Senin, 25 Maret 2013

Teori Idealis (Pendekatan Isi/Konsep)_Tasha Helmi Mahindria_Tugas3

TEORI IDEALIS (PENDEKATAN ISI/KONTEN)
TASHA HELMI MAHINDRIA (NIM 1110051000177)
KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM VI/F

A.      Pendahuluan
Kata idealis merupakan serapan kata dari bahasa Belanda, yaitu idealist. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, idealisme adalah (1) aliran dalam falsafah yang menganggap pikiran atau cita-cita sebagai satu-satunya hal yang benar yang dapat dirasakan dan dipahami; (2) hidup atau berusaha hidup menurut cita-cita atau patokan yang dianggap sempurna; (3) karangan atau lukisan yang fantastis yang menunjukkan keindahan dan kesempurnaan.[1]
Teori idealis melihat bahwa perubahan sosial dapat disebabkan oleh faktor non-material, seperti ide, nilai, dan ideologi. Apa yang ada di luar sana (di lingkungan sekitar) dapat dibangun dengan ide-ide yang ada. Ide merupakan rancangan yang ada dalam pikiran[2] atau sebuah gagasan yang ingin kita aplikasikan dalam rangka mencapai suatu tujuan. Sedangkan nilai adalah sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi masyarakat[3], dan ideologi merupakan sekumpulan konsep bersistem[4] yang dapat memengaruhi pola pikir lingkungan sekitarnya.
 
B.       Metode Studi
Dalam penulisan paper ini, penulis menggunakan metode studi pustaka. Dalam pengerjaannya, penulis mencari dan mendapatkan sumber informasi dari buku-buku yang membahas mengenai teori-teori sosiologi juga dari buku kamus. Buku-buku tersebut adalah Kamus Bahasa Indonesia (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2008), Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi (Soerjono Soekanto, 2011), dan Sosiologi Klasik (Prof. Dr. Wardi Bachtiar, M.A., 2006).

C.      Analisis
Teori idealis merupakan hasil dari pemikiran seorang sarjana hukum, yaitu Max Weber. Pemikiran Weber dipengaruhi oleh dua orang ilmuwan, yaitu Dilthey sebagai seorang Neoidealis dan Rickert sebagai seorang NeoKantian. Para Neoidealis memperhatikan dunia sebagai sebuah lapangan untuk melakukan aksi, sementara para NeoKantian berurusan dengan dunia sebagai sebuah objek pengetahuan.[5]
Para idealis memandang perkembangan semangat manusia sebagai sebuah proses kreasi murni. Weber berpendapat bahwa sasaran nilai sejarah tak pernah dapat ditemukan dalam sebuah sistem nilai-nilai universal[6]. Perubahan selalu terjadi dalam setiap fase kehidupan kita tanpa dapat kita ketahui akhirnya karena dalam kehidupan selalu terdapat aktivitas-aktivitas baru yang dapat menorehkan sejarah yang baru.
Menurut Weber, ilmu kebudayaan memiliki peran untuk memahami makna-makna. Ilmu kebudayaan bertujuan untuk memahami suatu proses yang sedang berjalan dengan semacam bukti khusus yang dikaitkan dengan jalinan hubungan-hubungan yang bermakna.
Tipe ideal bukanlah merupakan konsep umum ataupun konsep-konsep abstrak, akan tetapi merupakan hipotesis perorangan. Sebagai hipotesis perorangan, tipe ideal berisi suatu pilihan  item-item yang dapat muncul dalam suatu kenyataan. Dalam hal ini tipe-tipe ideal tersebut menyerupai stereotip-stereotip (pelabelan terhadap sesuatu)[7]. Misalnya pelabelan pada masyarakat dari wilayah Indonesia Timur. Ciri khas dari mereka adalah intonasi (nada) yang cukup tinggi saat berinteraksi dengan orang lain. Stereotip yang muncul karena hal itu adalah bahwa masyarakat dari wilayah Indonesia Timur apabila berbicara selalu dengan nada yang tinggi seakan-akan seperti sedang marah, padahal tidak semua warganya seperti itu.
Secara umum, idealis dapat diartikan sebagai suatu hubungan sosial yang ada apabila para individu secara bersamaan mendasarkan perilakunya pada perilaku yang diharapkan oleh pihak-pihak lain. Misalnya saja perilaku kita sehari-hari. Orang tua kita tidak mengharapkan kita memiliki perilaku yang buruk sehingga menjadi anak yang nakal. Maka kita sebagai anak harus menunjukkan perilaku yang ingin orang tua kita lihat, yaitu perilaku-perilaku yang baik. Seperti rajin belajar, membantu orang tua, tidak membantah perkataan orang tua, dan lain sebagainya.
Menurut Max Weber suatu perilaku mungkin memiliki arti tertentu, terlepas dari seseorang atau beberapa orang terlibat dengannya serta memberikan arti tertentu pada perilaku tersebut[8]. Contohnya sifat pemalas yang ada pada diri manusia. Sekalipun dia bertemu dan bergaul dengan orang yang rajin, bila tidak ada motivasi dan niat untuk berubah maka orang tersebut akan terus menjadi seorang pemalas.
Makna merupakan suatu hubungan yang terasa secara sadar antara cara-cara dan tujuan-tujuan. Berbagai makna dapat diorganisasikan dengan sejumlah cara, dengan efisiensi dengna menetapkan keunggulan tujuan-tujuan dan cara-cara sebagaimana dalam tujuan-tujuan yang benar menurut agama dan melakukan cara-cara untuk mencapainya berdasarkan agama, dengan munculnya emosi, dengan penetapan tradisi-tradisi dan kebiasaan-kebiasaan.
Weber juga memperkenalkan mengenai pengenalan konsep dukungan sosial. Ini merupakan konsep dasar untuk membuat peralihan dari aksi-aksi perolehan kepada pola-pola perilaku, dari aksi sosial ke orang sosial, kelompok-kelompok sosial, lembaga-lembaga, atau komunitas-komunitas. Konsep hubungan sosial itu dipergunakan untuk menandai perilaku pluralitas dan para pelaku sejauh aksi tiap-tiap orang merupakan bagian dari perilaku yang lain dan berorientasi pada makna itu. Hubungan sosial meliputi keberadaan suatu kemungkinan yang akan terjadi, dalam pengertian yang dapat dipahami secara maknawi suatu lingkup aksi sosial.[9]
Bagi Weber, pentingnya "pemahaman" (verstehen) dalam arti teknis murni adalah bahwa hal itu memberikan petunjuk pada pengamatan dan penafsiran teoritis terhadap keadaan kejiwaan subyektif manusia yang sedang dipelajari perilakunya. Dengan mempergunakan pengartian "pemahaman" tersebut, peneliti akan dapat mengetahui mengapa suatu aksi dapat terjadi dan mengapa suatu pola perilaku tertetu mengikuti secara bersamaan.[10]


DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku :
Bachtiar, Wirda. 2006. Sosiologi Klasik. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tim Buku Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.
Soekanto, Soerjono. 2011. Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi. Cetakan ke-3. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.




[1] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta, Pusat Bahasa, 2008), h. 537
[2] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta, Pusat Bahasa, 2008), h. 537
[3] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta, Pusat Bahasa, 2008), h. 1004
[4] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta, Pusat Bahasa, 2008), h. 538
[5] Wardi Bachtiar, Sosiologi Klasik, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2006), h. 258
[6] Wardi Bachtiar, Sosiologi Klasik, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2006), h. 259
[7] Wardi Bachtiar, Sosiologi Klasik, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2006), h. 268
[8] Soerjono Soekanto, Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi, (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2011), h. 11
[9] Wardi Bachtiar, Sosiologi Klasik, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2006), h. 275
[10] Soerjono Soekanto, Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi, (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2011), h. 11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini