Rabu, 05 September 2012

The Death of Samurai : Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo

The Death of Samurai : Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo

* Written by Yodhia Antariksa
* Posted September 3, 2012 at 12:00 am

Hari-hari ini, langit diatas kota Tokyo terasa begitu kelabu. Ada 
kegetiran yang mencekam dibalik gedung-gedung raksasa yang menjulang 
disana. Industri elektronika mereka yang begitu digdaya 20 tahun silam, 
pelan-pelan memasuki lorong kegelapan yang terasa begitu perih.

Bulan lalu, Sony diikuti Panasonic dan Sharp mengumumkan angka kerugian 
trilyunan rupiah. Harga-harga saham mereka roboh berkeping-keping. Sanyo 
bahkan harus rela menjual dirinya ke perusahaan China. Sharp berencana 
menutup divisi AC dan TV Aquos-nya. Sony dan Panasonic akan mem-PHK 
ribuan karyawan mereka. Dan Toshiba? Sebentar lagi divisi notebook-nya 
mungkin akan bangkrut (setelah produk televisi mereka juga mati).


Adakah ini pertanda salam sayonara harus dikumandangkan? Mengapa 
kegagalan demi kegagalan terus menghujam industri elektronika raksasa 
Jepang itu? Di Senin pagi ini, kita akan coba menelisiknya.

Serbuan Samsung dan LG itu mungkin terasa begitu telak. Di mata orang 
Jepang, kedua produk Korea itu tampak seperti predator yang telah 
meremuk-redamkan mereka di mana-mana. Di sisi lain, produk-produk 
elektronika dari China dan produk domestik dengan harga yang amat murah 
juga terus menggerus pasar produk Jepang. Lalu, dalam kategori digital 
gadgets, Apple telah membuat Sony tampak seperti robot yang bodoh dan tolol.

What went wrong? Kenapa perusahaan-perusahaan top Jepang itu jadi 
seperti pecundang? Ada tiga faktor penyebab fundamental yang bisa kita 
petik sebagai pelajaran.

Faktor 1 : Harmony Culture Error. Dalam era digital seperti saat ini, 
kecepatan adalah kunci. Speed in decision making. Speed in product 
development. Speed in product launch. Dan persis di titik vital ini, 
perusahaan Jepang termehek-mehek lantaran budaya mereka yang 
mengangungkan harmoni dan konsensus.

Datanglah ke perusahaan Jepang, dan Anda pasti akan melihat kultur kerja 
yang sangat mementingkan konsensus. Top manajemen Jepang bisa rapat 
berminggu-minggu sekedar untuk menemukan konsensus mengenai produk apa 
yang akan diluncurkan. Dan begitu rapat mereka selesai, Samsung atau LG 
sudah keluar dengan produk baru, dan para senior manajer Jepang itu 
hanya bisa melongo.

Budaya yang mementingkan konsensus membuat perusahaan-perusahaan Jepang 
lamban mengambil keputusan (dan dalam era digital ini artinya tragedi).

Budaya yang menjaga harmoni juga membuat ide-ide kreatif yang radikal 
nyaris tidak pernah bisa mekar. Sebab mereka keburu mati : dijadikan 
tumbal demi menjaga "keindahan budaya harmoni". Ouch.

Faktor 2 : Seniority Error. Dalam era digital, inovasi adalah oksigen. 
Inovasi adalah nafas yang terus mengalir. Sayangnya, budaya inovasi ini 
tidak kompatibel dengan budaya kerja yang mementingkan senioritas serta 
budaya sungkan pada atasan.

Sialnya, nyaris semua perusahaan-perusahaan Jepang memelihara budaya 
senioritas. Datanglah ke perusahaan Jepang, dan hampir pasti Anda tidak 
akan menemukan Senior Managers dalam usia 30-an tahun. Never. Istilah 
Rising Stars dan Young Creative Guy adalah keanehan.

Promosi di hampir semua perusahaan Jepang menggunakan metode urut 
kacang. Yang tua pasti didahulukan, no matter what. Dan ini dia : di 
perusahaan Jepang, loyalitas pasti akan sampai pensiun. Jadi terus 
bekerja di satu tempat sampai pensiun adalah kelaziman.

Lalu apa artinya semua itu bagi inovasi ? Kematian dini. Ya, dalam 
budaya senioritas dan loyalitas permanen, benih-benih inovasi akan mudah 
layu, dan kemudian semaput. Masuk ICU lalu mati.

Faktor 3 : Old Nation Error. Faktor terakhir ini mungkin ada kaitannya 
dengan faktor kedua. Dan juga dengan aspek demografi. Jepang adalah 
negeri yang menua. Maksudnya, lebih dari separo penduduk Jepang berusia 
diatas 50 tahun.

Implikasinya : mayoritas Senior Manager di beragam perusahaan Jepang 
masuk dalam kategori itu. Kategori karyawan yang sudah menua.

Disini hukum alam berlaku. Karyawan yang sudah menua, dan bertahun-tahun 
bekerja pada lingkungan yang sama, biasanya kurang peka dengan perubahan 
yang berlangsung cepat. Ada comfort zone yang bersemayam dalam raga 
manajer-manajer senior dan tua itu.

Dan sekali lagi, apa artinya itu bagi nafas inovasi? Sama : nafas 
inovasi akan selalu berjalan dengan tersengal-sengal.

Demikianlah, tiga faktor fundamental yang menjadi penyebab utama mengapa 
raksasa-raksasa elektronika Jepang limbung. Tanpa ada perubahan radikal 
pada tiga elemen diatas, masa depan Japan Co mungkin akan selalu berada 
dalam bayang-bayang kematian.

http://strategimanajemen.net/2012/09/03/the-death-of-samurai-robohnya-sony-panasonic-sharp-dan-sanyo/

--
tantan hermansah


www.jendelaterbuka.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini