Nama : Annisah Bilqis
NIM : 1112051000158
Kelas : KPI 5E
Etika dan Filsafat Komunikasi
Mempelajari ilmu komunikasi secara menyeluruh, mendalam dan spekulatif, berarti mempelajari filsafat komunikasi. Karena sifatnya yang luas itu, maka kajian filsafat komunikasi sebagai langkah penelusuran akar ilmu komunikasi membutuhkan referensi dalam berbagai varian dan jenisnya menurut ruang lingkup akar komunikasi itu sendiri. Dalam berkomunikasi, pasti memerlukan sebuah informasi atau pesan yang disampaikan oleh pihak komunikator.
Dalam ilmu filsafat ada tiga aspek aspek epistemologis, ontologis dan aksiologis atas konteks informasi pesan yang disampaikan. Hal ini diperlukan agar tercipta sebuah alur komunikasi yang kritis dan membangun. Berpikir filosofis adalah berpikir kritis dalam menangkap suatu fenomena dan pesan.
Aplikasi komunikasi yang lebih pada dimana produk komunikasi itu diadakan adalah terlihat pada produk televisi. Televisi adalah sebuah media telekomunikasi terkenal yang berfungsi sebagai penerima siaran gambar bergerak beserta suara, baik itu yang monokrom (hitam-putih) maupun berwarna. Televisi menyiarkan sebuah informasi dan menciptakan suatu program atau produk komunikasi kepada khalyak. Di dalam TV tersebut telah menyediakan berbagai program-program atau acara yang menarik agar khalayak atau penonton TV tertarik. Beberapa format acara TV seperti berita kriminal dan bedah kasus, tayangan misteri, dangdut, film india, telenovela, serial drama Asia, Infotainment, dan lain-lain.
- Secara epistomologis
Infotainment menyiarkan sebuah fakta yaitu di dalam program berita. Pada titik yang paling inti dalam setiap pesannya pelaporan jurnalisme mesti membawa muatan fakta. Setiap kepingan informasi mengimplikasikan realitas peristiwa kemasyatakatan. Charnley (1965 : 22.30) mengungkapkan kunci standardisasi bahasa penulisan yang memakai pendekatan ketepatan pelaporan faktualisasi peristiwa, yaitu akurat, seimbang, obyektif, jelas dan singkat serta mengandung waktu kekinian."The Quality of News" dan menjadi pedoman yang mengondisikan kerja wartawan di dalam mendekati peristiwa berita, membantu upaya mengumpulkan dan mereportase berita.
- Secara ontologis
Dalam kajian berita infotainment ini bahasan secara ontologis tertuju pada keberadaan berita infotainment dalam ruang publik. Fenomena tentang berita infotainment bukan gejala baru di dunia jurnalisme. Abad 19 pernah berkembang jurnalisme yang berusaha mendapatkan audiensnya dengan mengandalkan berita kriminalitas yang sensasional, skandal seks. Hal-hal yang menegangkan dan pemujaan kaum selebritis ditandai dengan reputasi James Callender lewat pembeberan petualangan seks. Para pendiri Amerika Serikat, Alexande Hamilton dan Thomas Jeferson merupakan karya elaborasi antara fakta dan desus-desus. Tahun itu pula merupakan masa kejayaan William Rudolf Hearst dan Joseph Pulitzer yang dianggap sebagai dewa-dewa "Jurnalisme kuning."
- Secara aksiologis
Secara aksiologis kegunaan berita dititik beratkan kepada hiburan. Pengelola acara ini menarik audiens hanya dengan menyajikan tontonan yang enak dilihat sebagai sebuah strategi bisnis jurnalisme. Hal ini akan berdampak pada menundanya selera dan harapan sejumlah orang terhadap sesuatu yang lain. Ketika etika infotainment telah salah langkah mencoba untuk "menyaingkan" antara berita dan hiburan. Padahal nilai dan daya pikat berita itu berbeda, infotainment pada gilirannya akan membentuk audiens yang dangkal karena terbangun atas bentuk bukan substansi. Pengelola media melalui berita infotainment terkadang tidak lagi mempertimbangkan moral sebagai pengontrol langkah mereka sehingga begitu mengabaikan kepentingan masyarakat. Hal itulah yang terjadi dengan berita infotainment di Indonesia, beberapa kaidah yang semestinya dijalankan malah diabaikan demi kepentingan mengejar rating dan meraup keuntungan dari pemasang iklan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar