Minggu, 22 September 2013

haikal fawwaz kpi 1b_tugas3_emile durkheim


EMILE DURKHEIM

 

THE DIVISION OF LABOR IN SOCIETY
The Division of Labor in Society (Durkheim, 1893/1964) dikenal sebagai karya sosiologi klasik pertama (Tiryakian, 1994). Di dalam buku ini Durkheim melacak perkembangan modern relasi individu dengan masyarakat. Dalam karya ini Durkheim terutama ingin menggunakan ilmu sosiologi barunya untuk meneliti sesuatu yang sering dilihat sebagai krisis moralitas. Pada pendahuluan edisi pertama karyanya ini, Durkheim memulai dengan ungkapan, "Buku ini adalah sebuah karya yang membahas fakta kehidupan moral berdasarkan metode ilmu positivistik".

Selama hidupnya di Prancis, Durkheim merasakan adanya krisis moral. Revolusi Prancis telah menggiring orang untuk terpusat pada hak-hak individual yang sering mengekspresikan diri sebagai serangan terhadap otoritas tradisional dan keyakinan religius. Pada pertengahan abad ke-19, banyak orang yang merasa keteraturan masyarakat terancam karena mereka hanya memikirkan diri sendiri bukan masyarakat. Kurang lebih 100 tahun rentang masa Revolusi Prancis, Prancis telah merasakan 3 monarki, 2 emporium, dan 3 republik.
Menurut Auguste Comte masalah ini bisa ditelusuri ke dalam peningkatan pembagian kerja. Dalam masyarakat sederhana, mereka pada dasarnya melakukan pekerjaan yang sama, seperti pertanian dan dan berbagi pengalaman yang sama dan akhirnya memiliki nilai yang sama. Dalam masyarakat modern, setiap orang memiliki pekerjaan yang berbeda. Ketika orang-orang memiliki spesialisasi pekerjaan berbeda, mereka tidak lagi memiliki pengalaman yang sama. Hal ini merusak kepercayaan moral bersama yang sangat penting bagi masyarakat. Comte berpendapat bahwa sosiologi akan menjadi "semacam" agama baru yang akan mengembalikan kohesi sosial. Namun,  Durkheim berpendapat bahwa pembagian kerja yang tinggi bukannya menandai keruntuhan moral social, melainkan melahirkan moralitas social jenis baru.
Tesis  The Division of Labor in Society adalah bahwa masyarakat modern tidak diikat oleh kesamaan antara orang-orang yang melakukan pekerjaan yang sama, akan tetapi pembagian kerjalah yang mengikat masyarakat dengan memaksa mereka agar tergantung satu sama lain. Kelihatannya pembagian kerja memang menjadi tuntutan ekonomi yang merusak solidaritas social, akan tetapi Durkheim berpendapat bahwa "fungsi ekonomis yang dimainkan oleh pembagian kerja ini menjadi tidak penting dibandingkan dengan efek moralitas yang dihasilkannya. Maka fungsi sesungguhnya dari pembagian kerja adalah untuk menciptakan solidaritas antara dua orang atau lebih".
a.   Solidaritas mekanis dan organis
Perubahan dalam pembagian keeja memiliki implikasi yang sangat besar bagi struktur masyarakat. Ia sangat tertarik dengan perubahan cara dimana solidaritas sosial terbentuk. Dengan kata lain, perubahan cara- cara masyarakat bertahan dan bagaimana anggotanya melihat diri mereka sebagai bagian yang utuh. Durkheim membagi solidaritas menjadi dua macam, solidaritas mekanis dan organis. Masyarakat yang menggunakan solidaritas mekanis akan menjadi satu dan padu karena seluruh orang adalah generalis. Ikatan ini terjadi karena mereka terlibat dalam aktivitas yang sama dan memiliki tanggung jawab yang sama. Sebaliknya, masyarakat yang ditandai oleh solidaritas organis bertahan bersama justru dengan perbedaan yang ada di dalamnya, dengan fakta bahwa semua orang memiliki pekerjaan dan tanggung jawab yang berbeda-beda.
b.   Dinamika penduduk   
Durkheim meyakini bahwa perubahan konsep ini merujuk pada jumlah orang dalam masyarakat dan banyaknya interaksi yang terjadi di antara mereka. Semakin banyak orang berarti makin meningkatnya kompetisi memperebutkan sumber-sumber yang terbatas, sementara makin meningkatnya jumlah interaksi akan berarti makin meningkatnya perjuangan untuk bertahan diantara komponen-komponen masyarakat yang pada dasarnya sama.
c.   Hukum represif dan restitutif
Durkheim berpendapat  bahwa masyarakat dengan solidaritas mekanis dibentuk oleh hukum represif. Karena meiliki kesamaan satu sama lain.
Masyarakat dengan solidaritas organis dibentuk oleh hukum restitusif. Artinya bagi yang melanggar mesti melakukan restitusi untuk kejahatan mereka.
Para pelanggar dalam masyarakat organis akan dituntut untuk membuat restitusi untuk siapa saja yang telah diganggu oleh perbuatan mereka.
d.   Normal dan Patologi
Jika masyarakat tidak berada dalam kondisi yang biasanya mesti dimilikinya, maka bisa jadi masyarakat itu sedang mengalami patologi.
Pendapat Durkheim bahwa kriminal adalah sesuatu yang normal dan bukan patologis. Bagi Durkheim, kriminal mendorong masyarakat mendefinisikan dan membuktikan kesadaran kolektif mereka. Durkheim menggunakan ide patologi untuk mengkritik beberapa bentuk abnormal yang ada dalam pembagian kerja masyarakat modern. Pertama, pembagian kerja anomik adalah tidak adanya regulasi dalam masyarakat yang menghargai individualitas yang terisolasi dan tidak mau memberitahu masyarakat tentang apa yang harus mereka kerjakan. Kedua, pembagian kerja yang dipaksakan. Adalah aturan yang memancing konflik dan isolasi serta yang akan meningkatkan anomi. Terakhir, pembagian kerja yang terkoordinasi dengan buruk. Dimana funsi-fungsi khusus yang dilakukan oleh orang yang berbeda-beda tidak diatur dengan baik.
e.   Keadilan
Masyarakat modern tidak lagi disatukan oleh pengalaman dan kepercayaan bersama, melainkan melalui perbedaan yang terdapat didalamnya.
Maka tugas masyarakat maju adalah menciptakan keadilan… kalau tugas masyarakat yang lebih rendah adalah menciptakan atau mempertahankan semangat hidup bersama sebisa mungkin, di mana individu terserap kedalamnya, maka cita-cita dalam masyarakat modern adalah menciptakan relasi sosial yang seadil-adilnya, dan memastikan kekuatan-kekuatan yang bermanfaat secara sosial dapat berkemban secara bebas. (Dukheim, 1883/1964: 387)
ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE
Teori Durkheimian Awal dan Akhir
Sebelum kita masuk pada karya sosiologis terbaik Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life,terlebih dahulu kita perlu sedikit membahas bagaimana idenya dapat masuk ke dalam sosiologi Amerika. Sebagaimana yang dikatakan tadi, Durkheim dianggap sebagai "bapak" sosiologi modern. Durkheim dianugerahi gelar "bapak" sosiologi oleh  Talcont Parsons (teoritis sosiologi yang terkenal di Amerika).
Menurut Parsons, teori Durkheim mengalami perubahan antara suicide dan The Elementary Forms. Dia percaya bahwa Durkheim awal adalah seorang positivistic yang mencoba menerapkan metode ilmu alam untuk mempelajari masyarakat, sementara Durkheim akhir adalah seorang idealis yang meneliti perubahan demi perubahan sosial ke dalam ide-ide kolektif.
Memang ada beberapa kebenaran dalam masing-masing periodisasi Durkheim ini, akan tetapi hal ini nampaknya lebih merupakan salah satu tutuk fokus Durkheim ketimbang pergeseran teoritisnya. Durkheim selalu percaya bahwa kekuatan sosial berhubungan dengan kekuatan alam dan ia juga percaya bahwa ide kolektif memengaruhi praktik social dan sebaliknya. Tidak diragukan lagi setelah suicide, pertanyaan tentang agama menjadi persoalan terpenting dalam teori Durkheim. Durkheim sebenarnya khawatir bahwa dia akan dilihat sebagai seorang yang materialistis karena dia berasumsu bahwa kepercayaan agama tergantung pada praktik sosial yang konkret seperti ritual-ritual.
Dalam hal ini, Durkheim, dalam periode terakhirnya, langsung mengemukakan bagaimana individu menginternalisasikan struktur sosial. Karena Durkheim selalu menggebu-gebu mengedepankan sosiologi dan mengesampingkan psikologi, beberapa kalangan berpendapat bahwa dia tidak terlalu ambil pusing tentang bagaimana fakta social memengaruhi kesadaran actor manusia. Hal ini terbukti dalam karya awalnya, dimana pembahasannya tentang hubungan timbale balik antara fakta sosial dan kesadaran individu terkesan samar-samar dan sambil lalu. Akan tetapi, tujuan akhir Durkheim adalah bagaimana menjelaskan bahwa manusia individu dibentuk oleh fakta social. Kita dapat melihat dia terang-terangan mengemukakan maksud ini terkait dengan The Elementary Forms of Religious Life. "Secara umum kita berkeyakinan bahwa sosiologi tidak akan mampu menuntaskan tugasnya selama ia belum menembus pikiran. Individu-individu dalam rangka menghubungi institusi-institusi yang ingin dijelaskannya dengan kondisi-kondisi psikologis mereka. Bagi kita, manusia lebih merupakan titik tujuan. Bukannya titik keberangkatan."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini