Fauzia Firdawati
Kesejahteraan Sosial / 2A
1113054100006
Studi Lapangan
Pengantar Sosiologi
PERILAKU SUPIR ANGKUTAN UMUM DALAM MENCARI PENUMPANG DI SEMBARANG TEMPAT YANG MENYEBABKAN KEMACETAN
I. Pendahuluan
Ø Latar Belakang
Angkutan umum merupakan kendaraan masyarakat yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan mengurangi kemacetan di jalan raya, terutama pada jam berangkat kerja atau bersekolah dan jam pulang. Bagi kebanyakan negara, pemberhentian angkutan di halte atau terminal yang seharusnya. Begitu juga penumpangnya yang dengan semangat berjalan menuju pemberhentian bus atau angkutan yang ada. Sehingga mereka bisa sampai tempat tujuan tanpa telat dengan alasan macet dan tidak terburu – buru.
Berbeda dengan di Indonesia. Perilaku kurang tertib nampaknya banyak melekat pada diri masyarakat terutama warga Jakarta. Sebagai Ibukota seharusnya warga Jakarta bisa memberikan contoh dalam ketertiban. Namun sebaliknya, kebanyakan warga lebih bersikap tak acuh terhadap ketertiban terutama di jalan raya baik sebagai pengemudi maupun sebagai penumpang. Hal ini berlaku pada angkutan umum. Perilaku supir yang sering memberhentikan angkutannya di tempat umum dengan alasan "mengejar setoran" sudah menjadi hal yang biasa. Yang walaupun menimbulkan kemacetan yang berkepanjangan, para supir tidak mengacuhkan hal tersebut. Berlaku pula untuk para penumpang yang ingin naik disembarang tempat, bukan di halte yang sudah disediakan.
Kalau saja kita sebagai warga mau mencontoh ketertiban yang dimiliki warga di negara lain, mungkin kemacetan di Jakarta agaknya akan berkurang.
a. Pentingnya Penellitian
Banyak supir angkutan umum atau ''angkot'' yang tidak bisa berhenti di halte yang sudah di tentukan karena kurang penumpangnya dan setoran yang kurang. Maka dari itu, mereka memilih untuk berhenti dimana ada penumpang. Sedangkan hal tersebut dapat merugikan pengguna jalan yang lain mulai dari kendaraan beroda dua, hingga kendaraan besar seperti truk. Begitu pula saat supir menurunkan penumpangnya. Tanpa lampu sen (lampu penanda belok) mereka dengan santainya menepi tanpa memperhatikan pengendara lain. Hal inilah yang menjadikan penelitian ini penting dilaksanakan dan menghasilkan solusi yang baik dan menguntungkan banyak pihak.
b. Asumsi
Ketidaktertiban supir angkot dalam menghentikan kendaraannya untuk menaikkan dan menurunkan penumpang, membuat banyak pengguna jalan lainnya terganggu. Bahkan bisa sampai terjadi kecelakaan.
Ø Teori Pendukung
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori menurut "Emile Durkheim" yang menuliskan tentang Fakta Sosial. Hal ini dikarenakan penelitian yang saya lakukan mengambil subyek pada kelompok pengemudi angkutan umum serta kelompok pengguna jalan lain. Dengan menggunakan metode observasi dan menghasilkan output berupa narasi atau berupa penjelasan dari hasil – hasil observasi tersebut.
Ø Metode Observasi
Dalam observasi ini, menggunakan metode kualitatif yang menitik beratkan pada alasan supir angkot yang menghentikan kendaraannya sembarangan, serta bagaimana solusi pengarahan bagi para supir maupun penumpang agar bisa berhenti dan menghentikan kendaraan pada halte dan mencegah kemacetan.
Ø Rumusan Masalah
1. Apakah dengan menghentikan kendaraan selain di halte yang disediakan, target ''setoran'' supir terpenuhi?
2. Bagaimana kesadaran supir dan penumpang dengan ketidaknyamanan pengguna jalan lain, dan menyebabkan kemacetan berkepanjangan?
Penghentian angkot di sembarang tempat dilakukan supir dengan alasan ingin mengejar setoran atau sekedar menunggu penumpang yang belum tentu menaiki angkotnya. Pemenuhan target setoran para supir ini tergantung dari banyaknya penumpang yang menaiki angkotnya. Perilaku inilah yang sebetulnya merugikan pengguna jalan lainnya, kemacetan hingga terjadi kecelakaan.
Membuat penyadaran terhadap perilaku ketidaktertiban, baik supir maupun penumpang cukup sulit. Ego mereka supaya tidak lelah mengejar angkot dan memenuhi setoran yang membuat mereka lebih memilih untuk tidak tertib dalam mengendarakan kendaraannya. Namun, dengan adanya pengaturan yang lebih di perketat dan sanksi yang merugikan, cukup memungkinkan untuk supir dan penumpang merasa jera dan bisa menjaga ketertiban serta mematuhi rambu yang ada.
Ø Area Riset
Lapangan yang saya jadikan tempat observasi adalah area Stasiun Pondok Ranji, dimana banyak supir angkot yang "nge – tem" di area tersebut sehingga membuat kemacetan yang cukup parah. Sumber yang sama observasi adalah Supir Angkot S01 jurusan (Bintaro – Ciputat) dan penumpang kendaraan umum berusia sekitar 38 tahun saat jam pulang kerja.
II. Laporan Penelitian
Ø Pertanyaan
Supir
1. Kira – kira berapa setoran yang harus bapak penuhi setiap harinya?
2. Apakah selalu terpenuhi?
3. Bagaimana cara bapak supaya setoran dapat terpenuhi?
4. Dengan "ngetem" di sembarang tempat, apa bapak tidak merasa telah membuat kemacetan?
Dalam wawancara saya terhadap supir angkot S01 jurusan Bintaro – Ciputat, mereka mengaku kalau harus menyetor sekitar Rp 250.000 – 300.000 perharinya. Hal itu pula yang memacu mereka untuk mengejar atau menunggu penumpang yang kira – kira akan menaiki angkot mereka. Mereka tidak memerhatikan keadaan jalan atau pengguna jalan yang lain, yang penting setoran mereka terpenuhi.
Namun kenyataannya tidak demikian. Mereka mengaku kalau keadaan jalan sedang sepi kemungkinan besar pendapatan mereka akan menurun. Selama apapun mereka ''nge-tem'' kalau memang lagi sepi mungkin setoran mereka hanya bisa mencapai Rp 200.000.
Menge- tem di pinggir jalan, terutama tempat umum yang ramai, merupakan tempat favorit para supir angkot. Seperti Stasiun Pondok Ranji, terutama pada jam berangkat dan pulang kerja. Mereka rela menunggu penumpang sampai lama yang penting angkot mereka penuh dengan penumpang. Saat itulah yang mereka sebut kejar setoran. Adapun kesadaran mereka, tidak sepenuhnya mereka acuh. Alasan tuntutan setoran yang membuat mereka membuat kemacetan. Hal tersebut mereka lakukan demi memberi makan anak – istri mereka. ''Kalau udah mulai penuh juga jalan kok, yaa pelan – pelan sih.'' Itu kata salah satu supir angkot.
Penumpang
1. Kalau ibu pulang kerja, lebih memilih angkot "nge – tem" atau menunggu di pinggir jalan selain halte?
2. Kenapa tidak di halte?
Saya mewawancara salah satu penumpang angkot, yang mengatakan lebih memilih menunggu angkot di pinggir jalan selain halte dengan alasan lelah, letak halte yang jauh serta terlalu lama kalau menunggu "nge – tem". Namun, hal itu tidak beliau sadari kalau hal yang beliau lakukan bisa membuat macet dan mengganggu pejalan lain.
Halte di Jakarta sudah banyak di buatkan untuk menunggu angkutan umum. Karena penyalah gunaan halte tersebut, banyak yang lebih memilih menghentikan angkot di pinggir jalan. Mereka berfikir, kalau halte sudah tidak aman, banyak yang berjualan. Sedangkan, ketidak amanan itu terletak pada mereka yang memberhentikan angkot di pinggir jalan. Banyak sudah terjadi kecelakaan karena angkot yang tiba – tiba belok kiri untuk menaiki atau menurunkan penumpangnya. Alhasil, bukan hanya supir saja yang disalahkan, tapi penumpang itu sendiri juga bisa disalahkan.
Profil Narasumber
§ Supir Angkutan Umum S01 (Bintaro – Ciputat)
Nama : Suwandi
Umur : 45 tahun
Pekerjaan : Supir Angkot
§ Penumpang
Nama : Tina
Umur : 38 tahun
Pekerjaan : Karyawan Swasta
III. Kesimpulan
Kendaraan umum merupakan kendaraan yang disediakan pemerintah berikut dengan tempat pemberhentian angkutan umum tersebut. Kurang tertibnya supir maupun penumpang dalam mengehentikan atau "menge – tem " di sembarang tempat, agaknya sudah menjadi suatu hal yang dianggap wajar oleh masyarakat Indonesia, terutama di daerah kota besar seperti Jakarta.
Kesadaran dalam ketertiban hanya ada dalam diri orang itu sendiri. Hukuman yang diberikan oleh pihak yang berwajib seperti penilangan, hanya sebagai pengingat mereka akan taat lalu lintas, dan menjaga ketertiban dalam perjalanan. Sehingga tidak ada yang akan merasa dirugikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar