainkan oleh ketergantungan pada posisi sosial dan okupasional masing-masing. Kohesivitas sosial semacam ini, oleh Durkheim, disebut sebagai solidaritas sosial organis, seperti halnya hubungan antar bagian dalam sebuah organisme.
Pemikiran Durkheim memperlihatkan perkembangan dan perubahan kelembagaan dan kultur sosial masyarakat dalam scope makrososial. Berbeda dengan Georg Simmel (1858 – 1918), melihat dalam scope yang lebih mikrososial. Simmel tidak berupaya memperbandingkan antara masyarakat perdesaan dengan perkotaan. Ia lebih memfokuskan perhatiannya kepada perkembangan yang terjadi dalam kehidupan manusia yang hidsup di perkotaan. Menurut pengamatan Simmel, orang yang hidup di perkotaan seringkali harus berhubungan dengan orang-orang lain yang tidak dikenalnya (stranger). Dalam interaksi semacam itu, setiap orang yang hidup di kota harus menarik diri secara mental sebagai strategi untuk mempertahankan jati dirinya (self-preservation). Oleh sebab itu, menurut Simmel, privasi orang-orang yang hidup di perkotaan lebih terjaga. Dalam pandangan Simmel, interaksi sosial di perkotaan cenderung lebih dingin, kalkulatif, serta didasarkan kepada rasionalitas dan obyektivikasi terhadap orang lain (setiap orang menjadikan orang lain sebagai obyek/instrumen untuk meraih kepentingan masing-masing).
2. Teori Weber Tentang Sosiologi Perkotaan
Sosiologi perkotaan mempelajari masyarakat perkotaan dan segala pola interaksi yang dilakukannya sesuai dengan lingkungan tempat tinggalnya. Materi yang dipelajari antara lain mata pencaharian hidup, pola hubungan dengan orang-orang yang ada di sekitarnya, dan pola pikir dalam menyikapi suatu permasalahan.
Max Weber berpendapar bahwa "suatu tempat adalah kota apabila penghuni setempatnya dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan ekonominya di pasar lokal. Barang-barang itu harus dihasilkan oleh penduduk dari pedalaman dan dijualbelikan di pasar itu". Jadi menurut Max Weber, ciri kota adalah adanya pasar, dan sebagai benteng, serta mempunyai sistem hukum dan lain-lain tersendiri, dan bersifat kosmopolitan.
Masyarakat perkotaan yang mana kita ketahui itu selalu identik dengan sifat yang individual, matrealistis, penuh kemewahan,di kelilingi gedung-gedung yang menjulang tinggi, perkantoran yang mewah, dan pabrik-pabrik yang besar.
"Asumsi kita tentang kota adalah tempat kesuksesan seseorang"
Masyarakat perkotaan lebih dipahami sebagai kehidupan komunitas yang memiliki sifat kehidupan dan ciri-ciri kehidupannya berbeda dengan masyarakat pedesaan.
Akan tetapi kenyataannya di perkotaan juga masih banyak terdapat beberapa kelompok pekerja-pekerja di sektor informal, misalnya tukang becak, tukang sapu jalanan, pemulung sampai pengemis. Dan bila kita telusuri masih banyak juga terdapat perkampungan-perkampungan kumuh tidak layak huni.
3. Teori Karl Marx Tentang Sosiologi Perkotaan
Karl Marx memandang kota sebagai "persekutuan yang dibentuk guna melindungi hak milik dan guna memperbanyak alat-alat produksi dan alat –alat yang diperlukan agar anggota masing-masing dapat mempertahankan diri". Perbedaan antara kota dan pedesaan menurut mereka adalah pemisahan yang besar antara kegiatan rohani dan materi.
Teori Marx merupakan suatu teori yang terutama berhubungan dengan tingkat struktur sosial tentang kenyataan sosial. Teori ini menekankan pada saling ketergantungan yang tinggi antara struktur sosial dan kondisi materil, dimana individu harus menyesuaikan dirinya supaya tetap hidup dan memenuhi semua kebutuhannya. Penekanan Marx pada penyesuaikan diri dengan lingkungan materil serta sumber-sumber yang dibutuhkan untuk pemenuhan kebutuhan dan keinginan manusia, merupakan satu catatan yang penting mengenai realisme praktis dalam analisa teoritisnya. Menurut Marx, hubungan antara individu dan lingkungan( dalam hal ini lingkugan kota) materilnya dijembatani melalui struktur ekonomi masyarakat. Struktur internal ekonomi itu terdiri dari kelas-kelas sosial yang muncul dari perbedaan dalam kesempatan untuk memiliki alat produksi serta ketidaksesuaian yang dihasilkannya dalam kepentingan ekonomi (Giddens, 1986).
Nama: Milva S Dwi Putri
Nim: 1113054000015
PMI 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar