Minggu, 23 November 2014

UTS Milva Susanti D putri.

Budaya Konsumtif Kalangan Mahasiswa di Jakarta

(Studi Kasus Mahasiswi UIN Jakarta yang Tinggal di Griya Aini Ciputat)

Oleh

Milva Susanti D Putri (1113054000015)

Mahasiswa Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam

Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

 

Abstract

Globalization era had made everythings change in the world, one of them is consumerism culture. Consumerism culture affecting someone's attitude to decide the purchase on one product, that obviously controlloled by the power of mass media and electronic media. The change of the consumerism culture is a big consequences of living exposure that triggered by city environment that provide modern shopping facility. The same case in "University Student Circle", they are have consumerism culture because want to have something or everything in instant and don't want to waiting something to a few time. Moreover, they have consumerism culture because they want to satistfied their prestige.

 

Lahirnya Budaya Konsumtif

Arus globalisasi memang telah mengubah banyak hal dalam kehidupan. Perubahan ini pun terjadi dalam berbagai bidang seperti teknologi, pendidikan, ekonomi dan lain-lain. Dari segi teknologi, dapat kita lihat bahwa saat ini banyak sekali mesin canggih yang bahkan dapat menggantikan kerja manusia. Begitu juga hal nya dalam bidang ekonomi dan produksi, banyak hal yang dahulunya tidak ada atau harus di buat dengan manual, sekarang sudah menjadi instans. Hal-hal ini lah yang menjadi faktor penumbuh kembang terjadinya budaya konsumtif di masyarakat.

Selain itu fenomena banyaknya pusat perbelanjaan (mall) dan supermarket juga membuat peningkatan yang signifikan terhadap keinginan orang-orang mengkonsumsi banyak barang. Dari barang-barang pokok hingga barang-barang tambahan yang terkadang dibeli hanya untuk kepuasan mata konsumen. Kebanyakan orang sekarang lebih senang menghabiskan waktu untuk berlama-lama di mall dengan alasan untuk membeli barang yang diperlukan atau hingga hanya sekedar untuk mencari hiburan.

Teori Budaya Konsumtif

            Konsumsi adalah sebuah perilaku aktif dan kolektif, juga merupakan paksaan sebuah moral dan institusi. Masyarakat konsumsi, juga merupakan masyarakat pembelajaran konsumsi, pelatihan sosial dalam konsumsi, artinya sebuah cara baru dan spesifik bersosialisasi dalam hubungan dengan munculnya kekuatan-kekuatan produktif baru dan restrukturisasi monopolitik sistem ekonomi pada produktivitas yang tinggi. Produksi dan konsumsi merupakan satu-satunya dan bahkan proses yang masuk akal sebuah produksi besar yang diperluas dengan kekuatan produktif (Baudrillard, 2004: 92).

Baudrillard (dalam Agger, 2005: 284) menyatakan bahwa posmodernisme bergerak di atas mode produksi (begitu Marx menyebutnya) ke dalam mode simulasi dan informasi yang menyingkirkan proses kekuasaan dari semata-mata produksi menjadi informasi dan hiburan. Sedangkan konsepsi Jameson (dalam Featherstone 2005) tentang posmodernisme terpengaruh kuat oleh karya Baudrillard yang memandang budaya posmodernisme sebagai budaya masyarakat konsumen, tahapan kapitalis baru setelah perang dunia II. Dalam masyarakat ini budaya diberi arti baru melalui penjenuhan sinyal dan pesan sampai sedemikian rupa sehingga segala sesuatu dalam kehidupan sosial dapat dikatakan telah bersifat kultural. Hal ini berkait erat dengan tesis yang dikemukakan oleh Cella Lury (1998) bahwa budaya konsumen merupakan bentuk khusus dari budaya materi yang telah berkembang pada masyarakat Eropa-Amerika pada paruh kedua abad ke-20.

Ada empat faktor yang dianggap penting dalam membentuk gaya budaya konsumen kontemporer, yaitu: (1) pentingnya sirkulasi komoditas, yakni benda-benda yang dibentuk atau diproduksi untuk pertukaran di pasar dalam sebuah pembagian kerja kapitalis; (2) perubahan dalam keterkaitan berbagai sistem produksi dan konsumsi, dan multifikasi tempat-tempat yang relatif independen untuk penggunaan benda-benda. Perubahan-perubahan ini dipandang telah menciptakan situasi yang membuat kegiatan-kegiatan para pengguna komoditas dan hal-hal lainnya dihubungkan melalui sebuah keseluruhan siklus produksi dan konsumsi yang saling terkait, titapi tidak ditentukan oleh pembagian kerja industri dan pertukaran ekonomi di pasar. (3) kemandirian relative praktek-praktek konsumsi dan praktek-praktek produksi serta pertumbuhan kekuatan dan otoritas di kalangan konsumen; (4) kepentingan khusus diberikan kepada konsumsi atau kemanfaatan objek atau benda-benda budaya dalam masyarakat kontemporer oleh kelompok-kelompok sosial yang spesifik atau pelaku-pelaku budaya.

Jika dalam perspektif ilmu ekonomi klasik, objek dari semua produksi adalah konsumsi dengan individu-individu yang memaksimalkan kepuasan mereka melalui pembelian berbagai benda yang cakupannya selalu semakin banyak, maka dari perspektif pengikut neo-marxis abad kedua puluh perkembangan ini dipandang sebagai menghasilkan kesempatan yang lebih besar untuk melakukan konsumsi yang terkendali dan dapat dimanipulasikan (Featherstone, 2005).

Tiga perspektif utama budaya konsumen diungkapkan oleh Featherstone. Pertama, pandangan bahwa budaya konsumen dipremiskan dengan ekspansi produksi komoditas kapitalis yang memunculkan akumulasi besar-besaran budaya dalam bentuk barang-barang konsumen dan tempat-tempat belanja dan konsumsi. Hal ini mengakibatkan tumbuhnya kepentingan aktivitas bersenang-senang dan konsumsi dalam masyarakat Barat kontemporer. Kedua, pandangan yang lebih sosiologis, bahwa kepuasan berasal dari benda-benda berhubungan dengan akses benda-benda yang terstruktur secara sosial dalam suatu peristiwa yang telah ditentukan di dalamnya kepuasan dan status tergantung pada penunjukkan dan pemeliharaan perbedaan dalam kondisi inflasi. Ketiga, masalah kesenangan emosional untuk konsumsi, mimpi-mimpi dan keinginan yang ditampakkan dalam bentuk bentuk tamsil budaya konsumen dan tempat-tempat konsumsi tertentu yang secara beragam memunculkan kenikmatan jasmaniah langsung serta kesenangan estetis.[1]

Perilaku Konsumtif dan Life Style

Dalam konteks kehidupan masyarakat kota, selain dipengaruhi oleh kepribadian konsumen, perilaku konsumtif juga dipengaruhi oleh lingkungan perkotaan dan media massa. Lingkungan perkotaan yang dimaksud adalah semakin banyak munculnya pusat-pusat perbelanjaan modern yang dapat mendorong orang untuk berkunjung dan berbelanja, walaupun sebelumnya tidak memiliki niat untuk berbelanja. Di pusat-pusat perbelanjaan tersebut, para pengunjung cenderung dibimbing untuk membeli sesuatu setelah melihat dan tertarik pada produk tertentu, sehingga seseorang akan memutuskan untuk membeli setelah dia berinteraksi dengan produk yang dipamerkan tersebut.

Menurut Yasraf Amir Piliang (dalam Subandi, 2005: 177), mengalirnya fashion di pusat-pusat perbelanjaan dalam kecepatan yang tinggi justru memacu kecepatan produksi dan konsumsi barang tersebut. Ini tidak hanya berlaku pada model pakaian, tetapi juga pada model barang konsumer lainnya, seperti bahan makanan, sepatu, elektronik serta kebutuhan yang berkaitan dengan gaya hidup.

Selain itu, media massa baik cetak maupun elektronik telah membentuk perilaku konsumen setiap orang. Iklan terutama di televisi telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, yang dapat membentuk pengetauan dan keinginan untuk berbelanja ke pusat-pusat perbelanjaan manual maupun online. Interaksi antara seseorang dan media iklan dapat mempengaruhi perilaku konsumen sebelum membeli sebuah produk. Subandi (2005) melihat bahwa fenomena "masyarakat komoditas" Indonesia, barangkali dengan dukungan industri kebudayaan untuk publik massa baru yang ditandai dengan menjamurnya penerbitan majalah popular, televisi swasta, perumahan mewah, kawasan wisata, pusat hiburan, dan pusat perbelanjaan modern (seperti mall).

Budaya konsumtif di kalangan mahasiswa (studi kasus mahasiswi UIN Jakarta yang tinggal di Griya Aini Ciputat)

Dalam observasi yang penulis lakukan, dapat penulis simpulkan bahwa kebanyakan mahasiswi-mahasiswi tersebut (yang diwawancarai) lebih suka menkonsumsi daripada memproduksi karena beberapa hal, salah satunya adalah karena membeli (mengkonsumsi) lebih mudah dan cepat, sedangkan memproduksi membutuhkan waku yang lama dan biaya yang besar.

Sebagian besar dari para mahasiswi ini cukup sadar bahwa perilaku konsumtif mereka ini lahir mulai pada arus globalisasi. Mereka merasa mulai melakukan budaya konsumtif ini semenjak mereka mengenal suatu barang yang mudah didapatkan dan mempunyai harga yang rrelatif murah. Selain itu ada juga mahasiswa yang tanpa sadar melakukan perilaku konsumtif, karena merasa barang-barang yang dibeli masih meupakan kebutuhan kehidupannya, meskipun terkadang barang yang telah di beli justru sangat jarang dipergunakan.

Dari observasi penulis ketahui juga bahwa para mahasiswi ini sangat terpengaruh dengan iklan baik dari media massa maupun elektronik yang punya daya tarik tinggi. Bahkan mereka memaparkan bahwa beberapa brand tertentu sering memproduksi sebuah catalog yang berisi semua produk yang mereka jual dan dengan tampilan yang sangat menarik. Sehingga terkadang barnag yng tidak ingin dibeli atau dimiliki menjadi sangat ingin dimiliki setelah melihat majalah atau catalog tersebut.

Sehingga bisa dibilang bahwa perilaku konsumtif dikalangan mahasiswa (dalam hal ini mahasiswi yang penulis teliti) sangat tinggi. Mereka bahkan lebih siap mengeluarkan uang lebih untuk membeli suatu barang yang sangat diinginkan daripada mengalokasikannya untuk hal-hal lebih bermanfaat lainnya. Diantara mereka ada juga yng gemar mengkonsumsi barang-barang branded yang unlimited demi mempertahankan gengsi ataupun status sosial yang selama ini telah mereka sandang. Meskipun barang yang dibeli tidak dibutuhkan dan sekalipun barang yang dibeli harganya sangat mahal.

Analisis dalam teori kelas Karl Marx

Semakin tumbuh suburnya budaya konsumen dan tidak sekedar memandang konsumsi sebagai sesuatu yang berasal dari produksi tanpa mengakibatkan adanya problematika, namun lebih jauh dari itu budaya konsumen juga mempengaruhi perilaku seseorang untuk memutuskan pembelian produk, yang tentunya dikendalikan oleh kekuatan media massa, seperti iklan.[2] Periklanan secara khusus mampu mengeksploitasi kondisi ini dan memberikan image-image percintaan, eksotika, kecantikan, pemenuhan kebutuhan, serta kehidupan yang baik untuk menyebarkan benda-benda konsumen seperti sabun, mesin cuci, mobil, dan sebagainya. Budaya konsumtif akan mendorong orang untuk berperilaku sesuai tingkatan kelas sosialnya dalam kehidupan bermasyarakat.

Berkaitan dengan perilaku konsumen dapat dikarakteristikan beberapa ciri kelas sosial yaitu:

1.      Kelas sosial atas, memiliki kecenderungan membeli barang-barang yang mahal, membeli pada took yang berkualitas dan lengkap (supermarket, mall, dan lain-lain), konservatif dalam konsumsinya, barang-barang yang dibeli cenderung untuk dapat menjadi warisan bagi keluarganya.

2.      Kelas sosial golongan menengah, cenderung membeli barang-barang untuk menampakkan kekayaan, membeli barang-barang dengan jumlah banyak dan kualitasnya cukup memadai. Mereka berkeinginan membeli barang yang mahal dengan sistem kredit, misalnya kendaraan, rumah mewah, elektronik, dan lain-lain.

3.      Kelas sosial golongan rendah, cenderung membeli barang dengan mementingkan kuantitas daripada kualitasnya. Pada umumnya mereka membeli barang untuk kebutuhan sehari-hari, memanfaatkan penjuaan barang-barang yang di obral atau membeli barang-barang yang sedang dalam promosi.

 

Referensi

Agger, Ben. 2005. Teori Sosial Kritis, Kritik, Penerapan dan Implikasinya. Diterjemahkan oleh Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Baudrillard, Jean P. 2004. Masyarakat Konsumsi. Diterjemahkan oleh Wahyunto. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Featherstone, Mike. 2005. Posmodernisme dan Budaya Konsumen. Terjemahan oleh Misbah Zulfa Elizabeth. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Subandi, Ibrahim Idi. 2005. Lifestyle Ecstasy, Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra.

Http://eprints.unsri.ac.id/731/2/Budaya_Konsumerisme_Masyarakat_Perkotaan.pdf



[2] Ideologi baru masuk lewat gemerlap iklan, sihir program televisi, tawaran gaya hidup yang mewah yang kemudian mengkonstuksi atau merubah kebudayaan berikut pengeritiannya yang selama ini dikenal orang pada telaah baru, karena pada dasarnya pengertian kebudayaan dengan batas-batasnya pada studi yang umum sebelumnya memang tidak ada dalam realitas. Lihat Bre Redana, dalam Idi Subandi Ibrahim, 2005. Hal 140.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini