PROPOSAL PENELITIAN
Pengaruh Pola Asuh Otoriter Orangtua Terhadap Perilaku Anak dan Dampaknya di Desa Sukamernah, Kabupaten Tanggamus, Lampung
Disusun oleh
Rizki Dalina 11150540000018
Dosen Pembimbing: Dr. Tantan Hermansyah, M.Si.
PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim…
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian ini yang berjudul "Pengaruh Pola Asuh Otoriter Orangtua Terhadap Perilaku Anak dan Dampaknya di Desa Sukamernah, Kabupaten Tanggamus, Lampung".
Harapan saya semoga penelitian ini dapat membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembacanya. Saya menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan, maka saya memerlukan kritik dan saran dari semua pihak yang sifatnya membangun untuk melengkapi kekurangan dari penelitian ini, agar saya dapat memperbaiki isi maupun bentuk dalam penelitian ini sehingga ke depannya dapat lebih baik.
Akhir kata, saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan penelitian ini. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi segala usaha yang telah kita lakukan. Aamiin ya rabbal 'alamin.
Ciputat, 29 Desember 2016
DAFTAR ISI
Kata Pengantar……………………………………………………..…i
Daftar isi…………………………………………………….……..…ii
Bab I : Pendahuluan……………………………………………….….1
A. Latar Belakang
B. Pertanyaan Penelitian
C. Metode Penelitian
D. Tinjauan Teoritis
Bab II : Gambaran Umum Obyek Kajian………………..……………5
A. Profil Umum Obyek
B. Lokasi Kajian
Bab III : Analisis Hasil………………………………………………..6
Bab IV : Penutup…………………………………………………….15
Kesimpulan
Daftar Pustaka………………………………………………………..16
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keluarga merupakan lembaga pertama dalam kehidupan anak, tempat ia belajar menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Dalam keluarga umumnya anak ada hubungan interaksi yang intim dengan orang tuanya. Keluarga memberikan dasar pembentukan tingkah laku, watak, moral dan pendidikan anak.[1]
Orang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anak mereka, karena merekalah anak pertama kali mendapatkan pendidikan. Bentuk pertama dari pendidikan terdapat dalam kehidupan keluarga. Orang tua dikatakan pendidik pertama karena dari merekalah anak mendapatkan pendidikan untuk pertama kalinya. Dan dikatakan pendidik utama karena pendidikan dari orang tua menjadi dasar perkembangan dan kehidupan anak di kemudian hari. Oleh karena itu di butuhkan pola asuh yang tepat agar anak tumbuh berkembang optimal.
Pola asuh orang tua adalah suatu metode disiplin yang diterapkan orang tua terhadap anak. Metode disiplin itu meliputi dua konsep yaitu konsep positif dan konsep negatif. Dari Konsep positif dijelaskan bahwa disiplin berarti pendidikan dan bimbingan yang lebih menekankan pada disiplin diri dan pengendalian diri. Sedangkan konsep negatif dijelaskan bahwa disiplin dalam diri berarti pengendalian dengan kekuatan dari luar diri, hal ini merupakan suatu bentuk pengekangan melalui cara yang tidak disukai dan menyakitkan bagi anak. Ada tiga bentuk pola asuh dalam mendidik anak yaitu, pola asuh otoriter, pola asuh demokratis dan pola asuh permisif.
Masih banyak orang tua yang salah dalam mengasuh anaknya, mereka lebih cenderung otoriter terhadap anaknya tanpa memberi kehangatan. Orang tua menggunakan kontrol, kekuasaan dan peraturan-peraturan yang di buat serta memaksa anaknya untuk menuruti semua yang di katakan.
Anak lahir dalam pemeliharaan orang tua dan di besarkan dalam keluarga. Orang tua bertugas sebagai pengasuh, pembimbing, pemelihara dan sebagai pendidik terhadap anak-anaknya. Setiap orang tua pasti menginginkan anak-anaknya menjadi manusia yang pandai, cerdas dan berakhlak. Akan tetapi jika anak diperlakukan secara otoriter anak tersebut akan cenderung merasa terkekang, merasa dibatasi kebebasannya, bahkan ada yang merasa tidak di sayangi orang tuanya. Sikap orang tua yang otoriter seperti ini yang dapat mempengaruhi sikap, cara berpikir bahkan kecerdasan mereka.
Para sosiolog meyakini bahwa keluarga memiliki peran penting dalam menentukan kemajuan suatu bangsa, sehingga mereka berteori bahwa keluarga adalah unit yang penting sekali dalam masyarakat, sehingga jika keluarga-keluarga yang merupakan fondasi masyarakat lemah, maka masyarakat pun akan lemah. Oleh karena itu, para sosiolog meyakini bahwa berbagai masalah masyarakat seperti kejahatan seksual dan kekerasan yang merajalela, serta segala macam kebobrokan di masyarakat merupakan akibat dari lemahnya institusi keluarga.
Bagi seorang anak, keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Menurut resolusi Majelis Umum PBB (dalam Megawangi, 2003), fungsi utama keluarga adalah "sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh, dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga, sejahtera".
Menurut pakar pendidikan, William Bennett (dalam Megawangi, 2003), keluarga merupakan tempat yang paling awal dan efektif untuk menjalankan fungsi Departemen Kesehatan, Pendidikan, dan Kesejahteraan. Apabila keluarga gagal untuk mengajarkan kejujuran, semangat, keinginan untuk menjadi yang terbaik, dan kemampuan-kemampuan dasar, maka akan sulit sekali bagi institusi-institusi lain untuk memperbaiki kegagalan-kegagalannya.
Hasil penelitian Rohner menunjukkan bahwa pola asuh orang tua yang menerima membuat anak merasa disayang, dilindungi, dianggap berharga, dan diberi dukungan oleh orang tuanya. Pola asuh ini sangat kondusif mendukung pembentukan kepribadian yang pro-sosial, percaya diri, dan mandiri namun sangat peduli dengan lingkungannya. Sementara itu, pola asuh yang menolak dapat membuat anak merasa tidak diterima, tidak disayang, dikecilkan, bahkan dibenci oleh orang tuanya. Anak-anak yang mengalami penolakan dari orang tuanya akan menjadi pribadi yang tidak mandiri, atau kelihatan mandiri tetapi tidak mempedulikan orang lain. Selain itu anak ini akan cepat tersinggung, dan berpandangan negatif terhadap orang lain dan terhadap kehidupannya, bersikap sangat agresif kepada orang lain, atau merasa minder dan tidak merasa dirinya berharga.
B. Pertanyaan Penelitian
1. Apakah pengaruh pola asuh otoriter orangtua pada anak terhadap perilaku anak?
2. Adakah pengaruh pola asuh otoriter orang tua pada anak terhadap prestasi belajar anak?
C. Metode Penelitian
Pada kasus ini, peneliti menggunakan metode kualitatif sebagai pemecahan masalah dari kasus yang ada di Desa Sukamernah mengenai keluarga (orangtua) yang bersikap otoriter terhadap anak-anaknya sehingga membentuk pola atau perilaku tersendiri bagi anak-anaknya karena katidakbebasan mereka dalam berpendapat, bersikap, dan berkeinginan. Melalui pendekatan ini, diharapkan dapat menggambarkan permasalahan penelitian dan untuk menghindari keterbatasan pembentukan pemahaman yang diikat oleh suatu teori tertentu dan yang hanya berdasar pada penafsiran peneliti.
Pada keempat orang (orangtua dari anak-anaknya) tersebut, peneliti mencoba untuk menjadi bagian dari mereka. Maksudnya, masuk dalam kebudayaan-kebudayaan atau berperilaku hampir sama dengan kebiasaannya. Tujuannya adalah, ketika mereka bercerita atau mulai menjawab pertanyaan peneliti, mereka mengatakan dengan sebenarnya tanpa ditutup-tutupi ataupun dengan jawaban yang diada-ada. Dalam pembicaraan yang tidak kaku akan membuat mereka cukup ekspresif dengan apa yang dikatakannya. Emosional yang timbul dengan alami, bagaimana mata dan gerak-gerik mereka maupun nada mereka saat mengatakannya.
Dengan jawaban mereka yang demikian saat ditanya, peneliti coba mencocokkan dengan karakter anak-anak mereka. Pengaruh pola asuh mereka terhadap anaknya. Hingga pada akhirnya peneliti mampu mengambil kesimpulan terhadap kasus pola asuh orangtua terhadap anaknya.
D. Tinjauan Teori
Anak terlahir ke dunia sudah dengan kemampuan, bakat dan minatnya masing-masing. Sejalan dengan kondisi tersebut perlulah orangtua mengenal berbagai teori dalan mendidik anak. Teori mendidik anak salah satunya adalah teori konvergensi (Marjohan, 2010).
Teori konvergensi menyatakan bahwa setiap anak terlahir membawa bakat dan potensinya masing-masing, sedangkan orang tua dan lingkungan turut mempengaruhinya (Marjohan, 2010). Atas dasar teori inilah dalam mendidik anak, orang tua memang harus ikut andil dalam penentuan kehidupan anak. Tentu saja tanpa harus membatasi anak karena anak sudah mempunya kemampuan, keinginan, bakat dan minatnya sendiri.
Perkembangan anak ke depannya sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Lingkungan disini adalah lingkungan tempat anak bersosialisasi yaitu keluarga dan masyarakat sekitar.
BAB II
Gambaran Umum Subjek/Objek Kajian
A. Profil Umum Subjek/Objek
Kasus pola asuh orangtua otoriter ini banyak terjadi di masyarakat dunia, termasuk di Desa Sukamernah. Dapat disimpulkan bahwa di desa ini masih memiliki ketertinggalan atau keterbelakangan pengetahuan mengenai pola asuh yang tepat untuk anak. Pada dasarnya, pola asuh yang tepat adalah dengan tetap mengikat tetapi memberi kebebasan anak untuk berekspresi.
Pendidkan karakter yang ditanamkan orangtua kepada anak sangat berbeda-beda. Hal itu terjadi karena pola asuh yang berbanding terbalik. Pola asuh yang tepat akan membawa kepada hasil yang lebih baik, terbentuknya suatu kepribadian baik.
Masing-masing anak dengan pola asuh berbeda akan meregenerasikan bibit-bibit kepribadian yang hasilnya tidak jauh dari mereka (para orangtua), seperti kasus di Desa Sukamernah ini.
Peneliti mencoba untuk memecahkan studi kasus yang ada di desa ini dengan meneliti delapan orang yang di dalamnya terdapat dua orangtua yang secara tidak langsung menerapkan pola asuh otoriter beserta masing-masing anaknya berjumlah dua orang (sehingga semuanya berjumlah empat orang, orang tua dan anak). Dan yang empat lagi adalah orangtua demokratis dan anak-anaknya.
B. Lokasi Kajian
Lokasi kajian penelitian bertempat di Desa Sukamernah, Kecamatan Gunung Alip, Kabupaten Tanggamus – Lampung.
BAB III
ANALISIS
A. Pengertian dan Macam-macam Pola Asuh
Pola Asuh Orang Tua
Pola asuh orang tua merupakan pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Menurut Edward (2006), pola asuh adalah suatu pengajaran orang tua dalam mengasuh anak-anak mereka, khususnya yang berhubungan dengan kedisiplinan, di mana orang tua berusaha keras mengajarkan kepada anak-anak apa yang mereka perlu ketahui dan apa yang harus mereka kerjakan agar menjadi orang bahagia, percaya diri, dan dapat bertanggung jawab di masyarakat, akan tetapi bukan hanya orang tua yang bertugas menjalankan pendidikan, anak-anak juga mengajarkan kepada orang tua bagaimana harus bersikap di hadapan anak-anak.
Sedangkan menurut Baumrind Maccoby dalam (Syamsu Yusuf, 2010). Beliau membagi pola asuh orangtua ke dalam tiga kategori, diantaranya yaitu:
1. Demokratis
Orang tua yang dikategorikan ke dalam pola asuh demokratis adalah orang tua yang berusaha untuk mengarahkan anak agar dapat bertingkah laku secara rasional, dengan memberikan penjelasan terlebih dahulu pada anak.
Pola asuh ini yang paling konsisten dalam memberikan efek positif pada anak , di mana orang tua memberikan pengontrolan yang ketat dan juga disertai dengan kehangatan dalam berinteraksi.
Bentuk pola pengasuhan authoritative (demokrasi) ini orang tua lebih menjadikan dirinya panutan atau model bagi anak, orang tua hangat dan berupaya membimbing anak, orang tua melibatkan anak dalam membuat keputusan, orang tua berwenang untuk mengambil keputusan akhir dalam keluarga, orang tua menghargai disiplin anak. Komunikasi yang terjadi dalam pola asuh ini lebih bersifat timbal balik. Dan karena orang tua berupaya memberdayakan remaja maka kontrol secara berangsur-angsur berpindah ke tangan anak.
2. Otoriter
Orang tua yang dikategorikan ke dalam pola asuh otoriter yaitu orang tua yang berusaha untuk membentuk, mengendalikan, dan mengevaluasi sikap serta tingkah laku anak berdasarkan standar yang mereka buat, dan pengontrolan terhadap tingkah laku anak melalui pemberian hukuman.
Orang tua yang menerapkan pola asuh Authoritarian akan memberikan pengontrolan yang ketat terhadap perilaku anaknya. Namun kurang memberikan kesempatan atau berdiskusi. Artinya adanya penerapan disiplin yang ketat dan bersifat otoriter. Dengan pola asuh ini anak akan cenderung berkembang menjadi anak yang kaku, sulit menyesuaikan diri dalam situasi sosial, tidak percaya diri dan bahkan mengarah pada perilaku-perilaku agresif.
3. Permisif
Orang tua yang dikategorikan ke dalam pola asuh permisif adalah orang tua yang berusaha untuk menerima, memberikan respon yang positif terhadap tindakan impulsif, keinginan dan tingkah laku anak dengan memberikan pengawasan yang tidak terlalu ketat.
Pola asuh permisif tidak menggunakan aturan-aturan yang ketat bahkan bimbingan jarang diberikan, sehingga tidak mengendalikan, mengontrol atau menuntut pada anak. Kebebasan diberikan secara penuh dan anak diizinkan membuat keputusan untuk dirinya sendiri tanpa pertimbangan orang tua dan boleh berkelakukan menurut apa yang diinginkannya tanpa adanya kontrol dari orang tua. Anak harus belajar sendiri bagaimana harus berperilaku dalam lingkungan sosial, karena kurang diajarkan atau diarahkan pada peraturan-peraturan, baik yang berlaku di lingkungan keluarga atau masyarakat. Anak tidak dihukum walaupun sengaja melanggar peraturan, juga tidak ada hadiah bagi remaja yang berperilaku sosial dengan baik. Jadi, remaja dibiarkan berbuat sesuka hati dengan sedikit kekangan, memanjakan dan memenuhi kebutuhan remaja agar mereka senang.
B. Aspek-aspek Pola Asuh Orangtua dalam Pendidikan Karakter Anak
Aspek-aspek pola asuh orangtua ada empat, yaitu:
· Pengawasan (kontrol), yaitu usaha orangtua untuk mengawasi dan mempengaruhi kegiatan anak.
· Komunikasi orang tua dan anak.
· Disiplin yang diterapkan dengan fungsi sebagai pedoman dalam melakukan penilaian terhadap tingkah laku anak.
· Hukuman dan hadiah.
Aspek-aspek penting dalam pendidikan karakter anak:
Ada tiga kebutuhan dasar anak yang harus dipenuhi, yaitu maternal bonding, rasa aman, stimulasi fisik, dan mental.
1. Maternal bonding (kelekatan psikologis dengan ibunya), merupakan dasar penting dalam pembentukan karakter anak karena aspek ini berperan dalam pembentukan dasar kepercayaan kepada orang lain (trust) pada anak. Kelekatan ini membuat anak merasa diperhatikan dan menumbuhkan rasa aman sehingga menumbuhkan rasa percaya. Dengan kata lain, ikatan emosional yang erat antara ibu-anak di usia awal dapat membentuk kepribadian yang baik pada anak.
2. Kebutuhan akan rasa aman yaitu kebutuhan anak akan lingkungan yang stabil dan aman. Kebutuhan ini penting bagi pembentukan karakter anak karena lingkungan yang berubah-ubah akan membahayakan perkembangan emosi anak. Kekacauan emosi anak yang terjadi karena tidak adanya rasa aman ini diduga oleh para ahli gizi berkaitan dengan masalah kesulitan makan pada anak. Tentu saja hal ini tidak kondusif bagi pertumbuhan anak yang optimal.
3. Kebutuhan akan stimulasi fisik dan mental juga merupakan aspek penting dalam pembentukan karakter anak. Menurut pakar pendidikan anak, seorang ibu yang sangat perhatian (yang diukur dari seringnya ibu melihat mata anaknya, mengelus, menggendong, dan berbicara kepada anaknya) terhadap anaknya yang berusia usia di bawah enam bulan akan mempengaruhi sikap bayinya sehingga menjadi anak yang gembira, antusias mengeksplorasi lingkungannya, dan menjadikannya anak yang kreatif.
Sedangkan aspek-aspek pola pengasuhan berdasarkan jenis-jenis pola asuh masing-masing adalah sebagai berikut:
• Pola asuh Authoritarian (otoriter): kontrol terhadap anak bersifat kaku, tidak ada komunikasi timbal balik, hukuman diberikan tanpa alasan dan jarang memberikan hadiah, disiplin yang diterapkan tidak dapat dirundingkan dan tidak ada penjelasan bagi anak.
• Pola asuh Authoritative (demokrasi): kontrol yang bersifat luwes di mana orangtua memberikan bimbingan yang bersifat mengarahkan agar anak mengerti dengan baik mengapa ada hal yang boleh dilakukan dan ada yang tidak boleh, komunikasi terbuka dengan dua arah, disiplin yang diterapkan dapat dirundingkan dan ada penjelassan bagi anak. Hukuman dan pujian diberikan sesuai dengan perbuatan dan disertai dengan penjelasan.[2]
C. Perbandingan Antara Pola Asuh Orangtua Otoriter dan Demokratis
Berdasarkan pada latar belakang yang telah peneliti kemukakan di atas, dapat diidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Orang tua kurang menyadari bahwa lingkungan keluarga merupakan salah satu faktor penting bagi pembentukan karakter dan sikap anak.
2. Keadaan sosial ekonomi orangtua mempengaruhi waktu yang tersedia untuk memberikan perhatian dan bimbingan kepada anak.
3. Perilaku prososial siswa masih kurang baik.
4. Orangtua kurang paham tentang pola asuh yang tepat untuk anak.[3]
Pengaruh besar bagi seorang anak yang berada dalam didikan keluarga otoriter sangat berdampak pada kepribadian (individunya). Hal tersebut akan berdampak dalam waktu yang panjang jika anak tidak memiliki kesadaran diri terhadap hal itu. Ketidakdemokratisan tersebut akan menekan perasaan anak, sehingga anak menjadi kurang ekspresif. Dia akan kehilangan kemauan pribadinya. Karena pada dasarnya, ketika seorang anak memiliki keinginan dan ternyata orangtuanya tidak setuju karena bukan hal lumrah untuk dilakukan, anak tersebut akan kehilangan minat untuk melakukannya.
Kadangkala sikap ataupun perkataan mereka dapat melumpuhkan minat anak. Mereka menganggap bahwa menurut pandangan mereka, itu bukan hal terbaik untuk dilakukan. Agar lebih jelasnya akan dicontohkan seperti ini: seorang anak berkeinginan menjadi ahli sosiologi, tetapi karena alasan tertentu (bisa jadi karena kurangnya pengetahuan orangtua tersebut tentang apa itu ahli sosiologi, orangtua tersebut tidak menyetujui. Mereka lebih setuju jika anaknya menjadi seorang guru. Menurut mereka, pilihan mereka adalah yang terbaik, padahal mungkin menjadi sebaliknya bagi anak.
Kadangkala orangtua sendiri pun belum mengetahui dengan pasti apa yang menjadi passion anak, minat, dan bakatnya. Seperti halnya contoh tadi, pada realitanya, yang mengerti dan tahu minat seorang anak adalah anak itu sendiri. Banyak anak yang pada akhirnya mengesampingkan keinginannya sendiri karena jika pun mereka bersikukuh dengan keinginan tersebut, diperlakukan usaha besar untuk melaluinya.
Jika tadi sudah dicontohkan dalam hal yang berkaitan dengan profesi---antara ahli sosiologi dan profesi sebagai guru---sekarang, pada realita kecilnya pun terkadang orangtua otoriter tidak memberi kebebasan (dalam artian kebebasan yang masih terkontrol) kepada anak untuk mengemukakan apa yang diinginkannya.
Dalam berpendapat, anak dalam pola asuh orangtua otoriter biasanya lebih condong tidak mengemukakan pendapat secara jelas dan terkadang tidak berani berpendapat. Hal tersebut bisa terjadi karena pengembangan komunikasi yang kurang diasah ataupun karena lebih banyak menekan pendapatnya sendiri. Lebih banyak diam dan lebih sering menyimpannya. Hal tersebut bisa terjadi karena kurangnya kebiasaan anak berkomunikasi dengan orangtua. Jadi, anak kurang ekspresif dalam mengemukakan pendapat. Ini terjadi pada salah satu anak di Desa Sukamernah, Lampung.
Timbulnya tekanan dalam berkeinginan dan berpendapat membuat membuat perilaku anak lebih condong agresif. Karena tekanan tersebut ditimbulkan oleh faktor internal yaitu keluarga, ketika berada di lingkup sosial masyarakat atau sekolah, anak baru dapat mengekspresikan dirinya. Yang fatal adalah jika anak mengekspresikan diri dalam hal negatif yaitu berupa penyimpangan-penyimpangan.
Pada dasarnya, ketika anak terlalu banyak ditekan, anak akan mudah goyah atau mudah terbawa oleh lingkungan bermainnya. Anak belum memiliki jiwa tanggung jawab pada dirinya atau setidaknya mengetahui batasan-batasan benar dan salah. Jadi, faktor internal (keluarga) sangat mempengaruhi pola pikir dan perilaku anak. Hal ini sesuai dengan teori konvergensi yang menyatakan bahwa setiap anak terlahir membawa bakat dan potensinya masing-masing, sedangkan orang tua dan lingkungan turut mempengaruhinya.
1. Pola Asuh Orangtua Otoriter (Sikap yang Dilakukan Orangtua dan Pengaruhnya pada Anak)
Yang dilakukan orang tua:
a. Memberikan tuntutan yang sangat tinggi terhadap kontrol dan disiplin kepada anak, tanpa memperlihatkan ekspresi cinta dan kehangatan yang nyata.
b. Menuntut anak untuk mengikuti standar yang ditentukan tanpa mengizinkan anak untuk mengungkapkan perasaannya.
c. Ingin anak mengikuti kehendaknya tanpa banyak bertanya. 4) Menutup diri dan menolak adanya diskusi.
Pengaruhnya pada anak:
a. Takut memperlihatkan hasil karyanya, karena takut dikritik yang akan diterimanya.
b. Tidak memiliki keberanian untuk mencoba hal-hal baru.
c. Tidak memiliki masalah dengan pergaulan kenakalan remaja.
d. Memiliki pribadi yang kurang percaya diri, ketergantungan dengan orangtua tinggi, dan lebih mudah mengalami stress.
2. Pola Asuh Orangtua Demokratis (Sikap yang Dilakukan Orangtua dan Pengaruhnya pada Anak)
Yang dilakukan orangtua:
a. Memberi kontrol terhadap anak dalam batas-batas tertentu, dengan tetap memberikan dukungan, kehangatan, dan cinta kepada anak.
b. Memonitor dan menjelaskan standar dengan tetap memberikan kebebasan kepada anak untuk berekspresi.
c. Menghargai prestasi yang telah dicapai anak, sekecil apa pun yang telah diperlihatkan oleh anak.
Pengaruhnya pada anak:
a. Merasa bahwa dia dihargai.
b. Dapat berdiskusi dengan leluasa dengan orang tua tanpa takuit dikritik atau disalahkan.
c. Merasa bebas mengungkapkan kesulitan dan kegelisahannya kepada orangtua karena ia tahu bahwa orangtua akan membantu memberikan jalan keluar tanpa mendiktenya.
d. Tumbuh menjadi individu yang mampu mengontrol dirinya sendiri, betanggung jawab dan mampu bekerjasama dengan orang lain.
Pada intinya, pola asuh demokratis mempunyai ciri:
a. Ada kerjasama antara orangtua dan anak.
b. Anak diakui sebagai pribadi.
c. Ada bimbingan dan pengarahan dari orangtua
d. Ada kontrol dari orangtua yang tidak kaku.[4]
Perbedaan lainnya:
Pola Asuh Otoriter: | Pola Asuh Demokratis: |
ü Orangtua kurang dan bahkan tidak menyetujui anaknya untuk mengembangkan diri di bidang hobi atau passion anak. ü Tidak cepat respon. ü Memiliki kekurangcerdasan secara emosional. ü Orangtua kurang memberi kepercayaan kepada anak. ü Kurang percaya diri. ü Anak kurang ekspresif. ü Membuat anak dengan terpaksa menekan keinginan dan perilakunya. ü Membuat perkembangan sosialnya cenderung kaku. ü Hubungan anak dan orangtua terjalin kurang harmonis ü Orangtua tidak memberi anak kebebebasan. Mereka bersikap mengekang. Sehingga anak kurang mampu mengembangkan diri.
| ü Orangtua mengizinkan atau menyetujui anaknya untuk lebih mengembangkan diri di bidang yang berkaitan dengan hobi dan passion anak. ü Anak diperkenankan untuk memilih pilihannya sendiri dan bertanggung jawab dengan apa yang dipilohnya. ü Kepercayaan orangtua terhadap anak tumbuh atas dasar anak itu sendiri dengan melihat perilaku anak. ü Anak lebih ekspresif dalam berkeinginan, berpendapat, dan berperilaku. ü Tumbuh kedekatan antara orangtua dan anak atau anak antar anak yang timbul secara alami. ü Orangtua memberi kebebasan pada anak dengan tetap terikat aturan. ü Pada awalnya orangtua mungkin merasa ragu atau bahkan tidak setuju dengan pilihan anak, tetapi ketika anak tersebut sangat yakin dengan pilihannya dan ia berusaha semampu yang ia bisa, orangtua pada akhirnya ikut menyetujui. |
Pengaruh Pola Asuh Orangtua Otoriter dan Demokrasi dalam Prestasi Belajar (Formal dan Nonformal):
Pola Asuh Otoriter: | Pola Asuh Demokratis: |
ü Karena perasaan tertekan tersebut, anak jadi mudah emosi dan emosional tidak mudah terkontrol sehingga pelampiasannya lebih ke bentuk negatif. ü Anak tetap mudah tanggap dan ada yang kurang tanggap. ü Memiliki kekurangbebasan dalam memilih pola belajarnya sendiri. ü Kedisiplinan belajar sangat ditekankan oleh orangtua anak sehingga jika anak tidak tepat waktu atau tidak belajar, orangtua langsung memberikan punnishment. ü Ketika prestasi belajar anak menurun, orangtua sangat menampakkan kekecewaan pada anak sehingga anak merasa sangat bersalah atas itu. ü Menumbuhkan sifat tanggung jawab atas dasar tekanan dan atas dasar keterpaksaan. Artinya, tidak sepenuhnya atas kesadaran diri sendiri. ü Orangtua tidak menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi karena keterbatasan biaya dan memilih anaknya untuk bekerja saja. Menjadi paktisi di lapangan. ü Orangtua menyekolahkan anaknya di sekolah yang mereka pilih. ü Anak merasa kurang optimis dengan impian mereka. | ü Anak tidak mudah melakukan pelanggaran di tempat belajar. ü Lebih cepat tanggap. ü Cenderung berbaur dengan teman kelas. ü Orangtua tidak kaku dalam mengambil atau memutuskan pola belajar anak. ü Saat prestasi belajar anak menurun, orangtua tidak menunjukkan kekecewaan yang terlalu besar. Ia malah memberikan sikap optimisme dan mengajarkan anak untuk lebih bersyukur dengan apa yang sedang didapat. ü Menumbuhkan sifat tanggung jawab di dalam kebebasannya. Artinya, tidak dalam tekanan. ü Orangtua yang kurang mampu tetap berkeinginan dan berusaha untuk menyekolahkan anaknya ke tingkat yang lebih tinggi. Berharap anaknya memiliki pendidikan formal yang lebih tinggi daripada mereka. ü Orangtua menyekolahkan anaknya di sekolah yang sesuai dengan keinginan anak tetapi dengan memberi amanah pada anak dan mengajarkan bahwa ia harus berusaha bertanggung jawab dengan pilihannya. ü Anaknya memiliki keterlibatan diri yang cukup jauh dengan mimpi-mimpi mereka.
|
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Pada hakikatnya, semua keluarga memiliki kebiasaan ataupun penerapan aturan pada masing-masing anggota keluarga, namun yang menjadi pertimbangan utama dalam mendidik anak adalah cara-cara yang tepat yang harus diberlakukan kepada setiap kepala keluarga (orangtua). Ibarat katanya, metode yang tepat saja belum tentu dapat mencetak hasil berkualitas, apalagi menggunakan metode yang kurang atau bahkan tidak tepat. Untuk itulah diperlukan penanaman-penanaman karakter melalui tahap "meniru" yang dilakukan oleh anak dan orangtua adalah sebagai rule-nya.
Orangtua harus menyadari betul pentingnya pola asuh yang tepat agar pengaruhnya kepada anak menjadi sangat dominan positif. Pengetahuan mengenai pola asuh yang tepat agaknya memang perlu digembor-gemborkan kepada masyarakat yang masih awam. Upaya tersebut dilakukan agar para orangtua mengerti sifat dan karakter anak, minat dan bakat anak, sehingga mereka bisa memperhitungkan langkah apa yang harus diambil untuk menangani karakter anak yang berbeda-beda.
DAFTAR PUSTAKA
Kartini, kartono. Peran Keltarga Memandu Anak. Jakarta: Rajawali Press. 1992
Danny I. Yatim-irwanto. Kepribadian Keluarga Narkotika. Jakarta: arcan. 1991
Darajat, Zakiyah. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang.1996
Munip, Drs. Achmad. 2006. Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang: UPT. UNNES Press.
[1] Kartono Kartini. Peran Keluarga Memandu Anak. Jakarta: Rajawali Press. 1992. Hal. 19
[2] http://sekolahmutiarabunda.wordpress.com/2009/06/12/membentuk-citra-diri-yang-baik-melalui-pola-asuh-dalam-membesarkan-anak/ diambil pada tanggal 28 Desember 2016 pukul 0:43
[3] Ibid.
[4] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar