Ahmad Fikry Fauzan
KPI IE
1112051000139
KPI IE
1112051000139
Agama Dalam Sudut Pandang Emile Durkheim
Dalam sudut pandang Emile Durkheim agama itu bukan hanya dari imajinasi ia sendiri saja, beliau untuk mendefinisikan agama itu menyelami dan mengindentifikasikan hakikat agama yang berbentuk primitif. Beliau orang yang cerdas dengan kecerdasannya ia menemukan hakikat abadi agama dengan cara memisahkan yang sakral dari yang profan atau duniawi. Terciptanya yang sakral itu melalui kebiasaan-kebiasaan yang mengubah kekuatan moral masyarakat menjadi simbol-simbol keagamaan yang mengikat individu dalam suatu perkumpulan ataupun kelompok.
Masyarakat menciptakan agama sebagai sesuatu yang sakral sementara dan yang lainnya yang profan. Aspek realitas sosial yang dianggap sakral inilah suatu yang terpisah dari peristiwa sehari-hari yang membentuk esensi agama dan yang dianggap profan itu suatu yang dipakai dari aspek kehidupan duniawi.
Emile Durkheim mempertahankan dan mempercayai esensi agama dan ia tidak percaya bahwa agama itu tidak ada karena agama itu tak lebih dari ilusi. Di dalam agama pasti ada kebenaran namun kebenaran itu belum tentu sama dengan apa yang diyakini oleh para penganutnya. Emile Durkheim tidak percaya keadaan yang seperti ghaib-ghaib, apa pun yang menjadi sumber agama, namum kekuatan moral dari setiap individu yang superior yang memberi inspirasi kepada pengikut dan kekuatan itulah yang disebut masyarakat bukan Tuhan. Emile Durkheim berstatement bahwa secara simbolis masyarakat memperteguh dalam masyarakat itu sendiri. Agama adalah sistem simbol yang menyadiri diri di masyarakat.
Masyarakat merupakan kekuatan yang lebih besar dari kekuatan kita karena masyarakat melamapaui kita, menenkan sifat egois menuntut pengorbanan dan mengisi kita dengan aturan-aturan berupa energi. Masyarakat menurut Emile Durkheim menggunakan kekuatan melalui perwujudan. Emile Dukheim melihat Tuhan itu tidak lebih dari sekedar dari pemahaman wujud Tuhan dan simbolis-Nya.
Perbedaan antara yang sakral dan yang profan serta terangkatnya beberapa aspek kehidupan ke tingkatan yang sakral itu merupakan syarat yang mutlak bagi kewujudan agama namun tidak belum cukup untuk syarat kemungkinannya. Ada 3 syarat yang sangat dibutuhkan yaitu kepercayaan, ritual dan gereja. Hubungan timbak balik yang sakral, kepercayaan, ritual dan gereja mendorong Emile Durkehim untuk mengemukakan definisi agama. Emile Durkheim mendifinisikan agama adalah kesatuan sistem kepercayaan dan praktif yang menyatu dalam sebuah kelompok moral tunggal yang dinamai gereja, semua yang melekat padanya.
Dalam sebuah kata totemisme yang mengandung arti sistem agama di mana binatang, tumbuhan dan lain sebagainya dianggap sakral dan jadi simbol klan. Menurut Emile Durkheim totemisme sebagai simbol agama yang paling sederhana dalam organisasi sosial dan yang paling primitif. Kemudian totem itu representasi dari sebuah klan, individu yang mempunyai kekuatan sosial apabila mengikuti upacara suku untuk mencari sebuah penjelasan dan pernyataan atas pengalaman. Emile Durkheim percaya bahwa kegiatan upacara itulah yang jadi sebab akibatnya, tetapi sampai sekarang ini orang-orang masih menghubungkan dengan kekuatan sosial.
Dalam studi agama primitif Emile Durkheim menginterpretasikan kekhasannya sudah banyak dipertanyakan. Totenimsme merupakan sarana yang baik Emile Durkhiem untuk mengembangkan suatu pengetahuan, masyarakat dan agama. Walaupun masyarakat dapat menghasilkan totem yang banyak ia tidak melihat bahwa totem sebagai penjelasan suatu rangkaian yang terpisah.
Dalam totemisme terdiri dari 3 jenis hal-hal yang saling berhubungan yaitu simbol totemik, binatang atau tumbuhan dan anggota suku. Dengan demikian, tetomisme menyediakan cara untuk mengklasifikasikan objek-objek alam yang merefleksikan organisasi sosial suku. Oleh karena itu, Emile Durkheim berstatemen bahwa kemampuan untuk mengklasifikasikan ke dalam kategori-kategori duniawi berasal dari pengalaman sosial dan keagamaan.
Agama Dalam Sudut Pandang August Comte
Pandangan Auguts Comte terhadap agama melalui teori evolusi. Teori ini menyatakan bahwa 3 tahap intelektual yang dijalani dan dihadapi dunia, August Comte berpendapat bukan hanya dunia saja yang mengalami proses dari teori ini, akan tetapi kelompok manusia, masyarakat, individu, ilmu pengetahuan, bahkan pikiran pun termasuk. Pikiran pun menjadi 3 tahap yaitu :
1) Tahap teologis, sistem ide utama dititikberatkan pada kepercayaan bahwa kekuatan supranatural dan figur-figur keagamaan, yang berwujud manusia, menjadi akar segalanya. Secera khusus, dunia sosial dan fisik dipandang sebagai dua hal yanpg dibuat Tuhan.
2) Tahap metasifis, pada era ini dicirikan oleh kepercayaan bahwa kekuatan abstrak dan bukannya Tuhan yang dipersonalisasikan dan diyakini dapat menjelaskan segalanya.
3) Tahap positivisme, yang dicirikan terhadap ilmu pengetahuan. Pada saat sekarang ini orang lebih cenderung melakukan pencarian terhadap sebab mutlak dan lebih berkonsentrasi terhadap dunia sosial.
Jelas bahwa dalam teorinya tentang dunia. August Comte memfokuskan perhatian pada faktor intelektual. Lalu ia menegaskan bahwa kekacauan intelektual menjadi sebab akibat dari kekacauan sosial. Kekacauan tumbuh dari sistem teologis dan metafisis dan selalu ada pada zaman positivisme ( ilmiah ). Ketika positivisme mengambil kendali sepenuhnya, keresahan sosial berhenti, karena proses evalusioner tidak perlu mendorong terjadinya gangguan sosial dari revolusi. August Comte memberi gagasan tentang reformisme sosial dan sosiologinya. Dalam sosiologinya terdapat positivisme dan membawa keteraturan pada dunia sosial. Akan tetapi, August Comte tidak ingin mendorong terjadinya revolusi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar