Minggu, 23 Maret 2014

Nur Fajrina_ Tugas Ke-3_ Proposal Ekologi Manusia (Belajar Dengan Alam Bersama Difabel)

Tema   : Gerakan Seribu Cinta Difabel
Judul   : Belajar Dengan Alam Bersama Difabel
A.    Latar Belakang
Dalam bahasa baku Indonesia kita dapat menyebut difabel dengan Anak Berkebutuhan Khusus atau ABK. Kita putar balik terlebih dahulu bahasa sebutan untuk ABK tersebut. Dahulu orang menyebut "mereka"  dengan  "Anak Cacat"  atau Handicap, kemudian sebutan itu berubah menjadi Anak Luar Biasa atau ALB, dan kemudian disempurnakan menjadi  Anak Berkebutuhan Khusus atau Children with Special Needs, dan sekarang dapat disebut different ability people. Pada 1989 mengatakan seorang anak disebut berkebutuhan khusus jika memiliki kebutuhan khusus untuk menyesuaikan program pendidikan hal ini disebabkan karena keadaan mereka yang tidak dapat menerima pendidikan dengan cara biasa akibat dari keterbatasan, ketidakmampuan, maupun kelainan yang mereka miliki.
Istilah Difabel digunakan sebagai pengganti istilah penyandang cacat yang terkesan negatif dan diskriminatif. Difabel sendiri berasal dari kata different ability. Yang berarti manusia yang memiliki kemampuan yang berbeda. Istilah itu jelas lebih manusiawi. Istilah difabel didasarkan pada realita bahwa setiap manusia diciptakan berbeda. Sehingga yang ada sebenarnya hanyalah sebuah perbedaan bukan kecacatan. Undang-undang Indonesia Nomer 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat menjelaskan bahwa penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan selayaknya. Undang-undang Nomer 4 tahun 1997 menjelaskan bahwa difabel merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang juga memiliki kedudukan, hak, kewajiban, dan peran yang sama. Mereka juga mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
Dengan istilah difabel serta keluarnya Undang-undang Nomer 4 tahun 1997, masyarakat diajak untuk merekonstruksi nilai-nilai sebelumnya, yang semula memandang kondisi cacat atau tidak normal sebagai kekurangan atau ketidakmampuan menjadi pemahaman terhadap difabel sebagai manusia dengan kondisi fisik berbeda yang mampu melakukan aktivitas dengan cara dan pencapaian yang berbeda pula. Dengan pemahaman baru itu masyarakat diharapkan tidak lagi memandang para difabel sebagai manusia yang hanya memiliki kekurangan dan ketidakmampuan. Sebaliknya, para difabel, sebagaimana layaknya manusia umumnya, juga memiliki potensi dan sikap positif terhadap lingkungannya.
Hak setiap warga negara adalah mendapatkan pendidikan yang layak dan tanpa diskriminasi. Hak pendidikan ini juga berlaku kepada orang berkebutuhan khusus atau penyandang cacat atau yang biasa disebut difabel (different ability). Dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab III ayat 5 dinyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama memperoleh pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkelainan berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (anak normal) dalam pendidikan.
Hak pendidikan adalah merupakan bagian dari Hak Ekosob (Ekonomi, Sosial, Budaya). Negara mempunyai kewajiban untuk memenuhi , menghormati, dan melindungi setiap hak pendidikan yang dimiliki oleh setiap warga negaranya.  Termasuk hak pendidikan untuk penyandang cacat.  Pada pasal 28 C Undang-undang Dasar 1945 pun dikatakan bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia, sehingga jelas disini kewajiban generik negara dalam pemenuhan hak pendidikan adalah memfasilitasi, memajukan, menyediakan.
Permasalahan yang dialami pada umumnya bagi kaum difabel di wilayah Pasar Rebo adalah kecacatan mental dan berasal dari keluarga kurang mampu secara ekonomi, di wilayah Pasar Rebo kategori difabel yang di alami seperti rungu wicara, tuna netra, cacat tubuh, karena keluarga tidak bersedia melepas anaknya tinggal di Panti Sosial. Sedangkan daya tampung pendidikan untuk difabel di wilayah tersebut masih sangat minim sekali. Dapat kita lihat dari adanya tempat pendidikan yang minim dan keterbatasan SDM atau para pengajar, serta pengetahuan akan hal tersebut.
B.     Tujuan
Yang menjadi tujuan diadakan program ini diantaraya :
1.    Agar difabel yang belum dapat mengakses pelayanan pendidikan dan program-program lain dapat memperoleh kesempatan bersosialisasi dan menolong diri sendiri tanpa bantuan orang lain.
2.    Dapat mengetahui lingkungan alam sekitar, bagaimana cara sederhana untuk memelihara lingkungan.
3.    Sedangkan tujuan dari penulis yakni, agar dapat mengaplikasikan aksi dalam kehidupan nyata dengan menjadikan komunikasi menuju komunitas pembelajar.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini