Nama: Siti Nur AfriyantiMata Kuliah: Metodologi Penelitian Kualitatif
Nim: 1112052000024Dosen: Tantan Hermansyah, M. Si.
Jurusan : Bpi 6Tugas: Meringkas Meteri Pertemuan ke 3
Paradigma Dalam Metode Kualitatif
(Post Positivis, Konstruktivisme Sosial, Advokasi Partisipatoris, dan Pragmatis)
Elemen-elemen penting dalam setiap paradigma ini dapat dilihat dalam Tabel 1.1
Tabel 1.1 Empat Paradigma
Post positivis
Konstruktivisme Sosial
Determinasi
Reduksionisme
Observasi dan pengujian empiris
Verivikasi teori
Pemahaman
Makna yang beragam
Konstruksi sosial dan historis
Penciptaan teori
Advokasi Partisipatoris
Pragmatis
Bersifat politis
Berorientasi pada isu pemberdayaan
Kolaboratif
Berorientasi pada peruabahan
Efek-efek tindakan
Berpusat pada masalah
Bersifat pluralistik
Berorientasi pada praktik dunia-nyata
Post Positivis
Asumsi-asumsi post positivis merepresentasikan bentuk tradisional penelitian, yang kebenarannya lebih sering disematkan untuk penelitian kuantitatif ketimbang penelitian kuaitatif. Paradigma ini terkadang disebut sebagai metode saintifik atau penelitian sains.
Kaum Post positivis mempertahankan filsafat deterministik bahwa sebab-sebab (faktor-faktor kausatif) sangat mungkin menentukan akibat atau hasil akhir. Untuk itulah, problem-problem yang dikaji oleh kaum post positvis mencerminkan adanya kebutuhan untuk mengidentifikasi faktor-faktor penyebab yang mempengaruhi hasil akhir, sebagaimana yang banyak kita jumpai dalam penelitian eksperimen kuantitatif. Filsafat kaum post positivis juga cenderung reduksionitis yang orientasinya adalah mereduksi gagasan-gagasan besar menjadi gagasan-gagasan terpisah yang lebih kecil utuk diuji lebih lanjut, seperti halnya variabel-variabel yang umumnya terdiri dari sejumlah rumusan masalah dan hipotesis penelitian.
Dalam buku Philips dan Burbules (2000), asusmsi dasar yang menjadi inti dalam paradigma penelitian post positivis, antara lain:
Pengetahuan bersifat konjektural/ terkaan (dan antifondasional/ tidak berlandasan apa pun) – bahwa kita tidak akan pernah mendapatkan kebenaran yang absolut. Untuk itulah, bukti yang dibangun dalam penelitan sering kali lemah dan tidak sempurna. Karena alasan ini pula, banyak peneliti yang berujar bahwa mereka tidak dapat membuktikan hipotesisnya; bahkan, tak jarang mereka juga gagal untuk menyangkal hipotesisnya.
Penelitian merupakan proses membuat klaim-klaim, kemudian menyaring sebagian klaim tersebut menjadi "klaim-klaim lain" yang kebenarannya jauh lebih kuat. Sebagian besar penelitian kuantitatif, misalnya, selalu diawali dengan pengujian atas suatu teori.
Pengetahuan dibentuk oleh data, bukti, dan pertimbangan-pertimbangan logis. Dalam praktiknya, peneliti mengumpulkan informasi dengan menggunakan instrument-instrumen pengukuran tertentu yang diisi oleh para partisipan atau dengan melakukan observasi mendalam di lokasi penelitian.
Penelitian harus mampu mengembangkan statemen-statemen yang dapat menjelaskan situasi yang sebenarnya atau dapat mendeskripsiskan relasi kausalitas dari suatu persoalan. Dalam penelitian kuantitatif, peneliti membuat relasi antarvariabel dan mengemukakannya dalam bentuk pertanyaan dan hipotesis.
Aspek terpenting dalam penelitian adalah sikap objektif; para peneliti harus menguji kembali metode-metode dan kesimpulan-kesimpulan yang sekiranya mengandung bias. Untuk itulah, dalam penelitian kuantitatif, standar validitas dan reabilitas menjadi dua aspek penting yang wajib dipertimbangkan oleh peneliti.
Konstruktivisme Sosial
Gagasan konstruktivisme sosial berasal dari Mannheim dan buku-buku seperti The Social Construction of Reality-nya Berger dan Luekmann (1967) dan Naturalistic Inquiryi-nya Lincoln dan Guba (1985).
Konstruktivisme sosial meneguhkan asusmsi bahwa individu-individu selalu berusaha memahami dunia di mana mereka hidup dan bekerja. Mereka mengembangkan makna-makna subjektif atas pengalaman-pengalaman mereka
- makna-makna yang diarahkan pada objek-objek atau benda-benda tertentu. Makna-makna ini pun cukup banyak dan beragam sehingga peneliti dituntut untuk lebih mencari kompleksitas pandangan-pandangan ketimbang mempersempit makna-makna menjadi sebuah kategori dan gagasan.
Makna-makna subjektif ini sering kali dinegosiasikan secara sosial dan historis. Makna-makna ini tidak sekedar dicetak untuk kemudian dibagikan kepada individu-individu, tetapi harus dibuat melalui interaksi dengan mereka (karena itulah dinamakan konstruktivisme sosial) dan melalui norma-norma historis dan sosial yang berlaku dalam kehidupan mereka sehari-hari. Makna-makna itu juga harus ditekankan pada konteks tertentu di mana individu-individu ini tinggal dan bekerja agar peneliti dapat memahami latar belakang historis dan kultural mereka.
Para peneliti pun perlu menyadari bahwa latar belakang mereka dapat mempengaruhi penafsiran mereka terhadap hasil penelitian. Untuk itu, ketika melakukan penelitian, mereka harus memposisikan diri mereka sedemikian rupa seraya mengakui dengan rendah hati bahwa interpretasi mereka tidak pernah lepas dari pengalaman pribadi, kultural, dan historis mereka sendiri. Dalam konteks konstruktivisme, peneliti memiliki tujuan utama, yakni berusaha memaknai (atau menafsirkan) makna-makna yang dimiliki orang lain tentang dunia ini.
Terkait dengan konstruktivisme ini, Crotty (1998) memperkenalkan sejumlah asumsi:
Makna-makna dikonstruksi oleh manusia agar mereka dapat terlibat dengan dunia yang tengah mereka tafsirkan. Para peneliti kualitatif cenderung menggunakan pertanyaan-pertanyaan terbuka agar partisipan dapat mengungkapkan pandnagan-pandangannya.
Manusia senantiasa terlibat dengan dunia mereka dan berusaha memahaminya berdasarkan perspektif historis dan sosial mereka sendiri- kita semua dilahirkan ke dunia makna (world of meaning) yang dianugrahkan pleh kebudayaan di sekeliling kita. Untuk itulah, para peneliti kualitatif harus memahami konteks atau latar belakang partisipan mereka dengan cara mengunjungi konteks tersebut dan mengumpulkan sendiri informasi yang dibutuhkan. Mereka juga harus menafsirkan apa yang mereka cari: sebuah penafsiran yang dibentuk oelh pengalaman dan latar belakang mereka sendiri.
Yang menciptakan makna pada dasarnyaadalah lingkungan sosial, yang muncul di dalam dan di luar interaksi dengan komunitas manusia. Proses penelitian kualitatif bersifat induktif di mana di dalamnya peneliti menciptakan makna dari data-data lapangan yang dikumpulkan.
Advokasi Partisipatoris
Advokasi partispatoris berasumsi bahwa penelitian harus dihubungkan dengan politik dan agenda politis. Untuk itulah, penelitian ini pada umumnya memiliki agenda aksi demi reformasi yang diharapkan dapat mengubah kehidupan para partisipan, institusi-institusi di mana mereka hidup dan bekerja, dan kehidupan para peneliti sendiri. Paradigma ini menyatakan bahwa ada isu-isu tertentu yang perlu mendapat perhatian lebih, utamanya isu-isu menyangkut kehidupan sosial dewasa ini, seperti pemberdayaan, ketidakadilan, penindasan, penguasaan, ketertindasan, dan pengasingan. Peneliti dapat mengawali penelitian mereka dengan salah satu dari isu-isu sebagai fokus penelitiannya.
Penelitian advokasi menyediakan sarana bagi partisipan untuk menyuarakan pendapat dan hak-hak mereka yang selama ini tergadaikan. Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran mereka akan realitas sosial yang sebenarnya atau dapat mengusulkan suatu agenda perubahan demi memperbaiki kehidupan mereka sendiri.
Advokasi partisipatoris fokus pada kebutuhan-kebutuhan suatu kelompok atau individu tertentu yang mungkin termaginalkan secara sosial. Kemmis dan Wilkinson (1998) tentang karakteristik-karateristik inti dari penelitian advokasi partisipatoris:
Tindakan partisipatoris bersikap dialektis dan difokuskan untuk membawa perubahan. Untuk itulah, pada akhir penelitian advokasi partisipatoris, para peneliti harus memunculkan agenda aksi demi reformasi dan perubahan.
Penelitian ini ditekankan untuk membantu individu-individu agar bebas dari kendala-kendala yang muncul dari media, bahasa, aturan-aturan kerja, dan relasi kekuasaan dalam ranah pendidikan. Peneltian advokasi partisipatoris sering kali dimulai dengan satu isu penting atau sikap tertentu terhadap masalah-masalah sosial, seperti pemberdayaan.
Penelitian ini bersifat emansipatoris yang berarti bahwa penelitian ini membantu membebaskan manusia dari ketidakadilan-ketidakadilan yang dapat membatasi perkembangan dan determinasi diri. Penelitian advokasi partisipatoris bertujuan untuk menciptakan perdebatan dan diskusi politis untuk menciptakan perubahan.
Penelitian ini juga bersifat praktis dan kolaboratif karena ia hanya dapat sempurna jika dikolaborasikan dengan penelitian-penelitian lain. Dengan spirit inilah para peneliti advokadi partisipatoris melibatkan para partisipan sebagai kolaborator aktif dalam penelitian mereka.
Pragmatis
Pragmatisme ini berawal dari kajian Pierce, James, Mead, dan Dewey (Cherryholmes, 1992). Pada umumnya pragmatisme lahir dari tindakan-tindakan, situasi-situasi, dan konsekuensi-konsekuensi yang sudah ada, dan bukan dari kondisi-kondisi sebelumnya (seperti dalan post positivism. Sebagai salah satu paradigma filosofis untuk penelitian metode campuran, Tashakkori dan Teddlie (1998), Morgan (2007), dan Patton (1990) menekankan pentingnya paradigma pragmatik ini bagi para peneliti metode campuran, yang pada umumnya harus berfokus pada masalah-masalah penelitian dalam ilmu sosial humaniora, kemudian menggunakan pendekatan yang beragam untuk memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam tentang problem-problem tersebut.
Pragmatisme pada hakikatnya merupakan dasar filosofis untuk setiap bentuk penelitian, khususnya penelitian metode campuran:
Pragmatisme tidak hanya diterapkan untuk sistem filsafat atau relitas saja. Pragmatisme dapat digunakan untuk penelitian metode campuran yang di dalamnya para peneliti bisa dengan bebas melibatkan asumsi-asumsi kuantitatif dan kualitatif ketika mereka terlibat dalam sebuah penelitian.
Setiap peneliti memiliki kebebasan memilih. Dalam hal ini, mereka bebas untuk memilih metode-metode, teknik-teknik, dan prosedur-prosedur penelitian yang dianggap terbaik untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan mereka.
Kaum pragmatis tidak melihat dunia sebagai kesatuan yang mutlak. Artinya, para peneliti metode campuran dapat menerapkan berbagai pendekatan dalam mengumpulkan dan menganalisis data ketimbang hanya menggunakan satu pendekatan saja (jika tidak kuantitatof, selalu keualitatif).
Kebenaran adalah apa yang terjadi pada saat itu. Kebenaran itu tidak didasarkan pada dualitas anatar kenyataan yang berada di luar pikiran dan kenyataan yang ada dalam pikiran.
Para peneliti pragmatis selalu melihat apa dan bagaimana meneliti, seraya mengetahui apa saja akibat-akibat yang akan mereka terima –kapan dan di mana merka harus menjalankan penelitian tersebut.
Kaum pragmatis setuju bahwa penelitian selalu muncul dalam konteks sosial, historis, politis, dan lain sebagainya.
Kaum pragmatis percaya akan dunia eksternal yang berada diluar pikiran sebagaimana yang berada di dalam pikiran manusia.
Bagi para peneliti metode campuran, pragmatisme dapat membuka pintu untuk menerapkan metode-metode yang beragam, pandangan dunia yang berbeda-beda, dan asumsi-asumsi yang bervariasi, serta bentuk-bentuk yang berbeda dalam pengumpulan dan analisis data.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar