Daimatul Mawaddah
PMI 2
11140540000020
Pendahuluan
Isu adalah suatu peristiwa atau kejadian yang dapat diperkirakan terjadi atau tidak terjadi pada masa mendatang yang menyangkut ekonomi, sosial, politik, hukum, pembangunan nasional, moneter, bencana alam, hari kiamat, kematian ataupun tentang krisis. Isu juga sering disebut rumor, kabar burung dan gossip.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, disebut bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.Isu-isu pedesaan adalah peristiwa yang dapat diperkirakan terjadi atau tidak di dalam sebuah pedesaan.
A. Kehidupan Masyarakat Desa
Kehidupan dalam masyarakat bisa dilihat dari berbagai macam aspek sesuai dengan bidang yang dibutuhkan. Kebanyakan yang termasuk di dalam pedesaan hidup dari pertanian, perikanan dan sebagainya. Usaha-usaha sangat dipengaruhi oleh hukum dan kehendak-kehendak alam. Dalam tempat tinggal itu terdapat ikatan keluarga yang rapat, ketaatan pada tradisi dan kaidah-kaidah sosial. Jiwa keagamaan yang tumbuh dengan kuat, buat sebagian disebabkan oleh perasaan tergantung pada alam
Warga desa dalam berhubungan sosialnya demikian erat hingga kenal satu dengan yang lain sampai dengan nama seseorang. Hal ini disebabkan karena mereka hidup dalam tempat tinggal terbatas, dukuh, desa. Sesuai dengan letak geografis, desa adalah bukan tempat persimpangan ataupun pertemuan aktivitas perdagangan yang memberi pengaruh dalam perekonomian-dagang, warga desa sangat tergantung pada sawah dan ladang. Padanya mata pencaharian bergantung.
B. Ciri-Ciri Kehidupan Masyarakat Pedesaan
1. Konflik dan Persaingan.
Pertama-tama orang kota suka membayangkan masyarakat desa sebagai tempat orang yang bergaul dengann rukun, tenang dan selaras. Pelukisan-pelukisan dalam bab ini terutama desa-desa Celapar di Jawa Tengah menunjukan bahwa sering juga di dalam masyarakat desa tempat orang hidup berdekatan dengan orang-orang tetangga terus menerus, kesempatan untuk pertengkaran amat banyak. Sumber dari banyak pertengkaran dalam masyarakat pedesaan di Indonesia rupa-rupanya berkisar hal tanah, sekitar masalah kedudukan dan gengsi, sekitar hal perkawinan, sekitar hal perbedaan antar kaum tua dan kaum muda dan sekitar perbedaan antara pria dan wanita.
Ahli antropologi telah banyak mengumpulkan bahan tentang pertengkaran-pertengkaran dalam masyarakat-masyarakat yang mereka teliti dan tidak hanya mengenai pertengkaran atau konflik, tetapi juga mengenai pertentangan atau kontroversi dan persaingan atau kompetisi. Ada juga ahli antropologi yang pernah meneliti masalah pertengkaran dipandang dari beberapa sudut yang khusus. Misalnya dipandang berdasarkan konsep-konsep perubahan kebudayaan, berdasarkan konsep-konsep psikologi atau dalam hubungan guna-guna dan ilmu dukun. Adapun ahli-ahli hukum adat baik di Indonesia maupun di lain-lain tempat di dunia tidak lain hanya memperhatikan masalah-masalah pertengkaran dalam masyarakat kecil, terutama mengenai adat istiadat dan proses untuk memecahkan pertentangan dan pertengkaran.
2. Musyawarah dan jiwa musyawarah
Musyawarah adalah salah satu gejala sosial yang ada dalam banyak masyarakat pedesaan umumnya dan khususnya di Indonesia. Artinya ialah bahwa keputusan-keputusan yang diambil dalam rapat-rapat tidak berdasarkan suatu mayoritas, yang menganut suatu pendirian yang tertentu, melainkan seluruh rapat, seolah-olah sebagai suatu badan. Hal ini tentu berarti bahwa baik pihak mayoritas maupun pihak minoritas mengurangi pendirian mereka masing-masing, sehingga bisa dekat-mendekati.
Sebagai suatu cara berapat yang tertentu, musyawarah itu rupa-rupanya harus ada kekuatan atau tokoh-tokoh yang dapat mendorong proses mencocokkan dan mengintegrasikan pendapat itu. Mencocokkan berarti bahwa pendapat-pendapat yang berbeda itu masing-masingnya sedikit atau banyak diubah supaya bisa saling mendekati; sedangkan mengintegrasikan berarti bahwa pendapat-pendapat yang berbeda-beda itu dilebur seluruhnya ke dalam suatu konsepsi yang baru sehingga timbul suatu sintese.
C. Tipologi Pedesaan
Undang-undang Negara Republik Indonesia No. 22/19/48 menjelaskan bahwa desa adaah bentuk daerah otonom yang terendah sesudah kota. Konsep desa tersebut dengan sendirinya berubah lagi bersamaan dengan lahirnya Undang-undang No. 5/1975. Undang-undang ini menciptakan tipologi desa di Indonesia (Deppen, 1984).
Tipologi yang diketengahkan oleh Undang-undang No. 5/1975 tersebut dimulai dengan bentuk (pola) desa yang paling sederhana sampai bentuk pemukiman yang paling kompleks namun masih tetap dikategorikan sebagai pemukiman dalam bentuk desa. Bentuk yang paling sederhana disebut sebagai pemukiman sementara, tepatnya mungkin hanya tempat persinggahan dalam satu perjalanan dalam kebiasaan orang-orang yang sering berpindah-pindah. Pola pemukiman seperti ini mempunyai ciri yang khas. Hampir tak ada orang atau keluarga yang tinggal menetap di sana . semua penghuninya akan pindah lagi pada saat panen selesai atau bila lahan sebagai sumber penghidupan utama tidak lagi memberi hasil yang memadai.
Bentuk desa yang berada pada tingkat yang lebih baik disebut swadaya. Desa ini bersifat sedenter, artinya sudah ada kelompok (keluarga) tertentu yang bermukim secara menetap disana. Pemukiman ini umunya masih tradisional dalam arti bahwa sumber penghidupan utama para pedesa masih berkaitan erat dengan usaha tani termasuk meramu hasil hutan dan berternak yang mungkin diiringi dengan pemeliharaan ikan di tambak-tambak kecil tradisional. Tingkat pendidikan sebagai salah satu indikator tipologi desa itu elum berkembang. Hampir tidak ada penduduk yang telah menyelesaikan pendidikan sekalipun tingkat Sekolah Dasar sajapun.
Bentuk desa ketiga yang tingkatnya dianggap lebih baik adalah desa swakarya. Adat yang merupakan tatanan hidup bermasyarakat sudah mulai mendapatkan perubahan-perubahan sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam aspek kehidupan sosial budaya lainnya. Adopsi teknologi tertentu sering merupakan salah satu sumber perubahan. Adat tidak lagi terlalu ketat mempengaruhi atau menentuka pola perilaku anggota masyarakat. Salah satu contohnya yaitu perkawinan. Yang tadinya perkawinan dikendalikan oleh keluarga mulai melonggar dengan memberikan kesempatan bagi para calon perumah tangga untuk memilih dan menetukan jodohnya sendiri-sendiri. Pengaruh unsur luar (asing, luar desa) sudah mulai ikut mempengaruhi atau mebentuk perilaku masyarakat yang baru.
Bentuk desa yang keempat adalah desa swasembada, pola desa yang terbaik dari bentuk-bentuk desa yang terdahulu. Prasarana desa sudah baik, beraspal dan terpelihara pula dengan baik. Bentuk rumah sudah mulai bervariasi, tetapi rata-rata sudah memenuhi syarat pemukiman yang baik. Para pemukim disana pun sudah banyak yang berpendidikan setingkat Sekolah Menengah Atas atau SMA. Masyarakat desa swasembada adalah masyarakat yang sudah terbuka dalam kaitannya dengan masyarakat di luar desanya. Oleh karena itu, masyarakat berorientasi ke luar desa. Pengaruh dari luar itu terlihat dalam perilaku orang-orang desa, teknologi yang mulai canggih, alat transportasi bermesin beroda dua atau beroda empat, angkutan umum yang relatif mudah didapat, alat komunikasi yang mulai canggih, ada pesawat televisi,dan ada pula pemukim yang berpendidikan sarjana.
Kesimpulan
Desa adalah salah satu bentuk kuno dari kehidupan bersama seperti tinggal bersama sebanyak-banyak beberapa ribu orang yang hampir semua saling mengenal. Kebanyakan yang termasuk di dalam pedesaan hidup dari pertanian, perikanan. Ciri-ciri kehidupan masyarakat pedesaan antara lain terjadi konflik dan persaingan dan masyarakat pedesaan sangat mempunyai jiwa musyawarah. Terdapat 4 tipologi pedesaan yang diketengahkan oleh Undang-undang No. 5/1975 tersebut dimulai dengan bentuk (pola) desa yang paling sederhana, desa swadaya yang bersifat sedenter, artinya sudah ada kelompok (keluarga) tertentu yang bermukim secara menetap disana, desa swakarya yaitu bentuk desa ketiga yang tingkatnya dianggap lebih baik dan terakhir desa swasembada yaitu pola desa yang terbaik.
Daftar Pustaka
Sugihen. Bahrein (1997). Sosiologi Perdesaan (Suatu Pengantar). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Pranowo, DJOKO. (1985). Masyarakat Desa Tinjauan Sosiologi. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Padjawati.Sajogyo.(1995). Sosiologi Perdesaan. Yogjakarta:Gajah Mada University Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar