Sabtu, 13 Oktober 2012

Syarif Hidayatullah (Jurnalistik 1A)

Resume "The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism"
Dari awal sumbangan dan kontribusi Max Weber, terlahir sebuah karya yang hebat yang lebih di kenal dalam bahasa Jerman "Die protestantische Ethik und der 'Geist' des Kapitalismus" atau "The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism" dan di terjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi "Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme" yang di mulai dari sebuah kumpulan esai dan di kenalkan pada tahun 1904. Hasil karyanya ini adalah sebagian dari karya besarnya yang mengkaji bidang keagamaan dan kapitalisme yang ada di seluruh belahan dunia.
Kapitalisme, dengan organisasi tenaga kerja bebas, pasar terbuka, dan sistem tata buku yang rasional, hanyalah satu komponen dari sistem hukum, politik, seni, arsitektur, sastra, universitas, dan pemerintahan. Dalam penelitiannya dia tak secara langsung menghubungkan bagian yang ada dengan struktur kapitalis tetapi dia mencukup mengkaitkannya antara system ekonomi kapitalis dengan gagasan lain yakni "semangat kapitalisme". Secara langsung keduanya sangat berkaitan dan jelas hubungan antara ekonomi kapitalis dengan dunia material, walau bukan menjadi pusat kajiannya. Ada pendapat yang menyatakan bahwa buku ini tidak boleh dilihat sebagai studi yang terinci tentang Protestanisme melainkan lebih sebagai pengantar ke dalam karya-karya Weber yang belakangan, khususnya studinya tentang interaksi antara berbagai gagasan keagamaan dan ekonomi.
Weber menuliskan bahwa kapitalisme berevolusi ketika etika Protestan yakni Calvinis memengaruhi sejumlah orang untuk bekerja dalam dunia sekuler,membangun dan mengembangkan perusahaan mereka sendiri dan ikut dalam perdagangan dan pengumpulan kekayaan untuk investasi. Dalam kata lain, etika Protestan adalah sebuah kekuatan belakang dalam sebuah aksi masal tak terencana dan tak terkoordinasi yang menuju ke pengembangan kapitalisme. Pemikiran ini juga dikenal sebagai "Thesis Weber".
Dalam buku ini dia juga menuliskan bahwa semangat kapitalisme adalah suatu gagasan untuk menunjang mengejar keuntungan ekonomi secara rasionalisme. Weber pun juga menerangkan bahwa hal ini tidak hanya terbatas pada bangsa barat saja, karena semuannya bisa melekat pada setiap individu. Namun dengan adanya sikap heroik atau serakah tidak akan membentuk suatu tatanan ekonomi yang baik (kapitalisme).
Kecenderungan-kecenderungan umum adalah keserakahan akan keuntungan dengan upaya yang minimal dan gagasan bahwa kerja adalah suatu kutukan dan beban yang harus dihindari, khususnya ketika hasilnya melebihi dari kebutuhan untuk kehidupan yang sederhana. Seperti yang ditulisnya dalam esainya:
Agar suatu gaya hidup yang teradaptasi dengan sifat-sifat khusus dari kapitalisme… dapat mendominasi gaya hidup yang lainnya, ia harus muncul dari suatu tempat tertentu, dan bukan dalam pribadi-pribadi yang terpisah saja, melainkan sebagai suatu gaya hidup yang umum dari keseluruhan kelompok manusianya.
Dari esai yang telah di kemukakan Weber juga menambahkan bahwa ada banyak alasan untuk mengungkapkan asal-usul gagasan-gagasan keagamaan dari reformasi. Namun demikian, Weber melihat pemenuhan etika Protestan bukan dalam Lutheranisme, yang ditolaknya lebih sebagai sebuah agama hamba, melainkan dalam bentuk Kekristenan yang Calvinis.
Weber mencoba memberi perhatian pada salah satu ajaran Calvinis yang memiliki pengaruh yang cukup kuat bagi para pengikutnya, yaitu ajaran mengenai predestinasi. Lewat ajaran tersebut dikatakan bahwa Allah menerima sebagian orang sehingga mereka dapat mengharapkan kehidupan, dan memberikan hukuman kepada yang lain untuk menjalani kebinasaan. Calvin sendiri berpendapat bahwa hal ini terjadi karena adanya anggapan bahwa yang dimaksudkan sebagai dasar predestinasi adalah 'Allah tahu segala hal dari sebelumnya.' Dengan kata lain, apabila kita menganggap bahwa Allah mengetahui segala sesuatu sebelum waktunya, kita dapat menarik suatu kesimpulan bahwa segala hal itu sudah sejak kekal dan sampai kekal berada di hadapan Allah. Sebelum penciptaan, manusia sebenarnya sudah ditentukan untuk diselamatkan atau dihukum. Sejak semula, semua orang tidak diciptakan dalam keadaan yang sama. Oleh karena itu, kita harus mengatakan bahwa dasar predestinasi  bukanlah pada pekerjaan manusia. Artinya, tidak ada satu pun manusia yang mampu mengubah keadaan tersebut, dan tidak ada yang bisa menolong seseorang yang sudah ditentukan bahwa ia akan dihukum setelah kematiannya sebab predestinasi adalah keputusan Allah yang kekal dalam dirinya sendiri, tidak memperhitungkan sesuatu yang berada di luar.
Weber berargumentasi bahwa akibat dari ajaran tentang predestinasi bagi para pemeluk Calvinis adalah adanya suatu kesepian di dalam hati mereka. Artinya, mereka harus berhadapan dengan nasibnya sendiri yang telah diputuskan Tuhan sejak awal penciptaan. Mereka harus berhadapan dengan takdirnya secara pribadi dan tidak dapat memilih seseorang yang dapat memahami secara bersamaan firman Tuhan, terkecuali hatinya sendiri. Dalam persoalan yang menentukan ini, setiap orang harus berjalan sendirian saja, tidak seorang pun dapat menolong dirinya, termasuk kaum agamawan. Tidak pula sakramen, karena sakramen bukanlah sarana untuk memperoleh rahmat. Bukan pula Gereja, sebab bagaimanapun, keanggotaan Gereja abadi mencakup mereka yang terkutuk. Akhirnya, bahkan Allah pun tidak bisa membantu.
Jika demikian, bagi para pemeluk Calvinis, usaha untuk mencari identitas dirinya yang pasti masih merupakan misteri yang belum terungkapkan. Sementara itu, ia tetap terikat dengan berbagai aktivitas penghidupan dunia. Para pemeluk Calvinis sadar bahwa adanya dunia adalah diciptakan untuk melakukan pemujaan terhadap Tuhan, sesuai dengan tujuan penciptaan itu sendiri. Begitu pula terpilihnya orang-orang Kristen di dunia adalah untuk meningkatkan pemujaannya terhadap Tuhan. Ini berarti bahwa orang Kristen harus mengikuti perintah-perintah-Nya sesuai dengan kemampuannya yang paling baik. Tuhan sendiri mengajarkan agar kehidupan sosial ini diatur sesuai dengan perintah-perintah-Nya. Aktivitas sosial yang dilakukannya semata-mata diperuntukkan bagi kemuliaan Tuhan. Namun demikian, hal yang paling penting dari aktivitas-aktivitas itu dilakukan dengan dasar 'kerja dalam panggilan' untuk melayani kehidupan masyarakat dunia.
Yang pada akhirnya diperoleh kesimpulan mengenai apa yang disebutnya "Etika Protestan" dan hubungannya dengan "Semangat Kapitalisme," Max Weber mencari hubungan antara penghayatan agama dengan pola perilaku, termasuk ekonomi. Usaha tersebut dilatarbelakangi oleh pengalamannya sendiri ketika ia memperhatikan kenyataan yang terjadi  di Eropa bahwa orang-orang yang memiliki posisi penting dalam beberapa bidang pekerjaan, sebagian besar adalah orang-orang yang menganut agama Kristen Protestan. Bagi Weber, kenyataan seperti itu tentu bukan suatu kebetulan belaka. Ia berusaha mencari faktor-faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Pada awal pencariannya, Weber memperlihatkan perbedaan yang mencolok antara orang Katolik dan orang Protestan dalam hal sikap terhadap pekerjaan. . Ia mengamati bahwa agama Kristen Protestan memberikan nilai yang positif terhadap dunia material yang bersifat kodrati. Di sinilah Weber melihat bahwa karena kecenderungannya tersebut, maka dapatlah dimengerti mengapa orang-orang protestan Calvinis dalam menghadapi panggilannya di dunia ini memperlihatkan sikap hidup yang optimis, positif, dan aktif. 
Dalam Esainya juga dapat ditafsirkan sebagai salah satu kritik Weber terhadap Karl Marx dan teori-teorinya. Sementara Marx berpendapat, pada umumnya, bahwa semua lembaga manusia - termasuk agama - didasarkan pada dasar-dasar ekonomi, Etika Protestan memalingkan kepalanya dari teori ini dengan menyiratkan bahwa gerakan keagamaan memperkuat kapitalisme, dan bukan sebaliknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini