Minggu, 19 Mei 2013

Globaliasi dan Realitas Media_Farwah Assegaf_Tugas 9

GLOBALISASI DAN REALITAS MEDIA

Nama   : Farwah Assegaf (109051000146)
Kelas   : KPI 6F

A. PENDAHULUAN
Globalisasi menjadi kata popular yang berkembang dimasyarakat, globalisasi adalah hasil karya menakjubkan dari kemajuan pikiran mahluk yang bernama manusia yang tidak bisa kita pungkiri lagi. Arus globalisasi menerjang seluruh penjuru dunia termasuk juga Indonesia, perkembangan ini beriringan dengan pesatnya kemajuan teknologi informasi yang memudahkan penyebaran informasi dengan cepat dan luas. perkembangan teknologi ini berimplikasi pada muncul banyaknya media massa di Indonesia baik cetak, elektronik maupun online. Seperti halnya televisi juga mengalami peningkatan sangat signifikan dalam jumlah maupun kreatifitas konten program yang disuguhkan pada penontonnya.
Tanpa disadari atau disadari industri media massa khususnya televisi telah memberikan banyak pengaruh pada masyarakat. apa yang ditayangkan televisi akan berdampak pada psikologi masyarakat yang mempunyai kecenderungan untuk meniru apa saja dari pengalaman mereka menonton televisi. sasarannya tidak pandang bulu entah anak-anak, remaja, eksekutif muda ataupun orang tua sekalipun semua bisa saja menikmatinya dan terjebak didalamnya.
Pada dasarnya media massa (televisi) memiliki berbagai macam fungsi sosial, yakni media informasi, pendidikan, control sosial, lembaga ekonomi dan juga hiburan. Namun pada realitasnya fungsi media tersebut tidak terpenuhi semuanya. Ketika banyak dari kita memikirkan bagaimana televisi bisa digunakan untuk kepentingan pendidikan justru realitas sekarang sangat terbalik. Media televisi semakin gencar meluncurkan program tayangan hiburan. sebut saja OVJ, Bukan Empat Mata, Sinetron Kolosal Indosiar, FTV SCTV, Acara Music, tayangan keseharian selebritis, dan banyak lagi lainya. Televisi semakin cendrung menjalankan fungsi ekonominya melalui program-program hiburan baik yang bermuatan humor, mistik, seksual, politik,dll.
Fungsi hiburan sebenarnya hanya sebuah fungsi tambahan, yaitu sebagai hiburan, relaksasi, pengalihan ketegangan, sebagai iringan 3 (tiga) fungsi aktifitas media massa yang di kemukakan oleh Harold D. Lasswell. Tetapi kita bisa menyaksikan sendiri bahwa bahasa pertelevisian indonesia saat ini adalah berbahasa super-hiburan bahkan adopsi program acara pun dilakukan demi menjaga kelangsungan ekonomi dan mengikat penontonnya, seperti program Indonesian idol, dan yang baru lagi yaitu X-factor. Mungkin ini sah-sah saja karena nyatanya masyarakat juga menikmatinya, Berdasarkan realitas tersebut secara tidak langsung kita dituntut untuk bisa mengembangkan kesadaran kritis masyarakat terhadap pemanfaatan media, melalui pendidikan media (literasi media), maupun dengan mengembangkan media alternatif.[1]
B. METODE STUDI
Dalam penulisan Paper  ini, penulis menggunakan metode studi pustaka. Dalam pengerjaannya, penulis menggunakan metode ini untuk mendapatkan data yaitu dengan melihat, membaca, dan mempelajari buku-buku referensi juga mencari dari Wikipedia/internet.
C. ANALISIS
Globalisasi adalah keterkaitan dan ketergantungan antar bangsa dan antar manusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit.[2]
Gencarnya arus globalisasi yang menerjang ke berbagai negara termasuk Indonesia, dan dalam waktu bersamaan hadirnya kecanggihan teknologi telah banyak membantu dalam penyebarannya. Kenyataan ini berimplikasi pada perubahan pradigma masyarakat dalam menyikapi suatu kehidupan. Realitas kehidupan masyarakat dewasa ini, telah melahirkan loncatan peradaban tiga langkah kedepan dibandingkan dengan seperempat abad peradaban sebelumnya. Lahirnya modernisasi kehidupan di berbagai belahan dunia, telah banyak merubah cara pandang dan pola hidup masyarakat, sehingga peradaban yang terlahir adalah terciptanya budaya masyarakat konsumtif dan hedonis dalam lingkungan masyarakat kapitalis. Fenomena ini tidaklah terlalu aneh bin ajaib untuk diperbincangkan, dan bahkan pradigma dan  pola hidup masyarakat kini, telah masuk dalam praktik-praktik kehidupan serta telah menjadi bagian dari munculnya budaya baru. Keberadaan budaya baru ini merupakan hasil dari para importir penguasa media, yang sengaja memporak porandakan tatanan budaya yang sudah mapan selama bertahun-tahun menjadi bagian dari jatidiri bangsa, hasil warisan dari para pendiri bangsa ini sebelumnya. 
Keanehnya mengisyaratkan bahwa keberadaan budaya baru ini telah mendominasi dan memegang kendali dalam realitas kehidupan serta mampu melindas sedikit demi sedikit dan akhirnya menggeser budaya lokal hingga tersudutkan dan terlempar dari lingkungan masyarakatnya. Tanpa disadari, bahwa kita telah terjebak dalam perangkap suguhan praktik-praktik yang mengusung "budaya asing" itu, telah memaksa menjadi bagian hidup dari masyarakat modern, hingga melahirkan suatu istilah "gaya hidup" sebagai simbol atau ikon masyarakat modern. Kenyataan ini menjelaskan bahwa pradigma tentang suatu "gaya hidup" yang sudah membudaya dan menjadi ikon dari masyarakat modern itu, sudah menyusup dan memprovokasi masyarakat dengan menjelma dan menyatu menjadi figur-figur pencari sensasi dalam ruang hiruk pikuk dan berkecamuknya pernik-pernik beradaban di tengah keragaman pola hidup masyarakat modern.
Fenomena yang terjadi merekam suatu realitas kehidupan yang mengisyaratkan kekontrasan hidup dalam jati diri bangsa Indonesia, betapa tidak  terkadang kita mengeleng-gelengkan kepala, entah pikiran apa yang ada di dalam otak kita tatkala melihat gaya penampilannya yang mengundang sejuta tanda tanya. Lihatlah penampilannya para eksekutif muda dengan keharuman parfum Axe telah bercengkramah dalam suasana alunan musik Jazz di salah satu sudut ruangan Cafe "American Style". Anak-anak muda dengan potongan rambut jambul yang di cat berwarna-warni dan berakhir dengan kucir di belakng kepala, bagai burung Cendrawasih dan Segerombolan anak muda berambut Punk, suatu gaya rambut model kulit duren dengan dihiasi atribut pernik-pernik dari metal itu, telah nongkrong di bawah jembatan layang Roxy Mas. Para remaja putri telah berpakaian seronok, celana ketat dengan mengumbar pusernya terlihat menganga dalam adu suara di atas pentas. Para pasangan ABG dengan model rambut jagungnya telah bermesraan dan berangkulan seenaknya sendiri di tempat umum "Mbok Rondho Plaza", tanpa ada rasa malu di dalam dirinya. Serta sederetan fenomena-fenomena paradoks dalam "gaya hidup" yang hadir di tengah-tengah kehidupan kita. Hadirnya arus globalisasi ditengah-tengah masyarakat kita telah membawa dampak besar terhadap keberadaan kebudayaan setempat. Tergesernya budaya setempat dari lingkungannya, disebabkan oleh kemunculannya sebuah kebudayaan baru yang konon katanya lebih atraktif, fleksibel dan mudah dipahami sebagian masyarakat.[3]
Sedangkan, bahwasannya realitas yang tampil di media merupakan hasil konstruksi yang boleh jadi telah mengalami penambahan maupun pengurangan karena turut campurnya faktor subyektivitas dari pelaku representasi alias orang-orang yang terlibat dalam media. Tidaklah sesederhana pandangan reflektif, penggunaan istilah representasi berangkat dari kesadaran bahwa apa yang tersaji di media seringkali tidak selalu persis dengan apa yang ada di realitas empirik. Meyakini realitas media sebagai hasil konstruksi sama halnya dengan memandang suatu fenomenayang dibaratkan seperti gunung es. Permukaan yang terlihat seringkali hanya sebagian kecil dari kenyataan sesungguhnya, dan sebaliknya apa yang ada di bawah permukaan itu justru lebih besar. Pada gilirannya peran pemaknaan oleh pembaca menjadi hal penting karena pembacalah yang mempunyai otoritas untuk melihat sejauh mana bagian yang tidak tampak dari gunung es itu dapat diketemukan. Dalam bahasa konstruktivis, peran pembaca untuk mengidentifikasi bagian-bagian yang (seringkali) tak terlihat itu disebut sebagai memaknai.
Persoalannya adalah ketika realitas media telah tersaji ke ruang publik maka media tidak lagi mempunyai otoritas untuk memaksa makna-makna yang mereka kehendaki sehingga peran pemaknaan pun berpindah pada pembaca. Ketika pembaca mempunyai kekuasaan penuh untuk memaknai sebuah berita, maka peran bahasa menjadi penting.[4]

DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini