Nama : Achmad Faizal Riwanto
NIM : 1112051000155
Kelas : KPI 5E
Aplikasi Filsafat dalam Komunikasi
Ilmu komunikasi adalah ilmu yang amat luas. Maka dari itu, komunikasi memiliki cakupan yang amat penting apabila kita mulai meniliknya terutama dari segi filsafat ilmu, dan bukan hanya sebagai komunikasi dari pengertian harfiahnya saja. Filsafat ilmu ialah bagian filsafat yang mempertanyakan mengenai pengetahuan dan bagaimana kita mengetahui pengetahuan tersebut. Melalui tilikan filsafat ilmu, kita dapat memulai upaya penstrukturan ranah komunikasi yang beragam. Dalam berkomunikasi, amat berbahaya jika kita menelan mentah – mentah informasi atau pesan yang disampaikan pihak komunikator. Perlu dipertanyakan aspek ontologis, epistemologis dan aksiologis atas konteks pesan yang disampaikan. Hal ini diperlukan agar tercipta sebuah alur komunikasi yang kritis dan membangun. Berpikir filosofis adalah berpikir kritis dalam menangkap suatu fenomena dan pesan.
pertanyaan – pertanyaan utama filsafat ilmu mengenai ilmu komunikasi yang berfungsi untuk menyegarkaan keyakinan yang sudah usang, dan mengingatkan ulang mengenai dasar-dasar keyakinan. Pertama, dari segi ontologis (hakikat ilmu), yaitu tentang apa dan sampai di mana yang hendak dicapai ilmu? Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut? Ini berarti sejak awal kita sudah ada pegangan dan gejala sosial. Dalam hal ini menyangkut yang mempunyai eksistensi dalam dimensi ruang dan waktu, dan terjangkau oleh pengalaman inderawi. Dengan demikian, meliputi fenomena yang dapat diobservasi, dapat diukur, sehingga datanya dapat diolah, diinterpretasi, diverifikasi, dan ditarik kesimpulan. Dengan lain perkataan, tidak menggarap hal-hal yang gaib seperti soal surga atau neraka yang menjadi garapan ilmu keagamaan. Pertanyaan kedua adalah dari segi epistimologi (cara mendapatkan pengetahuan), Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan dengan benar? Apa yang disebut dengan kebenaran itu sendiri? Apa kriterianya? yaitu meliputi aspek normatif mencapai kesahihan perolehan pengetahuan secara ilmiah, di samping aspek prosedural, metode dan teknik memperoleh data empiris. Kesemuanya itu lazim disebut metode ilmiah, meliputi langkah langkah pokok dan urutannya, termasuk proses logika berpikir yang berlangsung di dalamnya dan sarana berpikir ilmiah yang digunakannya. Pertanyaan ketiga ialah dari segi aksiologi (guna pengetahuan), Untuk apa pengetahuan tersebut digunakan? Bagaiman kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penetuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Yang sebagaimana telah disinggung di atas terkait dengan kaidah moral pengembangan penggunaan ilmu yang diperoleh.
Pada awalnya, komunikasi merupakan bagian dari pergelutan filosofis. Pergelutan filosofis ialah pemikiran yang mencoba untuk mencari dan merumuskan hakikat segala sesuatu. Komunikasi merupakan bagian dari kajian filosofis hingga akhirnya berdiri sendiri sebagai sebuah disiplin ilmu. Namun, bukan berarti ilmu komunikasi sudah tidak lagi membutuhkan peranan filsafat di dalam disiplin ilmu dan penerapannya. Menerapkan pemikiran filosofis dalam praktek komunikasi, merupakan sebuah bentuk aplikasi filsafat dalam ilmu komunikasi itu sendiri. Dewasa ini, ilmu komunikasi memiliki sejumlah ilmu praktika, yaitu Hubungan Masyarakat, Periklanan, dan Jurnalistik. Ilmu-ilmu tersebut merupakan anak dari ilmu komunikasi yang dihasilkan oleh penghayatan dan pengamalan nilai-nilai filsafat. Sehingga, komunikasi dapat menjadi kajian ilmu yang bermetode, bersistem, dan berlaku universal.
Secara filosofis dan teoritis, misalnya, untuk mendalami psikologi sebagai akar ilmu komunikasi, maka penelaahan tentang perspektif-perspektif psikologi dan psikologi sosial misalnya, harus didukung oleh sejumlah hasil penelitian lapangan dan uji teoritis secara keilmuan.
a. Kajian epistemologis
Kunci dari akurasi sebuah berita adalah fakta dari peristiwa. Seorang jurnalis harus membawa muatan fakta pada setiap pelaporan berita. Tiap pesan menjadi netral dari kemungkinan buruk penafsiran subyektif yang tidak berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Chamley (1965) mengungkapkan kunci standarisasi bahasa penulisan yang memakai pendekatan ketepatan pelaporan faktualisasi peristiwa, yaitu akurasi, seimbang, obyektif, jelas, singkat serta mengandung waktu kekinian. Secara epistemologis, cara-cara memperoleh fakta ilmiah yang menjadi landasan filosofis sebuah berita yang akan ditampilkan berdasarkan perencanaan yang matang, sistemis, dan logis.
b. Kajian ontologis
Pada aspek ontologis, kita dapat mengambil contoh real berupa kajian berita infotainment di ruang publik. Maka, pertanyaan yang paling mendasar ialah mengenai keberadaan jati diri infotaiment itu sendiri. Fenomena infotainment pernah berkembang di abad ke-19 dengan konten berita kriminalitas yang sensasional, skandal seks, dan pemujaan selebritis Amerika Serikat seperti Alexander Hamilton dan Thomas Jeferson yang berhasil populer, hasil dari elaborasi antara fakta dan desas-desus. Jurnalisme semacam ini, dinamai oleh akademisi komunikasi sebagai jurnalisme kuning. Di Indonesia pun, jurnalisme kuning mencuat ketika masa Harmoko sebagai Menteri Penerangan. Banyak surat kabar kuning beredar secara massif diiringi dengan antusiasme masyarakat. Pasca orde baru, di mana kebebasan pers dibuka seluas-luasnya, TV nasional berlomba-lomba menayangkan berita infotainment. Fenomena ini, akan terus berkembang di Indonesia dan tidak dapat dihindarkan dalam dunia jurnalisme. Karena realitasnya, acara semacam ini mendapatkan rating yang tinggi dan diminati oleh masyarakat. Kajian ontologis, memberikan kita wawasan dan daya analisis agar kita bisa lebih bijak menyikapi fenomena-fenomena komunikasi dewasa ini.
c. Kajian aksiologis
Secara aksiologis, kegunaan infotainment dititikberatkan pada hiburan yang menarik audience dengan menyajikan tontonan yang enak dilihat saja sebagai sebuah strategi bisnis di dunia jurnalistik. Hal ini akan berdampak pada menundanya selera dan harapan sejumlah orang terhadap sesuatu yang lain. Ada penurunan nilai etika dalam prakteknya. Di mana media telah gagal menyaingkan antara nilai berita dan hiburan. Beberapa kaidah jurnalistik pun dilanggar demi mengejar keuntungan dan rating. Pada gilirannya, akan terbentuk audience yang dangkal karena terbangun atas tampilan bukan substansi.
DAFTAR PUSTAKA
Bambang Q-anees dan Elvinaro Ardianto. 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya)
Dani Vardiansyah, M. Si., Filsafat Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. INDEKS. 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar