Rabu, 27 Mei 2015

Desa Gasol_Syarifah Asmar_PMI2

Desa Gasol, Kecamatan Cugenang, Cianjur, Jawa Barat
Syarifah Asmar
11140540000016
PMI 2
Sejarah Desa Gasol
Bermula dari sebuah lahan tempat pengungsian. Berkembang menjadi salah satu sentra produksi beras lokal terbesar di Jawa Barat. Makam tua Di atas Makam tua terdapat kumpulan batu kali sebesar kepala bayi itu tertumpuk rapi. Dari sela-sela bagian batu di bagian tengah, muncul sebatang pohon mawar merah berduri, seolah berfungsi sebagai penghias sekaligus pelindung makam tersebut dari sengatan terik matahari.Makam Hajah Maing Khodijah, pendiri sekaligus pemimpin pertama Desa Gasol salah satu sesepuh di Gasol. Itu sebuah nama desa yang terletak di kawasan kaki Gunung Gede dan masuk dalam wilayah Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.

Sejak zaman baheula, Gasol dikenal sebagai salah satu kawasan penghasil beras lokal kualitas nomor 1 di Cianjur. Karena struktur, tekstur dan unsur hara tanahnya yang baik buat bercocok tanam berbagai varietas padi lokal tumbuh subur. Mulai gebang omyok, hawara batu, peuteuy, pare menyan (beurem seungit), conggreng, ketan cikur, banggala, cingkrik, hawara jambu, rogol dan berbagai nama varietas padi. Hampir sebagian besar wilayah Gasol adalah lahan pertanian. Otomatis dengan situasi seperti itu, mata pencaharian penduduk Gasol mayoritas adalah petani.
Suatu hari pada tahun 1900-an. Puluhan bendi yang banyak penumpang dan muatan bergerak dari arah Pameungpeuk, sebuah kampung di utara wilayah Cugenang. Guna menghindari jalan yang sempit dan curam, mereka terpaksa jalan dalam ritme yang pelan. Jalan ageung adalah sebutan orang Sunda untuk Jalan Raya Pos. Itu nama jalan utama di Jawa yang pembuatannya diilhami oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada 1809 dengan darah dan air mata orang-orang bumiputera. Orang-orang yang ada dalam bendi dan pedati tersebut adalah rombongan 'pengungsi' yang diperintahkan hijrah oleh Pemerintah Hindia Belanda ke selatan jalan raya pos Cugenang, tepat di timur kaki Gunung Gede. Uniknya rombongan itu dipimpin oleh seorang perempuan tua bernama Hajah Maing Khodijah dan suaminya yang bernama Haji Tohir Tak ada keterangan yang detail soal musabab kepindahan rombongan yang terdiri dari 5 keluarga itu. Namun bisa jadi hal tersebut disebabkan oleh ketidakstabilan tanah di wilayah Pameungpeuk kala itu. Puncaknya terjadi ketika Gunung Rasamala (sebenarnya hanya sebuah bukit) yang menaungi Pameungpeuk, entah bagaimana tiba-tiba 'terbelah' menjadi dua bagian,"kata salah satu sesepuh yang juga masih keturunan Hajah Maing Khodijah itu.Cianjur meruapakan bagian daerah yang pernah dilanda gempa yang sangat hebat pada 1900.
Singkat cerita, rombongan pengungsi tersebut sampai di lahan yang ditunjuk Pemerintah Hindia Belanda untuk tempat pemukiman baru mereka. Letaknya hanya sekitar 10 km dari Gunung Rasamala dan ada dalam wilayah aliran Sungai Cianjur. Mereka lantas membuka lahan dengan menebangi berbagai jenis pohon buah-buahan seperti manggis, kupa, rambutan, menteng dan berbagai jenis pohon buah-buahan yang banyak tumbuh di sana.
Saat proses pembukaan lahan itulah, mereka menyaksikan betapa suburnya kawasan baru yang akan ditempati tersebut. Bukan saja tanahnya yang baik untuk bercocok tanam, namun juga airnya yang seolah tak ada habis-habisnya mengalir, cocok untuk menjadi tempat membersihkan diri.
Konon awal mulanya tercipta nama "Gasol"  itu sesungguhnya berasal dari bahasa Arab Guslu yang artinya bersih-bersih. Karena orang sunda tidak terbiasa melafalkan kata itu, yang muncul adalah kata "Gasol" . Para pendiri Gasol itu dengan istilah-istilah Arab dan Islam, bisa ditelusuri dari silsilah 2 tokoh utama pendirinya: Hajah Maing Khodijah dan Haji Tohir. Menurut Apih Iyang, Hajah Maing Khodijah sendiri merupakan putera dari Raden Jagadireksa ( Pa Gede).

Mitos Desa
Secara nasab, Raden Jagadireksa ini merupakan turunan Panjalu (sebuah kerajaan Sunda kuno yang ada di kawasan Ciamis) yang masuk Islam lalu menyingkir ke wilayah Pameungpeuk," Bahkan kata pameungpeuk sendiri memiliki arti kata "persembunyian" atau "penyamaran".
Nasab Haji Tohir malah lebih 'kental' lagi warna Islamnya. Ia merupakan cucu dari Dalem Sakeh, penyebar Islam di wilayah Citeureup, Bogor. Disebutkan juga Dalem Sakeh ini masih keturunan langsung dari Syeikh Maulana Hasanuddin, Sultan pertama Kerajaan Banten sekaligus penyebar agama Islam di tanah para jawara itu.
Hijrahnya orang-orang Pameungpeuk ke kawasan Gasol ternyata membawa berkah tersendiri. Bukan saja mereka bisa menjadikan Gasol tersebut sebagai tempat yang menenangkan buat beribadah, namun juga sekaligus tempat mereka mencari nafkah. Berbekal benih padi yang dibawa dari Pameungpeuk, mereka lantas menjadikan hampir sebagian besar kawasan tersebut sebagai sawah. Sebagian lahan lagi mereka jadikan kebun sayuran dan balong (kolam ikan yang cukup luas).
Karena itu, alih-alih hidup susah di tanah pengungsian, orang-orang Pameungpeuk itu malah bisa memenuhi kehidupan mereka dari bertani. "Singkatnya, mau nasi tinggal ambil padi di sawah, mau ikan tinggal ambil di balong, ingin sayuran tinggal ambil di kebun. Praktis kebutuhan yang mereka beli di kota hanya garam dan terasi, makanya muncul pribahasa hirup cukup jang meuli tarasi jeung uyah, "ujar Apih Iyang. Artinya hidup itu cukup untuk membeli terasi dan garam.
Begitu melimpahnya hasil pertanian di Gasol, sampai mereka pada akhirnya bisa menjual kelebihan tersebut ke luar desa. Jika saat itu Cianjur dikatakan sebagai lumbung bagi Jawa Barat, maka Gasol adalah lumbung bagi Cianjur. Bahkan menurut Apih Iyang, beras putih yang terkenal hingga didendangkan dalam sebuah tembang cianjuran, Jukut Cirumput adalah beras Gasol, bukan beras Panumbangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini