Senin, 28 Desember 2015

UAS SOSIOLOGI _ KEHIDUPAN SOSIAL DI PASAR TRADISIONAL _MARTINI, KUBA, HARDI

UJIAN AKHIR SEMESTER SATU

MATA KULIAH SOSIOLOGI

 

KEHIDUPAN SOSIAL DI PASAR TRADISIONAL

GELIAT PARUH BAYA KREATIF PASAR KAGET

--TUNTUTAN EKONOMI, SEGALA HAL JADI TRANSAKSI—

 

 

 

 

 

 

 

 

 

OLEH:

MARTINI -- KPI 1A (11150510000009)

HARDI YUANTORO – JURNALISTIK 1B (11150510000185)

M. SYAZALI KUBA – JURNALISTIK 1A (11150510000018)

 

DOSEN PENGAMPU:

DR. TANTAN HERMANSYAH

 

 

 

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

2015/2016

DAFTAR ISI

 

BAB 1. 3

PENDAHULUAN.. 3

A.     MENGAPA GEJALA SOSIAL INI PENTING UNTUK DITELITI. 3

B.     LANDASAN TEORI SOSIOLOGI. 4

C.     METODE PENELITIAN.. 5

BAB II. 6

GAMBARAN LOKASI. 6

BAB III. 8

ANALISIS HASIL OBSERVASI. 8

A.     PEDAGANG GOLONGAN BAWAH.. 8

B.     PEDAGANG GOLONGAN MENENGAH.. 10

C.     PEDAGANG GOLONGAN ATAS. 13

BAB IV.. 17

KESIMPULAN.. 17

DAFTAR PUSTAKA.. 18

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB 1

PENDAHULUAN

 

A.    MENGAPA GEJALA SOSIAL INI PENTING UNTUK DITELITI

 

              Sebagai mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tentu kita sudah tak asing lagi dengan pasar kaget, karena posisinya yang berseberangan langsung dengan Kampus 2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (selanjutnya akan disebut UIN Jakarta). Tugas mahasiswa yang salah satunya yaitu untuk meneliti dan mengembangkan keilmuan barangkali bisa menggunakan pasar ini sebagai wadah untuk observasi.

              Pasar merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli, sehingga dalam siklus ini terjadi interaksi sebagai sebuah gejala sosiologi. Sosiologi sendiri secara sederhana merupakan ilmu yang mempelajari tentang masyarakat, sehingga jika melakukan penelitian sosiologi maka objek kajiannya tentu adalah masyarakat itu sendiri.

              Masyarakat yang terkumpul dalam pasar kaget ini beragam, mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, bahkan manula. Motif dari setiap golongan tentu berbeda-beda, misalnya anak-anak yang datang untuk mengisi hari liburnya, para remaja yang kebanyakan berjalan-jalan sembari berolahraga, sedangkan orang dewasa memang seakan mempunyai kewajiban untuk berbelanja kebutuhan pokok di pasar.

              Dari keberagaman hal tersebut, maka patut untuk menjadi sebuah alasan penelitian agar kedepannya pembaca laporan penelitian ini bisa menambah informasi tentang pasar kaget dan turut mengembangkan penelitian ini. Tak hanya untuk mahasiswa dan civitas akademika, penelitian ini berguna pula untuk masyarakat umum yang membutuhkan informasi tentang pasar kaget dan gejala sosialnya.

              Khusus dalam penelitian ini, kami mengambil sampel dari golongan orang-orang paru baya yang berjualan, terutama bagi mereka yang memproduksi barang jualannya sendiri. Hal ini dimaksudkan karena kami mendasarkan pada motif mereka berjualan di usia yang sudah tua, sekaligus mencari tahu sumber dari ide kreatif mereka. Beberapa narasumber memang belum memenuhi kriteria sebagai produsen kreatif, namun peneliti menganggap mereka patut untuk diteladani karena masih mampu berusaha untuk menjual barang dagangan di usia paru baya.

              Jika orang tua saja bisa mengembangkan ide kreatif mereka dan memperoleh pendapatan dari hal tersebut, maka sebagai generasi muda tentu bisa mengambil pelajaran dari mereka bahwa kreatif tak ada batasnya. Hal ini juga merupakan tujuan peneliti menuliskan laporan ini agar pembaca muda terinspirasi dan terus mengembangkan kreatifitas karena pada masa yang akan datang, kreatif yang akan menjadi tolak ukur suksesnya seseorang.

 

B.     LANDASAN TEORI SOSIOLOGI

 

              Landasan teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah Teori Weber yang dicetuskan oleh Max Weber (1864-1920). Weber memandang gagasan atau ide sebagai kekuatan otonom yang besar pengaruhnya terhadap dunia ekonomi. Pada kasus pasar kaget ini, pernah disebutkan Weber tentang kebutuhan individu untuk bertahan terhadap pengaruh birokrasi dan struktur masyarakat modern yang lain. Dalam studi ini ia mencoba melukiskan faktor yang membantu mendorong atau merintangi perkembangan rasionalisasi.

              Karya Weber pada dasarnya merupakan teori tentang proses rasionalisasi. Berbeda dengan Karl Marx (1818-1883) yang lebih mengemukakan teori kapitalisme. Namun Weber sendiri seringkali mencoba untuk menentang tanpa menyalahkan teori Marx, dan turut pula mengembangkannya. Weber melihat birokrasi (dan proses historis birokrasi) sebagai contoh klasik rasionalisasi.

              Weber memasukkan diskusinya mengenai proses birokratisasi ke dalam diskusi yang lebih luas tentang lembaga politik. Ia membedakan antara tiga jenis sistem otoritas – tradisional, karismatik, dan rasional-legal. Sistem otoritas rasional-legal hanya dapat berkembang dalam masyarakat Barat modern dan hanya pada sistem itulah birokrasi modern dapat berkembang penuh.Masyarakat lain di dunia tetap didominasi oleh sistem otoritas tradisional atau karismatik yang umumnya merintangi perkembangan sistem hukum rasional dan birokrasi modern.

              Weber juga membuat analisis rinci dan canggih tentang rasionalisasi fenomena seperti agama, hukum, kota, dan bahkan musik. Weber juga berupaya memahami mengapa sistem ekonomi rasional (kapitalisme) berkembang di Barat dan mengapa gagal berkembang di masyarakat lain di luar masyarakat Barat.

              Weber menghabiskan sebagian besar usianya untuk mempelajari sejarah secara rinci dan kesimpulan politis yang dibuatnya selalu dalam konteks risetnya. Karena itu kesimpulan yang disajikan sangat ilmiah dan akademis.  Weber berkarya menurut tradisi filsafat Kant yang antara lain berarti bahwa ia cenderung berpikir dalam hubungan sebab akibat. Demikian alasan kami meninjau objek observasi berupa para orang-orang paru baya yang kreatif, karena peneliti  membutuhkan alasan ataupun sebab mereka berjualan dan akibat atau feedback yang mereka dapat dari berjualan di pasar kaget UIN Jakarta.

 

C.     METODE PENELITIAN

 

              Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode kualitatif deskriptf. Metode kualitatif yaitu metode yang mengedepankan pada aspek pemahaman secara mendalam terhadap suatu fenomena. Metode ini biasanya menggunakan teknik analisis secara mendalam. Penelitian kualitatif yaitu riset yang lebih bersifat deskriptif dan lebih menonjolkan pada proses dan makna.

              Dalam pencarian data, peneliti menggunakan teknik wawancara sehingga dapat diperoleh data yang relevan karena bersumber dari narasumber langsung. Wawancara sendiri dilakukan di tengah-tengah aktivitas berjualan sehingga peneliti dapat pula mengamati langsung proses penjualan dan keadaan sekitar penjual.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

GAMBARAN LOKASI

 

              Observasi dilangsungkan di pasar kaget yang tak mempunyai nama resmi. Orang-orang menyebutnya pasar kaget karena pasar ini sendiri muncul pada beberapa tahun terakhir. Pasar ini juga disebut pasar kaget karena hanya buka pada satu hari dalam satu pekan, yaitu pada Minggu pagi.

              Pasar kaget ini berada di Jalan Kertamukti, kelurahan Pisangan, Ciputat Timur. Namun akan lebih mudah ditemukan jika disebutkan bahwa pasar ini terletak di seberang Kampus 2 UIN Jakarta. Pasar ini membentang di tepi jalan dengan panjang sekitar 1,5 km. Pasar ini juga merambah area jalan menuju Situ Gintung, samping Fakultas Kedokteran UIN Jakarta.

              Telah disebutkan bahwa pasar ini berisi berbagai macam golongan usia, misalnya anak-anak yang kebanyakan hanya berjalan-jalan untuk mengisi hari libur sekolah, remaja yang juga berjalan-jalan sembari berolahraga, orang tua yang identik dengan berbelanja di pasar untuk memenuhi kebutuhan pokok dan kebutuhan tambahan. Satu golongan lain yang bisa dijumpa adalah golongan orang lanjut usia yang belum terdefinisi peran mereka di sini.

               Jika diamati, para orang lanjut usia tersebut kebanyakan mengambil peran sebagai pedagang di pasar kaget tersebut. Hal ini yang menjadi dasar penelitian bagi kami selaku peneliti. Sebagai pedagang, tentu beragam produk yang dijual dan tawaran harganya. Pedagang juga mempunyai motif yang berbeda-beda dalam berjualan. Tiga tingkatan kasta dalam pendapatan akan kami jadikan perbandingan meski lokasi yang dijadikan sebagai wadah observasi kami hanya ada satu.

              Berbagai macam barang dagangan bisa dijumpai di pasar kaget ini, mulai dari  makanan, mainan, hingga pakaian. Makanan sendiri terdiri dari makanan pokok berupa nasi, lauk pauk, bahkan makanan yang digolongkan sebagai jajanan mengenyangkan misalnya batagor, siomay, seblak, dll. Jajanan kecil juga turut dijumpai misalnya gorengan, kue, es, dll. Selain itu terdapat pula pedagang sayur-sayuran dan buah-buahan sesuai musim.

              Untuk mainan sendiri bisa dijumpai berbagai kategori untuk usia anak yang beragam. Ada mainan untuk bayi yang baru lahir hingga anak-anak yang sudah tergolong dalam usia sekolah. Terdapat berbagai macam boneka, mainan tradisional berupa seruling, odong-odong, mainan plastik, mobil-mobilan, dll.

              Selain itu terdapat pula para penjual pakaian yang sebagian besar memenuhi pasar tesebut. Ada penjual pakaian kelas atas dan menengah yang mempunyai stand dan wilayah berjualan sendiri. Pedagang pakaian ini biasanya momatok harga tinggi dengan memberikan kualitas pakaian yang sesuai dengan harganya. Banyak pula pedagang pakaian yang datang dari jauh dengan mobil dan memajang barang dagangannya di mobil tersebut. Namun pedagang pakaian kelas menengah dan bawah justru lebih ramai dikunjungi oleh pengunjung karena harga turut pula menjadi alasan. Pedagang pakaian bekas yang mematok harga sekitar sepuluh ribu hingga tiga puluh ribu rupiah lebih ramai dikunjungi karena memang identik dengan pasar tradisional.

              Lokasi pasar yang dekat dengan kampus membuat aktivitas mahasiswa juga mewarnai lika-liku pasar kaget tersebut. Beberapa mahasiswa terlihat berjualan di bazaar pakaian bekas, ada pula yang berjualan bolu dengan merk Bolu Motivasi. Seringkali juga dijumpai mahasiswa yang tengah mengadakan kegiatan sosial seperti donor darah, cek kesehatan, dll.

 

 

 

BAB III

ANALISIS HASIL OBSERVASI

 

A.    PEDAGANG GOLONGAN BAWAH

 

1.      Tunanetra Penjual Kerupuk

              Sebut saja mereka sebagai Bu Iis dan suaminya Pak Aman. Usia mereka telah mencapai 55 tahun. Kondisi fisik yang mengalami kekurangan membuat mereka ditampung dan dibesarkan di satu tempat yang sama (pasangan ini tak tahu nama tempat tersebut). Mereka berjalan dari Cirendeu menjajakan kerupuk yang diambil dari seorang agen. Pabrik kerupuk itu sendiri berada di BSD Serpong.

 

"Kerupuk ini sekarang harganya empat belas ribu. Sudah tiga tahun kami menjualkannya. Kalau Minggu pagi kami di sini (pasar kaget UIN Jakarta), kalau hari-hari biasa Neng bisa cari kami di depan Rumah Sakit UIN, tiap sore kami lewat sana." (Bu Iis)

 

 

              Motif berjualan Bu Iis adalah karena tuntutan akan kebutuhan hidup. Mahalnya biaya hidup bahkan membuat anak perempuan Bu Iis harus putus sekolah di bangku kelas 2 SMP. Putus harapan membuat sang anak pun tak mau ikut berjualan, padahal ketika masih sekolah dulu ia sangat rajin membantu ibu dan bapaknya berjualan di sekolah.

              Mekanisme pengambilan kerupuk yang dijual Bu Iis adalah dengan mengambil dari seorang agen, yaitu Bu Yeti. Selanjutnya Bu Iis menjajakannya di jalanan dan menyetorkan hasil jualannya pada Bu Yeti. Pada sistem ini, berapa banyak pun kerupuk yang diambil oleh Bu Iis harus dibayar, meski tak semuanya laku. Kerupuk yang tak laku tidak boleh dikembalikan. Bu Iis lebih memilih cara ini karena untuk menjadi seorang agen membutuhkan modal yang tak sedikit, bahkan mencapai hingga Rp 2.000.000,00.

              Kejujuran pembeli menjadi satu-satunya harapan bagi Bu Iis sekeluarga untuk memperoleh keuntungan demi mempertahankan kehidupannya. Hanya saja kadang banyak orang yang memanfaatkan kekurangan fisik Bu Iis. Namun di balik itu semua, Bu Iis kadang mendapati orang-orang yang bermurah hati memberinya uang tanpa membeli kerupuknya.

              Dari kasus Bu Iis ini, belum terlihat adanya proses kreatif dari penjual di pasar kaget UIN Jakarta, namun usia yang sudah lebih dari setengah abad dan keadaan fisik yang tidak sempurna namun masih kuat berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga bisa menjadi contoh teladan bagi setiap orang.

 

2.      Penjual Keong

              Keong identik dengan pantai, namun penjual keong satu ini justru berjualan di pasar kaget. Keong yang dijual beragam ukuran namun harganya disamakan menjadi Rp 2.000,00 per tiga keong. Cangkang keong dihias semenarik mungkin dengan pewarna sehingga menarik minat anak-anak untuk membelinya.

              Yang membuat pedagang ini beda dari pedagang keong lainnya adalah dia juga turut menjual rumah-rumahan keong bikinan dia sendiri, yang terbuat dari karet dan diberi perekat berupa lem. Hasil dari rumah-rumahan tersebut mirip dengan rumah manusia versi kecil dengan berbagai macam ukuran dan warna.

              Menurut Pak Dandi (50), pedagang keong dan rumah-rumahan tersebut, modal yang diperlukan untuk membeli keong dan membuat kreasi rumah-rumahan karet kurang dari lima ratus ribu. Hanya saja Pak Dandi harus bersaing dengan pedagang keong lain yang turut membeli di tempat yang sama, karena stok keong yang sedikit. Modal yang dimiliki Pak Dandi pun tak terlalu banyak sehingga hanya bisa berjualan seadanya.

 

"Rumah-rumahan ini saya bikin malam-malam, belajar sendiri waktu itu bikinnya. Jadi kalau ada penjual keong yang lain di pasar ini, saya lebih dilirik pembeli, sering saya begitu." (Pak Dandi)

    

              Pembuatan rumah-rumahan dari karet tersebut diakui Pak Dandi dipelajarinya secara otodidak, hal ini dikarenakan ia perlu melakukan inovasi agar terlihat berbeda dari pedagang lainnya sehingga lebih diminati oleh pembeli.

              Pendapatan yang didapat pedagang asal Pondok Cabe tersebut dari berjualan keong hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, dan untuk pendapatan tambahan dihasilkan dari pekerjaan istrinya yang membuka warung jajanan di depan rumah. Dengan jumlah pendapatan tersebut mereka bisa membiayai sekolah anak lelaki satu-satunya yang kini tengah duduk di bangku kelas 3 SD.

 

3.      Penjual Terompet

              Pedagang musiman memang tengah ramai menghiasi pasar-pasar saat ini. Hal ini dikarenakan bertepatan dengan momentum tahun baru. Salah satu pedagang yang hanya berjualan menjelang tahun baru 2016 ini adalah Bu Astina (48) asal Ciputat.

              Terlihat beberapa penjual terompet di pasar kaget, namun yang menarik perhatian tentu sosok wanita tua yang terompetnya terlihat berbeda dari yang lainnya. Terompet ini adalah bikinan Bu Astina sendiri, dengan bermodalkan poster murah dan kertas warna-warni. Dengan uang sebesar Rp 150.000,00 Bu Astina dapat membuat cukup banyak terompet dan membawanya ke pasar kaget, menjualnya dengan harga Rp 5.000,00 per satu terompet.

 

"Dapatnya sih tidak banyak, bikinnya juga capek, tapi mau gimana lagi, suami saya sehari-hari cuma jadi tukang sayur, Nak. Tapi alhamdulillah masih banyak anak-anak yang mau beli, yang uangnya kurang buat beli terompet yang bagus. Kebanyakan sih teman-teman anak saya." (Bu Astina)

 

              Dari satu hari berjualan, Bu Astina memang hanya bisa memperoleh pendapatan sekitar Rp 100.000,00. Sisa terompet yang dijualnya diserahkan kepada anaknya untuk ditawarkan pada teman-temannya dan dijual pula di rumahnya. Satu-satunya motif Bu Astina berjualan adalah tuntutan ekonomi, khususnya untuk membayar biaya kontrakannya. Sang suami adalah penjual sayur keliling di daerah Ciputat.

 

B.     PEDAGANG GOLONGAN MENENGAH

 

1.      Penjual Papan Nama

              Sudah satu bulan ini Pak Husin (54) mencoba peruntungan berjualan papan nama di pasar kaget UIN Jakarta. Biasanya beliau membuka lapak di pasar-pasar malam. Pada siang hari memang beliau berjualan di pasar, namun selalu berganti-ganti pasar dalam tiga bulan. Hal ini untuk mengantisipasi rasa bosan oleh pembeli.

              Papan nama yang dijualnya diproduksi sendiri, terbuat dari papan triplek dan dicat hitam sebagai dasarnya. Selanjutnya digunakan pewarna untuk pola hiasan dan penulisan nama pembeli. Untuk produksi dibuat oleh istri dan anaknya, sedangkan untuk pola, pewarnaan dan finishing serta penjualannya dilakukan oleh Pak Husni sendiri.

 

"Papan yang begini cuma saya satu-satunya yang bikin, cari aja se-Jabodetabek, se-Indonesia saya aja yang memproduksi. Puas rasanya bisa menjadi satu-satunya itu, Mbak." (Pak Husin)

 

              Papan nama produksi sendiri membuat Pak Husin lebih puas karena bisa menyalurkan jiwa kreatifnya yang tumbuh sejak muda. Hal yang dirasakan Pak Husin yaitu bangga karena papan nama buatannya ini satu-satunya di Indonesia bahkan di mana pun itu. Papan nama ini juga telah banyak dikirim ke luar Jawa atas permintaan beberapa temannya.

              Bapak asal Semarang yang kini berdomisili di Pondok Aren tersebut menjual dua ukuran papan nama, yang besar seharga Rp 15.000,00 dan yang kecil seharga Rp 10.000,00. Rata-rata dalam satu hari Pak Husin mendapat pesanan sebanyak 50 papan nama.  Profesi ini menjadi mata pencaharian utama keluarga Pak Husin.

 

2.      Penjual Harum Manis

              Harum manis memang menjadi cemilan favorit anak-anak sejak dulu karena rasanya yang manis dan warnanya yang menawan. Demikian pula dengan Pak Ujun (61) yang setia berjualan harum manis sejak 15 tahun lalu. Pak Ujun setiap hari berjualan di pasar Ciputat dan setiap Minggu pagi sejak setahun lalu berjualan di pasar kaget UIN Jakarta.

              Harga yang dipatok Pak Ujun untuk satu harum manis adalah Rp 5.000,00 dan per hari bisa mendapat penghasilan sebesar Rp 200.000,00. Terkhusus pada hari Minggu bisa mencapai Rp 300.000,00.

 

"Cukup lah pendapatan segitu kalau cuma buat beli rokok, makan sehari tiga kali, sekalian modal produksi lagi. Cuma ya masih belum bisa menabung, Nak. Habis di situ-situ saja." (Pak Ujun)

 

              Keuntungan yang didapat Pak Ujun cukup banyak karena ia kini hidup sendiri setelah ditinggal oleh istri dan anaknya, sehingga secara ekonomi Pak Ujun masih bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Dapat disimpulkan bahwa motif Pak Ujun berjualan tak lebih karena untuk memenuhi kebutuhan ekonominya dan sebagai pengisi waktu.

 

3.      Penjual Es Krim Pot

              Baru-baru ini terdapat sebuah inovasi baru dalam menjual es krim, yaitu dengan menjadikan pot sebagai cup dari es krim tersebut. Es krim dihias sedemikian rupa sehingga menyerupai tanah pot yang menumbuhkan tanaman dan terdapat pula cacing di sana. Es krim ini dikenal khalayak sebagai Es Krim Pot.

              Jika hasil inovasi terbaru ini dijual oleh anak muda tentu sudah biasa dan dapat diterima. Namun apa jadinya jika yang menjualnya adalah seorang bapak paru baya? Tentu hal ini menjadi sebuah pertanyaan menarik, apa motif dibalik penjualan es krim pot yang dilakukan oleh bapak tersebut.

              Pak Tarman (51) biasa berjualan es krim pot di daerah Bintaro, namun setiap hari Minggu mencoba peruntungan dengan berjualan di pasar kaget UIN Jakarta. Bapak dua anak ini sebenarnya hanya mengembangkan bisnis keponakannya yang menjual inovasi es krim pot dan es krim kuburan.

              Ia berjualan di pasar kaget sudah hampir tiga bulan. Awal ia berjualan es krim pot memang banyak konsumen yang antusias, terutama anak-anak. Namun seiring berjalannya waktu membuat pendapatan Pak Tarman mulai menurun. Untuk es krim pot dipatok harga Rp 6.000,00 dan es krim kuburan seharga Rp 10.000,00.

 

"Kalau bikin es krim ini semuanya keponakan saya yang urus, saya hanya menjualkan saja. Cocok saja dengan pekerjaan ini, daripada menganggur kan kasihan anak-anak mau makan apa. Dari sini kalau laku banyak saya dikasih tiga ratus sama yang punya, kalau kurang laku ya seratus pernah, dua ratus pernah. Terima saja yang penting ada pemasukan." (Pak Tarman)

 

              Modal Pak Tarman sepenuhnya bersumber dari sang keponakan yang mempunyai bisnis tersebut. Motif Pak Tarman berjualan hanyalah untuk memenuhi biaya kehidupan semenjak di PHK oleh perusahaannya di daerah Bintaro. Pendapatan Pak Tarman cukup untuk meneruskan sekolah dua anaknya, karena per harinya beliau bisa meraup keuntungan sebesar Rp300.000,00.

 

C.     PEDAGANG GOLONGAN ATAS

 

1.      Penjual Papan Tulis

              Pasar kaget memang bisa menjadi lahan dadakan bagi setiap orang yang ingin mencari keuntungan dengan cara berjualan. Salah satunya Pak Makmur (64) yang masih gagah memboyong papan tulis dengan motornya dari Pondok Cabe. Dua papan tulis ukuran sedang dan dua meja belajar diletakkannya di tepi jalan menuju ke Situ Gintung.

 

"Harga papan tulis yang kecil ini tujuh puluh lima, kalau yang agak besar itu seratus dua puluh lima. Kalau Neng mau pesan nanti saya antarkan pakai motor itu. Biasanya saya bawa langsung dari toko saya di Pondok Cabe." (Pak Makmur)       

 

              Harga yang dipatok Pak Makmur untuk satu papan tulis berkisar antara Rp 75.000,00 hingga Rp 125.000,00. Pak Makmur juga menerima jasa pesan antar sebagai tambahan pendapatannya. Setelah diwawancara, ternyata Pak Makmur membuat sendiri papan tulis dan meja tersebut karena mempunyai rumah produksi untuk olahan kayu.

              Produksi ini telah ditekuni Pak Makmur sejak sebelum menikah hingga kini mempunyai empat anak perempuan, bahkan tiga diantaranya telah berkeluarga. Namun sayangnya semua anaknya masih belum ada yang meneruskan profesinya sebagai produsen kerajinan kayu. Terlepas dari hal tersebut, Pak Makmur baru kali ini membawa barang dagangannya tersebut ke pasar kaget. Biasanya ia hanya berjualan dengan membawa papan tulis dan sebagainya ke pasar Pamulang dan sekitarnya.

 

2.      Penjual Bantal dan Boneka

Merambah ke sisi ujung pasar, terlihat seorang lelaki paru baya yang tengah memasukkan dakron ke dalam boneka yang masih tanpa isi. Ia dikenal sebagai Pak Sikin (56) asal Pamulang. Sudah dua bulan ini Pak Sikin mencoba peruntungan berjualan di pasar kaget UIN Jakarta pada Minggu pagi. Hasilnya tidak terlalu signifikan namun masih bisa menambah pendapatan Pak Sikin yang sehari-hari berjualan boneka serta perlengkapan tidur seperti bantal, guling, dan selimut di Pamulang 2.

 

"Dapatnya sih nggak banyak, paling satu dua boneka yang laku, satu paket bantal itu. Cuma ya buat tambahan aja ini, soalnya pagi-pagi itu toko belum buka. Daripada nggak ada kerjaan di rumah ya sekalian cari udara pagi sambil jualan di sini, nggak ada ruginya juga." (Pak Sikin)

 

Dalam sekali berjualan di pasar kaget, kadang Pak Sikin memperoleh pendapatan sekitar Rp 100.000,00 hingga Rp 300.000,00. Namun tak jarang pula Pak Sikin tidak memperoleh pendapatan sama sekali. Hal ini disebabkan harga yang dipatok Pak Sikin tak sesuai dengan keinginan konsumen di pasar kaget. Namun jika secara keseluruhan berjualan di toko Pak Sikin sendiri bisa memperoleh omset sekitar Rp 2.000.000,00 per harinya.

Lantas alasan yang dikatakan Pak Sikin berjualan di pasar kaget adalah sebagai pengisi waktu karena tokonya baru buka pada pukul sepuluh pagi. Toko tersebut pun khusus diurus oleh istrinya dan beberapa orang karyawan. Sedangkan ketiga anaknya kini telah berkeluarga sehingga pendapatannya murni untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan istrinya serta untuk menggaji karyawannya.

Pak Sikin mulai berjualan perlengkapan tidur dan boneka sejak menikah dengan istrinya pada empat puluh tahun lalu. Hingga kini usaha tersebut telah maju hingga tahun depan Pak Sikin sudah akan menunaikan ibadah haji bersama istrinya.

 

3.      Penjual Cake Coklat

Cake coklat yang dijual Pak Aang (42) diserbu oleh banyak anak-anak karena terlihat menggiurkan dengan taburan toping warna-warni dan rasa coklat yang khas. Resep yang dipelajari dari sekolah memasak di Bintaro oleh Bu Diana (istri Pak Aang) yang kini harus beristirahat di rumah karena hamil tua membuat Pak Aang yang harus menjual sendiri cake buatan istrinya tersebut.

Biasanya Bu Diana sendiri yang menjualnya di toko depan rumah dan di pasar kaget. Namun kini tokonya dijaga oleh sang anak tertua yang duduk di bangku kuliah atau Pak Aang sendiri. Omset yang didapat dalam satu hari bisa mencapai Rp 1.000.000,00.

 

"Kalau dulu saya aja yang kerja jadi PNS, nah sekarang istri juga ikut-ikutan kerja buat-buat kue begini. Lama-lama kan sudah mau lahiran itu, akhirnya saya juga yang jualkan kalau lagi libur kerja begini." (Pak Aang)

 

              Bu Diana sendiri sudah menjalankan bisnis ini sekitar dua tahun yang lalu, karena hobinya sejak muda adalah membuat kue. Sebagai ibu rumah tangga, sebelumnya Bu Diana hanya membuat kue jika ada pesanan, namun kini ia sudah memiliki pendapatan sendiri di luar pendapatan Pak Aang yang berprofesi sebagai guru SD.

 

 

 

 

 

Pengamatan Peneliti

              Di luar dari data yang disampaikan oleh narasumber, peneliti juga melakukan pengamatan di setiap hari pasar sebagai validasi data. Dari data yang diperoleh dapat dituliskan sebagai berikut:

Hari pertama: Minggu, 13 Desember 2015

Peneliti melakukan observasi pertama. Terdapat narasumber yaitu Bu Iis dan suami, Pak Dandi, Pak Husin, dan Pak Tarman.

Hari kedua: Minggu, 20 Desember 2015

Peneliti menambah keabsahan data dari para narasumber sebelumnya dan mencari narasumber baru. Terdapat narasumber baru yaitu Pak Makmur, sedangkan keempat narasumber sebelumnya masih tetap berjualan di pasar kaget.

Hari ketiga: Minggu, 27 Desember 2015

Peneliti melengkapi kekurangan narasumber dengan mencari narasumber baru yang sesuai dengan kriteria penelitian (paru baya dan kreatif). Terdapat narasumber baru yaitu Bu Astina, Pak Ujun, Pak Sikin, dan Pak Aang. Empat narasumber di hari pertama masih tetap berjualan, sedangkan Pak Makmur sudah tidak berjualan lagi.

 

Keterangan Tambahan

Foto diambil di pasar yang berbeda karena terkendala kerusakan hp yang digunakan sebagai alat dokumentasi dan waktu sudah tidak memungkinkan. Sebagaimana diketahui bahwa pasar kaget hanya buka di tiap Minggu pagi sedangkan deadline tidak mencukupi untuk menunggu hari Minggu selanjutnya.

 

 

 

 

 

BAB IV

KESIMPULAN

 

              Pasar kaget UIN Jakarta sebagai pasar tradisional yang terdiri dari masyarakat dengan beragam kriteria usia, memiliki salah satu golongan yang patut untuk dikaji peran dan motif dari kehadirannya, yaitu orang-orang paru baya yang berperan sebagai pedagang di pasar kaget tersebut.

              Peran dan motif dari beberapa pedagang yang diambil sebagai sampel penelitian tersebut sangat beragam, mulai dari tuntutan ekonomi yang menjadi motif utama orang-orang tersebut berjualan, dan ada beberapa motif lain sebagai tambahan.

              Motif tambahan yang pertama yaitu sebagai pengisi waktu. Patut diketahui bahwa golongan paru baya biasanya sudah tak mempunyai pekerjaan tetap lagi, sehingga pekerjaan mandiri seperti berdagang menjadi salah satu wujud pelarian agar waktu tidak terbuang dan ada penghasilan yang diperoleh. Terdapat pula pedagang yang berjualan karena sebelumnya ia adalah karyawan yang di-PHK oleh perusahaannya. Dengan berdagang secara mandiri, mereka tentu mempunyai otoritas lebih sehingga mata pencaharian ini dijadikan sebagai kelanjutan dari kesehariannya tersebut.

              Motif kedua yaitu sebagai sarana untuk mengembangkan kreativitas. Beberapa pedagang juga sekaligus sebagai produsen dan mengaku bahwa dengan memproduksi dan menjual barang produksinya tersebut ia memperoleh kepuasan tersendiri. Ditambah lagi dengan penghasilan yang bertambah membuat mereka bersemangat dalam menjalankan peran mereka sebagai pedagang dan produsen.

             

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Azwar, Saifuddin. 2001. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Nazir, Moh. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2010. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media Group

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini