Nama : Muhammad Aulia Ilsya (KPI 1 A) – 11150510000019
Hardi Yuantoro ( Jurnalistik 1 B) - 11150510000185
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Agama menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada tuhan yang mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Sebelum kita memahami Lembaga Keagamaan terlebih dahulu kita harus mengetahui Penjelasan adanya tentang agama. Agama merupakan suatu kepercayaan tertentu yang dianut sebagian besar masyarakat yang merupakan tuntunan hidup. Agama, yang menyangkut kepercayaan-kepercayaan serta berbagai prakteknya, benar-benar merupakan masalah sosial dan pada saat ini senantiasa ditemukan dalam setiap masyarakat manusia. Karena itu lahir pertanyaan tentang bagaimana seharusnya dari sudut pandang sosiologis. Dalam pandangan sosiologi, perhatian utama terhadap agama adalah pada fungsinya terhadap masyarakat. Istilah fungsi seperti kita ketahui, menunjuk kepada sumbangan yang diberikan agama, atau lembaga sosial yang lain, untuk mempertahankan (keutuhan) masyarakat sebagai usaha-usaha yang aktif dan berjalan terus-menerus.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dibahas yaitu mengetahui tentang pengertian lembaga agama, pandangan sosiologi masyarakat Agama Hindu dalam keminoritasan di Indonesia khususnya di Jakarta serta pengaruh dalam kehidupan masyarakat setempat.
1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan laporan ini untuk mengetahui tentang lembaga agama dalam kaitannya dengan lembaga sosial yang ada dalam masyarakat Agama Hindu serta pandangannya dalam sosiologi dalam penerapannya.
1.4 Waktu & Lokasi
Senin, 30 November 2015 di Pure Mertasari Rempoa
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Tinjauan Teoritik
Ø Teori Sosiologi Marxian
Gagasan perkembangan teori Marxian berasal dari Felix J.Weil. pada 3 Februari 1923 resmi berdiri Institut Riset Sosial di Frankfurt, Jerman (Jay, 1973; Wiggershaus, 1994). Setelah berdiri beberapa tahun sejumlah pemikir yang sangat terkenal dalam teori Marxian bergabung dengan aliran kritis ini di antaranya Marx Horkheimer, Theodor Adorno, Erich Fromm, Herbert Marcuse, dan lebih belakangan, Jurgen Habermas.
Teori Marxian sangat dipengaruhi oleh perkembangan teoritis dalam struktualisme, post-struktualisme (Anderson, 1984:33) dan post-modernisme, yang menjadi perhatian khusus kita disini. (Landry, 2000; Wood dan Foster, 1997).
Meski teori Marxian sebagian besar diabaikan atau diceca oleh sosiolog aliran utama Amerika, namun ada kekecualian, yang paling terkemuka di antaranya adlah C. Wright Mills (1916-1962). Mills adalah penting karena upayanya yang hamper sendirian untuk menjaga agar tradisi Marxian tetap hidup dalam teori sosiologi. Sosiolog Marxian modern jauh melebihi Mills dalam kecanggihan teoritis, tetapi mereka berutang budi kepada Mills karena aktivitas personal dan profesionalnya banyak membantu mereka untuk menyusun karya sendiri (Alt, 1985:86).
Masalah terbesar yang dihadapi kebanyakan teori konflik adalah kekurangan apa yang justru diperlukan yakni landasan kuat dalam teori Marxian. Teori Marxian berkembang dengan baik di luar sosilogi dan seharusnya dapat dijadikan basis untuk mengembangkan teori sosiologi yang canggih tentang konflik.perkecualian di sini adalah karya Ralf Dahrendorf (lahir 1929). Dahrendorf adalah sarjana Eropa yang sangat memahami teori Marxian. Tetapi, bagian ujung teori konfliknya terlihat lebih menyerupai cerminan fungsionalisme struktual ketimbang teori Marxian tentang konflik.
Akhir 1960-an ditandai perkembangan teori Marxian dalam teori sosiologi Amerika (Cerullo, 1994). Semakin banyak sosiolog yang beralih ke karya asli Marx, dan karya Marxis, untuk mencari pandangan yang berguna dalam perkembangan sosiologi Marxian. Sekilas ini tampak berarti bahwa teoritisi Amerika akhirnya membaca Marx secara serius, tetapi kemudian muncul tulisan – tulisan akademis Marxian signifikan oleh beberapa sosiolog Amerika.
Bersamaan dengan meningkatnya minat ini, muncul dukungan institusional terhadap sosiologi Marxian. Beberapa jurnal mencurahkan perhatian besar terhadap teori sosiologi Marxian, termasuk Theory and Society, Telos, dan Marxist Studies. Pada 1977 The American Sociological Association membentuk seksi sosiologi Marxis. Tak hanya generasi pertama teoritisi kritis yang terkenal di Amerika, pemikir generasi kedua pun, terutama Jurgen Habermas, mendapat penghargaan luas.
Teori Marxian rontok pada 1990-an. Teori Marxian tak lagi berhubungan dengan program yang bertujuan mengubah basis masyarakat seperti yang dimaksudkan Marx. Teori Marxian menjadi teori tanpa praktik. Suatu ketika teoritisi Mrxis tak lagi tergantung pada program Marxian, tetapi harus bergulat dengan masyarakat modern dengan "kekuatan dan energi merekan sendiri" (Aronson, 1995:4).
Aronson adalah seorang pengkritik Marxisme yang lebih ekstrem yang berasal dari dalam kubu Marxian. Bagaimanapun juga perubahan social yang lebih luas merupakan tantangan berat terhadap teoritisi Marxian yang mati- matian mencoba menyesuaikan teorinya dengan perubahan ini menurut berbagai cara. Apa pun yang dapat dikatakan, yang jelas "masa keeamasan" teori social Marxian terlah berlalu. Teori – teori social Marxian berbagai jenis akan tetap bertahan, namun takkan mencapai status dan kekuasaan seperti yang pernah diterima para pendahulu mereka dalam sejarah sosiologi. (George Ritzer 7 Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Edisi ke-6 (Jakarta:Kencana,2010 ) hal. 85-97)
2.2 Hasil Observasi Lapangan
Narasumber: Bpk. Wayan ia adalah tokoh agama Hindu atau sesepuh di pura tersebut, Pura ini terletak di Jl. Kenikir No.20 Tangerang Selatan Banten yang bernama Pura Merta Sari. Pura ini berdiri karena adanya umat Hindu tersebut kehausan umat untuk beribadah dan bersosialisasi adalah salah satu alasan mengapa pura ini didirikan ditempat ini. Berdirinya pura ini pada tahun 1980didirikan dan 1982 diresmikan secara ritual lalu 1984 diresmikan oleh pemerintah daerah Bupati Taju Subirin tetapi pada waktu itu Taju Subirin tidak dapat hadir jadi diwakili oleh camat Ciputat, dan wali kota saat ini ibu Hj.Airin sudah berkunjung ke pura dan melihat aktivitasa dipura dan untuk melegalkan pura tersebut karena Tangerang dan Tangerang Selatan telah dipisah.
Di Pura Merta Sari ini juga memiliki kegiatan seperti sosialisasi yang dilakukan pemuda-pemuda Pura disana, untuk ibu-ibunya melakukan kegiatan seperti menyiapkan sesajen untuk beribadah, dan untuk bapak-bapaknya melakukan kegiatan seperti menjaga dan membersihkan Pura tersebut, selain itu juga terdapat kegiatan pembelajaran tentang agama hindu untuk membantu pemerintah karena di beberapa sekolah yang ada mata pelajaran Agama Hindu tidak memiliki Guru yang kompeten, dan di Pura ini juga ada kegiatan Bakti Sosial seperti pembagian sembako melalui ketua RT dan penyediaan pelayanan tempat untuk masyarakat berobat gratis.
Candi dan Pura itu hampir sama karena pada jaman Majapahit banyak mendirikan candi-candi dan hindu pertama itu ada di Jawa Barat dan di Kutai, karena pada perang pajajaran candi-candi yang ada di Bogor, Bandung dan Jawa itu di musnahkan, jadi untuk saat ini terdapat banyak peninggalan-peninggalan sejarah pada tempat tersebut. Ada juga makna-makna bentuk bangunan Pura yang bisa diartikan bangunan yang berbentuk seperti daun, karena umat Hindu pencinta dengan alam. Oleh karena itu mengapa Pura tidak memiliki bangunan yang tertutup melainkan bangunan yang sangat terbuka. Alasan mengapa Pura bentuk bangunannya yang sangat terbuka? Karena dia mencerminkan kebebasan dan agar dapat menyatu dengan alam.
Pura Mertasari ini tidak mempunyai kepemilikan tetapi jika ada yang ingin mewaqafkan tanahnya untuk dijadikan pura boleh- boleh saja. Seperti pura ini sebelum menjadi pura, tanah ini adalah tanah desa yang sekarang sudah dikuasai oleh pemerintah dan diizinkan untuk menjadi bangunan pura ini. Di Pura ini memiliki beberapa aturan seperti bagi wanita yang sedang berhalangan tidak di izinkan untuk memasuki kawasan Pura yang suci dan jika ada keluarga yang sedang berduka tidak diizinkan memasuki kawasan Pura, kurang lebih selama seminggu setelah hari berduka.
Bagi umat yang ingin memasuki daerah ibadah atau daerah yang suci harus menggunakan selendang. Adapun warna yang baik untuk selendang yaitu warna putih dan warna kuning karena melambangkan kesucian bagi umat Hindu. Makna dari selendang tersebut adalah untuk pengikat ego dan hawa nafsu karena batas ego dan nafsu ada pada bagian perut hingga kepala. Pada bagian perut kebawah adalah sikap ego kita. Sedangkan arti dari sarung yang bermotif kotak – kotak warna putih dan hitam yang berarti ruwa bhinneka yang dimaksud itu adalah dua golongan hitam dan putih untuk menyelaraskan dan bagai mana cara untuk berfikir seseorang untuk memilih jalan yang baik atau yang buruk, seperti pribahasa Kuman disebrang laut tampak Gajah jongkok didepan tak tampak. Jadi pandangan tentang warna hitam dan putih menurut umat Hindu ialah bagaimana cara sudut pandang seseorang berfikir untuk memilih mana yang mau ia pilih jalur hitam atau putih.
BAB III
KESIMPULAN
Jadi, pura bagi umat Hindu sangat berperan penting untuk ibadah dan segala aktivitas seperti bersosialisasi antar umat beragama dengan cara memberi sembako dan memberi pengobatan secara gratis dan berperan bagi pemerintah untuk membantu pendidikan Agama Hindu saat ini yang sangat sulit didapatkan bagi umat Hindu disekolah – sekolah umum.
Berdirinya pura ini bisa dibilang kapitalisme karena memanfaatkan tanah desa yang dibeli oleh pemerintah untuk didirikannya pura tersebut. Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa lembaqga agama merupakan suatu lembaga yang sangat penting untuk pemersatu aspirasi manusia yang paling sublime, dimana saling berkaitan dengan lembaga- lembaga social lainnya yang mempunyai pandangan sosiologi yang luas untuk di kembangkan dalam kehidupan bermasyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Ritzer George, Douglas J. Goodman. 2010. Teori Sosiologi Modern Edisi ke-6. Jakarta: Kencana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar