M.IRHAMNI (1111054000014)
Pengembangan Masyarakat Islam 4
Dinamika Kota besar
Perkembangan Masyarakat Kota
- Aspek ekonomi, dapat dilihat dari pembangunan pasar swalayan, alat pembayaran tidak hanya uang (dengan kartu kredit)
- Aspek social, kelompok kekerabatan mulai memudar diganti kelompok berdasarkan kepentingan yang sama, lebih terikat kontrak dan mulai meninggalkan tradisi.
- Aspek politik, masyarakat mulai tanggap dan kritis terhadap kehidupan politik, sehingga lebih dinamis.
- Aspek budaya, keterbukaan terhadap dunia luar menyebabkan masyarakat kota merasa lebih modern bila mengadaptasi budaya asing dan mulai meninggalkan budaya tradisional
1. Perkembangan masyarakat desa menjadi masyarakat kota
Masyarakat kota bisa terjadi karena adanya perkembangan masyarakat desa. Hal ini bisa berlangsung secara lambat (evolusi) maupun secara cepat (revolusi). Perubahan secara evolusi berlangsung sangat lama dan tidak direncanakan, yang terjadi karena dorongan pemenuhan kebutuhan yang lebih kompleks. Sedangkan perubahan secara revolusi berlangsung cepat dan bersifat mendasar. Misalnya revolusi industri di Inggris, memberi pengaruh yang sangat besar pada perkembangan desa untuk menjadi masyarakat kota yang berbasis IPTEK.
Urbanisasi dapat diartikan sebagai perpindahan penduduk dari desa ke kota atau proses perubahan masyarakat desa menjadi masyarakat kota.
Faktor pendorong urbanisasi :
· Sempitnya lapangan pekerjaan di desa
· Kurangnya fasilitas pendidikan
· Adanya keinginan untuk merubah nasib
· Kemiskinan di desa
· Para generasi muda yang ingin meninggalkan sikap tradisional
Faktor penarik urbanisasi :
· Lapangan pekerjaan yang lebih berfariasi
· Sarana prasarana yang lebih lengkap
· Tingginya upah buruh di kota daripada di desa
· Kota menghimpun modal yang besar dan terkonsentrasi
· Kota dianggap memiliki tingkat kebudayaan yang lebih tinggi
Faktor Pendorong Dinamika Masyarakat Kota
a. Perubahan situasi sosial, seperti pemekaran sebuah wilayah, masuknya industrialisasi kepedesaan, dan adanya penemuan-penemuan baru.
b. Perubahan situasi ekonomi, masyarakat perkotaan memiliki tingkat perkembangan ekonomi yang lebih tinggi dibanding masyarakat pedesaan.
c. Perubahan situasi Politik, pergantian elite politik menyebabkan perkembangan kelompok-kelompok sosial masyarakat.
Faktor Penghambat Dinamika Masyarakat Kota
a. Adanya konflik antar anggota kelompok, menyebabkan keretakan dan berubahnya pola hubungan sosial.
b. Adanya perbedaan kepentingan, kelangsungan kelompok akan terancam, karena anggota yang tidak sepaham akan berusaha memisahkan diri.
c. Adanya perbedaan paham, perbedaan pahamakan mempengaruhi kelompok sosial secara keseluruhan.
Dampak Positif Dinamika Masyarakat Kota
- Tingkat pendidikan lebih merata.
- Komunikasi dan informasi lebih cepat dan mudah.
- Pembagian kerja yang berdasarkan kemampuan yang meningkatkan efektifitas.
- Pembangunan dalam berbagai bidang lebih terjamin.
Dampak Negatif Dinamika Masyarakat Kota
- Munculnya sikap individualistis.
- Memudarnya nilai kebersamaan.
- Munculnya sikap kurang mempercayai pihak lain.
- Memudarnya perhatian terhadap budaya lokal dan budaya nasional, terutama para generasi mudanya.
Psikologis masyarakat
Kesedihan, kehilangan, kekecewaan, dan trauma adalah kata-kata yang melekat ketika bencana melanda. Secercah cahaya sangat diperlukan agar korban sembuh dan bisa melanjutkan hidup kembali pasca bencana.
Tangis Ismail lirih menyayat di antara puing reruntuhan material. Kepedihan nyata mencuat di wajah lelaki paruh baya itu. Dua anaknya dan istrinya menjadi korban amuk tsunami di kampungnya, Pagai Selatan, Mentawai, Sumatera Barat. Ia tak pernah menyangka, kebersamaan keluarganya akan berakhir di ganasnya air.
Duka juga dirasakan seorang ibu di Sumatera Barat. Acapkali air bening mengalir dari dua matanya. Bahkan, tangis keras terdengar kala nama anaknya, Angga, salah satu korban gempa di Padang, 30 September 2009 disebut salah satu presenter TV berita. Angga, anaknya yang masih duduk di Sekolah Dasar di Padang, menjadi salah satu korban meninggal saat gempa menggoyang bumi Minang. Meski setahun berlalu, duka ibu Angga masih terasa. Saya masih sedih kalau masuk ke kamarnya, ujar wanita berkulit bersih itu pilu.
Bencana alam tidak bisa diperkirakan kapan pastinya datang. Meskipun peradaban manusia telah menghasilkan teknologi yang bisa mendeteksi gejala alam penyebab malapetaka. Seperti diungkapkan Prof Hery Harjono Peneliti Bidang Kebumian LIPI kepada wartawan stasiun TV swasta beberapa waktu lalu. Ilmuwan bisa menjelaskan fenomena alam setelah terjadi bencana, juga bisa membuat prediksi tetapi tidak bisa memastikan. Ada deviasi antara prediksi dengan kejadian, ujarnya.
Dengan adanya ketidakpastian datangnya bencana, masyarakat harus memiliki kewaspadaan dan ilmu tentang bencana alam. Selain persiapan material, juga diperlukan kesiapan mental dan strategi yang harus dilakukan ketika musibah terjadi. Sosialisasi tentang penyelamatan diri kala gempa, banjir, gunung meletus, tanah longsor, tsunami, dll harus dilakukan mulai dari bangku sekolah dasar. Juga penyuluhan kepada warga masyarakat dari rukun tetangga hingga kelurahan.
Menurut Sciense For a Changing World Indonesia termasuk negara rawan bencana. Hal ini dikarenakan negara kita terletak di cincin api pasifik dengan 452 gunung berapi dan terjepit tiga lempeng yakni Eurasia, Pasifik, Hindia Australia. Kondisi ini menyebabkan Indonesia menjadi salah satu lahan subur gempa, bencana gunung meletus, dan tsunami. Melihat kondisi geografis dan geologis Indonesia, sudah menjadi keharusan kita semua melek bencana.
Meski demikian, tetap diperlukan langkah-langkah progress dalam menangani bencana terkait traumatik korban, kelanjutan hidup korban dari sisi psikologis dan ekonomi, serta pemulihan daerah bencana.
Penyembuhan Trauma
Kehilangan harta benda atau menurunnya kondisi ekonomi menjadi salah satu kerugian yang diakibatkan bencana alam. Selain hilangnya orang terdekat dan keluarga, kehilangan pekerjaan, kehilangan, dan cacat fisik. Sehingga wajar jika bencana alam menorehkan kenangan pahit dalam memori korban atau menimbulkan trauma dan pasca trauma. Dalam tinjauan psikologi kondisi pasca trauma disebut post traumatic stress disorder (PTSD) atau gejala stress pasca trauma.
Menurut para pakar psikolog, PTSD merupakan gangguan psikologis yang terjadi pada orang-orang yang pernah mengalami suatu peristiwa tragis atau luar biasa. Orang ybs menjadi sangat terpukul, marah, kecewa, meratapi nasib, sangat sedih, cemas, gelisah, sulit tidur, takut berlebihan, waspada berlebihan, menarik diri, sulit konsentrasi, tidak percaya apa yang dialaminya, merasa tidak berdaya, bingung tidak tahu apa yang harus dilakukan, kehilangan jati diri dsb.
Gangguan psikologis ini menyebabkan kondisi kehidupan korban sangat kritis, tidak nyaman dan rentan terhadap berbagai bentuk gangguan kesehatan fisik dan kejiwaan. Sebagian orang yang tidak kuat mentalnya akan mengalami stress, depresi, bahkan sakit jiwa.
Malangnya, gangguan ini bisa menetap lama pada diri korban hingga 30 tahun bahkan sampai seumur hidup. Sehingga diperlukan penanganan secara tepat antara lain dengan psikoterapi. Masyarakat diajak menerima kondisi realita yang ada, membantu dirinya sendiri menyembuhkan traumanya, dan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Aspek religiusitas menurut sebagian kalangan dinilai efektif membantu penyembuhan trauma korban bencana alam. Pasalnya, ketika agama seseorang kuat, ia akan menerima musibah dan menganggap itu sebagai cobaan. Ia juga akan mencari hikmah atau pelajaran dari musibah yang menimpanya. Setelah itu, korban akan berusaha bangkit, mengumpulkan energinya untuk kembali menata hidupnya.
Penanganan Anak
Selain orang dewasa, anak-anak kerap menjadi korban bencana yang terabaikan. Anak-anak yang mengalami trauma akibat bencana alam harus disembuhkan dari traumanya secara permanen. Penyembuhan trauma pada anak-anak tidak boleh bersifat sementara atau hanya memberikan hiburan sesaat, kata Ketua I Komisi Perlindungan Anak Indonesia Masnah Sari seperti dikutip di harian Kompas. Anak-anak pasti mengalami trauma melihat rumah dan tempat bermainnya hancur, imbuhnya.
Misran, Koordinator Unit Pusat Kajian Perlindungan Anak, seperti dikutip dari laman Starberita.com mengungkapkan trauma dan kesehatan anak kurang mendapat perhatian, dan sering tidak tepat dalam penanganannya. Dalam kondisi darurat, anak anak juga sering mengalami eksploitasi ekonomi, keterpisahan dan kehilangan tempat aman, imbuhnya.
Tingkat ketergantungan anak-anak yang tinggi terhadap orang dewasa membuat mereka berada di bawah ancaman dan sangat beresiko ketika orang tua dan keluarga menjadi korban meninggal. Sayangnya, kata Misran, Indonesia belum memiliki sistem penanganan bencana komprehensif dan kebijakan khusus menangani anak-anak dalam situasi tanggap darurat. Institusi seperti sekolah, panti asuhan, organisasi keagamaan lembaga adat perlu diperkuat kapasitasnya untuk merespon cepat menangani anak-anak ketika bencana terjadi, ujarnya.
Trauma anak, kata Masnah, bisa disembuhkan dengan menitipkan anak-anak ke sekolah yang tidak mengalami bencana. Anak-anak itu dikumpulkan di satu tempat khusus dan diberi proses belajar mengajar yang khusus, terangnya. Dosen psikologi Universitas Sumatera Utara (USU) Dr Wiwik dalam seminar penanggulangan bencana yang juga menghadirkan Misran mengatakan perlunya deteksi dini sebelum memutuskan langkah terapi yang akan dimbil. "Kita harus mengetahui riwayat anak sebelum dan setelah bencana, tanda-tanda perubahan psikologi secara umum dapat dikenali sejak dini.
Melanjutkan Hidup
Rachman, salah satu korban selamat gempa Padang, Sepetmber tahun lalu, kini harus hidup dengan satu kakinya. Padahal, kaki menjadi bagian vital yang mendukung aktivitas kerjanya sebagai tukang bangunan. Meski kakinya harus ia amputasi sendiri dengan gergaji, pemuda berdarah Sunda itu mengaku bersyukur bisa selamat dari amukan gempa. Ia kini mulai menata masa depannya. Saya berharap ada dermawan yang mau menyumbang kaki palsu untuk saya, harap Rachman.
Sarifah Cut, perempuan paruh baya yang tinggal di Aceh Barat juga menjadi saksi hidup atas kedahsyatan tsunami yang melanda serambi mekah pada Desember 2004. Bukan hanya harta benda yang hilang, salah satu jarinya putus terkena benda tajam saat ia berusaha menyelamatkan diri. Usai tsunami, perempuan yang aktif menggerakkan perempuan desa untuk berkoperasi ini mulai menata hidupnya. Termasuk menghidupkan kembali koperasi wanita yang dibentuknya. Meski, aset dan sebagian besar anggota koperasi hilang disapu tsunami. Saya memulai semuanya dari nol lagi, ujarnya saat ditemui dalam sebuah pameran KUKM di Gedung Smesco Promotion Center, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Bangkit pasca mengalami kejadian pahit dalam hidup seperti musibah bencana alam tidaklah mudah. Dibutuhkan refleksi yang akan menjadi bahan evaluasi dan guidance seseorang maju ke depan. Sayangnya, tidak semua orang bisa melakukan refleksi yang sangat membantu dalam memetakan kekuatan dan kelemahan serta strategi bertahan hidup dan enjalaninya dengan lebih baik.
Diperlukan dua syarat seseorang bisa bangkit kembali menata masa depan, yakni kemauan berjuang untuk hidup dan kemauan bangkit mengatasi masalah dan membangun kembali hidup dan daerahnya yang porak poranda. Selain itu, dalam konteks masyarakat, diperlukan daya gotong royong untuk menata kembali keluarga dan wilayah.
Pemulihan hidup korban sangat tergantung pada kualitas yang bersangkutan. Sehingga, kualitas manusia menjadi aspek penting dalam menata kembali hidup masyarakat korban bencana alam. Peningkatan kualitas manusia, bukan berpusar pada kecerdasan pribadi. Tetapi juga adanya perlindungan, jaminan rasa aman, dan kesejahteraan dari pemerintah setempat.
Ya, peran pemerintah, lembaga sosial, dan empati masyarakat yang tidak menjadi korban sangat diperlukan. Pemerintah harus memiliki kebijakan, lembaga, dan aparat yang sigap mendukung pemulihan korban dan wilayah bencana. Juga fasilitator lembaga sosial yang diharapkan membantu memulihkan gangguan mental masyarakat. Para fasilitator sedianya memberikan perhatian dengan mendengar keluhan, mendampingi mereka mencari solusi atas permasalahan yang ada. Selain itu, fasilitator juga mengarahkan masyarakat dalam membangun kembali daerah dan lingkungan sosial. Mari bersama membantu saudara kita yang tengah ditimpa bencana. Duka mereka duka kita juga.
Susan Sutardjo
Tangis Ismail lirih menyayat di antara puing reruntuhan material. Kepedihan nyata mencuat di wajah lelaki paruh baya itu. Dua anaknya dan istrinya menjadi korban amuk tsunami di kampungnya, Pagai Selatan, Mentawai, Sumatera Barat. Ia tak pernah menyangka, kebersamaan keluarganya akan berakhir di ganasnya air.
Duka juga dirasakan seorang ibu di Sumatera Barat. Acapkali air bening mengalir dari dua matanya. Bahkan, tangis keras terdengar kala nama anaknya, Angga, salah satu korban gempa di Padang, 30 September 2009 disebut salah satu presenter TV berita. Angga, anaknya yang masih duduk di Sekolah Dasar di Padang, menjadi salah satu korban meninggal saat gempa menggoyang bumi Minang. Meski setahun berlalu, duka ibu Angga masih terasa. Saya masih sedih kalau masuk ke kamarnya, ujar wanita berkulit bersih itu pilu.
Bencana alam tidak bisa diperkirakan kapan pastinya datang. Meskipun peradaban manusia telah menghasilkan teknologi yang bisa mendeteksi gejala alam penyebab malapetaka. Seperti diungkapkan Prof Hery Harjono Peneliti Bidang Kebumian LIPI kepada wartawan stasiun TV swasta beberapa waktu lalu. Ilmuwan bisa menjelaskan fenomena alam setelah terjadi bencana, juga bisa membuat prediksi tetapi tidak bisa memastikan. Ada deviasi antara prediksi dengan kejadian, ujarnya.
Dengan adanya ketidakpastian datangnya bencana, masyarakat harus memiliki kewaspadaan dan ilmu tentang bencana alam. Selain persiapan material, juga diperlukan kesiapan mental dan strategi yang harus dilakukan ketika musibah terjadi. Sosialisasi tentang penyelamatan diri kala gempa, banjir, gunung meletus, tanah longsor, tsunami, dll harus dilakukan mulai dari bangku sekolah dasar. Juga penyuluhan kepada warga masyarakat dari rukun tetangga hingga kelurahan.
Menurut Sciense For a Changing World Indonesia termasuk negara rawan bencana. Hal ini dikarenakan negara kita terletak di cincin api pasifik dengan 452 gunung berapi dan terjepit tiga lempeng yakni Eurasia, Pasifik, Hindia Australia. Kondisi ini menyebabkan Indonesia menjadi salah satu lahan subur gempa, bencana gunung meletus, dan tsunami. Melihat kondisi geografis dan geologis Indonesia, sudah menjadi keharusan kita semua melek bencana.
Meski demikian, tetap diperlukan langkah-langkah progress dalam menangani bencana terkait traumatik korban, kelanjutan hidup korban dari sisi psikologis dan ekonomi, serta pemulihan daerah bencana.
Penyembuhan Trauma
Kehilangan harta benda atau menurunnya kondisi ekonomi menjadi salah satu kerugian yang diakibatkan bencana alam. Selain hilangnya orang terdekat dan keluarga, kehilangan pekerjaan, kehilangan, dan cacat fisik. Sehingga wajar jika bencana alam menorehkan kenangan pahit dalam memori korban atau menimbulkan trauma dan pasca trauma. Dalam tinjauan psikologi kondisi pasca trauma disebut post traumatic stress disorder (PTSD) atau gejala stress pasca trauma.
Menurut para pakar psikolog, PTSD merupakan gangguan psikologis yang terjadi pada orang-orang yang pernah mengalami suatu peristiwa tragis atau luar biasa. Orang ybs menjadi sangat terpukul, marah, kecewa, meratapi nasib, sangat sedih, cemas, gelisah, sulit tidur, takut berlebihan, waspada berlebihan, menarik diri, sulit konsentrasi, tidak percaya apa yang dialaminya, merasa tidak berdaya, bingung tidak tahu apa yang harus dilakukan, kehilangan jati diri dsb.
Gangguan psikologis ini menyebabkan kondisi kehidupan korban sangat kritis, tidak nyaman dan rentan terhadap berbagai bentuk gangguan kesehatan fisik dan kejiwaan. Sebagian orang yang tidak kuat mentalnya akan mengalami stress, depresi, bahkan sakit jiwa.
Malangnya, gangguan ini bisa menetap lama pada diri korban hingga 30 tahun bahkan sampai seumur hidup. Sehingga diperlukan penanganan secara tepat antara lain dengan psikoterapi. Masyarakat diajak menerima kondisi realita yang ada, membantu dirinya sendiri menyembuhkan traumanya, dan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Aspek religiusitas menurut sebagian kalangan dinilai efektif membantu penyembuhan trauma korban bencana alam. Pasalnya, ketika agama seseorang kuat, ia akan menerima musibah dan menganggap itu sebagai cobaan. Ia juga akan mencari hikmah atau pelajaran dari musibah yang menimpanya. Setelah itu, korban akan berusaha bangkit, mengumpulkan energinya untuk kembali menata hidupnya.
Penanganan Anak
Selain orang dewasa, anak-anak kerap menjadi korban bencana yang terabaikan. Anak-anak yang mengalami trauma akibat bencana alam harus disembuhkan dari traumanya secara permanen. Penyembuhan trauma pada anak-anak tidak boleh bersifat sementara atau hanya memberikan hiburan sesaat, kata Ketua I Komisi Perlindungan Anak Indonesia Masnah Sari seperti dikutip di harian Kompas. Anak-anak pasti mengalami trauma melihat rumah dan tempat bermainnya hancur, imbuhnya.
Misran, Koordinator Unit Pusat Kajian Perlindungan Anak, seperti dikutip dari laman Starberita.com mengungkapkan trauma dan kesehatan anak kurang mendapat perhatian, dan sering tidak tepat dalam penanganannya. Dalam kondisi darurat, anak anak juga sering mengalami eksploitasi ekonomi, keterpisahan dan kehilangan tempat aman, imbuhnya.
Tingkat ketergantungan anak-anak yang tinggi terhadap orang dewasa membuat mereka berada di bawah ancaman dan sangat beresiko ketika orang tua dan keluarga menjadi korban meninggal. Sayangnya, kata Misran, Indonesia belum memiliki sistem penanganan bencana komprehensif dan kebijakan khusus menangani anak-anak dalam situasi tanggap darurat. Institusi seperti sekolah, panti asuhan, organisasi keagamaan lembaga adat perlu diperkuat kapasitasnya untuk merespon cepat menangani anak-anak ketika bencana terjadi, ujarnya.
Trauma anak, kata Masnah, bisa disembuhkan dengan menitipkan anak-anak ke sekolah yang tidak mengalami bencana. Anak-anak itu dikumpulkan di satu tempat khusus dan diberi proses belajar mengajar yang khusus, terangnya. Dosen psikologi Universitas Sumatera Utara (USU) Dr Wiwik dalam seminar penanggulangan bencana yang juga menghadirkan Misran mengatakan perlunya deteksi dini sebelum memutuskan langkah terapi yang akan dimbil. "Kita harus mengetahui riwayat anak sebelum dan setelah bencana, tanda-tanda perubahan psikologi secara umum dapat dikenali sejak dini.
Melanjutkan Hidup
Rachman, salah satu korban selamat gempa Padang, Sepetmber tahun lalu, kini harus hidup dengan satu kakinya. Padahal, kaki menjadi bagian vital yang mendukung aktivitas kerjanya sebagai tukang bangunan. Meski kakinya harus ia amputasi sendiri dengan gergaji, pemuda berdarah Sunda itu mengaku bersyukur bisa selamat dari amukan gempa. Ia kini mulai menata masa depannya. Saya berharap ada dermawan yang mau menyumbang kaki palsu untuk saya, harap Rachman.
Sarifah Cut, perempuan paruh baya yang tinggal di Aceh Barat juga menjadi saksi hidup atas kedahsyatan tsunami yang melanda serambi mekah pada Desember 2004. Bukan hanya harta benda yang hilang, salah satu jarinya putus terkena benda tajam saat ia berusaha menyelamatkan diri. Usai tsunami, perempuan yang aktif menggerakkan perempuan desa untuk berkoperasi ini mulai menata hidupnya. Termasuk menghidupkan kembali koperasi wanita yang dibentuknya. Meski, aset dan sebagian besar anggota koperasi hilang disapu tsunami. Saya memulai semuanya dari nol lagi, ujarnya saat ditemui dalam sebuah pameran KUKM di Gedung Smesco Promotion Center, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Bangkit pasca mengalami kejadian pahit dalam hidup seperti musibah bencana alam tidaklah mudah. Dibutuhkan refleksi yang akan menjadi bahan evaluasi dan guidance seseorang maju ke depan. Sayangnya, tidak semua orang bisa melakukan refleksi yang sangat membantu dalam memetakan kekuatan dan kelemahan serta strategi bertahan hidup dan enjalaninya dengan lebih baik.
Diperlukan dua syarat seseorang bisa bangkit kembali menata masa depan, yakni kemauan berjuang untuk hidup dan kemauan bangkit mengatasi masalah dan membangun kembali hidup dan daerahnya yang porak poranda. Selain itu, dalam konteks masyarakat, diperlukan daya gotong royong untuk menata kembali keluarga dan wilayah.
Pemulihan hidup korban sangat tergantung pada kualitas yang bersangkutan. Sehingga, kualitas manusia menjadi aspek penting dalam menata kembali hidup masyarakat korban bencana alam. Peningkatan kualitas manusia, bukan berpusar pada kecerdasan pribadi. Tetapi juga adanya perlindungan, jaminan rasa aman, dan kesejahteraan dari pemerintah setempat.
Ya, peran pemerintah, lembaga sosial, dan empati masyarakat yang tidak menjadi korban sangat diperlukan. Pemerintah harus memiliki kebijakan, lembaga, dan aparat yang sigap mendukung pemulihan korban dan wilayah bencana. Juga fasilitator lembaga sosial yang diharapkan membantu memulihkan gangguan mental masyarakat. Para fasilitator sedianya memberikan perhatian dengan mendengar keluhan, mendampingi mereka mencari solusi atas permasalahan yang ada. Selain itu, fasilitator juga mengarahkan masyarakat dalam membangun kembali daerah dan lingkungan sosial. Mari bersama membantu saudara kita yang tengah ditimpa bencana. Duka mereka duka kita juga.
Susan Sutardjo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar