Senin, 23 September 2013

Idha Chusaini PMI3_Tugas3_Consumtivisme menurut weber & berger

Konsumtivisme adalah sebuah pandangan hidup, gaya hidup, ajaran, sikap atau falsafah hidup yang memakai, mengkonsumsi, menggunakan, menghabiskan sesuatu dengan berlebih-lebihan, memboroskan sesuatu.
Sebetulnya embrio konsumerisme ada sejak revolusi industrial di Eropa dan sejak adanya "ide" bagi investasi kapitalisme. Sebagai ideologi, bisa dikatakan bahwa konsumerisme adalah "turunan" dari sistem kapitalisme dalam proses perkembangannya yang evolutif. Seiring dengan bekembangnya taraf ekonomi kelas menengah, konsumerisme muncul melalui semangat dan upaya untuk "menandai" diri dengan barang-barang produksi sehingga orang terkesan berbeda dari yang lain, lebih bahagia, lebih mewah, lebih segalanya, dan mampu menciptakan dan mengekspresikan identitas diri di tengah pergaulan sosial masyarakat.
Spirit ini tumbuh seiring dengan tumbuhnya kekuatan mekanisasi dan teknologi yang heterogen, yang didorong pula oleh industrialisasi, urbanisasi, dan pertumbuhan penduduk. Masyarakat pun mulai menganut prinsip budaya "self-exspression" atau ekspresi diri untukmemacu aktivitas konsumsi.
Gaya hidup juga dihubungkan dengan status kelas sosial ekonomi. Hal tersebut karena pola-pola konsumsi dalam gaya hidup seseorang melibatkan dimensi simbolik, tidak hanya berkenaan dengan kebutuhan hidup yang mendasar secara biologis. Simbolisasi dalam konsumsi masyarakat modern saat ini mengkonstruksi identitasnya, sehingga gaya hidup bisa mencitrakan keberadaan seseorang pada suatu status sosial tertentu.
Konstruksi identitas diri melalui konsumsi banyak dilakukan oleh masyarakat perkotaan. Max weber mengemukakan bahwa masyarakat perkotaan meningkatkan 'awareness' akan gaya, untuk berkonsumsi dalam suatu kode yang berbeda dari kelompok sosial tertentu, dan yang mengeskpresikan preferensi individu. Masyarakat perkotaan melakukan mengkonsumsi dengan maksud mengartikulasikan identitasnya agar diperhitungkan..
Max Weber
memfokuskan diri pada argumen bahwa Revolusi Industri telah menyebabkan pergolakan
dunia besar-besaran dengan produk pabrik yang dihasilkan. Manusia cenderung pada gaya
hidup yang lebih emosional serta manusia telah mengalami suatu fase dimana manusia itu
sudah sadar akan kenikmatan hidup.
Die Protestan Ethik Under Giest Des Kapitalis
Randall Collins dalam tulisannya Weber's Last Theory of Capitalism menyebut bahwa teori Weber tentang kapitalisme merupakan teori yang paling memukau dibanding teori-teori lain yang menjelaskan kapitalisme (Sociology of Economic Life: 87). Anthony Giddens dalam pengantar untuk edisi Inggris The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism mengatakan pemikiran Weber dalam buku tersebut adalah salah satu sumbangan terbesar dalam ilmu sosial modern.Weber menyebutkan agama adalah salah satu alasan utama perbedaan antara budaya barat dan timur. Ia mengaitkan efek pemikiran agama dalam kegiatan ekonomi, hubungan antara stratifikasi sosial dan pemikiran agama serta pembedaan karakteristik budaya barat. Tujuannya untuk menemukan alasan mengapa budaya barat dan timur berkembang dengan jalur yang berbeda. Weber kemudian menjelaskan temuanya terhadap dampak pemikiran agama puritan (protestan) memiliki pengaruh besar dalam perkembangan sistem ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat, namun tentu saja ini ditopang dengan faktor lain diantaranya adalah rasionalitas terhadap upaya ilmiah, menggabungkan pengamatan dengan matematika, ilmu tentang pembelajaran dan yurisprudensi, sistematisasi terhadap administrasi pemerintahan dan usaha ekonomi. Studi agama menurut Weber semata hanyalah meneliti satu emansipasi dari pengaruh magi, yaitu pembebasan dari pesona. Hal ini menjadi sebuah kesimpulan yang dianggapnya sebagai aspek pembeda yang sangat penting dari budaya yang ada di barat.
Max Weber dengan baik mengaitkan antara Etika Protestan dan Semangat Kapitalis (Die Protestan Ethik Under Giest Des Kapitalis). Tesisnya tentang etika protestan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi kapitalis. Ini sangat kontras dengan anggapan bahwa agama tidak dapat menggerakkan semangat kapitalisme. Studi Weber tentang bagaimana kaitan antara doktrin-doktrin agama yang bersifat puritan dengan fakta-fakta sosial terutama dalam perkembangan industri modern telah melahirkan corak dan ragam nilai, dimana nilai itu menjadi tolak ukur bagi perilaku individu.
Karya Weber tentang The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism menunjukkan dengan baik keterkaitan doktrin agama dengan semangat kapitalisme. Etika protestan tumbuh subur di Eropa yang dikembangkan seorang yang bernama Calvin, saat itu muncul ajaran yang menyatakan seorang pada intinya sudah ditakdirkan untuk masuk surga atau neraka, untuk mengetahui apakah ia masuk surga atau neraka dapat diukur melalui keberhasilan kerjanya di dunia. Jika seseorang berhasil dalam kerjanya (sukses) maka hampir dapat dipastikan bahwa ia ditakdirkan menjadi penghuni surga, namun jika sebaliknya kalau di dunia ini selalu mengalami kegagalan maka dapat diperkirakan seorang itu ditakdirkan untuk masuk neraka.
Doktrin Protestan yang kemudian melahirkan karya Weber tersebut telah membawa implikasi serius bagi tumbuhnya suatu etos baru dalam komunitas Protestan, etos itu berkaitan langsung dengan semangat untuk bekerja keras guna merebut kehidupan dunia dengan sukses. Ukuran sukses dunia – juga merupakan ukuran bagi sukses di akhirat. Sehingga hal ini mendorong suatu semangat kerja yang tinggi di kalangan pengikut Calvinis. Ukuran sukses dan ukuran gagal bagi individu akan dilihat dengan ukuran yang tampak nyata dalam aktivitas sosial ekonominya. Kegagalan dalam memperoleh kehidupan dunia – akan menjadi ancaman bagi kehidupan akhirat, artinya sukses hidup didunia akan membawa pada masa depan yang baik di akhirat dengan "jaminan" masuk surga, sebaliknya kegagalan yang tentu berhimpitan dengan kemiskinan dan keterbelakangan akan menjadi "jaminan" pula bagi individu itu masuk neraka.
Upaya untuk merebut kehidupan yang indah di dunia dengan "mengumpulkan" harta benda yang banyak (kekayaan) material, tidak hanya menjamin kebahagiaan dunia, tetapi juga sebagai media dalam mengatasi kecemasan. Etika Protestan dimaknai oleh Weber dengan kerja yang luwes, bersemangat, sungguh-sungguh, dan rela melepas imbalan materialnya. Dalam perkembangannya etika Protestan menjadi faktor utama bagi munculnya kapitalisme di Eropa dan ajaran Calvinisme ini menebar ke Amerika Serikat dan berpengaruh sangat kuat disana.
Weber mendefinisikan semangat kapitalisme sebagai bentuk kebiasaan yang sangat mendukung pengejaran rasionalitas terhadap keuntungan ekonomi. Semangat seperti itu telah menjadi kodrat manusia-manusia rasional, artinya pengejaran bagi kepentingan-kepentingan pribadi diutamakan daripada memikirkan kepentingan dan kebutuhan kolektif seperti yang dikehendaki oleh Kar Marx. Islam pun sebenarnya berbicara tentang kaitan antara makna-makna doktrin dengan orientasi hidup yang bersifat rasional. Dalam salah satu ayat disebutkan bahwa setelah menyelesaikan ibadah shalat, diperintahkan untuk bertebaran di muka bumi ini dalam rangka mencari karunia Allah SWT. Namun dalam Islam ada mekanisme penyeimbangan yang digunakan untuk membatasi kepemilikan pribadi dengan kewajiban membayar zakat, infaq dan shadaqah.
  
 Peter L Berger

konstruksi sosial
Teori konstruksi sosial (social construction) Berger dan Lukmann merupakan teori sosiologi kontemporer yang berpijak pada sosiologi pengetahuan. Dalam teori ini terkandung pemahaman bahwa kenyataan dibangun secara sosial, serta kenyataan dan pengetahuan merupakan dua istilah kunci untuk memahaminya. Kenyataan adalah suatu kualitas yang terdapat dalam fenomena-fenomena yang diakui memiliki keberadaan (being)-nya sendiri sehingga tidak tergantung kepada kehendak manusia; sedangkan pengetahuan adalah kepastian bahwa fenomen-fenomen itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik (Berger, 1990:1).
Oleh karena konstruksi sosial merupakan sosiologi pengetahuan maka implikasinya harus menekuni pengetahuan yang ada dalam masyarakat dan sekaligus proses-proses yang membuat setiap perangkat pengetahuan yang ditetapkan sebagai kenyataan. Sosiologi pengetahuan harus menekuni apa saja yang dianggap sebagai pengetahuan dalam masyarakat.
Sosiologi pengetahuan, yang dikembangkan Berger dan Luckmann, mendasarkan pengetahuannya dalam dunia kehidupan sehari-hari masyarakat sebagai kenyataan. Bagi mereka (1990:31-32), kenyataan kehidupan sehari-hari dianggap menampilkan diri sebagai kenyataan par excellence sehingga disebutnya sebagai kenyataan utama (paramount). Berger dan Luckmann (1990:28) menyatakan dunia kehidupan sehari-hari menampilkan diri sebagai kenyataan yang ditafsirkan oleh manusia. Maka itu, apa yang menurut manusia nyata ditemukan dalam dunia kehidupan sehari-hari merupakan suatu kenyataan seperti yang dialaminya.
Dunia kehidupan sehari-hari yang dialami tidak hanya nyata tetapi juga bermakna. Kebermaknaannya adalah subjektif, artinya dianggap benar atau begitulah adanya sebagaimana yang dipersepsi manusia. Misalnya, Bali dalam masyarakat modern campur-aduk, itulah kenyataannya yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat modern berarti masyarakat yang mengalami modernitas. Modernitas merupakan gejala sejarah atau fenomena sosial. Sebagai fenomena sosial, modernitas memang tidak terelakkan. Bagi Berger, modernitas dipengaruhi oleh kapitalisme, yang tumbuh dalam waktu yang lama (Berger, 1990:11-19).
Sebagai suatu yang berpengaruh bagi perubahan sosial, kapitalisme tidak hanya berkait dengan masalah kapital, tetapi mengandung konsep yang luas. Perannya tidak hanya ada dalam pengembangan kapital, tetapi juga sosial politik, budaya, dan nilai-nilai. Menurut Berger (1990:21), kapitalisme selalu dikombinasikan dengan industrialisme untuk menciptakan apa yang sekarang disebut dunia modern. Berger (1990:24) menyatakan, secara historis, perkembangan kapitalisme terjadi bersamaan dengan fenomena industrialisme.   
            Modernitas berkait dengan pengalaman modern, seperti pengalaman kehidupan kota dan pengalaman komunikasi massa modern. Kota, merupakan tempat pertemuan orang atau kelompok yang sangat berbeda-beda. Kota mendorong para penghuninya menjadi "urban" terhadap orang-orang asing. Modernitas (kemodernan), di masyarakat mana pun, telah berarti perkembangan kota dalam kapasitas besar (Berger et al., 1992:63). Kotalah yang telah menciptakan gaya hidup (termasuk gaya pikir, gaya rasa, dan pada umumnya gaya mengalami realitas), yang sekarang menjadi standard untuk masyarakat luas (Berger et al., 1992:65). Modernitas lebih dipahami sebagai "cara hidup yang lebih modern dan bercorak kekinian"
            Kota, yang identik dengan masyarakat urban (urban society), mengalami pengurbanisasian yang diakibatkan terutama oleh media modern komunikasi massa. Melalui publikasi massa, film, radio dan televisi, serta media modern lainnya, batasan-batasan kognitif dan normatif tentang realitas yang diciptakan di kota dengan cepat menyebar di seluruh masyarakat (Berger et al., 1992:65).
            Modernitas, juga berkait dengan soal identitas (modern). Setidaknya, ada empat segi yang dapat dikemukakan berkait dengan identitas modern. Pertama, identitas modern bersifat terbuka. Kedua, identitas modern berdiferensiasi secara khas. Ketiga, identitas modern bersifat reflektif secara khas. Keempat, identitas modern terindividukan secara khas (Berger et al., 1992:73-74). Apa yang digambarkan Berger dkk. tentang identitas itu, lebih diarahkan pada identitas modern. Modernitas pada manusia, dilihat dari empat segi itu.
            Apa yang disebut modernitas adalah sebagai pengaruh kapitalisme. Kapitalisme, dari paradigma Marxis, sebagai kekuatan yang penting dalam dunia modern. Paradigma modernisasi memandang kapitalisme sebagai satu penyebab yang penting; kapitalismelah yang menyebabkan terjadinya serangkaian proses besar (Berger, 1990b:40-41). Implikasinya, modernitas itu sendiri ditandai dengan cara hidup modern, yang digerakkan oleh industri dan teknologi modern. Kehidupan modern, ditandai dengan kecepatan dan percepatan, produksi yang besar, pertumbuhan ekonomi, dan sebagainya (Berger, 1990b:43-49). Modernitas dibentuk oleh rasionalitas, birokrasi (institusi), industrialisasi (teknologi), kapitalisme, dan pluralitas. Modernitas, lebih dipahami sebagai upaya manusia yang senantiasa mengusahakan kehidupan terus-menerus agar sesuai dengan apa yang seharusnya dalam kehidupan kekinian sebagai dunia kehidupan sehari-hari.
Dunia kehidupan sehari-hari merupakan suatu yang berasal dari pikiran dan tindakan manusia, dan dipelihara sebagai yang nyata dalam pikiran dan tindakan. Atas dasar itulah kemudian Berger dan Luckmann (1990:29) menyatakan bahwa dasar-dasar pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari adalah objektivasi (pengobjektivan) dari proses-proses (dan makna-makna) subjektif dengan mana dunia akal-sehat intersubjektif dibentuk.
Dalam proses pengobjektivan, Berger dan Luckmann (1990:30) menekankan adanya kesadaran, dan kesadaran itu selalu intensional karena ia selalu terarah pada objek. Dasar kesadaran (esensi) memang tidak pernah dapat disadari, karena manusia hanya memiliki kesadaran tentang sesuatu (fenomena); baik menyangkut kenyataan fisik lahiriah maupun kenyataan subjektif batiniah. Seperti halnya manusia, yang juga memiliki kesadaran tentang dunia kehidupan sehari-harinya sebagaimana yang dipersepsinya. Di sini dapat dilihat bahwa analisis fenomenologis akan mencoba menyingkap berbagai lapisan pengalaman dan berbagai struktur makna yang ada dalam dunia kehidupan sehari-hari.  
Bagi Berger dan Luckmann (1990:32), kenyataan hidup sehari-hari sebagai kenyataan yang tertib dan tertata. Fenomena-fenomenanya seperti sudah tersusun sejak semula dalam bentuk pola-pola, yang tidak tergantung kepada pemahaman seseorang. Kenyataan hidup sehari-hari tampak sudah diobjektivasi, sudah dibentuk oleh suatu tatanan objek-objek sejak sebelum seseorang hadir. Dalam hal ini, bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari terus-menerus, dipakai sebagai sarana objektivasi yang membuat tatanan menjadi bermakna.
Kenyataan hidup sehari-hari bersifat intersubjektif, dipahami bersama-sama oleh orang yang hidup dalam masyarakat sebagai kenyataan yang dialami. Kendatipun kenyataan hidup sehari-hari merupakan dunia intersubjektif namun bukan berarti antara orang yang satu dengan orang yang lain selalu memiliki kesamaan perspektif dalam memandang dunia bersama. Setiap orang memiliki perspektif berbeda-beda dalam memandang dunia bersama yang bersifat intersubjektif. Perspektif orang yang satu dengan yang lain tidak hanya berbeda tetapi sangat mungkin juga bertentangan. Namun, bagi Berger dan Luckmann (1990:34), ada persesuaian yang berlangsung terus-menerus antara makna-makna orang yang satu dengan yang lain tadi. Ada kesadaran bersama mengenai kenyataan di dalamnya menuju sikap alamiah atau sikap kesadaran akal sehat. Sikap ini kemudian mengacu kepada suatu dunia yang sama-sama dialami banyak orang. Jika ini sudah terjadi maka dapat disebut dengan pengetahuan akal sehat (common-sense knowledge), yakni pengetahuan yang dimiliki semua orang dalam kegiatan rutin yang normal dan sudah jelas dengan sendirinya dalam kehidupan sehari-hari.
Kenyataan hidup sehari-hari, yang diterima sebagai kenyataan oleh masyarakat merupakan faktisitas yang memaksa dan sudah jelas dengan sendirinya, dan juga akan berlangsung terus-menerus. Namun, masyarakat dapat saja menyangsikan atau mengubahnya. Untuk mengubah kenyataan, perlu peralihan yang sangat besar, kerja keras, dan pikiran kritis. Sepanjang kenyataan hidup--misalnya berupa kegiatan rutin sehari-hari--berlangsung terus tanpa interupsi maka kenyataan itu tidak menimbulkan masalah. Kesinambungan kenyataan baru terpotong manakala muncul masalah. Misalnya, dalam masyarakat Bali, sepanjang tidak menimbulkan masalah maka adat akan berlaku terus-menerus; dan kesinambungannya baru terpotong manakala adat tidak lagi kondusif bagi masyarakatnya.
Kenyataan hidup sehari-hari dialami bersama oleh orang-orang. Pengalaman terpenting orang-orang berlangsung dalam situasi tatap-muka, sebagai proses interaksi sosial (Berger dan Luckmann, 1990:41). Dalam situasi tatap-muka ini, orang-orang terus-menerus saling bersentuhan, berinteraksi, dan berekspresi. Dalam situasi itu pula terjadi interpretasi dan refleksi. Interaksi tatap-muka sangat memungkinkan mengubah skema-skema tipifikasi orang. Perjumpaan tatap-muka yang terjadi terus-menerus dapat mempengaruhi tipifikasi orang sebagai pendiam, pendendam, periang, dan sebagainya. Pada gilirannya, interaksi itu kembali melahirkan tipifikasi baru.
Suatu tipifikasi akan berlaku sampai ada perkembangan lain, yang menentukan tindakan-tindakan seseorang. Tipifikasi yang ada pada orang-orang yang berinteraksi, saling terbuka bagi adanya campur-tangan. Skema tipifikasi itu "bernegosiasi" terus-menerus dalam situasi tatap-muka. Misalnya, interaksi orang-orang Bali dengan orang luar Bali, menimbulkan adanya skema tipifikasi yang baru. Skema itu di antaranya dapat dilihat dari sikap-sikap, tindakan-tindakan, dan sifat-sifatnya. Tipifikasi yang ada dan baru terbentuk terjadi secara berkesinambungan.
Oleh karena itu, pandangan Berger dan Luckmann (1990:47) dapat dimengerti bahwa kenyataan sosial kehidupan sehari-hari dipahami dalam suatu rangkaian (continuum) berbagai tipifikasi, yang menjadi semakin anonim dengan semakin jauhnya tipifikasi itu dari di sini dan sekarang dalam situasi tatap-muka. Pada satu sisi, di dalam rangkaian itu terdapat orang-orang yang saling berinteraksi secara intensif dalam situasi tatap muka; dan di sisi lain, terdapat abstraksi-abstraksi yang sangat anonim karena sifatnya yang tidak terlibat dalam tatap muka. Dalam konteks ini, struktur sosial merupakan jumlah keseluruhan tipifikasi dan pola-pola interaksi yang terjadi berulang-ulang melalui tipifikasi, dan ia merupakan satu unsur yang esensial dari kenyataan hidup sehari-hari.
Berbagai skema tipifikasi, dengan kemampuan ekspresi diri, manusia mampu mengadakan objektivasi (objectivation). Manusia dapat memanifestasikan diri dalam produk-produk kegiatannya yang tersedia, baik bagi produsen-produsennya maupun bagi orang lain sebagai unsur-unsur dari dunia bersama. Objektivasi itu merupakan isyarat-isyarat yang bersifat tahan-lama dari proses-proses subjektif para produsennya, sehingga memungkinkan objektivasi dapat dipakai melampaui situasi tatap-muka.
Kenyataan hidup, tentunya tidak hanya berisi objektivasi-objektivasi; juga berisi signifikasi, yakni pembuatan tanda-tanda oleh manusia. Sebuah tanda (sign), dapat dibedakan dari objektivasi. Jikaobjektivasi lebih berupa ekspresi diri dalam wujud produk, signifikasi berupa ekspresi diri berupa bahasa. Namun, keduanya dapat digunakan sebagai tanda, dan terkadang kabur penggunaannya. Signifikasi bahasa menjadi yang terpenting dalam kehidupan sehari-hari, karena dengan dan melalui bahasa. Suatu pemahaman mengenai bahasa, merupakan hal yang pokok bagi setiap pemahaman mengenai kenyataan hidup sehari-hari. Bahasa lahir dari situasi tatap muka, dan dengan mudah dapat dilepaskan darinya. Ia juga dapat menjadi tempat penyimpanan yang objektif dari akumulasi makna dan pengalaman yang besar dan yang kemudian dilestarikan dalam waktu dan diteruskan kepada generasi-generasi berikutnya. Ia memiliki sistem tanda yang khas, yang bersifat objektif, yang tidak dimiliki sistem tanda lainnya. Ia sebagai faktisitas, yang memiliki sifat memaksa; karena memaksa orang masuk ke dalam pola-polanya.
Oleh karena yang dicoba dipahami di sini adalah kesadaran kenyataan sebagaimana yang dipersepsi pengarang maka--sebagaimana yang dikemukakan Berger dan Luckmann (1990:29)--metodennya yang representatif adalah metode fenomenologis. Metode yang berlandaskan pada pemikiran fenomenologi Husserl ini mencoba memahami gejala-gejala yang tampak atau fenomena-fenomena yang berupa kesadaran yang ada dalam masyarakat. Metode fenomenologi adalah suatu metode yang secara sistematis berpangkal pada pengalaman, sehingga metode ini mengharuskan terus-menerus mengadakan kontak dengan pengalaman.
Maka itu, secara metodis, pengguna metode ini melakukan tiga tingkat pembebasan diri berupa:
 (1) pembebasan diri dari unsur-unsur subjektif,
 (2) pembebasan diri dari kungkungan hipotesis, dan
(3) pembebasan diri dari doktrin-doktrin tradisional.
 Dengan demikian, kebenaran kenyataan dan pengetahuan, nantinya hanya diperoleh dari pengalaman.
Daftar Pustaka
saripuddin.wordpress.com/pemikiran-max-weber
Weber's Last Theory of Capitalism dalam The Sociology of Economic Life. Oxford: Westview Press. 1992
Peter L. Berger et al., Pikiran Kembara: Modernisasi dan Kesadaran Manusia (Yogyakarta: Kanisius, 1992


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini