Pengaruh Profesi Anak Jalanan Sebagai Pengamen Terhadap Kondisi Pendidikannya di Wilayah Pondok Ranji
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Perkotaan
DISUSUN OLEH:
ARIANNE SARAH
JURUSAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
A. Pendahuluan
Semenjak situasi krisis ekonomi merebak dan melanda negara Indonesia, salah satu permasalahan sosial yang perlu mendapat perhatian khusus adalah masalah meningkatnya jumlah anak jalanan. Menurut Menteri Sosial Republik Indonesia jumlah anak jalanan telah mencapai 50.000 anak dan akan terus bertambah seiring meningkatnya arus urbanisasi diberbagai kota besar di Indonesia. Kehadiran anak jalanan sering di identifikasikan sebagai cermin kemiskinan kota atau suatu kegagalan adaptasi kelompok orang-orang tertentu terhadap kehidupan kota-kota besar.
Anak jalanan ini perlu mendapat perhatian serius, karena selain rawan terhadap perlakuan buruk dari pihak-pihak yang kurang bertanggung-jawab misalnya preman dan oknum-oknum yang ingin memanfaatkan keberadaan anak jalanan. Yang memprihatinkan lagi adalah ancaman terhadap kelangsungan pendidikan anak-anak jalanan dalam menghadapi masa depannya. Dalam penelitian yang dilakukan, anak jalanan yang masih kecil biasanya dipalak oleh anak jalan yang lebih besar. Bahkan para preman juga tidak segan meminta uang hasil jerih payah mereka. Intimidasi seperti ini sering dialami anak jalanan.
Anak adalah generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peran strategis dan ciri serta sifat-sifat khusus yang menjamin kelangsungan kehidupan bangsa dan negara pada masa depan. Oleh karena itu potensi anak perlu dikembangkan semaksimal mungkin serta mereka perlu dilindungi dari berbagai tindak kekerasan dan diskriminasi agar hak-hak anak dapat terjamin dan terpenuhi sehingga mereka dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan kemampuannya, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Tempat bekerja anak jalanan biasanya dijalan-jalan yang dianggap strategis dan lokasi dekat dengan rumah tetapi terkadang adanya juga anak jalanan yang melakukan perkerjaan jauh dari rumah mereka karena tempat-tempat strategis didekat rumah mereka telah diisi oleh anak-anak jalanan yang lain.
Pada anak jalan yang masih terikat dengan keluarga bisanya mereka masih sekolah, dan berkerja setelah sekolah atau waktu hari libur. Anak anak jalanan yang demikian dapat kita katakan mereka bekerja karena tekanan ekonomi keluarganya. Dengan bekerja sebagai anak jalanan mereka mampu membantu ekonomi keluarga walaupun hanya sedikit, tidak sedikit hasil jerih payah mereka digunakan untuk biaya keperluan sekolah. Anak jalanan yang masih terikat oleh keluarga biasanya memiliki jadwal yang lebih teratur, apabila pendapat yang mereka peroleh dianggap sudah cukup mereka akan pulang. Pendapatan yang mereka peroleh setiap harinya tidak sama, ada hari yang dianggap ramai ada pula hari yang dianggap sepi. Begitu pula setiap harinya ada jam yang dianggap ramai adapula jam yang dianggap sepi. Atas dasar itulah pendapatan anak jalanan menjadi tidak tentu.
Dengan semakin meningkatnya jumlah anak jalanan memberikan indikasi bahwa pekerjaan anak jalan ini cukup bahkan lebih untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Disini penulis lebih memfokuskan penelitian terhadap anak jalanan yang menjadi pengamen, meskipun jenis pekerjaan anak jalanan bermacam-macam mulai dari penjual koran, penjual asongan, pengemis, dan lain sebagainya. Disamping bekerja ditempat yang relatif dekat dengan tempat tinggal mereka juga menempati tempat tempat yang strategis misalnya trafict light stasiun, alun-alun, pusat-pusat perbelanjaan maupun fasilitas-fasilatas umum yang ramai.
Bagi penulis, permasalahan anak jalanan yang menjadi pengamen ini sangat penting untuk dilakukan penelitian dengan berbagai pertimbangan dan alasan, antara lain:
1. Semakin meningkat jumlah anak jalan di era global saat ini
2. Beratnya tekanan ekonomi dan meningkatnya kebutuhan hidup keluarga miskin dikota mendorong meningkatnya jumlah anak jalanan (Pengamen).
3. Keinginan untuk hidup tanpa aturan begitu menggelora
Berbagai penelitian sebelumnya telah mengungkap berbagai pemasalah yang dihadapi oleh anak jalan. Maka dengan ini penulis berusaha mengungkap seberapa besar pengaruh pekerjaan anak jalanan khususnya pengamen terhadap kondisi Pendidikannya.
B. Metodologi Penelitian
1. Tipe Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian Kualitatif yang bersifat deskriptif, yaitu menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Penelitian ini menitikberatkan pada penggunaan teknik berupa wawancara yang dilakukan peneliti dengan pihak yang bersangkutan. Metode Kualitatif ini digunakan karena beberapa pertimbangan. Pertama, Metode Kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan. Kedua, metode ini menyajikan secara langsung hubungan antara peneliti dan responden.
2. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah Pendidikan anak jalanan khususnya pengamen. Sedangkan objek penelitiannya adalah Anak Jalanan khususnya pengamen itu sendiri.
3. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Stasiun Kereta Api Pondok Ranji. Sedangkan waktu penelitian dilakukan mulai dari tanggal 19 Oktober – 22 Oktober 2013.
4. Tahapan Penelitian
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Observasi dan Wawancara.
5. Tinjauan Teoritis (Teori Konflik)
Konflik merupakan bagian dari interaksi sosial yang bersifat disosiatif. Timbulnya konflik terjadi akibat adanya suatu keadaan yang bertentangan (perbedaan). Perbedaan yang dimaksud disini adalah perbedaan kepentingan. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.[1]
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawa sertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Teori konflik adalah sebuah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula.[2]
Teori konflik yang terkenal adalah teori yang disampaikan oleh Karl Mark, bagi Mark konflik adalah sesuatu yang perlu karena merupakan sebab terciptanya perubahan. Teori konflik Mark yang terkenal adalah teori konflik kelas dimana dalam masyarakat terdapat dua kelas yaitu kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin (proletar). Kaum borjuis selalu mengeksploitasi kaum proleter dalam proses produksi. Eksploitasi yang dilakukan kaum borjuis terhadap kaum proletar secara terus menerus pada ahirnya akan membangkitkan kesadaran kaum proletar untuk bangkit melawan sehingga terjadilah perubahan sosial besar, yaitu revolusi sosial.[3]
Dari berbagai pengertian konflik diatas penulis mencoba menarik kesimpulan bahwa kasus pengamen disini adalah akibat pertentangan, perbedaan dan lain sebagainya akan kehidupan sosialnya. Dari wawancara yang penulis lakukan, mereka lebih memilih hidup di jalanan, memutuskan untuk keluar dari rumah, kaluar dari kehidupan yang sesungguhnya, tanpa aturan, tanpa tanggung jawab, demi kepentingan diri sendiri dengan berusaha menyingkir dari pihak-pihak yang tidak sepaham dengannya. Jika di analogikan dengan teori Mark, kelompok pengamen ini adalah kaum proletar (kelas pekerja miskin) yang berusaha melawan, membuat perubahan yang diinginkannya.
C. Hasil Temuan Lapangan
Hasil penelitian yang penulis lakuakan, kehidupan pengamen jalanan terhadap pendidikan sangat memprihatinkan. Padahal anak-anak inilah harapan masa depan suatu bangsa, tunas yang berpotensi membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik atau bisa juga lebih buruk. Dari proses wawancara terhadap 4 orang pengamen jalanan di Pondok Ranji mengatakan bahwa keseluruhan dari pengamen tersebut menyatakan putus sekolah, mulai dari kelas 1 SD, 4 SD sampai 3 SMP. Alasannya pun saling kait mengkaitkan. Mulai dari dikeluarkan dari sekolah akibat berkelahi, untuk pindah sekolah tidak adanya biaya, akibatnya malas, sehingga mengurungkan kembali niatnya bersekolah. Dan pada akhirnya, mereka mengisi waktu luang, menjalani kehidupan dengan menjadi pengamen. Keadaan ini cukup memprihatinkan, karena pada kenyataannya pemerintah sudah berusaha membuat berbagai macam program pendidikan salah satunya Program Wajib Belajar Sembilan tahun, tetapi tetap saja kurang berjalan dengan baik karena masih ada anak-anak di usia produktif tidak bisa menikmatinya. Keseluruhan dari ke 4 pengamen ini, masih memiliki tempat tinggal yang tidak jauh dari tempatnya mengamen. Mereka lebih memilih hidup dijalanan, keluar dari rumah, tanpa aturan, tanpa tanggung jawab dengan alasan ingin mandiri dan berkreasi secara bebas. Mereka di dewasakan oleh keadaan. Keadaan yang sulit.
Padahal pendidikan merupakan salah satu faktor utama untuk dapat mencapai kemakmuran suatu Negara. Berdasarkan Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945)[4] pasal 31 ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Ayat (2) menegaskan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Ayat (3) menetapkan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
Sedangkan ayat (4) menugaskan negara untuk memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) serta dari anggaran pendapatan daerah (APBD) untuk mememenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Aturan yang termuat dalam Ayat (4) tersebut menunjukkan betapa penting dan betapa prioritasnya bidang pendidikan di bumi nusantara ini. Sebanyak 20 persen atau seperlima anggaran pemerintah pusat dan seperlima anggaran pemerintah daerah harus dialokasikan untuk menyelenggarakan pendidikan.
Dengan demikian, jelaslah bahwa negara kita menempatkan pendidikan pada prioritas pertama dengan mengalokasikan anggaran terbesar dari semua sektor. Pendidikan merupakan sektor yang memang perlu diprioritaskan negara karena menyentuh langsung hak masyarakat, dan sangat terkait erat dengan pembangunan sumber daya manusia masa depan.
Namun permasalahan lainnya adalah akibat terlalu lama berada di jalanan, hidup lama tanpa aturan sehingga untuk menarik kembali bersekolah agak begitu sulit. Sebab mereka sudah mengenal uang. Uang dijadikan prioritas utama dalam kehidupannya bukan seharusnya pendidikannya. Mereka memiliki paradigma pemikiran yang keliru bahwa ingin belajar setelah mendapatkan uang dengan cara mengamen sehingga sulit untuk merubahnya. Sehingga solusi yang harus diambil harus melibatkan pihak-pihak yang bersangkutan seperti orang tua, Departemen Pendidikan RI, Komnas Anak, dan lain sebagainya. Berikut beberapa solusi yang dapat penulis simpulkan:
1. Menyadarkan orangtuanya terlebih dahulu akan pentingnya pendidikan Anaknya.
2. Berhubungan baik antara orangtua dengan anak agar terjalin komunikasi yang baik yang berhubungan dengan urusan pendidikan.
3. Adanya persuasive (Ajakan) dari pihak Depdiknas ataupun Komnas anak dalam membujuk agar anak-anak di usia produktif menyadari pentingnya pendidikan bagi dirinya.
4. Perlunya kerjasama denga LSM dengan memperbanyak sekolah-sekolah non formal yang tetap dapat dilakukan di lingkungan pengamen tersebut bekerja.
D. Kesimpulan
Pengamen adalah penyanyi atau pemain musik yang tidak bertempat tinggal tetap, berpindah-pindah dan mengadakan pertunjukkan di tempat umum. Tak dapat dipungkiri bahwa keberadaan pengamen menjadikan kehidupan sosial beragam. Namun tidak dapat dipungkiri pula bahwa mayoritas pengamen jalanan adalah anak-anak di usia produktif. Usia dimana seharusnya mereka berada di sekolah, belajar, berkarya dan bermain. Padahal Berdasarkan Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) pasal 31 ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Penyebab masih adanya masyarakat yang belum terjamak dari program pemerintah menegenai program belajar 9 tahun bisa dilihat dari faktor internal dan eksternal. Berdasarkan faktor internal, mayoritas anak-anak usia produktif ini sudah terbuai akan kehidupan tanpa adanya aturan. Sudah mengenal Uang sebagai prioritas utama sehingga menyulitkan untuk menarik keluar. Sedangkan berdasarkan faktor eksternal adalah kurangnya sosialisasi dari pemerintah akan program yang dibuatnya sehingga menyulitkan orangtua yang tidak mempunyai biaya untuk pendidikan anaknya harus mengadu kepada siapa pihak-pihak yang bersangkutan.
E. Daftar Pustaka
1. M. Amin Nurdin, Ahmad Abrori, mengerti sosiologi,Jakarta:UIN Jakarta perss, 2006
2. Wirawan, konflik Dan Manajemen Konflik Teori, Aplikasi, dan penelitian, Jakarta: Salemba Humanika, 2010.
F. Identitas Narasumber
No
|
Nama Asli
|
Panggilan
|
Jenis Kelamin
|
Usia
|
Aktifitas
|
Pendidikan Terakhir
|
1.
|
Cepi Richo
|
Cico
|
Pria
|
15 Tahun
|
Pengamen
|
1 SD
|
2.
|
Imam Syarifudin
|
Imam
|
Pria
|
17 Tahun
|
Pengamen
|
4 SD
|
3.
|
Wahyudiarto
|
Indi
|
Pria
|
17 Tahun
|
Pengamen
|
3 SMP
|
4.
|
Toni Zulfikar
|
Toni
|
Pria
|
18 Tahun
|
Pengamen
|
3 SMP
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar