Senin, 25 Maret 2013

Tugas 2 Teori Strukturalis (Pendekatan Institusional) / Nur Oktaviani (109051000126)

Pendahuluan
Dalam pembahasan sosiologi terdapat pembahasan mengenai teori Strukturalis. Secara Etimologis struktur berasal dari kata Structure,  yang dalam bahasa latin berarti bentuk atau bangunan. Struktur berasal dari kata Structura (Latin) yang memiliki arti bentuk, bangunan (kata benda). Strukturalisme berasal dari bahasa Inggris, structuralism; latin struere (membangun), structura berarti bentuk bangunan. Struktur sendiri merupakan bangunan teoretis (abstrak) yang terbentuk dari sejumlah komponen yang berhubungan satu sama lain. Struktur menjadi aspek utama dalam strukturalisme. Dengan demikian, maka strukturalisme adalah teori yang menyatakan bahwa berbagai gejala budaya dan alamiah sebagai bangun teoritis (abstrak) yang terdiri atas unsur-unsur yang berhubungan satu sama lain relasi sintagmatis dan paradigmatis.[1]
Selain itu strukturalisme juga beranggapan bahwa seluruh organisasi manusia ditentukan secara luas oleh struktur sosial atau psikologi yang mempunyai logika independen yang menarik, berkaitan dengan maksud, keinginan, maupun tujuan manusia. Strukturalisme muncul dalam dunia akademis pada paruh kedua abad ke-20, dan tumbuh menjadi salah satu pendekatan yang paling populer di bidang akademis berkaitan dengan analisis bahasa, budaya, dan masyarakat. Karya Ferdinand de Saussure tentang linguistik umumnya dianggap sebagai titik awal dari strukturalisme. Istilah "strukturalisme" itu sendiri muncul dalam karya-karya Perancis antropolog Claude Lévi-Strauss, dan memperkenalkannya di Perancis dengan "gerakan strukturalis".[2]
Metode Studi
Dalam penulisan paper ini, penulis menggunakan metode studi pustaka. Dalam pengerjaannya, penulis mencari dan mendapatkan sumber informasi yang relevan mengenai teori-teori sosiologi dan judul materi yang sedang dibahas.
Analisis
Menurut Turner teori merupakan proses mental untuk membangun ide sehingga ilmuwan dapat menjelaskan mengapa peristiwa itu terjadi (Sunarto, 2000: 225). Sedangkan Kornblum mengemukakan bahwa teori merupakan seperangkat jalinan konsep untuk mencari sebab terjadinya gejala yang diamati. Dalam proses pencarian sebab ini, ara ilmuwan membedakan antara faktor yang dijelaskan dengan faktor penyebab.
Menurut Soerjono Soekanto (2000: 27), suatu teori pada hakikatnya merupakan hubungan antara dua fakta atau lebih, atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu. Fakta merupakan sesuatu yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris. Oleh sebab itu dalam bentuk yang paling sederhana, teori merupakan hubungan antara dua variabel atau lebih yang telah diuji kebenarannya. Bagi seseorang yang belajar sosiologi, teori mempunyai kegunaan antara lain untuk (Zamroni, 1992: 4):[3]
1.      sistematisasi pengetahuan
2.      menjelaskan, meramalkan, dan melakukan kontrol social
3.      mengembangkan hipotesa
Dalam sosiologi ditempuh berbagai cara untuk mengklasifikasikan teori. Ritzer dalam buku Teori Sosiologi Modern Edisi ke-6 (2006) mengklasifikasi berdasarkan pada urutan waktu lahirnya teori sosiologi. Klasifikasi yang hampir sama juga dilakukan oleh Doyle Paul Johnson (1986) dalam bukunya Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Dalam bukunya Ritzer mengklasifikasi teori strukturalis kedalam Teori Sosiologi Modern.
Teori Strukturalisme termasuk teori Sosiologi Modern dan juga Post Modern, karena dalam perkembangannya, teori ini terus dikembangkan dan menjadi teori Post Strukturalisme. Walaupun teori ini jelas memusatkan perhatiannya pada struktur, tetapi tidak sepenuhnya sama dengan struktur yang menjadi sasaran perhatian teoritisi Fungsionalisme Struktural (salah satu teori Sosiologi klasik). Perbedaanya pada tekanannya, yaitu Fungsionalisme Struktural memusatkan perhatiannya pada struktur sosial, sedangkan Teori Strukturalisme memusatkan pada struktur linguistik (Ritzer, 2004 : 603). Strukturalisme merupakan suatu gerakan pemikiran filsafat yang mempunyai pokok pikiran bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai suatu struktur yang sama dan tetap.
a.      Ferdinand de Saussure[4]
Banyak hal yang menunjukkan Ferdinand de Saussure adalah bapak strukturalisme. Selain ia sebagai bapak strukturalisme ia juga sebagai bapak linguistik yang ditunjukkan dengan mengadakan perubahan besar-besaran di bidang lingustik. Ia yang pertama kali merumuskan secara sistematis cara menganalisa bahasa, yang juga dapat dipergunakan untuk menganalisa sistem tanda atau simbol dalam kehidupan masyarakat, dengan menggunakan analisis struktural. Ia mengatakan bahwa linguistik adalah ilmu yang mandiri, karena bahan penelitiannya, yaitu bahasa, juga bersifat otonom. Bahasa adalah sistem tanda yang paling lengkap. De Saussure mengatakan bahwa bahasa adalah sistem tanda yang mengungkapkan gagasan, dengan demikian dapat dibandingkan dengan tulisan, abjad orang-orang bisu tuli, upacara simbolik, bentuk sopan santun, tanda-tanda kemiliteran dan lain sebagainya.
Gagasan yang paling mendasar dari de Saussure adalah sebagai berikut:
1.      Diakronis dan sinkronis: penelitian suatu bidang ilmu tidak hanya dapat dilakukan secara diakronis (menurut perkembangannya) melainkan juga secara sinkronis (penelitian dilakukan terhadap unsur-unsur struktur yang sezaman).
2.      Langue dan parole: langue adalah penelitian bahasa yang mengandung kaidah-kaidah, telah menjadi milik masyarakat, dan telah menjadi konvensi. Sementara parole adalah penelitian terhadap ujaran yang dihasilkan secara individual.
3.      Sintagmatik dan Paradikmatik (asosiatif): sintagmatik adalah hubungan antara unsur yang berurutan (struktur) dan paradikmatik adalah hubungan antara unsur yang hadir dan yang tidak hadir, dan dapat saling menggantikan, bersifat asosiatif (sistem).
4.      Penanda dan Petanda: Saussure menampilkan tiga istilah dalam teoi ini, yaitu tanda bahasa (sign), penanda (signifier) dan petanda (signified). Menurutnya setiap tanda bahasa mempunyai dua sisi yang tidak terpisahkan yaitu penanda (imaji bunyi) dan petanda (konsep). Sebagai contoh kalau kita mendengan kata rumah langsung tergambar dalam pikiran kita konsep rumah. 
Strukturalisme termasuk dalam teori kebudayaan yang idealistik karena strukturalisme mengkaji pikiran-pikiran yang terjadi dalam diri manusia. Strukturalisme menganalisa proses berfikir manusia dari mulai konsep hingga munculnya simbol-simbol atau tanda-tanda  (termasuk didalmnya upacara-upacara, tanda-tanda kemiliteran dan sebagainya) sehingga membentuk sistem bahasa. Bahasa yang diungkapkan dalam percakapan sehari-hari juga mengenai proses kehidupan yang ada dalam kehidupan manusia, dianalisa berdasarkan strukturnya melalui petanda dan penanda, langue dan parole, sintagmatik dan paradikmatik serta diakronis dan sinkronis. Semua relaitas sosial dapat dianalisa berdasarkan analisa struktural yang tidak terlepas dari kebahasaan.
Dalam memahami kebudayaan kita tidak bisa terlepas dari prinsip-prinsip dasarnya. de Saussure merumuskan setidaknya ada tiga prinsip dasar yang penting dalam memahami kebudayaan, yaitu: Pertama, Tanda (dalam bahasa) terdiri atas yang menandai (signifiant, signifier, penanda) dan yang ditandai (signifié, signified, petanda).Kedua, Gagasan penting yang berhubungan dengan tanda menurut Saussure adalah tidak adanya acuan ke realitas obyektif. Ketiga, Permasalahan yang selalu kembali dalam mengkaji masyarakat dan kebudayaan adalah hubungan antara individu dan masyarakat
b.      Pierre Bourdieu[5]
Pada tahun 60an ia mulai mengolah pandangan-pandangan tersebut dan membangun suatu teori tentang model masyarakat. Gabungan antara pendekatan teori obyektivis dan teori subyektivis sosial yang dituangkan dalam buku yang berjudul "outline of a theory of practice" dimana didalamnya ia memiliki posisi yang unik karena  berusaha mensintesakan kedua pendekatan metodologi dan epistemologi tersebut. Kelebihan Bourdieu adalah menghasilkan cara pandang dan metode baru yang mengatasi berbegai pertentangan di antara penjelasan-penjelasan sebelumnya. Pemikirannya bukan hanya menjawab pertanyaan tentang asal usul dan seluk beluk masyarakat tetapi lebih pada menjawab persoalan-persoalan baru yang diturunkan dari pemikiran-pemikiran terdahulu.
Terdapat 3 konsep penting dalam pemikiran Bourdieu yaitu Habitus, Field dan Modal. Habitus adalah "struktur mental atau kognitif" yang digunakan aktor untuk menghadapi kehidupan sosial. Habitus mencerminkan pembagian obyektif dalam struktur kelas seperti umur, jenis kelamin, kelompok dan kelas sosial. Habitus diperoleh sebagai akibat dari lamanya posisi dalam kehidupan sosial diduduki. Habitus menghasilkan dan dihasilkan oleh kehidupan sosial. Habitus membekali seseorang dengan hasrat, motivasi, pengetahuan, keterampilan, rutinitas dan strategi untuk memproduksi status yang lebih rendah. Bagi Bourdieu keluarga dan sekolah merupakan lembaga penting dalam membentuk kebiasaan yang berbeda.
Field bagi Bourdieu lebih bersifat relasional ketimbang struktural. Field adalah jaringan hubungan antar posisi obyektif di dalamnya. Keberadaan hubungan ini terlepas dari kesadaran dan kemauan individu. Field bukanlah interaksi atau ikatan lingkungan bukanlah intersubyektif antara individu. Penghubi posisi mungkin agen individual atau lembaga, dan penghubi posisi ini dikendalikan oleh struktur lingkungan. Bourdieu melihat field sebagai sebuah arena pertarungan.
Bourdieu menyusun 3 langkah proses untuk menganalisa lingkungan, pertama, menggambarkan keutamaan lingkungan kekuasaan (politik). Langkah kedua, menggambarkan struktur obyektif hubungan antar berbagai posisi di dalam lingkungan tertentu, ketiga, analis harus mencoba menetukan ciri-ciri kebiasaan agen yang menempati berbagai tipe posisi di dalam lingkungan. Bourdieu menganggap bahwa modal memainkan peranan yang penting, karena modallah yang memungkinkan orang untuk mengendalikan orang untuk mengendalikan nasibnya sendiri maupun nasib orang lain.
Ada 4 modal yang berperan dalam masyarakat yang menentukan kekuasaan sosial dan ketidaksetaraan sosial, pertama modal ekonomis yang menunjukkan sumber ekonomi. Kedua, modal sosial yang berupa hubungan-hubungan sosial yang memungkinkan seseorang bermobilisasi demi kepentingan sendiri. Ketiga, modal simbolik yang berasal dari kehormatan dan prestise seseorang. Dan keempat adalah modal budaya yang memiliki beberapa dimensi, yaitu:
1.       Pengetahuan obyektif tentang seni dan budaya
2.      Cita rasa budaya (cultural taste) dan preferensi
3.      Kualifikasi-kualifikasi formal (seperti gelas-gelar universitas)
4.      Kemampuan-kemampuan budayawi dan pengetahuan praktis
5.      Kemampuan untuk dibedakan dan untuk membuat oerbedaan antara yang baik dan buruk.
     
c. Levi Strauss[6]
Dalam konsep Strukturalisme Levi-Strauss, struktur adalah model-model yang dibuat oleh ahli Antropologi untuk memahami atau menjelaskan gejala kebudayaan yang dianalisisnya, yang tidak ada kaitannya dengan fenomena empiris kebudayaan itu sendiri (Ahimsa, 2006; 60). Meskipun bertolak pada linguistik, fokus strukturalisme Levi-Strauss sebenarnya bukan pada makna kata, tetapi lebih menekankan pada bentuk (pattern) dari kata itu. Bentuk-bentuk kata ini menurut Levi-Strauss berkaitan erat dengan bentuk atau susunan sosial masyarakat. Oleh sebab itu Sarah Schmitt (1999) menyatakan, "Levi-Strauss derived structuralism from school of linguistics whose focus was not on the meaning of the word, but the patterns that the words form."
Menurut Levi-Strauss (1958) ada empat syarat model agar terbentuk struktur sosial;
1.      Sebuah struktur menawarkan sebuah karakter sistem. Struktur terdiri atas elemen-elemen seperti sebuah modifikasi apa saja, yang salah satunya akan menyeret modifikasi seluruh elemen lainnya.
2.      Seluruh model termasuk dalam sebuah kelompok transformasi, di mana masing-masing berhubungan dengan sebuah model dari keluarga yang sama, sehingga seluruh transformasi ini membentuk sekelompok model.
3.      Sifat-sifat yang telah ditunjukan sebelumnya tadi memungkinkan kita untuk memperkirakan dengan cara apa model akan beraksi menyangkut modifikasi salah satu dari sekian elemennya.
4.      Model itu harus dibangun dengan cara sedemikian rupa sehingga kegunaannya bisa bertanggung jawab atas semua kejadian yang diobservasi.
Ada beberapa pemahaman mengenai keterkaitan bahasa dan budaya menurut Levi-Strauss. Pertama, bahasa yang digunakan oleh suatu masyarakat merupakan refleksi dari keseluruhan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Kedua, menyadari bahwa bahasa merupakan salah satu unsur dari kebudayaan. Karena bahasa merupakan unsur dari kebudayaan,  maka bahasa adalah bagian dari kebudayaan itu sendiri. Ketiga, menyatakan bahwa bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan. Dengan kata lain melalui bahasa manusia mengetahui kebudayaan suatu masyarakat yang sering disebut dengan kebudayaan dalam arti diakronis. Dengan bahasa manusia menjadi makhluk sosial yang berbudaya.[7]


[1] http://aradiace.blogspot.com/2012/03/teori-strukturalisme.html?zx=185b91a8422e526
[2] http://imam-gawe.blogspot.com/2012/01/perkembangan-teori-teori-strukturalisme.html
[3] http://cin7shared-artikel1.blogspot.com/p/teori-strukturalisme.html
[4] http://cin7shared-artikel1.blogspot.com/p/teori-strukturalisme.html
[5] http://cin7shared-artikel1.blogspot.com/p/teori-strukturalisme.html
[6] http://cin7shared-artikel1.blogspot.com/p/teori-strukturalisme.html
[7] http://cin7shared-artikel1.blogspot.com/p/teori-strukturalisme.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini