Sabtu, 22 September 2012

Rista Dwi Septiani Jurnalistik 1A

Teori Sosiolgi Karl Marx

Karl Marx lahir di Trier, Prusia, 5 Mei 1818 dan wafat pada tahun 1883. Marx pernah menerbitkan sejumlah karya yang sukar dipahami (kebanyakan belum diterbitkan semasa hidupnya) termasuk The Holly Family dan The German Ideologi (ditulis bersama Engels) dan ia pun menulis The Economic and Philosopic Manuscripts of 1884. Berikut akan dijelaskan tentang pertentangan kelas, agama, ideologi, dan modal produksi dalam teori sosiolgi Karl Marx.

 

A.    Pertentangan Kelas ( Kelas-Kelas Sosial)

Analisis tentang masyarakat dalam masalah kelas sosial sebenarnya tidak ditemukan oleh Marx. Bahkan penulis dari kalangan "Borjuis" seperti Adam Smith atau Alexis de Tocqueville juga mengakui bahwa masyarakat memang terbagi atas kelas-kelas yang ditentukan oleh posisi ekonomi, status, penghasilan, posisi kekuasaan yang berbeda, dan memiliki kepentingan yang berkelindan. Perkembangan kapitalisme pernah mengacau-balaukan masyarakat feodal yang terstruktur pada tiga aturan besar, yaitu kaum petani, kaum aristokrat atau bangsawan, dan pendeta. Dengan perkembangan perdagangan, industri, dan pusat urban-urban, muncullah dua kelas baru, pertama kelas borjuis  (bourgeouis) yang telah mendestabilisasikan ranzim (tatanan) dalam dan memegang tempat yang dominan, dan kemudian kalangan proletar atau rakyat jelata yang miskin dan terdiri dari sekumpulan tukang-tukang di pabrik-pabrik dan para petani yang terusir dari tanahnya dan kemudian menjadi tenaga kerja utama dibengkel kerja dan firma-firma industri besar.

Proyek yang dilakukan Marx, kurang mengungkapkan eksistensi kelas-kelas sosial atau mendeskripsikan situasinya dibanding memahami dinamika pergulatan kelas. Pertama ia mendefinisikan kelas-kelas itu lewat situasi yang dikaitkan dengan hubungan produksi. Kaum borjuis menjadi pemilik modal. Para "borjuis kecil" yang merupakan kategori yang tidak terlalu tajam terdiri dari para tukang atau pengrajin, pedagang, notaris, pengacara, dan seluruh "birokrat". Sedangkan kaum proletar adalah mereka yang "menjual tenaga dalam bekerja". Marx ingin mendeskripsikan dinamika sebuah masyarakat yang menurut pendapatnya bergerak dalam suatu konflik sentral yaitu : perjuangan kelas, yaitu antara kelas borjuis dengan kelas proletar. Kaum borjuis yang didorong oleh persaingan dan haus akan keuntungan bergerak untuk semakin lama semakin mengeksploitasi kaum proletar. Karena terperangkap dalam kemelaratan dan pengangguran yang bersifat endemik maka kelas proletar hanya memiliki satu-satunya jalan keluar, yaitu pemberontakan sporadis atau melakukan revolusi. Marx membedakan, "kelas sebagaimana kondisi dirinya sendiri" dan "kelas sebagaimana kondisi dirinya sendiri". Kelas sebagaimana kondisi dirinya sendiri didefinisikan sebagai keseluruhan individu yang secara umum memiliki kondisi kerja yang sama, status yang sama dan permasalahan yang sama, namun tidak harus terorganisasikan dalam suatu proyek atau rencana bersama. Sedangkan kelas bagi dirinya sendiri merupakan sebuah kelas yang karena telah menyadari akan adanya kepentingan bersama, lalu mengorganisasikan diri menjadi gerakan sosial berbentuk sindikat dan partai, yang berarti menempa diri untuk mencari identitas. Dalam Les Luttes de classes en France (Perjuangan Kelas-Kelas Sosial di Perancis) ia secara tajam mendeskripsikan sekurang-kurangnya tujuh kelas dan fraksi kelas yang berbeda, yaitu kelas aristokrasi finansial, borjuis industrial, borjuis kecil, proletar, petani kecil, tuan-tuan tanah besar dan sebagainya. Namun menurutnya dinamika kapitalisme, konsenterasi produksi dan krisis-krisis yang terjadi secara periodik cenderung meradikalkan pertentangan antara dua golongan, yaitu kaum proletar dan borjuis.

 

B.    Agama

Sesuai dengan pemikirannya bahwa agama adalah "candu bagi masyarakat", Karl Marx berpendapat bahwa agama bukanlah bentuk realisasi diri. Jadi, agama hanya membuat jati diri seseorang tidak berkembang secara utuh. Karena menurutnya agama bersifat mengikat dan mampu menghukum pengikutnya. Siapapun yang tidak tunduk dengan aturan-aturan yang ada akan dihukum dan dijauhkan dari kenikmatan surgawi. Jadi banyak dari mereka yang tunduk dan menerima segala bentuk penderitaan dan penindasan dengan sukarela. Dia mengatakan jika manusia hidup tanpa agama (atheisme), maka mereka dapat bebas dan menciptakan aturan-aturan sendiri dan jika sudah meyakini suatu agama, maka mereka terikat, patuh, dan tunduk oleh segala aturan-aturan yang ada. Ia menentang pendapat Feuerbach yang menyatakan bahwa Tuhan adalah khayalan, tanpa mencari sebabnya. Karena baginya manusia lah yang menciptakan Tuhan sesuai dengan citranya.

 

C.     Ideologi

Marx tidak memiliki teori yang sistematik tentang ideologi. Sebaliknya, yang ada hanya analisis-analisis parsial dan belum rampung namun seringkali berbobot dan tajam. Marx menempatakan ideologi sebagai keseluruhan ide yang dominan dan diusung oleh sebuah masyarakat sebagai kelompok sosial dalam bingkai superstruktur masyarakat. Ideologi ini dikondisikan oleh bingkai atau batas ekonomi dan menjadi semacam refleksi atas bingkai itu. Kaum borjuis yang semakin menanjak telah menentukan pemikiran-pemikiran tentang kebebasan, hak asasi manusia, kesetaraan dihadapan hukum (hak) dalam bingkai pergulatan menghadapi orde atau tatanan lama. Marx juga memiliki sebuah teori tentang ideologi sebagai semacam alienasi. Pengertian ini dipinjam filsuf Ludwig Feuerbach yang meupakan penulis L'Essence du christianisme (Esensi Kristianisme) (1864). Bagi Feuerbach, agama itu merupakan proyeksi dalam bentuk "surga bagi pemikiran (ide)", harapan dan keyakinan manusia. Orang bisa mempercayai eksistensi Tuhan secara rill seperti yang ditemukannya. Marx mengambil kembali pemikiran ini (bahwa agama adalah "candu bagi masyarakat"). Selanjutnya ia akan mengusugnya ke dalam analisis komoditas.

 

D.    Modal Produksi

Menurut Marx, dengan bekerja manusia menghasilkan (berproduksi) untuk dirinya sendiri dan untuk masyarakat. Cara produksi dari sebuah masyarakat berupa "tenaga kerja produksi" (manusia, mesin, dan teknik) dan "hubungan produksi" (perbudakan, sistem bagi hasil, sistem kerajinan tangan, bekerja upahan). Cara produksi ini membentuk 'kaki penopang' yang menyangga superstruktur politik, yuridis, dan ideologi masyarakat. Bergantinya suatu cara produksi ke cara produksi lain menimbulkan kontradiksi-kontradiksi ekonomi, dan ini mengakibatkan pertarungan kelas. Ketika Marx menulis tentang transisi dari kapitalisme menuju sosialisme, Marx lalu mengembangkan sebuah konsep 'dialektika" transformasi sosial. Kapitalisme biasanya tunduk pada kontradiksi-kontradiksi ekonomi yang akhirnya menimbulkan krisis-krisis periodik. Menurut Hukum Evolusi Kapitalisme yang berbunyi, "Persaingan menyebabkan kaum kapitalis mengakumulasikan modalnya, maksudnya harus menginvestasikan kembali sebagian keuntungannya untuk memperbaiki sarana produksi". Marx menarik kesimpulan adanya beberapa kecenderungan evolusi, yaitu:

-kecenderungan terjadinya mekanisasi produksi yang semakin lama semakin tinggi

-konsenterasi modal seiring dengan meningkatnya perusahaan dan konsenterasi perusahaan ditangan beberapa orang kapitalis saja

-peningkatan pengangguran dan penurunan upah relatif yang dianggap Marx sebagai konsekuensi dari akumulasi tersebut. Meski cenderung hendak menggantikan tempat manusia sehingga menjadi "cadangan senjata di bidang industri" dan keberadaannya cenderung menekan upah menjadi semakin rendah. Proses pemelaratan yang semakin meningkat ini muncul sebagai "hukum umum ekonomi kapitalistis"

-hukum penurunan nilai keuntungan yang tendensius berasal dari meningkatnya modal konstan (mesin) yang terkait dengan modal yang berubah-ubah atau modal variabel (para pekerja). Keuntungan (nilai lebih) hanya berasal dari pekerjaan manusia (menurut teori nilai pekerjaan), penurunan nilai terkait dengan jumlah pekerja (jika dikaitkan dengan mesin) yang menyebabkan penurunan nilai keuntungan.

Teori Marx tentang krisis tidak ada yang tuntas. Eksploitasi dan konsenterasi modal konstan (mesin) menyebabkan peningkatan kapasitas produksi terus-menerus namun merugikan posibilitas konsumsi (melalui penghasilan yang didistribusikan). Dari sini asalnya krisis kelebihan produksi yang terjadi secara tiba-tiba dan secara periodik menandai kapitalisme. Marx menganggap bahwa krisis ini pasti makin berat seiring dengan berjalannya waktu hingga kelak tidak dapat diatasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini