ETIKA DAN HUBUNGAN EMOSIONAL ANTARA KYAI DAN SANTRIWATI PPM MAN ANA
I. Latar Belakang
a. Landasan Akhlak Santri
Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang berbasis ilmu pengetahuan umum terutama lebih mendalami pada bidang keagamaan yang berpedoman pada al-Qu'ran dan hadits. Siswa yang belajar di pesantren atau yang disebut sebagai santri, umumnya memiliki perbedaan khas yang mencirikan antara siswa sekolah umum dan santri itu sendiri, baik santri pesantren salaf maupun santri pesantren modern. Hal yang menjadi ciri khas tersebut ialah terletak pada kebiasaan, perilaku, adab dan etiket yang dimiliki santri pada umumnya. Hal itu dikarenakan pesantren mengajarkan nilai-nilai islami untuk ditumbuhkan pada pribadi masing-masing santri dalam kehidupan mereka sehari-hari baik ketika di dalam pesantren maupun di lingkungan masyarakat luas. Contoh dari sikap yang diajarkan pada santri memang tidak jauh beda dengan apa ytang diajarkan sekolah umum kepada para siswa, misalnya menghormati guru dan orang tua, mengasihi sesama, mendoakan teman atau keluarga, tidak diperbolehkan tawuran dan sebagainya. Namun pesantren lebih menekankan pada penerapan dan praktek nilai-nilai tersebut dalam kehidupan santri.
Ditinjau dari aspek kebiasaan dan tata krama itulah yang bisa membadakan mana santri dan siswa umum. Tentu hal ini menjadi tuntutan bagi santri untuk bisa mewujudkan dan membuktikan nilai kesantriannya sendiri dengan menyelaraskan perilakunya dengan syariah Islam. Dalam etika kehidupannya setidaknya santri mampu memenuh tiga nilai dasar yaitu syariah Islam, nilai universal dan etika lokal. Ketiga hal tersebut merupakan nilai-nilai yang senantiasa diberikan untuk santri meski tidak satu persatu diajarkan secara gamblang namun selama di pesanrten itulah santri menemukan niali-nilai itu sendiri seiring waktu yang mereka lewati di pesantren.
Nilai-nilai yang terkandung dalam syariah Islam tentu menjadi nilai yang utama mnejadi panutan bagi santri. Karena semua itu merupakant kewajiban dasar seorang santri sebagai hamba Allah. Rukun Islam dan rukun iman menajdi patokan utama yang ada pada nilai-nilai ini. Selain dari rukun Islam dan iman, perilaku dari Rasulullah juga menjadi teladan bagi hidup santri. Serta meninggalkan larangan-larangan dalam aturan Islam seperti berzina, minum minuman keras dan sebagainya.
Selanjutnya ada nilai universal, yakni nilai-nilai yang kebenaran dan kesalahannyat diakui dan disepakati oleh umat manusia secara keseluruhan tanpa memandang agama, ras suku atau bangsa. Sehingga nilai ini berlaku di hampir semua belahan dunia. Misalnya nilai kejujuran, disiplin, toleran, saling menolong, dermawan dan sebagainya. Meskipun santri memegang erat nilai-nilai Islam, namun tidak lantas menjadikan pembatas untuk menutup diri dengan lingkuangan luas.
Kemudian nilai yang mesti ada pada diri santri yakni nilai etika lokal. Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia merupakan negara yang multikultural. Segala tradisi banyak ditemukan dengan beragam rupa. Salah satu sikap yang bisa diambil ialah dengan menghormati semua itu selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Ketiga nilai itulah yang semestinya santri miliki yang erat dengan etika nya terhadap kehidupannya di masyarakat luas.
Adapun etika yang selain dari nilai-nilai santri dan kehidupan sosialnya ialah etika santri dengan kyai atau pimpinan pesantren itu sendiri. Seseorang yang mengenalkannya tentang nilai-nilai tersebut. Kyai bagaikan orang tua kedua bagi santri di pesantren saat mereka jauh dari rumah dan kampung halaman. Kebanytakan dari kyai yang ada, mereka adalah sosok yang sangat disegani dan dihormati sehingga tidak bisa seleluasa dengan orang tua kandung sendiri.
Kaitannya dengan penelitian ini ialah salah satu pondok pesantren modern yang ada di kawasan Leuwiliang, Bogor yakni PPM (Pondok Pesantren Modern) Man Ana. Ada satu adat yang diterapkan oleh pimpinan pesantren tersebut dalam menjalin hubungan antara santri dan kyai tersebut yakni dengan memposisikan kyai sebagai ayah bagi santri sehingga santri memanggil kyai itu dengan sebutan ayah. Dalam kesehariannya pun diterapkan dengan sebisa mungkin agar terbangun emosional seperti anak dan ayah. Namun dalam syariah Islam ada patokan dan batasan jika tidak terdapat hubungan darah didalamnya. Dan dalam pembahasan ini akan dipaparkan perilaku antar kyai dan santri tersebut, sejauh manakah pesanrten tersebut menerapkan hubungan ayah dan anak serta dalam praktek kesehariannya.
b. Alasan filosofis dan praktis
Etika dan nilai-nilai yang diterapkan pada santri di atas tentu memiliki alasan-alasan tersendiri baik secara filosofis dan praktis. Dari beberapa nilai tersebut antara lain nilai syariah Islam, misalnya melaksanakan shalat berjamaah setiap waktunya. Tentu saja hal ini berlandaskan pada kewajiban setiap muslim yang secara jelas ditegaskan dalam al-Qur'an. Pada praktik nya pun dilaksanakan sebagaimana mestinya. Begitu juga dengan nilai yang lainnya.
Sedangkan alasan dari diterapkannya panggilan ayah dan suasana seperti layaknya ayah dan anak tanpa membeda-bedakan santri berasal dan latar belakang hidupnya yakni pimpinan pesantren ingin membangun suasana kekeluargaan agar santri merasa nyaman dan betah berada disana. Pondok pesantren yang didirikannya itu merupakan pondok yang mengutamakan anak yatim dan dhuafa yang kebanyakan dari mereka kehilangan sosok orang tua dan sebagian banyak dari mereka juga memiliki orang tua yang bekerja sebagai TKI ( Tenaga Kerja Indonesia) di luar negri seperti Hongkong dan Macaw, sehingga tidak tidak banyak bertemu dengan sosok ayah dan ibunya.
Sang kyai juga kerap menjelaskan bahwa ia adalah orang tua kedua bagi santri-santrinya. Namun tanpa menghilangkan rasa hormat layaknya kepada seorang kyai. Dengan begitu santri merasa lebih nyaman tanpa banyak tekanan. Cara ini juga dijadikan sebagai metode pendekatan antar santri dan kyai agar tercipta emosional yang baik. Alasan filosofis itulah yang menjadi landasan utama kyai tersebut memposisikan dirinya sebagai ayah bagi santri-santrinya.
Adapun pada prakteknya dalam membangun emosional kekeluargaan ialah dengan cara kyai bersikap santai, pembawaannya tidak serius secara terus-menerus, lebih sering turun langsung ke santri dan berbaur untuk meilhat keadaannya lansgung. Terkadang juga kyai menyempatkan diri untuk makan bersama-sama di saung dengan santri atau mengadakan acara bakar ubi bersama. Dalam bidang pendidikan dan pengajaran juga kyai mencoba untuk membangun suasana yang hangat, interaktif dan komunikatif dengan santri.
c. Kasus tentang batasan hubungan kyai dan santri terkait dengan etika dan hukum dalam Islam
Di dalam hukum Islam, ada istilah murhim atau seseorang yang memiliki hubungan darah dan ikatan nikah yang sah. Walau bagaimanapun, sedekat apapun seseorang secara emosional namun tetap ada batasan tertentu yang mengaturnya. Begitu pula dengan sosok kyai yang memposisikan dirinya sebagai ayah bagi santri-santrinya terutama terhadap santriwati, sedekat apapun cara yang di terapkan tetap ada batasan yang sesuai dengan syariah Islam.
Dalam kasus ini, karena hubungan antar kyai dan santri sengaja dibangun seperti ayah dan anak, kyai terbiasa melihat santri perempuan dalam keadaan tidak berkerudung. Misalnya saat memeriksa kamar santriwati, kyai masuk ke kamar tersebut meski beberapa santriwati tidak mengenakan kerudung. Hal ini menjadi terbiasa dan terasa tidak ada salahnya dalam kebiasaan tersebut.
Sedangkan di dalam Islam, rambut perempuan merupakan bagian dari aurat yang tidak boleh dilihat oleh laki-laki selain muhrimnya. Terlebih lagi dalam kasus ini mereka adalah santri yang sebagai pribadi yang berkomitmen untuk memegang teguh niali-nilai agama dan ajaran sesuai dengan al-Qur'an dan hadits. Selain itu juga mereka belajar memang lebih mendalami dan mengutamakan pelajaran agama Islam. Terutama lingkup pesantren yang mewajibkan santri untuk menutup auratnya. Jika dikaitkan dengan aturan dalam Islam tentu hal ini sangat berlainan dengan kebiasaan tersebut.
Pada kenyataannya memang seperti itu, namun sang kyai memiliki argumen dan alasan kuat tersendiri. Memposisikan diri sebagai ayah tidak hanya dalam terapan luar saja. Dia menanamkan hal tersebut juga dalam jiwanya. Sehingga melihat santriwati meski dalam keadaan tidak mengenakan kerudung bukanlah masalah baginya. Hal utama yang menjadi tujuan tertutupnya rambut bagi perempuan adalah agar tidak mengundang syahwat atau menarik perhatian laki-laki yang melihatnya sehingga terjadi hal-hal yang merugikan dan tidak diinginkan.
Alasan yang mendasari tindakannya tersebut ialah bahwa rasa menjadi sosok seorang ayah dalam dirinya memang sudah lekat. Sehingga tidak memunculkan syahwat atau rasa apapun yang timbul selain dari pandangan seorang ayah terhadap anaknya. Untuk itulah tujuan mengapa ia memposisikan dirinya sebagai ayah bagi santri-santrinya. Tidak ada rasa takut atau canggung lagi.
Persoalan etika ini memang erat kaitannya dengan hukum Islam. Namun yang berlaku pada kasus ini nyatanya berbeda. Menurut sang kyai, selama hal itu tidak menimbulkan atau mengundang syahwat dan nafsu maka tujuannya tidak menyalahkan dan berlawanan dengan tujuan yang ada pada ajaran Islam. Sebagiamana dalam hukum Islam mengatakan bahwa sesungguhnya suatu perbuatan itu bergantung pada niat. Seperti itulah seperangkat argumen yang dimiliki kyai atas tindakannya sebagaimana yang telah diuraikan di atas.
II. Teori Etika
Berangkat dari kasus yang dikaji pada pembahasan disini, muncullah suatu pandangan yang menocba untuk menimbang antara kasus dan terjadi dengan teori etika yang ada. Hal ini membuktikan bahwa adanya teori dan praktek di dunia nyata memiliki kaitannya satu sama lain. Selain itu teori etika yang berlaku di suatu masyarakat dapat berbeda-beda sesuai dengan etika seperti apakah yang diyakini masyarakat tersebut.
Dalam kasus ini, memiliki kaitan dengan teori etika teologi. Pengertian etika teologi secara harfiah berasal dari bahasa Yunani yakni telos dan logos. Telos berarti tujuan, akhir dan maksud, sedangkan logos berarti perkataan. Teori ini dikemukakan oleh Christian Wolff, ia adalah seorang filsuf yang hidup pada abad ke-18.
Secara istilah etika teologi ini merupakan teori yang menjelaskan tentang suatu ajaran bahwa segala seseuatu atau tindakan bergantung dan menuju pada suatu tujuan tertentu. Teori ini memahami arti benar dan salah namun tidak mengukur dari sebuah tindakan yang dilakukan. Paham teologi mengacu pada tujuan dan maksud yang ingin dicapai seberapapun salahnya sebuah tindakan namun tujuan dan maksud itulah yang menjadi tolak ukur sebuah arti dari kebaikan dan keburukan. Memang ada kemungkinan yang timbul dari teori ini uakni ajaran yang menghalalkan segala cara. Namun pada akhirnya semua akan kembali kepada pribadi masing-masing. Dengan demikian tujuan yang baik harus disertai dengan tindakan yang baik pula.
Secara umum teori etika teologi ini tidak hanya dimiliki oleh satu agama saja, melainkan setiap agama memiliki etika teologinya sendiri. Sesuai yang dilansir dari wikipedia, setiap agama dapat memiliki etika teologisnya yang unik berdasarkan apa yang diyakini dan menjadi sistem nilai-nilai yang dianutnya. Dalam hal ini, antara agama yang satu dengan yang lain dapat memiliki perbedaan di dalam merumuskan etika teologisnya masing-masing.
III. Metodologi
Metodologi yang ditempuh dalam mengumpulkan data untuk penelitian ini ialah dengan mendeskripsikan bagaimana alasan yang mendasari tindakan-tindakan yang ada dalam kasus ini. Selain itu juga menaganalisa pengurus atau ustadzah yang pernah berpengalaman di pesantren tersebut. Terlebih lagi penulis sendiri juga sempat menjadi bagian dari keluarga besar pondok tersebut. Sehingga banyak berinteraksi secara langsung dengan kyai. Penjelasan secara panjang dan lengkap juga didapatkan dari kyai.
Untuk mencapai level ontologis memang dirasa belum sampai dan memadai. Karena waktu yang diperlukan juga cukup lama dan mendalam. Sehingga untuk kasus ini ditempuh dengan mendeskripsikan dan menganalisanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar