Strategi Rumahtangga Nelayan Dalam Mengatasi Kemiskinan di Desa Surakarta, Kabupaten Cirebon.
Penelitian ini dibuat untuk memenuhi
tugas akhir mata kuliah Sosiologi Pedesaan
Dosen Pengampu : Dr. Tantan Hermansyah, M.Si.
Disusun oleh:
FAJAR SETIAWAN
11150540000023
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
PENGEMBANGANGAN MASYARAKAT ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim…
Segala puji bagi Allah SWT, tuhan semesta alam yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian ini yang berjudul "Strategi Rumahtangga Nelayan Dalam Mengatasi Kemiskinan di Desa Surakarta, Kabupaten Cirebon".
Harapan saya semoga penelitian ini dapat membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembacanya. Saya menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan, maka saya memerlukan kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun untuk melengkapi kekurangan dari penelitian ini, agar saya dapat memperbaiki isi maupun bentuk dalam penelitian ini sehingga kedepannya dapat lebih baik lagi.
Akhir kata, saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan penelitian ini. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi segala usaha yang telah kita lakukan. Aamiin ya rabbal 'alamin.
Ciputat, 29 Desember 2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumberdaya pesisir dan kelautan adalah asset yang penting bagi Indonesia. Dengan luas laut 5,8 juta Km2, Indonesia sesungguhnya memiliki sumberdaya perikanan laut yang besar dan beragam. Potensi lestari sumberdaya perikanan laut di Indonesia adalah 6,7 juta ton pertahun dari berbagai jenis ikan, udang dan cumi-cumi.
Jumlah penduduk Indonesia sekitar 250 juta jiwa. Pada saat ini setidaknya terdapat 2 juta rumahtangga yang menggantungkan hidupnya pada sector perikanan. Mereka pada umumnya mendiami daerah kepulauan, sepanjang pesisir termasuk danau dan sepanjang aliran sungai. Penduduk tersebut tidak seluruhnya menggantungkan hidupnya dari kegiatan menangkap ikan akan tetapi masih ada bidang-bidang lain seperti usaha pariwisata bahari, pengangkutan antar pulau, danau dan penyeberangan, pedagang perantara atau eceran hasil tangkapan nelayan, penjaga keamanan laut , penambangan lepas pantai dan usaha-usaha lainnya yang berhubungan dengan laut dan pesisir.
Nelayan merupakan salah satu bagian dari anggota masyarakat yang mempunyai tingkat kesejahteraan paling rendah. Dengan kata lain, masyarakat nelayan adalah masyarakat paling miskin dibanding anggota masyarakat subsisten lainnya (Kusnadi, 2002). Suatu ironi bagi sebuah Negara Maritim seperti Indonesia bahwa ditengah kekayaan laut yang begitu besar masyarakat nelayan merupakan golongan masyarakat yang paling miskin.
Pemandangan yang sering dijumpai di perkampungan nelayan adalah lingkungan hidup yang kumuh serta rumah-rumah yang sangat sederhana. Kalaupun ada rumah-rumah yang menunjukkan tanda-tanda kemakmuran, rumah-rumah tersebut umumnya dipunyai oleh pemilik kapal, pemodal, atau rentenir yang jumlahnya tidak signifikan dan sumbangannya kepada kesejahteraan komunitas sangat tergantung kepada individu yang bersangkutan. Disamping itu, karena lokasi geografisnya yang banyak berada di muara sungai, lingkungan nelayan sering kali juga sudah sangat terpolusi.
Sejak dahulu sampai sekarang nelayan telah hidup dalam suatu organisasi kerja secara turun-temurun tidak mengalami perubahan yang berarti. Kelas pemilik sebagai juragan relatif kesejahteraannya lebih baik karena menguasai faktor produksi seperti kapal, mesin alat tangkap maupun faktor pendukungnya seperti es, garam dan lainnya. Kelas lainnya yang merupakan mayoritas adalah pekerja atau penerima upah dari pemilik faktor produksi dan kalaupun mereka mengusahakan sendiri faktor atau alat produksinya masih sangat konvensional, sehingga produktivitasnya tidak berkembang. Rumahtangga nelayan pada umumnya memiliki persoalan yang lebih komplek dibandingkan dengan rumahtangga pertanian.
Rumahtangga nelayan memiliki ciri-ciri khusus seperti pengunaan wilayah pesisir dan lautan sebagai faktor produksi, adanya ketidakpastian penghasilan, jam kerja yang harus mengikuti siklus bulan yaitu dalam 30 hari satu bulan yang dapat dimanfaatkan untuk melaut hanya 20 hari sisanya mereka relatif menganggur. Selain itu pekerjaan menangkap ikan adalah merupakan pekerjaan yang penuh resiko dan umumnya karena itu hanya dapat dikerjakan oleh laki-laki, hal ini mengandung arti anggota keluarga yang lain tidak dapat membantu secara penuh.
Kemiskinan bukanlah masalah yang baru. Problem kemiskinan merupakan suatu hal yang tidak bisa terlepas dari pembangunan suatu bangsa. Kemiskinan merupakan side effect dari lajunya pembangunan nasional tanpa ada maksud untuk menciptakannya (Dahuri, 1994).
Dari permasalahan di atas, maka pertanyaan pokok yang diajukan dalam penelitian ini adalah "Bagaimana masyarakat nelayan bertahan hidup ditengah keadaan yang serba miskin?". Hal inilah yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini, yaitu mengetahui kondisi kemiskinan pada masyarakat nelayan dan mengidentifikasi usaha-usaha rumahtangga nelayan dalam mengatasi faktor-faktor penyebab kemiskinan tersebut.
B. Pertanyaan Penelitian
Merujuk pada latar belakang yang telah diuraikan di atas, perumusan masalah yang akan ditelaah lebih lanjut dalam penelitian ini adalah mengenai kemiskinan pada masyarakat nelayan dan strategi yang dilakukan oleh rumahtangga nelayan dalam mengatasi faktor-faktor penyebab kemiskinan tersebut. Secara lebih rinci permasalahan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Faktor-faktor apa yang menyebabkan kemiskinan pada masyarakat nelayan?
2. Bagaimana strategi rumahtangga nelayan dalam berusaha mengatasi faktor-faktor penyebab kemiskinan tersebut?
C. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan mempergunakan pendekatan kualitatif, yang berusaha menggambarkan usaha-usaha masyarakat nelayan dalam mengatasi kemiskinan melalui metode studi kasus. Pendekatan kualitatif digunakan untuk mengembangkan pemahaman yang mendalam tentang permasalahan penelitian yang didasarkan pada pemahaman yang berkembang diantara orang-orang yang menjadi subyek penelitian. Melalui pendekatan ini, diharapkan dapat menggambarkan kompleksitas permasalahan penelitian dan untuk menghindari keterbatasan pembentukan pemahaman yang diikat oleh suatu teori tertentu dan yang hanya berdasar pada penafsiran peneliti. Melalui metode studi kasus, peneliti berusaha menangkap realitas sosial secara holistik dan mendalam tentang permasalahan penelitian.
D. Tinjauan Teoritis
Dalam bukunya The Rule of Sociological Methods, Durkheim menekankan bahwa tugas sosiologi adalah mempelajari apa yang dia sebut sebagai fakta-fakta sosial. Asumsi umum yang paling fundamental yang mendasari pendekatan Dukheim terhadap individu serta perilakunya adalah bahwa fakta-fakta sosial itu riil dan mempengaruhi kesadaran individu serta perilakunya yang berbeda dari karakteristik psikologi, biologis atau karakteristik individu lainya. Selain itu fakta-fakta sosial dapat dipelajari dengan metode-metode empirik, karena fakta-fakta sosial merupakan benda dan harus diperlakukan sebagaimana benda.
Menurut Durkheim bahwa fakta sosial merupakan kekuatan dan struktur yang bersifat eksternal dan memaksa individu. Studi tentang kekuatan dan struktur berskala luas ini – misalnya, hukum yang melembaga dan keyakinan moral bersama dan pengaruhnya terhadap individu menjadi sasaran studi banyak teoritas sosiologi dikemudian hari (misalnya Parsons).
Durkheim memperlihatkan analisisnya tentang kekuatan sosial mempengaruhi perilaku manusia. Durkheim melaksanakan penelitian secara cermat, setelah membandingkan angka bunuh diri pada beberapa Negara di Eropa. Durkheim mengindentifikasi integrasi sosial, derajat keterikatan manusia pada kelompok sosialnya, sebagai faktor sosial kunci dalam tindakan bunuh diri.
Dalam The Rule Of Sociolocal Method ia membedakan antara dua tipe fakta sosial : material dan non-material. Meski ia membahas keduanya dalam karyanya, perhatian utamanya lebih tertuju pada fakta sosial non material (misalnya kultur, instrusi sosial) ketimbang pada fakta sosial material (birokrasi, hukum). Perhatiannya tertuju pada upaya membuat analisis komparatif mengenai apa yang membuat masyarakat bisa dikatakan berada dalam keadaan primitif atau modern. Ia menyimpulkan bahwa masyarakat primitif dipersatukan terutama oleh fakta sosial non-material, khususnya oleh kuatnya ikatan moralitas bersama, atau oleh apa yang ia sebut sebagai kesadaran kolektif yang kuat. Tetapi, karena kompleksitas masyarakat modern, kekuatan kesadaran itu telah menurun.
Solidaritas menunjuk pada satu keadaan hubungan antara individu dan/atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Ikatan ini lebih mendasar dari pada hubungan kontraktual yang dibuat atas persetujuan rasional. Hubungan-hubungan serupa itu mengandalkan sekurang-kurangya satu tingkat/derajat konsensus terhadap prinsip-prinsip moral yang menjadi dasar kontrak itu, sekaligus berusaha menjelaskan asal mula keadaan menurut persetujuan kontraktual yang dirembuk individu untuk kepentingan pribadi mereka selanjutnya.
Pembedaan antara solidaritas mekanik dan organik merupakan salah satu sumbangan Durkheim yang paling terkenal. Menurut Durkheim, solidaritas mekanik terbentuk atas dasar kesadaran kolektif, yang menunjuk pada totalitas kepercayaan-kepercayaan dan sentimen-sentimen bersama yang rata-rata ada pada warga yang sama itu. Ciri khas yang penting dari solidaritas mekanik adalah suatu tingkat homogenetik yang tinggi dalam kepercayaan atau sentimen dengan tingkat pembagian kerja yang sangat minim.
Sedangkan solidaritas organik, muncul atas dasar pembagian kerja bertambah besar dan saling ketergantungan yang sangat tinggi. Menurut Durkheim, kuatnya solidaritas ini ditandai oleh pentingnya hukum yang bersifat memulihkan dari pada yang bersifat represif. Dalam solidaritas organik memberikan ruang otonomi bagi individu sehingga membuat individu menjadi terpisah dari ikatan sosialnya. Namun bagi solidaritas organik bahwa kesadaran kolektif menjadi penting ketika dalam kelompok kerja dan profesi, karena memilki keseragaman kepentingan.
BAB II
GAMBARAN UMUM
A. Profil Umum Subyek/ Obyek
Nelayan dapat diartikan sebagai orang yang hasil mata pencaharian utamanya berasal dari menangkap ikan di laut. Menurut Setyohadi (1998), nelayan dikategorikan sebagai seseorang yang pekerjaannya menangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap yang sederhana, mulai dari pancing, jala dan jaring, bagan, bubu sampai dengan perahu atau jukung yang dilengkapi dengan alat tangkap ikan. Namun dalam perkembangannya nelayan dapat pula dikategorikan sebagai seorang yang profesinya menangkap ikan dengan alat yang lebih modern berupa kapal ikan beserta peralatan tangkapnya yang sekarang dikenal sebagai anak buah kapal (ABK). Di samping itu juga nelayan dapat diartikan sebagai petani ikan yang melakukan budidaya ikan di tambak dan keramba-keramba di pantai.
B. Lokasi Kajian
Lokasi penelitian yaitu di Desa Surakarta, Kecamatan Kapetakan, Kabupaten Cirebon Provinsi Jawa Barat.
Dimana Kecamatan Kapetakan berbatasan dengan :
ü Sebelah utara berbatas dengan : Kabupaten Indramayu
ü Sebelah barat berbatas dengan : Kecamatan Klangenan
ü Sebelah selatan berbatasan dengan : Kecamatan Cirebon Utara
ü Sebelah timur berbatas dengan : Laut Jawa (Pantai Utara)
BAB III
ANALISIS HASIL
A. Kemiskinan Nelayan
Konsep Kemiskinan
Kemiskinan secara umum dapat dibedakan dalam beberapa pengertian. Kemiskinan dapat diartikan suatu keadaan dimana seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, yaitu kebutuhan akan pangan. Kemiskinan sering disebut pula sebagai ketidakberdayaan dalam pemenuhan kebutuhan pokok baik materi maupun bukan materi. Materi dapat berupa pangan, pakaian, kesehatan dan papan. Sedangkan bukan materi berbentuk kemerdekaan, kebebasan hak asasi, kasih sayang, solidaritas, sikap hidup pesimistik, rasa syukur dan sebagainya.
Kemiskinan juga merupakan masalah struktural dan multi dimensional, yang mencakup politik, sosial, ekonomi, asset dan lain-lain. Dimensi-dimensi kemiskinan pun muncul dalam berbagai bentuk, seperti (a) tidak dimilikinya wadah organisasi yang mampu memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat miskin, sehingga mereka benar-benar tersingkir dari proses pengambilan keputusan penting yang menyangkut diri mereka. Akibatnya, masyarakat miskin tidak memiliki akses yang memadai ke berbagai sumberdaya kunci yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan hidup mereka secara layak, termasuk akses informasi. (b) tidak terintegrasinya warga miskin ke dalam institusi sosial yang ada, sehingga mereka teralinasi dari dinamika masyarakat; (c) rendahnya penghasilan sehingga tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sampai batas yang layak dan (d) rendahnya kepemilikan masyarakat miskin ke berbagai hal yang mampu menjadi modal hidup mereka, termasuk asset kualitas sumberdaya manusia (human capital), peralatan kerja, modal dana, perumahan, pemukiman dan sebagainya.
Kemiskinan sosial adalah kemiskinan akibat kekurangan jaringan social dan struktur yang tidak mendukung untuk mendapatkan kesempatan-kesempatan agar produktivitas seseorang meningkat. Penyebabnya antara lain karena faktor internal yaitu hambatan budaya sehingga disebut kemiskinan kultural. Sedangkan faktor eksternal diakibatkan oleh birokrasi dan peraturan resmi yang berakibat mencegah seseorang untuk memanfaatkan kesempatan yang ada. Yang termasuk dalam pengertian ini adalah kemiskinan struktural yaitu kemiskinan yang di derita masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka, seperti kekurangan fasilitas pemukiman yang sehat, pendidikan, komunikasi, perlindungan hukum dari pemerintah, dan lain-lain. Sedangkan kemiskinan politik adalah kurangnya akses kekuasaan yang dapat menentukan alokasi sumberdaya untuk kepentingan sekelompok orang atau sistem sosial.
Menurut Soemardjan (1997), ditinjau dari sudut sosiologi kemiskinan dapat dilihat dari pola-polanya, yaitu:
1. Kemiskinan Individual, kemiskinan ini terjadi karena adanya kekurangan-kekurangan yang disandang oleh seorang individu mengenai syarat-syarat yang diperlukan untuk mengentaskan dirinya dari lembah kemiskinan. Mungkin individu itu sakit-sakitan saja, sehingga tidak dapat bekerja yang memberi penghasilan. Mungkin juga ia tidak mempunyai modal financial atau modal keterampilan untuk berusaha. Mungkin juga ia tidak mempunyai jiwa usaha atau semangat juang untuk maju di dalam kehidupan. Individu demikian itu dapat mederita hidup miskin dalam lingkungan yang kaya. Namun bagaimanapun, kalau individu itu dikaruniai jiwa usaha yang kuat atau semangat juang yang tinggi niscaya ia akan menemukan jalan untuk memperbaiki taraf hidupnya.
2. Kemiskinan Relatif, untuk mengetahui kemiskinan relatif ini perlu diadakan perbandingan antara taraf kekayaan material dari keluarga-keluarga atau rumahtangga-rumahtangga di dalam suatu komunitas tertentu. Dengan perbandingan itu dapat disusun pandangan masyarakat mengenai mereka yang tergolong kaya dan relatif miskin di dalam komunitas tersebut. Ukuran yang dipakai adalah ukuran pada masyarakat setempat (lokal). Dengan demikian suatu keluarga yang di suatu daerah komunitas dianggap relatif miskin dapat saja termasuk golongan kaya apabila diukur dengan kriteria di tempat lain yang secara keseluruhan dapat dianggap komunitas atau daerah yang lebih miskin.
3. Kemiskinan Struktural, kemiskinan ini dinamakan struktural karena disandang oleh suatu golongan yang "built in" atau menjadi bagian yang seolah-olah tetap dalam struktur suatu masyarakat. Di dalam konsep kemiskinan struktural ada suatu golongan sosial yang menderita kekurangan-kekurangan fasilitas, modal, sikap mental atau jiwa usaha yang diperlukan untuk melepaskan diri dari ikatan kemiskinan. Salah satu contoh dari golongan yang menderita kemiskinan struktural yaitu nelayan yang tidak memiliki perahu. Di dalam golongan ini banyak terdapat orang-orang yang tidak mungkin hidup wajar hanya dari penghasilan kerjanya, akibatnya mereka harus pinjam dan selama hidup terbelit hutang yang tak kunjung lunas.
4. Kemiskinan Budaya, yaitu kemiskinan yang diderita oleh suatu masyarakat di tengah-tengah lingkungan alam yang mengandung cukup banyak sumberdaya yang dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki taraf hidupnya. Kemiskinan ini disebabkan karena kebudayaan masyarakat tidak memiliki ilmu pengetahuan, pengalaman, teknologi, jiwa usaha dan dorongan social yang diperlukan untuk menggali kekayaan alam di lingkungannya dan menggunakannya untuk keperluan masyarakat.
Lewis (1966), memahami kemiskinan dan ciri-cirinya sebagai suatu kebudayaan, atau lebih tepat sebagai suatu sub kebudayaan dengan struktur dan hakikatnya yang tersendiri, yaitu sebagai suatu cara hidup yang diwarisi dari generasi ke generasi melalui garis keluarga. Kebudayaan kemiskinan merupakan suatu adaptasi atau penyesuaian, dan juga sekaligus merupakan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka di dalam masyarakat yang berstrata kelas, sangat individualistis dan berciri kapitalisme. Kebudayaan tersebut mencerminkan suatu upaya mengatasi rasa putus asa dan tanpa harapan, yang merupakan perwujudan dari kesadaran bahwa mustahil dapat meraih sukses di dalam kehidupan sesuai dengan nilai-nilai dan tujuan masyarakat yang lebih luas. Kurang efektifnya partisipasi dan integrasi kaum miskin ke dalam lembaga-lembaga utama masyarakat, merupakan salah satu ciri terpenting kebudayaan kemiskinan. Ini merupakan masalah yang rumit dan merupakan akibat dari berbagai faktor termasuk langkanya sumberdaya-sumberdaya ekonomi, dan diskriminasi, ketakutan, kecurigaan atau apati, serta berkembangnya pemecahan-pemecahan masalah secara setempat. Rendahnya upah, parahnya pengangguran dan setengah pengangguran menjurus pada rendahnya pendapatan, langkanya harta milik yang berharga, tidak adanya tabungan, tidak adanya persediaan makanan di rumah dan terbatasnya jumlah uang tunai. Semua kondisi ini tidak memungkinkan adanya partisipasi yang efektif di dalam sistem ekonomi yang lebih luas. Sebagai respon terhadapnya, kita temui di dalam kebudayaan kemiskinan tingginya hal gadai menggadaikan barang-barang pribadi, hidup dibelit hutang kepada lintah darat setempat dengan bunga yang mencekik, munculnya sarana kredit informal yang secara spontan diorganisasikan dalam ruang lingkup tetangga, penggunaan pakaian dan mebel bekas, dan adanya pola untuk sering membeli dalam jumlah kecil-kecilan sehari-harinya sesuai dengan tingkat kebutuhan yang diperlukan.
Ciri Kemiskinan Nelayan
Kemiskinan pada masyarakat nelayan dapat dicirikan oleh pendapatan yang berfluktuasi, pengeluaran yang konsumtif, tingkat pendidikan keluarga rendah, kelembagaan yang ada belum mendukung terjadinya pemerataan pendapatan, potensi tenaga kerja keluarga (istri dan anak) belum dapat dimanfaatkan dengan baik, dan akses terhadap permodalan yang rendah.
Menurut Kusnadi (2002), ciri umum yang dapat dilihat dari kondisi kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi dalam kehidupan masyarakat nelayan adalah fakta-fakta yang bersifat fisik berupa kualitas pemukiman. Kampung-kampung nelayan miskin akan mudah diidentifikasi dari kondisi rumah hunian mereka. Rumah-rumah yang sangat sederhana, berdinding anyaman bambu, berlantai tanah berpasir, beratap daun rumbia, dan keterbatasan pemilikan perabotan rumahtangga adalah tempat tinggal para nelayan buruh atau nelayan tradisional. Sebaliknya, rumah-rumah yang megah dengan segenap fasilitas yang memadai akan mudah dikenali sebagai tempat tinggal pemilik perahu, pedagang perantara atau pedagang berskala besar dan pemilik toko. Selain gambaran fisik, kehidupan nelayan miskin dapat dilihat dari tingkat pendidikan anak-anak mereka, pola konsumsi sehari-hari dan tingkat pendapatannya. Karena tingkat pendapatan nelayan rendah, maka adalah logis jika tingkat pendidikan anak-anaknya juga rendah. Banyak anak nelayan yang harus berhenti sebelum lulus sekolah dasar atau kalaupun lulus, ia tidak akan melanjutkan pendidikannya ke sekolah lanjutan pertama. Disamping itu, kebutuhan hidup yang paling mendasar bagi rumahtangga nelayan miskin adalah pemenuhan kebutuhan pangan. Kebutuhan dasar yang lain, seperti kelayakan perumahan dan sandang dijadikan sebagai kebutuhan sekunder. Kebutuhan akan pangan merupakan prasyarat utama agar rumahtangga nelayan dapat bertahan hidup.
B. Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan Nelayan
Ada banyak penyebab terjadinya kemiskinan pada masyarakat nelayan, seperti kurangnya akses kepada sumbersumber modal, akses terhadap teknologi, akses terhadap pasar maupun rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Selain itu dapat pula disebabkan karena faktor-faktor sosial seperti pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi, rendahnya tingkat pendidikan, dan rendahnya tingkat kesehatan serta alasan-alasan lainnya seperti kurangnya prasarana umum di wilayah pesisir, lemahnya perencanaan yang mengakibatkan tumpang tindihnya beberapa sektor pada satu kawasan, polusi dan kerusakan lingkungan.
Menurut Kusnadi (2000), faktor-faktor yang menyebabkan semakin terpuruknya kesejahteraan nelayan sangat kompleks, yaitu:
1. Faktor alam yang berkaitan dengan fluktuasi musim ikan. Jika musim ikan atau ada potensi ikan yang relatif baik, perolehan pendapatan bisa lebih terjamin, sedangkan pada saat tidak musim ikan nelayan akan menghadapi kesulitan-kesulitan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Faktor alamiah ini selalu berulang setiap tahun.
2. Faktor non alam, yaitu faktor yang berkaitan dengan ketimpangan dalam pranata bagi hasil, ketiadaan jaminan sosial awak perahu, dan jaringan pemasaran ikan yang rawan terhadap fluktuasi harga, keterbatasan teknologi pengolahan hasil ikan, dampak negatif modernisasi, serta terbatasnya peluang-peluang kerja yang bisa di akses oleh rumahtangga nelayan. Kondisi-kondisi aktual yang demikian dan pengaruh terhadap kelangkaan sumberdaya akan senantiasa menghadapkan rumahtangga nelayan ke dalam jebakan kekurangan.
Menurut Suyanto (2003), faktor yang menyebabkan kondisi kesejahteraan nelayan tidak pernah beranjak membaik, yaitu : Pertama, berkaitan dengan sifat hasil produksi nelayan yang sering kali rentan waktu atau cepat busuk. Bagi nelayan tradisional yang tidak memiliki dana dan kemampuan cukup untuk mengolah hasil tangkapan mereka, maka satu-satunya jalan keluar untuk menyiasati kebutuhan hidup adalah bagaimana mereka menjual secepat mungkin ikan hasil tangkapannya ke pasar. Bagi nelayan miskin, persoalan yang paling penting adalah bagaimana mereka bisa memperoleh uang dalam waktu cepat, meski seringkali kemudian mereka harus rela menerima pembayaran yang kurang memuaskan dari para tengkulak terhadap ikan hasil tangkapan mereka. Di komunitas nelayan manapun, jarang terjadi nelayan bisa menang dalam tawar-menawar harga dengan tengkulak karena secara struktural posisi nelayan selalu kalah akibat sifat hasil produksi mereka yang sangat rentan waktu. Kedua, karena perangkap hutang. Akibat irama musim ikan yang tidak menentu dan kondisi perairan yang overfishing, maka sering terjadi keluarga nelayan miskin kemudian harus menjual sebagian atau bahkan semua asset produksi yang mereka miliki untuk menutupi hutang dan kebutuhan hidup sehari-hari yang tak kunjung usai.
C. Strategi Rumahtangga Nelayan
Konsep strategi dapat diartikan sebagai rencana yang cermat mengenai suatu kegiatan untuk mencapai tujuan tertentu. Secara harfiah pengertian strategi adalah berbagai kombinasi dari aktivitas dan pilihan-pilihan yang harus dilakukan orang agar dapat mencapai kebutuhan dan tujuan kehidupannya. Dharmawan (2003) mengartikan strategi sebagai seperangkat pilihan diantara berbagai alternatif yang ada. Konsep strategi ini merupakan bagian dari pilihan rasional, dimana dalam teori tersebut dikatakan bahwa setiap pilihan yang dibuat individu, termasuk pemilihan suatu strategi dibuat berdasarkan perimbangan rasional dengan mempertimbangkan untung rugi yang akan diperoleh. Rumahtangga menunjuk pada sekumpulan orang yang hidup satu atap, tetapi tidak selalu memiliki hubungan darah. Setiap anggota dalam rumahtangga memiliki kesepakatan untuk menggunakan sumber-sumber yang dimilikinya secara bersama-sama. Bahwa rumahtangga adalah grup dimana orang-orang tinggal bersama dalam satu atap dan menggunakan dapur yang sama, berkontribusi dalam pengumpulan pendapatan serta memanfaatkan pendapatan tersebut untuk kepentingan bersama. Dalam rumahtangga, semua modal dan barang diatur oleh kepala rumahtangga yang bertindak tanpa pamrih demi kepentingan bersama. Meskipun ada pembagian pekerjaan yang berdasarkan jenis kelamin dan umur, namun, semuanya bekerja untuk kepentingan bersama. Masing-masing anggota rumahtangga akan berkontribusi sesuai dengan peran, tanggungjawab dan kemampuannya.
Strategi ekonomi keluarga nelayan miskin menunjuk pada alokasi potensi sumberdaya rumahtangga secara rasional kedua sektor kegiatan sekaligus, yaitu sektor produksi dan sektor non produksi. Di bidang produksi, rumahtangga nelayan miskin menerapkan pola nafkah ganda, yaitu melibatkan sebanyak mungkin potensi tenaga kerja rumahtangga di berbagai kegiatan ekonomi pertanian dan luar pertanian, baik dalam status berusaha sendiri maupun status memburuh. Sektor non produksi atau lembaga kesejahteraan asli merupakan bagian penting dalam strategi ekonomi rumahtangga nelayan miskin. Sekalipun sifatnya tidak rutin, keterlibatan anggota rumahtangga di lembaga kesejahteraan asli dapat memberikan manfaat ekonomi yang penting bagi rumahtangga, secara langsung maupun tidak langsung. Penerimaan dari lembaga arisan, memungkinkan rumahtangga nelayan miskin untuk dapat membiayai kebutuhan yang memerlukan biaya cukup besar, antara lain perbaikan rumah, biaya sekolah anak, dan modal usaha. Penerimaan tersebut tidak saja membantu rumahtangga nelayan miskin dalam mengatasi konsekuensi kemiskinan (berupa kekurangan konsumsi) tetapi pada tingkat tertentu juga dapat mengatasi penyebab kemiskinan berupa kekurangan modal produksi.
Menurut Kusnadi (2000), strategi nelayan dalam menghadapi kemiskinana dapat dilakukan melalui:
1. Peranan Anggota Keluarga Nelayan (istri dan anak). Kegiatan-kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh anggota rumahtangga nelayan (istri dan anak) merupakan salah satu dari strategi adaptasi yang harus ditempuh untuk menjaga kelangsungan hidup mereka.
2. Diversifikasi Pekerjaan, dalam menghadapi ketidakpastian penghasilan, keluarga nelayan dapat melakukan kombinasi pekerjaan.
3. Jaringan Sosial, melalui jaringan sosial, individu-individu rumahtangga akan lebih efektif dan efisien untuk mencapai atau memperoleh akses terhadap sumberdaya yang tersedia di lingkungannya. Jaringan sosial memberikan rasa aman bagi rumahtangga nelayan miskin dalam menghadapi setiap kesulitan hidup sehingga dapat mengarungi kehidupan dengan baik. Jaringan sosial secara alamiah bisa ditemukan dalam segala bentuk masyarakat dan manifestasi dari hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Tindakan sosial-budaya yang bersifat kreatif ini mencerminkan bahwa tekanan-tekanan atau kesulitan-kesulitan ekonomi yang dihadapi nelayan tidak direspon dengan sikap yang pasrah. Secara umum, bagi rumahtangga nelayan yang pendapatan setiap harinya bergantung sepenuhnya pada penghasilan melaut, jaringan sosial berfungsi sangat strategis dalam menjaga kelangsungan kehidupan mereka.
4. Migrasi, migrasi ini dilakukan ketika di daerah nelayan tertentu tidak sedang musim ikan dan nelayan pergi untuk bergabung dengan unit penangkapan ikan yang ada di daerah tujuan yang sedang musim ikan. Maksud migrasi adalah untuk memperoleh penghasilan yang tinggi dan agar kebutuhan hidup keluarga terjamin.
Dalam waktu-waktu tertentu, penghasilan yang telah diperoleh, mereka bawa pulang kampung untuk diserahkan kepada keluarganya, tetapi kadang kala penghasilan itu dititipkan kepada teman-temannya yang sedang pulang kampung. Apabila di daerahnya sendiri telah musim ikan, atau keadaan hasil tangkapan nelayan setempat mulai membaik, merekapun akan kembali ke kampung halaman dan mencari ikan didaerah asalnya.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Masalah kemiskinan yang terjadi pada masyarakat nelayan di Desa Surakarta tidak terlepas dari adanya berbagai faktor penyebab kemiskinan. Faktor penyebab kemiskinan tersebut berupa fluktuasi musim tangkapan, faktor ini telah menyebabkan ketidakpastian hasil tangkapan para nelayan, sehingga pada saat sedang tidak musim menangkap ikan para nelayan sangat kesusahan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari. Rendahnya sumberdaya manusia nelayan yang dicirikan dengan rendahnya tingkat pendidikan keluarga nelayan menyebabkan susahnya nelayan untuk mengakses peluang-peluang kerja yang tersedia, khususnya peluang kerja di luar sektor perikanan. Eksploitasi pemodal berupa ikatan penjualan kepada pihak tertentu dengan harga jauh di bawah harga pasar menyebabkan semakin kecilnya hasil pendapatan nelayan, sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari.
Ketimpangan sistem bagi hasil juga telah menyebabkan nelayan semakin terpuruk karena sistem bagi hasil yang berlaku hanya menguntungkan pihak juragan saja, sehingga menambah kesenjangan ekonomi antara pemilik perahu dan buruh nelayan.
Selain itu, penerapan motorisasi pada perahu-perahu nelayan, di satu sisi memiliki keuntungan yaitu dapat menghemat waktu, energi, dan kegiatan penangkapan ikan tidak lagi bergantung pada arah angin, sehingga para nelayan dapat lebih intensif untuk pergi melaut. Namun di sisi lain, penerapan motorisasi tersebut telah menyebabkan tersisihnya kelembagaan ekonomi (TPI), sehingga para nelayan yang dulunya dapat melakukan kegiatan lelang terbuka di TPI, kini tidak dapat lagi melaksanakannya karena mereka harus menjual hasil tangkapannya kepada para pihak yang menjadi langganannya. Hal ini telah menyebabkan semakin tingginya ketergantungan para nelayan terhadap para pemodal. Faktor ini sangat dominan dalam menyebabkan kemiskinan nelayan di Desa Surakarta kerena selain menyebabkan tersisihnya kelembagaan ekonomi, motorisasi juga erat kaitannya dengan penggunaan bahan bakar minyak (BBM), kenaikan harga BBM tidak dibarengi dengan kenaikan harga hasil produksi nelayan, sehingga menyebabkan semakin susahnya nelayan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.DAFTAR PUSTAKA
Darwin, M.S.P. 2002. Karakteristik Kemiskinan Masyarakat Nelayan di Kecamatan Syiah Kuala Banda Aceh. Skripsi Institut Pertanian Bogor; Bogor.
Dharmawan, Arya Hadi. 2003. Farm Household Livelihood Strategies and Socioeconomic Changes in Rural Indonesia. Disertasi, University of Gottingen, Jerman.
Hermanto et al., 1995. Kemiskinan di Pedesaan : Masalah dan Alternatif Penanggulangannya. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. IPB; Bogor.
Kusnadi, 2000. Nelayan : Strategi adaptasi dan Jaringan Sosial. HumanioraUtama Press ; Bandung.
Kusnadi, 2002. Konflik Sosial Nelayan Kemiskinan dan Perebutan Sumberdaya Perikanan. LKiS; Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar