Senin, 25 Maret 2013

TEORI STRUKTURALIS_TUGAS KE 2_ESTI NURHAYATI_109051000003


TEORI STRUKTURALIS
Teori struktural sastra tidak memperlakukan sebuah karya sastra tertentu sebagai objeknya kajiannya. Yang menjadi objek kajiannya adalah sistem sastra, yaitu seperangkat konvensi yang abstrak dan umum yang mengatur hubungan berbagai unsur dalam teks sastra sehingga unsur-unsur tersebut berkaitan satu sama lain dalam keseluruhan yang utuh. Meskipun konvensi yang membentuk sistem sastra itu bersifat sosial dan ada dalam kesadaran masyarakat tertentu, namun studi sastra struktural beranggapan bahwa konvensi tersebut dapat dilacak dan dideskripsikan dari analisis struktur teks sastra itu sendiri secara otonom, terpisah dari pengarang ataupun realitas sosial. Analisis yang seksama dan menyeluruh terhadap relasi-relasi berbagai unsur yang membangun teks sastra dianggap akan menghasilkan suatu pengetahuan tentang sistem sastra.[1]

Tokoh-Tokoh Dan Konsep Dasar Teori Struktural
1.      Aristoteles
Empat konsep Aristoteles yaitu :
a.       Order berarti urutan dan aturan. Urutan aksi harus teratur dan logis.
b.      Unity berarti bahwa semua unsur dalam plot harus ada, dan tidak bisa bertukar tempat tanpa mengacaukan keseluruhannya.
c.       Complexity berarti bahwa luasnya ruang lingkup dan kekomplekan karya
harus cukup untuk memungkinkan perkembangan peristiwa yang logis
untuk menghasilkan peredaran dari nasib baik ke nasib buruk ataupun sebaliknya.
d.      Coherence berarti bahwa sastrawan tidak bertugas untuk menyebutkan hal-hal
yang benar terjadi, tetapi hal-hal yang mungkin atau harus terjadi dalam
rangka keseluruhan plot.
2.      Ferdinand de Saussure
Meletakkan dasar bagi linguistik modem melalui mazhab yang didirikannya, yaitu mazhab Jenewa. Menurut Saussure prinsip dasar linguistik adalah adanya perbedaan yang jelas antara signifiant (bentuk, tanda, lambang) dan signifie (yang ditandakan), antara parole (tuturan) dan langue (bahasa), dan antara sinkronis dan diakronis. Dengan klasifikasi yang tegas dan jelas ini ilmu bahasa dimungkinkan berkembang menjadi ilmu yang otonom, di mana fenomena bahasa dapat dijelaskan dan dianalisis tanpa mendasarkan dirt atas apa pun yang letaknya di luar bahasa. Saussure membawa perputaran perspektif yang radikal dart pendekatan diakronik ke pendekatan sinkronik. Sistem dan metode linguistik mulai berkembang secara ilmiah dan menghasilkan teori-teori yang segera dapat diterima secara luas. Keberhasilan studi linguistik kemudian diikuti oleh berbagai cabang ilmu lain seperti antropologi, filsafat, psikoanalisis, puisi, dan analisis cerita.
3.      Jan Mukarovsky
Memperkenalkan konsep kembar artefakta-objek-estetik. Sastra dianggap sebagai sebuah fakta semiotik yang tetap. Teks-teks sastra dianggap sebagai suatu tanda majemuk dalam konteks luas yang meliputi sistem-sistem sastra dan sosial.
4.      Sklovsky
Mengembangkan konsep otomatisasi dan deotomatisasi, yang serupa dengan konsep Roman Jakobson tentang familiarisasi dan defamiliarisasi. Dasar anggapan mereka adalah bahwa bahasa sastra sering kali memunculkan gaya yang berbeda dari gaya bahasa sehari-hari maupun gaya bahasa ilmiah. Struktur bahasa ini pun sering kali menghadirkan berbagai pola yang menyimpang dan tidak biasa.
5.      Roland Barthes dan Julia Kristeva (Strukturalisme Perancis)
Mengambangkan seni penafsiran struktural berdasarkan kode-kode bahasa teks sastra. Melalui kode bahasa itu, diungkapkan kode-kode retorika, psikoanalitis, sosiokultural. Mereka menekankan bahwa sebuah karya sastra haruslah dipandang secara otonom. Puisi khususnya dan sastra umumnya harus diteliti secara objektif (yakni aspek intrinsiknya). Keindahan sastra terletak pada penggunaan bahasanya yang khas yang mengandung efek-efek estetik. Aspek-aspek ekstrinsik seperti ideologi, moral, sosiokultural, psikologi, dan agama tidaklah indah pada dirinya sendiri melainkan karena dituangkan dalam cara tertentu melalui sarana bahasa puitik.
.
Sejarah teori structural
Pendekatan struktural terhadap karya sastra sesungguhnya sama tuanya di dunia barat dengan puitik sebagai cabang ilmu pengetahuan. Dalam bukunya yang berjudul poetika, yang ditulis sekitar tahun 340 SM di Athena. Aristoteles meletakkan dasar yang kuat untuk pandangan yang menganggap karya sastra sebagai struktur yang otonom. Masalah struktur karya sastra dibicarakannya dalam rangka pembahasan tragedi, khususnya dalam pasal-pasal mengenai plot. Efek tragedi dihasilkan oleh aksi plotnya, dan untuk menghasilkan efek yang baik, plot harus mempunyai keseluruhan dan dipenuhi empat syarat utama yaitu order, unity, complexity, dan coherence.
Pendekatan struktural berangkat dari pandangan kaum strukturalisme yang menganggap karya sastra sebagai struktur yang unsurnya terjalin secara erat dan berhubungan antara satu dan lainnya.Karya sastra merupakan sebuah kesatuan yang utuh.Sebagai kesatuan yang utuh, maka karya sastra dapat dipahami maknanya jika dipahami bagian-bagiannya atau unsur-unsur pembentuknya, relasi timbal balik antara bagian dan keseluruhannya. Struktural genetik lahir sebagai wujud ketidak puasan terhadap teori struktural yang melihat karya sastra sebagai sesuatu yang otonom.
Pendekatan secara struktural sempat tidak tidak diminati pada abad ke-19 karena pendekatan secara ekspresiflah yang lebih diminati, setelah itu pada abad ke-20 pendekatan ini muncul kembali sebagai model yang mengalami pembaharuan cukup radikal. Pendekatan strukturalisme dalam karya sastra dipelopori oleh kaum formalis Rusia dan strukturalisme Praha ia mendapat pengaruh langsung dari teori Linguistik Ferdinand De Saussure. Secara garis besar konsep Saussure menganggap linguistik sebagai ilmu yang otonom, jika ditarik dalam ilmu sastra maka karya sastra juga memiliki sifat keotonomian sehingga pembicaraan mengenai karya sastra tidak perlu dikaitkan dengan ilmu-ilmu yang lainnya.
Di bidang antropologi budaya pendekatan structural muncul pada awal abad ini, dengan peneliti perancis seprti Durkheim dan maus sebagai pelopornya.di bidang studi antropologi (pada waktu itu di sebut etnolagi) mengena bahasa alira strukturalis secara cukup menonjol diwakili oleh J.P.B josselin de jong dan W.H. Rassers, dengan murid-muridnya yang merupakan mazhab leiden, yang hasil-hasilnya mencapai tarif internasional
Kelebihan dari teori strukturalisme murni adalah sebagai berikut[2]:
1)      Teori stukturalisme murni hampir seluruh bidang kehidupan manusia baik itu dalam laju perkembangan IPTEK, dalam menunjang sarana pra sarana penelitian secara global, dan dalam bidang sastra memicu berkembangnya genre sastra dan lainnya.
2)      Menumbuhkan prinsif antarhubungan baik itu hubungan masyarakat dengan sastra,, minat mayarakat terhadap penelitaan inter disipliner, memberi pengaruh terhadap berkembangnya teori sastra.
3)      Dianggap sebagai salah satu teori modern yang berhasil membawa manusia pada pemahaman yang maksimal.
Kekurangan ataupun kelemahan dari teori strukturalisme :
Murni ini disebabkan karena teori ini hanya menekankan otonomi dan prinsif objektifitas pada struktur karya sastra yang memiliki beberapa kelemahan pokok ialah sebagai berikut:
1)      Karya sastra diasingkan dari konteks dan fungsinya sehingga sastra kehilangan relevensi sosialnya, tercabutnya dari sejarah, dan terpisah dari permasalahan manusia.
2)      Mengabaikan pengarang (penulis) sebagai pemberi makna dalam penafsiran terhadap karya sastra. Ini sangat krusial sekali dan berbahaya karena penafsiran tersebut akan mengorbankan cirri khas kepribadian, cita-cita dan juga norma-norma yang di pegang teguh oleh pengarang tersebut dalam kultur sosial tertentu.
3)      Otomatis keobjektifitasannya akan diragukan lagi karena memberi kemungkinan lebih besar terhadap campur tangan pembaca didalam penafsiran karya sastra tersebut.
4)      Karya sastra tidak dapat diteliti lagi dalam rangka konvensi-konvnsi kesusastraan sehingga pemahaman kita terhadap terhadap genre dan system sastra sangat terbas sekali.


[1] Teeuw, A. (1987). Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini