Sosiologi pekotaan Menurut Teori Max Webber, Karl Max, dan Emile Durkheim
Ø Menurut max weber
Max Weber berpendapar bahwa "suatu tempat adalah kota apabila penghuni setempatnya dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan ekonominya di pasar lokal. Barang-barang itu harus dihasilkan oleh penduduk dari pedalaman dan dijualbelikan di pasar itu. Jadi menurut Max Weber, ciri kota adalah adanya pasar, dan sebagai benteng, serta mempunyai sistem hukum dan lain-lain tersendiri, dan bersifat kosmopolitan.
Ø Menurut Karl Marx
Karl Marx dan F.Engels memandang kota sebagai "persekutuan yang dibentuk guna melindungi hak milik dan guna memperbanyak alat-alat produksi dan alat –alat yang diperlukan agar anggota masing-masing dapat mempertahankan diri". Perbedaan antara kota dan pedesaan menurut mereka adalah pemisahan yang besar antara kegiatan rohani dan materi.
Ø Menurut Durkhaim
Ilmuwan Sosial berikutnya dalam paradigma ini adalah Emile Durkheim (1858 – 1917). Menurut Durkheim, transisi sosial sebagaimana yang diperlihatkan oleh Tonnies di atas akan mempengaruhi kohesi sosial atau yang oleh Durkheim sendiri disebutnya sebagai solidaritas sosial. Dalam pemikiran Durkheim, masyarakat sederhana (kurang lebih gemeinschaft, dalam pemikiran Tonnies) membangun kohesifitas mereka atas dasar kesamaan-kesamaan diantara anggota-anggotanya. Setiap orang di wilayah tersebut bersaudara atau setidaknya mengenal dengan baik satu dengan yang lain. Hampir semua orang mempraktekkan nilai-nilai religius dan pandangan (worldview) yang sama. Dalam masyarakat seperti itu pula, latar belakang etnik, nilai-nilai sosial-kultural, dan distribusi pekerjaan sangat tidak bervariasi. Durkheim menyebut masyarakat yang memiliki kohesivitas sosial semacam itu sebagai masyarakat yang memiliki solidaritas sosial mekanis. Dalam masyarakat yang lebih kompleks, modern, perkotaan, menurut Durkheim, orang-orang yang ada di dalamnya berbeda satu dengan yang lainnya. Mereka meyakini agama, berafiliasi politik, etnik, dan latar belakang keluarga yang beragam. Solidaritas sosial di perkotaan modern, menurut Durkheim, tidak didasarkan atas kesamaan-kesamaan melainkan oleh ketergantungan pada posisi sosial dan okupasional masing-masing. Kohesivitas sosial semacam ini, oleh Durkheim, disebut sebagai solidaritas sosial organis, seperti halnya hubungan antar bagian dalam sebuah organisme.
Pemikiran Tonnies dan Durkheim melihat perkembangan dan perubahan kelembagaan dan kultur sosial masyarakat dalam scope makrososial. Berbeda dengan keduanya, Georg Simmel (1858 – 1918), melihat dalam scope yang lebih mikrososial. Simmel tidak berupaya memperbandingkan antara masyarakat perdesaan dengan perkotaan. Ia lebih memfokuskan perhatiannya kepada perkembangan yang terjadi dalam kehidupan manusia yang hidsup di perkotaan. Menurut pengamatan Simmel, orang yang hidup di perkotaan seringkali harus berhubungan dengan orang-orang lain yang tidak dikenalnya (stranger). Dalam interaksi semacam itu, setiap orang yang hidup di kota harus menarik diri secara mental sebagai strategi untuk mempertahankan jati dirinya (self-preservation). Oleh sebab itu, menurut Simmel, privasi orang-orang yang hidup di perkotaan lebih terjaga. Dalam pandangan Simmel, interaksi sosial di perkotaan cenderung lebih dingin, kalkulatif, serta didasarkan kepada rasionalitas dan obyektivikasi terhadap orang lain (setiap orang menjadikan orang lain sebagai obyek/instrumen untuk meraih kepentingan masing-masing).
Dalam paradigma Ekologi Urban ini juga dikenal pemikiran beberapa ahli yang tergabung dalam the Chicago School. Tokoh utama dalam aliran ini adalah Robert Park (1864 – 1944). Meski sangat kental dipengaruhi oleh pemikiran Tonnies, Durkheim, dan Simmel, sebagai seorang yang pernah bekerja di surat kabar, Park lebih menitikberatkan perhatiannya kepada observasi empiris terhadap kehidupan perkotaan yang luput dari pandangan para ahli. Studi-studi yang dilakukan Park, antara lain, ditujukan kepada tempat-tempat berdansa dan pemukiman kumuh yang bernuansa etnik (ghetto) Park menyatakan bahwa kehidupan perkotaan persis sebagaimana sebuah organisme hidup dimana di dalmnya terdiri dari bagian-bagian yang berhubungan dan berkaitan satu dengan yang lain secara interdependen. Untuk itu, tugas sosiologi adalah, menurut Park, memahami bagaimana tiap bagian tersebut berhubungan dengan struktur perkotaan secara menyeluruh dan saling berkait dengan bagian-bagian yang lain. Park menggambarkan kehidupan perkotaan semacam itu sebagai Jaringan Kehidupan (the web of life).
Salah seorang mahasiswa Park yang melakukan studi empiris kehidupan perkotaan adalah Ernest W. Burgess. Atas dasar studinya, Burgess menyatakan bahwa di pusat kota umumnya dihuni oleh mereka yang mampu membeli tanah dengan harga yang mahal. Oleh sebab itu, pusat kota berisi pusat-pusat perdagangan dan hiburan yang dengan itu pemiliknya mampu memperoleh keuntungan finansial. Pemukiman penduduk yang ada di sekitar pusat tersebut, justru dihuni oleh kelas menengah dan pekerja yang menjadi buruh dan atau bekerja pada level-level pekerjaan menengah-bawah di pusat perdagangan dan hiburan tersebut. Namun demikian, dalam perkembangannya kemudian, menurut Burgess, pemukiman ini akan tergusur dan menjadi pusat-pusat perdagangan dan hiburan yang baru. Sementara itu, menurut pengamatan Burgess, para pemilik pusat-pusat tersebut tinggal di pinggiran kota dalam lingkungan pemukiman yang berharga mahal. Pemikiran Burgess ini kemudian dikenal dengan istilah Aliran Ekonomi Neoklasik (neoclassical school of economics).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar