Teori Kritis Dalam Sosiologi dan Sumbangan
Pemecahan Masalah
A. Teori Kritis Dalam Sosiologi
Teori Kritis berangkat dari 4 (empat sumber) kritik yang dikonseptualisasikan oleh Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx dan Sigmund Freud.
Kritik dalam pengertian Kantian.
Immanuel Kant melihat teori kritis dari pengambilan suatu ilmu pengetahuan secara subyektif sehingga akan membentuk paradigma segala sesuatu secara subyektif pula. Kant menumpukkan analisisnya pada aras epistemologis; tradisi filsafat yang bergulat pada persoalan "isi" pengetahuan. Untuk menemukan kebenaran, Kant mempertanyakan "condition of possibility" bagi pengetahuan. Bisa juga disederhanakan bahwa kitik Kant terhadap epistemologi tentang (kapasitas rasio dalam persoalan pengetahuam) bahwa rasio dapat menjadi kritis terhadap kemampuannya sendiri dan dapat menjadi 'pengadilan tinggi'. Kritik ini bersifat transendental. Kritik dalam pengertian pemikiran Kantian adalah kritik sebagai kegiatan menguji kesahihan klaim pengetahuan tanpa prasangka.
Kritik dalam makna Hegelian merupakan kritik terhadap pemikiran kritis Kantian. Menurut Hegel, Kant berambisi membangun suatu "meta-teori" untuk menguji validitas suatu teori. Menurut Hegel pengertian kritis merupakan refleksi-diri dalam upaya menempuh pergulatan panjang menuju ruh absolute. Hegel merupakan peletak dasar metode berpikir dialektis yang diadopsi dari prinsip tri-angle-nya Spinoza Diktumnya yang terkenal adalah therational is real, the real is rational. Sehingga, berbeda dengan Kant, Hegel memandang teori kritis sebagai proses totalitas berfikir. Dengan kata lain, kebenaran muncul atau kritisisme bisa tumbuh apabila terjadi benturan dan pengingkaran atas sesuatu yang sudah ada. Kritik dalam pengertian Hegel didefinisikan sebagai refleksi diri atas tekanan dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri-rasio dalam sejarah manusia.
Kritik dalam pengertian Marxian.
Menurut Marx, konsep Hegel seperti orang berjalan dengan kepala. Ini adalah terbalik. Dialektika Hegelian dipandang terlalu idealis, yang memandang bahwa, yang berdialektika adalah pikiran. Ini kesalahan serius sebab yang berdialektika adalah kekuatan-kekuatan material dalam masyarakat. Pikiran hanya refleksi dari kekuatan material (modal produksi masyarakat). Sehingga teori kritisbagi Marx sebagai usaha mengemansipasi diri dari penindasan dan elienasi yang dihasilkan oleh penguasa di dalam masyarakat. Kritik dalam pengertian Marxian berarti usaha untuk mengemansipasi diri dari alienasi atau keterasingan yang dihasilkan oeh hubungan kekuasaan dalam masyarakat.
Kritik dalam pengertian Freudian.
Madzhab frankfrut menerima Sigmun Freud karena analisis Freudian mampu memberikan basis psikologis masyarakat dan mampu membongkar konstruk kesadaran dan pemberdayaan masyarakat. Freud memandang teori kritis dengan refleksi dan analisis psikoanalisanya. Artinya, bahwa orang bisa melakukan sesuatu karena didorong oleh keinginan untuk hidupnya sehingga manusia melakukan perubahan dalam dirinya. Kritik dalam pengertian Freudian adalah refleksi atas konflik psikis yang menghasilkan represi dan memanipulasi kesadaran. Adopsi Teori Kritis atas pemikiran Freudian yang sangat psikologistik dianggap sebagai pengkhianatan terhadap ortodoksi marxisme klasik.Berdasarkan empat pengertian kritis di atas, teori kritis adalah teori yang bukan hanya sekedar kontemplasi pasif prinsip-prinsip obyektif realitas, melainkan bersifat emansipatoris. Sedang teori yang emansipatoris harus memenuhi tiga syarat:
a. bersifat kritis dan curiga terhadap segala sesuatu yang terjadi pada zamannya.
b. berfikir secara historis, artinya selalu melihat proses perkembangan masyarakat.
c. tidak memisahkan teori dan praksis. Tidak melepaskan fakta dari nilai semata-mata untuk mendapatkan hasil yang obyektif. Paradigma Kritis; Sebuah Sintesis Perkembangan Paradigma Sosial
William Perdue, menyatakan dalam ilmu sosial dikenal adanya tiga jenis utama paradigma:
1. Order Paradigm (Paradigma Keteraturan)
Inti dari paradigma keteraturan adalah bahwa masyarakat dipandang sebagai sistem sosial yang terdiri dari bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan sistemik. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur sosial adalah fungsional terhadap struktur lainnya. Kemiskinan, peperangan, perbudakan misalnya, merupakan suatu yang wajar, sebab fungsional terhadap masyarakat. Ini yang kemudian melahirkan teori strukturalisme fungsional. Secara eksternal paradigma ini dituduh a historis, konservatif, pro-satus quo dan karenanya, anti-perubahan. Paradigma ini mengingkari hukum kekuasaan : setiap ada kekuasaan senantiasa ada perlawanan.
2. Conflic Paradigm (Paradigma Konflik)
Secara konseptual paradigma Konflik menyerang paradigma keteraturan yang mengabaikan kenyataan bahwa :- Setiap unsur-unsur sosial dalam dirinya mengandung kontradiksi-kontradiksi internal yang menjadi prinsip penggerak perubahan- Perubahan tidak selalu gradual; namun juga revolusioner- Dalam jangka panjang sistem sosial harus mengalami konflik sosial dalam lingkar setan (vicious circle) tak berujung pangkal Kritik itulah yang kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi paradigma konflik. Konflik dipandang sebagai inhern dalam setiap komunitas, tak mungkin dikebiri, apalagi dihilangkan. Konflik menjadi instrument perubahan.
3. Plural Paradigm (Paradigma plural)
Dari kontras/perbedaan antara paradigma keteraturan dan paradigma konflik tersebut melahirkan upaya membangun sintesis keduanya yang melahirkan paradigma plural. Paradigma plural memandang manusia sebagai sosok yang independent, bebas dan memiliki otoritas serta otonomi untuk melakukan pemaknaan dan menafsirkan realitas sosial yang ada disekitarnya.
Terbentuknya Paradigma Kritis
Ketiga paradigma di atas merupakan pijakan-pijakan untuk membangun paradigma baru. Dari optic pertumbuhan teori sosiologi telah lahir Paradigma kritis setelah dilakukan elaborasi antara paradigma pluralis dan paradigma konflik. Paradigma pluralis memberikan dasar pada paradigma kritis terkait dengan asumsinya bahwa manusia merupakan sosok yang independent, bebas dan memiliki otoritas untuk menafsirkan realitas. Sedangkan paradigma konflik mempertajam paradigma kritis dengan asumsinya tentang adanya pembongkaran atas dominasi satu kelompok pada kelompok yang lain..
Apabila disimpulkan apa yang disebut dengan paradigma kritis adalah paradigma yang dalam melakukan tafsir sosial atau pembacaan terhadap realitas masyarakat bertumpu pada:
Analisis struktural: membaca format politik, format ekonomi dan politik hukum suatu masyarakat, untuk menelusuri nalar dan mekanisme sosialnya untuk membongkar pola dan relasi sosial yang hegeminik, dominatif, dan eksploitatif.
Analisis ekonomi untuk menemukan fariabel ekonomi politikbaik pada level nasional maupun internasional.
Analisis kritis yang membongkar "the dominant ideology" baik itu berakar pada agama, nilai-nilai adat, ilmu atau filsafat. Membongkar logika dan mekanisme formasi suatu wacana resmi dan pola-pola eksklusi antar wacana.
Psikoanalisis yang akan membongkar kesadaran palsu di masyarakat.
Analisis kesejarahan yang menelusuri dialektika antar tesis-tesis sejarah, ideologi, filsafat, aktor-aktor sejarah baik dalam level individual maupun sosial, kemajuan dan kemunduran suatu masyarakat.
B. Sumbangan Pemecahan Masalah
Namun Paradigma kritis baru menjawab pertanyaan : struktur formasi sosial seperti apa yang sekarang sedang bekerja. Ini baru sampai pada logika dan mekanisme working-sistem yang menciptakan relasi tidak adil, hegemonik, dominatif, dan eksploitatif; namun belum mampu memberikan prespektif tentang jawaban terhadap formasi sosial tersebut; strategi mentransformasikannya; disinilah "Term Transformatif" melengkapi teori kritis.
Dalam perspektif Transformatif dianut epistimologi perubahan non-esensialis. Perubahan yang tidak hanya menumpukan pada revolusi politik atau perubahan yang bertumpu pada agen tunggal sejarah; entah kaum miskin kota (KMK), buruh atau petani, tapi perubahan yang serentak yang dilakukan secara bersama-sama. Disisi lain makna tranformatif harus mampu mentranformasikan gagasan dan gerakan sampai pada wilayah tindakan praksis ke masyarakat. Model-model transformasi yang bisa dimanifestasikan pada dataran praksis antara lain:
Transformasi dari Elitisme ke Populisme
Dalam model tranformasi ini digunakan model pendekatan, bahwa mahasiswa dalam melakukan gerakan sosial harus setia dan konsisten mengangkat isu-isu kerakyatan, semisal isu advokasi buruh, advokasi petani, pendampingan terhadap masyarakat yang digusur akibat adanya proyek pemerintah yang sering berselingkuh dengan kekuatan pasar (kaum kapitalis) dengan pembuatan mal-mal, yang kesemuanya itu menyentuh akan kebutuhan rakyat secara riil. Fenomena yang terjadi masih banyak mahasiswa yang lebih memprioritaskan isu elit, melangit dan jauh dari apa yang dikehendaki oleh rakyat, bahkan kadang sifatnya sangat utopis. Oleh karena itu, kita sebagai kaum intelektual terdidik, jangan sampai tercerabut dari akar sejarah kita sendiri. Karakter gerakan mahasiswa saat ini haruslah lebih condong pada gerakan yang bersifat horisontal.
Transformasi dari Negara ke Masyarakat
Model tranformasi kedua adalah transformasi dari Negara ke masyarakat. Kalau kemudian kita lacak basis teoritiknya adalah kritik yang dilakukan oleh Karl Marx terhadap G.W.F. Hegel. Hegel memaknai Negara sebagai penjelmaan roh absolute yang harus ditaati kebenarannya dalam memberikan kebijakan terhadap rakyatnya. Disamping itu, Hegel mengatakan bahwa Negara adalah satu-satunya wadah yang paling efektif untuk meredam terjadinya konflik internal secara nasional dalam satu bangsa. Hal ini dibantah Marx. Marx mengatakan bahwa justru masyarakatlah yang mempunyai otoritas penuh dalam menentukan kebijakan tertinggi. Makna transformasi ini akan sesuai jika gerakan mahasiswa bersama-sama rakyat bahu-membahu untuk terlibat secara langsung atas perubahan yang terjadi disetiap bangsa atau Negara.
Transformasi dari Struktur ke Kultur.
Transformasi dari Struktur ke Kultur.
Bentuk transformasi ketiga adalah transformasi dari struktur ke kultur, yang mana hal ini akan bisa terwujud jika dalam setiap mengambil keputusan berupa kebijakan-kebijakan ini tidak sepenuhnya bersifat sentralistik seperti yang dilakukan pada masa orde baru, akan tetapi seharusnya kebijakan ini bersifat desentralistik. Jadi, aspirasi dari bawah harus dijadikan bahan pertimbangan pemerintah dalam mengambil keputusan, hal ini karena rakyatlah yang paling mengerti akan kebutuhan, dan yang paling bersinggungan langsung dengan kerasnya benturan sosial di lapangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar