Rabu, 17 April 2013

Dinamika Kota Besar dan Dampak Psikologis Terhadap Masyarakat

Dinamika Kota Besar dan Dampak Psikologis Terhadap Masyarakat[i]
Oleh : Ahmad Munsorif[ii]
1111054000008
Kota merupakan sebuah teritori yang pengertianya terus berubah sejalan dengan dinamika kota itu sendiri. Dalam konsep Jawa contohnya, tak dikenal dengan istilah kota. Yang ada hanya negara, dan wilayah itu ke mana pun "orang pergi ke luar tanpa melintasi sawah". Sementara orang Melayu menyebutnya Bandar: tempat persinggahan kapal-kapal, bongkar muat barang, dan lain-lain. Pemahaman ini tentunya datang dari mereka yang akrab dengan laut. Jadi kota/Bandar dalam hal ini merupakan gerbang. Jadi, kota di sini bisa diartikan dengan suatu batas, karena gerbang merupakan batas.

Kota tidak hanya mengemukakan fenomena wilayah geografis tertentu, tetapi juga seperangkat kegiatan dan dinamika penduduk yang terus bergerak. Hal tersebut mengantarkan benang merah untuk terus dipetakan dalam tiga kontinum pembahasan. Setidaknya, pembicaraan akan diuraikan dengan kajian perkotaan yang bermaksud mengenali kondisi perkotaan secara demografis yang pelik. Selain itu, disertai kompleksnya perspektif sosisologis yang kaya dan dinamik.
Benang merah kehadiran perkotaan tidak terlepas dari gesekan-gesekan spasial. Dalam sejarahnya, selalu saja ada yang ditelikung dan didominasi, digusur dan dikonvensi demi terbentuknya sistem perkotaan yang seragam. Termasuk bagaimana lahan-lahan pertanian dikonversikan fungsinya menjadi kemegahan kota yang lebih strategis secara ekonomis. Industrialisasi tampak mewah bagi pertanian yang lengang dan terpojok. Desa-desa mengungsikan penduduknya secara tak sadar ke kota. Menjadi bagian kecil dari sistem perkotaan, sistem industri. Akan tetapi, sperti pernah dituturkan James C Scott, selalu ada perlawan sederhana, walaupun pada kenyataaanya pembangunan kota terus berjalan.[iii]
Artikulasi globalisasi, integrasi social, sekaligus lahirnya euforia lokalisasi yang meriah, menciptakan kontradiksi kultural, ketegangan social, penyebaran komposisi etnis yang tidak melulu konsentris dan merata. Konsekuensi social, kultural, ekonomi, dan politik perkotaan merupakan peristiwa penting yang mewarnai konsensus zamanya. Panggung kehadiran kota sebagai wilayah, memiliki dampak yang besar terhadap masayarakat.[iv]
Akan tetapi, tampak pula kontradiksi kultural dalam perkembanganya. Semangat local dalam nuansa global terjadi pula di kota. Kolong-kolong social yang diciptakan terbatas dan parsial, setidaknya secara simbolik, dapat terbaca bahwa terdapat ruang-ruang yang dibatasi kelas social, kultural maupun politik. Ambil contoh permukiman sebagai ukuran simbolik kelas social tertentu. Cermin yang terpancar adalah ruang-ruang yang gaduh sekaligus sepi. Gaduh dalam keberagaman local, sepi dalam simfoni kebersamaan kelas social. Kondisi n\ini dipicu oleh perkembangan kota itu sendiri, baik dari paradigma structural mengenai masalah tata ruang serta konsep sebuah kota modern dan pascamodern yang melampaui nilai etis humanism. Selain itu, perlu juga mencermati sebentuk kehadiran dinamika kultural, politik identitas, dan struktur social ekonomi yang terjadi.
Masalah perkotaan juga mengenai urbanisasi, urbanisasi yang terlampau pesat dan tidak teratur mengakibatkan beberapa keadaan yang merugikan kota. Penduduk desa yang berbondong-bondong mencari pekerjaan di kota menjumpai kekecewaan karena besarnya jumlah mereka yang mencari pekerjaan, sehingga muncullah konflik persaingan antara penduduk kota dan pendatang.
Tidak hanya itu, masalah tuna karya juga merupakan masalah yang pelik karena mempertajam perbedaan antara golongan yang punya dengan yang tidak punya. Di desa hal ini tidak ditemukan, entah dia berkarya atau tidak bukan suatu masalah bagi mereka. Persoalan meningkatnya tuna karya di kota secara korelatif mengakibatkan meningkatnya tuna susila dan tindakan kriminalitas. Kriminalitas yang mula-mula didorong oleh rasa lapar dapat berubah menjadi suatu pekerjaan tetap sehingga muncullah kejahatan yang terorganisir yang sukar dicegah dan diberantas. Gejala semacam ini banyak dijumpai di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan lain sebagainya.[v]
Dinamika kota besar dengan bertambah pesatnya jumlah penduduk mengakibatkan persoalan perwismaan. Orang-orang tinggal bersempit-sempit dalam rumah-rumah yang tidak memenuhi persyaratan social maupun kesehatan. Keadaan demikian memberi akibat negative dalam bidang kesehatan dan yang terpenting dalam masalah pendidikan tunas-tunas muda. Tunas-tunas muda tersebut mempunyai daya atau kegairahan yang kuat sekali untuk meniru tingkah laku tunas-tunas muda kota yang tidak selamanya baikdikarenakan proses diintegrasi kekeluargaan di kota-kota besar, terutama yang menyangkut lapisan masyarakat atas dan menengah atas. Gejala tersebut menyebabkan timbulnya masalah kenakalan anak-anak dan lebih lagi persoalan kejahatan anak-anak. Dalam bidang rekreasi pun dijumpai kekecewaan besar karena besarnya biaya yang harus dikeluarkan.[vi]
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa dinamika kota besar akan terus mengalami dampak terhadap masyarakatnya. Mulai timbulnya masalah social atau maslah pribadi.



[i] Tema tugas ke 6 mata kuliah Psikologi Sosial Jur Pengembangan Masyarakat Islam.
[ii] Mahasiswa PMI semester 4.
[iii] Wahyu, Ramdani, ilmu social dasar, (bandung, Pustaka Setia,, 2010). Hlm 214
[iv] Hans Dieter Ever dan Rudiger Korff, Urbanisme di Asia Tenggara,(Jakarta YOI,2002).
[v] Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta,RajaGrafindo, 2010) hlm 143
[vi] Ibid hlm 144.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini