LAPORAN PENELITIAN
PEMBINAAN TERHADAP NARAPIDANA DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
DIAJUKAN KEPADA DOSEN MATA KULIAH SOSIOLOGI PEDESAAN DAN SOSIOLOGI KLASIK DAN MODERN UNTUK MEMENUHI TUGAS SOSIOLOGI KLASIK MODERN
Dosen Pengampu : Dr. Tantan Hermansyah M,Si.
Oleh
Cecep Novan Hidayat: 1115050000021
Chairul Hamzah : 1115050000016
Septiani Rachmawati : 11150540000009
Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam 3
Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016
KATA PENGANTAR
Assalaamu'alaikum WR. WB
Segala puji bagi Allah SWT yang selalu menlimpahkan nikmat iman, islam dan kesehatan sehingga kita masih bisa menikmati keindahan alam ciptaan-Nya. Shalawat dan salam tak lupa semoga selalu tercurahkan kepada penyampai risalah islam, beliau Rasulullah SAW.
Laporan penelitian ini disusun sebagai bentuk tugas akhir jurusan Pengembangan Masyarakat Islam 3 Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Laporan penelitian kali ini kami beri judul "Pembinaan Terhadap Narapidana Dalam Pemberdayaan Masyarakat".
Penyusun memohon maaf apabila dalam penulisan penelitian ini masih terdapat kesalahan ataupun terdapat kalimat yang kurang berkenan di hati pembaca. Mohon untuk dimaklumi karena kami juga masih dalam tahap pembelajaran. Semoga penelitian ini bisa bermanfaat bagi penyusun dan pembaca. Amin.
Wassalamu'alaikum WR. WB
Ciputat, 29 Desember 2016
DAFTAR ISI
Kata Pengantar........................................................................................................ i
Daftar Isi................................................................................................................. ii
BAB 1: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah............................................................................................. 2
1. Bagaimana Pembinaan Terhadap Narapidana Dalam Pemberdayaan Masyarakat
C. Metode penelitian............................................................................................. 2
D. Tinjauan Teoritis............................................................................................... 3
BAB 2: GAMBARAN UMUM SUBYEK/OBYEK
A. Profil Umum..................................................................................................... 7
B. Lokasi Kajian.................................................................................................... 9
BAB 3: ANALISIS HASIL
A. Hasil Penelitian................................................................................................. 11
BAB 4: PENUTUP
A. Kesimpulan....................................................................................................... 15
Daftar Pustaka......................................................................................................... 17
Lampiran.................................................................................................................. 18
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Narapidana sebagai orang-orang yang tersesat adalah manusia, dan mereka harus diperlakukan sebgagai manusia. Maka sebagai masyarakat yang bersaudara kita dapat menyumbangkan bantuan berupa keperdulian dalam untuk membantu para narapidana keluar dari dunia yang gelap tanpa arahan cahaya. Dengan memberikan pembinaan, yaitu kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku professional, kesehatan, jasmani, dan rohani. Peran serta masyarakat harus dipandang sebagai aspek integral dari upaya pembinaan,untuk meningkatkan kualitas ketakwaan kepada Tuhan yang Maha Esa, sikap dan prilaku, dijalin kemitraan dan kerjasama dengan Dapartemen Agama dan organisasi-organisasi keagamaan. Maka masyarakat harus ndi pandang sebagai aspek internal dari upaya pembinaan, sehingga dukungan masyarakat sangat diperlukan dalam mencapai tujuan yang diinginkan dalam membantu para napi yang diaplikasikan melalui pembinaan.
Pembinaan adalah pemberian tuntutan untuk meningkatkan kualitas ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap, dan perilaku professional, kesehatan jasmani dan rohani klien permasyarakatan. Kegiatan masa pengamatan, penelitian, dan pengenalan lingkungan untuk menentukan perancanaan pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian. Waktunya dimulai pada saat yang bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampai dengan 1/3 dari masa pidananya. Dalam langkah ini dilakukan beberapa tahapan yaitu:Pembinaan pada tahap awal yang ditujukan untuk narapidana yang disebut pembimbingan klien permasyarakatan. Pembinaan tahap lanjutan merupakan pembinaan yang dilaksanakan di dalam pengawasan memasuki tahap medium security. Pembinaan tahap akhir, dalam tahapan ini napi sudah memasuki tahap pengawasan kepada tahapan minimum security.
Diharapkan dengan bekal mental dan keterampilan yang mereka miliki, mereka dapat berhasil mengintegrasikan dirinya dalam masyarakat. Begitu pula yang dilakukan Bapak Asep Usman Ismail dalam melakukan pembinaan terhadap narapidana di berbagai lapas.
B. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana Pembinaan Terhadap Narapidana Dalam Pemberdayaan Masyarakat
C. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah pendekatan kualitatif yang dilakukan dengan pengumpulan data melalui wawancara dan dokumentasi, waktu dan lokasi. Penelitian ini ditujukan kepada seorang tokoh masyarakat yang membawa perubahan pada kualitas masyarakat yang lebih baik, sasaran ini sebagai narasumber penelitian.
Pada penggunaan metode penelitian ini, digunakan melalui pendekatan kualitatif, metode kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai intrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada genralisasi.[1]
Pada penelitian kualitatif, peneliti memasuki situasi social tertentu, melakukan observasi dan wawancara kepada orang-orang yang dipandang tahu tentang situasi social tersebut., penentuan sumber data pada orang yang diwawancarai dilakukan secara purposive, yaitu dipilih dengan pertimbangan dan tujuan tertentu.
Penulis menggunakan rancangan nonprobability sampling adalah teknik pengambilann sampel yang tidak memberi peluang/kesempatan sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel.[2]
D. Tinjauan Teoritis
Tindakan sosial menurut Max Weber adalah suatu tindakan individu sepanjang tindakan itu mempunyai makna atau arti subjektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain (Weber dalam Ritzer 1975).
Mengenai teori perilaku sosial Max Weber atau sering kita dengar dengan Tindakan sosial, sebelumnya kita melihat apa yang disebut dengan sosiologi menurut Max Weber. Tindakan sosial menurut Max Weber adalah suatu tindakan individu sepanjang tindakan itu mempunyai makna atau arti subjektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain (Weber dalam Ritzer 1975).
Max Weber mendefinisikan sosiologi sebagai ilmu tentang institusi-institusi sosial, sosiologi Weber adalah ilmu tentang perilaku sosial. Menurutnya terjadi suatu pergeseran tekanan ke arah keyakinan, motivasi, dan tujuan pada diri anggota masyarakat, yang semuanya memberi isi dan bentuk kepada kelakuannya. Weber melihat sosiologi sebagai sebuah studi tentang tindakan sosial antar hubungan sosial. Tindakan manusia dianggap sebagai sebuah bentuk tindakan sosial manakala tindakan itu ditujukan pada orang lain.
Tindakan sosial menurut Max Weber adalah suatu tindakan individu sepanjang tindakan itu mempunyai makna atau arti subjektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain (Weber dalam Ritzer 1975). Suatu tindakan individu yang diarahkan kepada benda mati tidak masuk dalam kategori tindakan sosial. Suatu tindakan akan dikatakan sebagai tindakan social ketika tindakan tersebut benar-benar diarahkan kepada orang lain (individu lainnya). Meski tak jarang tindakan sosial dapat berupa tindakan yang bersifat membatin atau bersifat subjektif yang mungkin terjadi karena pengaruh positif dari situasi tertentu. Bahkan terkadang tindakan dapat berulang kembali dengan sengaja sebagai akibat dari pengaruh situasi yang serupa atau berupa persetujuan secara pasif dalam situasi tertentu (Weber dalam Turner 2000).
Sosiologi sendiri haruslah berusaha menjelaskan dan menerangkan kelakuan manusia dengan menyelami dan memahami seluruh arti sistem subyektif. Weber membuat klasifikasi mengenai perilaku sosial atau tindakan sosial menjadi 4 yaitu :
1. Kelakuan yang diarahkan secara rasional kepada tercapainya suatu tujuan. Dengan kata lain dapat dikatakan sebagai kesesuaian antara cara dan tujuan. Contohnya Bekerja Keras untuk mendapatkan nafkah yang cukup.
2. Kelakuan yang berorientasi kepada nilai. Berkaitan dengan nilai – nilai dasar dalam masyarakat, nilai disini seperti keindahan, kemerdekaan, persaudaraan, dll. misalnya ketika kita melihat warga suatu negara yang berasal dari berbagai kalangan berbaur bersama tanpa membeda-bedakan.
3. Kelakuan yang menerima orientasi dari perasaan atau emosi atau Afektif . contohnya seperti orang yang melampiaskan nafsu mereka.
4. Kelakuan Tradisional bisa dikatakan sebagai Tindakan yang tidak memperhitungkan pertimbangan Rasional. Contohnya Berbagai macam upacara atau tradisi yang dimaksudkan untuk melestarikan kebudayaan leluhur.[3]
Ada 5 ciri pokok Tindakan sosial menurut Max Weber sebagai berikut:
1) Jika tindakan manusia itu menurut aktornya mengandung makna subjektif dan hal ini bisa meliputi berbagai tindakan nyata
2) Tindakan nyata itu bisa bersifat membatin sepenuhnya
3) Tindakan itu bisa berasal dari akibat pengaruh positif atas suatu situasi, tindakan yang sengaja diulang, atau tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam dari pihak mana pun
4) Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu
5) Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang lain itu.
Teori-teori tentang Pembinaan Narapidana Tujuan diadakan pemidanaan diperlukan untuk mengetahui sifat dasar dari hukum pidana. Menurut Franz von List yang dikutip oleh Bambang Purnomo, yang mengajukan problematik sifat pidana yang menyatakan bahwa, ìrechtsguterschutz durch rechtsguterverletung yang artinya melindungi kepentingan tetapi dengan menyerang kepentingan.[4] Dan menurut Hugo de Groot yang juga dikutip oleh Bambang Purnomo yang menyatakan bahwa, dalam hubungan tersebut ìmalum passionis (quod infligitur) propter malum actionis yang artinya penderitaan jahat menimpa dikarenakan oleh perbuatan jahat. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas tentang kedua pendapat tersebut, maka dapat dilihat adanya suatu pertentangan mengenai tujuan dari pemidanaan. Ada yang berpendapat bahwa pidana sebagai suatu sarana pembalasan atau berdasarkan teori absolute. Dan ada yang berpendapat bahwa pidana mempunyai tujuan positif atau berdasarkan teori tujuan, serta ada juga pendapat yang menggabungkan kedua teori tujuan pemidanaan tersebut. Berbagai pemikiran muncul mengenai manfaat pidana, sehingga muncul beberapa teori dan konsep pemidanaan yang antara lain:[5]
1. Teori Retributif (Retribution Theory) atau Teori Pembalasan Pidana penjara yang dikenal di Indonesia sekarang ini terdapat dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang merupakan wujud dari berbagai teori-teori yang menyakini akan manfaat dari suatu hukuman. Hukuman sebagai suatu derita yang sengaja diberikan kepada pelaku tindak pidana ternyata mempunyai manfaat yang berbeda-beda.[6]
2. Teori Pencegahan Menjatuhkan hukuman sebagai upaya membuat jera guna mencegah terulangnya kembali tindak kejahatan merupakan ide dasar dari deterrence (pencegahan kejahatan), maksudnya tujuan hukuman tersebut sebagai sarana pencegahan.
3. Teori Rehabilitasi Dijatuhkannya hukuman kepada pelaku kejahatan, tidak saja dilihat sebagai suatu balasan atas perbuatan yang merugikan atau penjeraan semata, tetapi ada suatu kegunaan tertentu yaitu dalam pelaksanaannya bukan pidana badan, tetapi pidana hilang kemerdekaan, dengan demikian dapat dikatakan bahwa penempatan seseorang disuatu tempat tertentu dengan maksud membatasi kemerdekaan seseorang, maka tujuannya adalah memperbaiki pelaku kejahatan agar dapat berprilaku sewajarnya dan pantas dengan menanamkan norma-norma yang berlaku di masyarakat, atau dapat juga dikatakan. Dijatuhinya hukuman untuk seseorang pelaku tindak kejahatan bertujuan untuk merehabilitasi perilakunya.
4. Teori Abolisionis Adanya gerakan abolisionis, yaitu ketidakpuasan terhadap hasil yang dicapai dari adanya sanksi berupa pidana penjara, ternyata mendorong suatu gerakan yang membentuk masyarakat yang bebas, dengan cara menghapuskan pidana penjara sebagai refleksi pemikiran punitive.[7] Sedangkan menurut Gregorius Aryadi, kelompok aboloisionis tersebut ingin menghapus hukum pidana, karena tidak layak lagi dipertahankan dalam masyarakat beradab, di samping karena dipandang kurang efektif untuk pencegahan kejahatan dalam masyarakat[8]
5. Teori Integratif (Teori Gabungan) Muladi mengkatagorikan tujuan pemidanaan ke dalam 4 (empat) tujuan, antara lain :
a) Pencegahan (umum dan khusus). b) Perlindungan masyarakat. c) Memelihara solidaritas masyarakat. d) Pidana bersifat pengimbalan/pengimbangan.
BAB II
Gambaran Umum Subjek/Objek
A. Profil Umum Subyek/Obyek
Berbicara tentang penjara, di Indonesia secara kronologis sudah sejak zaman Belanda dapat dirujuk pada Reglement Penjara Tahun 1917. Dalam Pasal 28 ayat (1) Reglement tersebut dinyatakan bahwa, ìpenjara adalah tempat pembalasan yang setimpal atau sama atas suatu perbuatan atau tindak pidana yang telah dilakukan oleh si pelaku tindak pidana dan juga sebagai tempat pembinaan terhadap narapidana atau pelaku tindak pidanaî.
Berdasarkan Pasal 28 ayat (1) Reglement Penjara Tahun 1917 tersebut yang sebagaimana telah disebut di atas, maka ada 2 (dua) hal yang dapat dilihat dari isi pasal tersebut dan penjelasannya, yaitu bahwa pegawai-pegawai penjara ìdiwajibkan memperlakukan Narapidana atau pelaku tindak pidana secara prikemanusiaan dan keadilanî dengan tujuan untuk mempengaruhi narapidana ke jalan perbaikan. Selanjutnya dinyatakan lagi ìakan tetapi dengan kesungguhan beserta kekencangan yang patut dengan tujuan tidak boleh ada persahabatan antara pegawai penjara untuk senantiasa mempertahankannya, yang berarti mempertahankan sifat dari pidana itu sendiri.[9]
Terjadinya perkembangan atau pergeseran nilai dari tujuan atau inti pidana penjara tersebut atau disebut dengan eksistensi sebelum menjadi Lembaga Pemasyarakatan, yang dimulai dari tujuan balas dendam (retalisation) kepada pelaku tindak pidana kemudian berubah menjadi pembalasan yang setimpal (retribution) bagi si pelaku tindak pidana yang selanjutnya diikuti dengan tujuan untuk menjerakan (deterence) si pelaku tindak pidana dan kemudian diikuti juga pada awal abad ke-19 sampai dengan permulaan abad ke-20, tujuan tersebut tidak lagi bersangkutan dengan memidana (punitive) melainkan bertujuan untuk memperbaiki terpidana (rehabilitation) dengan jalur resosialisasi.[10]
Berbagai macam pengertian tujuan dari pidana penjara tersebut terdapat banyak perbedaan. Namun demikian di Indonesia menurut Sudarto, melalui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) ke dalam Reglement Penjara Tahun 1917 memang masih ada yang beranggapan bahwa ìtujuanî dari pidana penjara tersebut adalah ìpembalasan yang setimpal dengan mempertahankan sifat dari pidana penjaranyaî yang harus diutamakan. Tetapi pada akhir tahun 1963 yang dinyatakan bahwa pidana penjara adalah ìpemasyarakatanî dan hal tersebut lebih mengarah atau mengutamakan pembinaan (re-educatie and re-socialisatie).[11]
Sebenarnya secara umum pemasyarakatan tersebut bisa diartikan memasyarakatkan kembali seseorang pelaku tindak pidana yang selama ini sudah salah jalan yang merugikan orang lain atau masyarakat dan mengembalikannya kembali ke jalan yang benar dengan cara membina orang yang bersangkutan tersebut sehingga menguntungkan atau berguna bagi orang lain atau masyarakat pada umumnya yang telah dirugikannya pada waktu dulu. Adanya model atau cara pembinaan bagi Narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan tersebut tidak terlepas dari suatu dinamika, yang bertujuan untuk lebih banyak memberi bekal bagi Narapidana dalam menyongsong kehidupan setelah selesai menjalani masa hukumannya (bebas). Hal ini seperti yang juga terjadi sebelumnya terhadap istilah penjara yang telah berubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan berdasarkan Surat Instruksi Kepala Direktorat Pemasyarakatan Nomor J.H.G.8/506 Tanggal 17 Juni 1964.
Walaupun dalam operasional di lapangan, banyak kalangan yang tidak mengetahui bahwa instansi pemasyarakatan adalah termasuk jajaran penegak hukum, akan tetapi ada juga kalangan yang mengetahui hal tersebut seperti kalangan akademisi. Dalam hal, jika dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Amerika Serikat, instansi Pemasyarakatan (correction) dilibatkan dan disejajarkan dengan instansi Kepolisian, Kejaksaan serta Pengadilan dalam sistem penegakan hukum terpadu yakni yang disebut dengan istilah integrated criminal justice system.6 Sistem Pemasyarakatan merupakan satu rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana, oleh karena itu pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari pengembangan konsepsi umum dari pemidanaan.
Upaya pemberdayaan narapidana terorisme untuk mencapai kesejahteraan dan memberikan arahan paham darim radikal menjadi moderat. Upaya yang dilakukan yaitu dengan memberikan pengajaran,pemahaman yang baik melalui pendeketan-pendekatan yang dilakukan para Pembina seperti Pak Asep Usman Ismail yang menjadi tokoh utama dalam pembahasan penelitian kami.
Prof. Dr Asep Usman Ismail, M.Ag sebagai guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,lahir di Sukabumi, 20 Juli 1960. Beliau meraih gelar sarjana dari Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Adab IAIN Jakarta,1987, dan mengikuti program Pascasarjana IAIN Jakarta, 1993, lulus 1995, dan meraih gelar doctor pada perguruan tinggi yang sama 2001.
Beliau sebagai dosen mata kuliah tasawuf dan tafsir untuk masalah-masalah social, salah satunya masalah dalam narapidana. Beliau sebagai Pembina narapidana di lapas Nusakambangan menangani narapidana terorisme yang biasa disebut sebagai warga binaan napiter. Dalam pembinaan yang dilakukan Pak Asep ialah dalam bidang agama, langkah yang dilakukan Pak Asep ialah langkah rehabilitasi dan re-edukasi agar para narapidana bisa mengubah cara pandang mereka dari radikal ke moderat dengan bertahap.
B. Lokasi Kajian
Wawancara pertama kami lakukan kepada Pak Asep Usman Ismail di Ruang Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada hari Kamis, 15 Desember 2016, pukul 13.00. Kami melakukan wawancara di Kampus dikarenakan Pak Asep yang baru saja mengajar dikelas jadi kami mewawancarai setelah Pak Asep selesai mengajar.
Wawancara kedua kami lakukan kepada Istri Pak Asep, Ibu Yeni di rumah di Jalan Komplek Pamulang I blok AX 13 no 13 Pamulang Tangerang Banten 15417, Indonesia. pada hari Rabu, 28 Desember 2016, pukul 13.00
Wawancara ketiga kami lakukan kepada jamaah masjid yang memang mengenal betul Pak Asep dan yang tidak terlalu mengenal Pak Asep di Masjid An-Nur dekat dengan rumah Pak Asep, pada hari Selasa 27 Desember 2016, pukul 19.00. Kami melalukan wawancara di Masjid dengan Bapak Sopyan, Bapak Yusroni, dan Bapak Adam.
Bapak Sopyan merupakan pengurus masjid An-Nur sudah tinggal cukup lama di perumahan tesebut, beliau mengenal Pak Asep cukup baik namun tidak tahu begitu jauh tentang Pak Asep.
Bapak Yusroni dan Bapak Adam, kami melakukan wawancara dengannya berdua sekaligus. Bapak Yusroni dan Bapak Asep sudah cukup lama mengenal Pak Asep dan lebih banyak tahu tentang Pak Asep. Namun, Pak Yusroni lebih lama telah mengenal Pak Asep. Mereka memandang Pak Asep sosok yang sangat baik, dan dapat dijadikan panutan dilingkungan tersebut.
BAB III
ANALISIS HASIL
A. Hasil Penelitian
Berbicara tentang penjara, di Indonesia secara kronologis sudah sejak zaman Belanda dapat dirujuk pada Reglement Penjara Tahun 1917. Dalam Pasal 28 ayat (1) Reglement tersebut dinyatakan bahwa, ìpenjara adalah tempat pembalasan yang setimpal atau sama atas suatu perbuatan atau tindak pidana yang telah dilakukan oleh si pelaku tindak pidana dan juga sebagai tempat pembinaan terhadap narapidana atau pelaku tindak pidanaî.
Menurut Franz von List yang dikutip oleh Bambang Purnomo, yang mengajukan problematik sifat pidana yang menyatakan bahwa, ìrechtsguterschutz durch rechtsguterverletung yang artinya melindungi kepentingan tetapi dengan menyerang kepentingan.[12] Dan menurut Hugo de Groot yang juga dikutip oleh Bambang Purnomo yang menyatakan bahwa, dalam hubungan tersebut ìmalum passionis (quod infligitur) propter malum actionis yang artinya penderitaan jahat menimpa dikarenakan oleh perbuatan jahat. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas tentang kedua pendapat tersebut, maka dapat dilihat adanya suatu pertentangan mengenai tujuan dari pemidanaan. Ada yang berpendapat bahwa pidana sebagai suatu sarana pembalasan atau berdasarkan teori absolute. Dan ada yang berpendapat bahwa pidana mempunyai tujuan positif atau berdasarkan teori tujuan, serta ada juga pendapat yang menggabungkan kedua teori tujuan pemidanaan tersebut.
Narapidana sebagai orang-orang yang tersesat adalah manusia, dan mereka harus diperlakukan sebgagai manusia. Maka sebagai masyarakat yang bersaudara kita dapat menyumbangkan bantuan berupa keperdulian dalam untuk membantu para narapidana keluar dari dunia yang gelap tanpa arahan cahaya. Dengan memberikan pembinaan, yaitu kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pembinaan adalah pemberian tuntutan untuk meningkatkan kualitas ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap, dan perilaku professional, kesehatan jasmani dan rohani klien permasyarakatan. Kegiatan masa pengamatan, penelitian, dan pengenalan lingkungan untuk menentukan perancanaan pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian.
Seperti apa yang diterapkan oleh Pak Asep Usman Ismail, di Lapas Nusakambangan. Dimana beliau melakukan pembinaan kepada para napiter dengan cara melakukan pendekatan-pendekatan kepada para napiter dengan langkah rehabilitasi dan re-edukasi yang mana dua langkah tersebut bagian dari program BNPT (Badan Nasional Pennanggulangan Terorisme) dalam melakukan pembinaan terhadap napiter. Tetapi, dalam melakukan pembinaan tersebut tidak semua napiter merespon dengan baik, bahkan banyak diantara mereka yang menolak untuk ditemui Pak Asep dan diberikan pembinaan.
Hal ini terjadi karena para napiter memiliki pemahaman yang kuat dengan keyakinannya dan keteguhannya dalam membuat perubahan atau pembaharuan secara social atau politik secara derastis dengan menggunakan cara kekerasan (paham radikalisme).
Para napiter yang bersedia ditemui dan dibina oleh Pak Asepadalah para teroris dalam kategori follower's dan mereka yang ingin menegakkan keadilan dalam lingkungannya. Karena mereka tidak memiliki pemahaman yang kuat tentang bagaimana cara mengaplikasikan rasa kepeduliannya terhadap agama dan negara sehingga mereka mudah untuk diajak berdialog dengan Pak Asep.
Dalam melakukan pembinaan pak Asep mengalami beberapa kesulitan yaitu, tidak mudah nya para napiter untuk diajak berdialog dengan beliau. Tetapi dalam menyikapi hal tersebut pak Asep tidak patah semangat dalam membina para napiter. Beliau sangat sabar dan ikhlas dalam menjalankannya, walaupun banyak pertimbangan yang mungkin kami tidak ketahui.
Banyak pro dan kontra yang dilakukan oleh pak Asep, salah satunya anak-anak pak Asep. Karena tugas yang sangat berat ini dan banyak menimbulkan pertentangan untuk pak Asep sendiri. Anak-anaknya sangat khawatir akan masalah yang dihadapi nanti oleh pak Asep ketika para napiter itu sudah keluar. Yang di takuti anaknya adalah pak Asep menjadi incaran para napiter ketika mereka sudah habis waktu di lapas tersebut.
Perannya di dalam keluarga Prof. Asep ini sangat menginspirasi semua keluarga lainnya, diaman dia begitu cinta dan sanyangnya kepada istri dan anak-anaknya. Denagn kesibukannya diliau tak mengurangi rasa baktinya terhadap keluarganya, menurut istrinya bapak itu orangnya sangat dan sangat bertanggung jawab, dia begitu cinta dengan saya sebagai istrinya, enam orang anaknya, menantunya dan cucu-cucunya.
Bahkan kalau dia tidak ada kegiatan di luar rumah atau sedang tidak ada jadual ceramah dan ngajar beliau menghabiskan waktunya dirumah, beliau sampai mengerjakan semua pekerjaan yang seharusnya di kerjakaan seorang istri, beliau sering anter jemput anaknya sekolah, sering bersih-bersih rumah dan selebihnya klau dirumah beliau menghabiskan dengan membaca dan menulis karya-karyanya.
Istri tercinta beliaupun mengaku belum pernah sedikitpun beliau marah, semua apa yang ia ucap penuh dengan kata-kata bijak sebagai seorang suami yang bertanggung jawab, dan yang paling disukai istrinya ialah beliau sangat beragamis semua perbuatannya mencerminkan ucapannya,.
Peran Pak Asep dalam masyarakat,setelah kami melakukan wawancara dengan keluarga dan kerabat dekat pak Asep, kami bisa lebih tahu lagi tentang beliau. Beliau seorang yang sangat berpengaruh di masyarakat, telah banyak program yang beliau lakukan untuk masyarakat di sekitar rumahnya, seperti : pengajian, rutinitas tahlil keliling rumah setiap bulannya, pembacaan kitab, qultum sehabis sholat subuh, dan masih banyak lagi kegiatan beliau lakukan di sekeliling rumah. Beliau juga dikenal sangat baik dimata keluarga maupun kerabat terdekatnya. Beliau seseorang yang sangat berkomitmen dalam satu hal, jika beliau sudah bilang A ya harus A. beliau juga sosok yang sangat sederhana ketika berada dirumah.
Beliau juga tidak lupa akan masalah kecil pun seperti biaya SPP anak-anaknya, sampai antar jmput anak-ananknya. Istri beliau pun sampai harus dirumah saja dan menjadi ibu rumah tangga, karena yang mencari rezeki itu pak Asep sendiri.
Selain itu beliau dalam bergaul juga tidak memandang pangkat atau jabatan jiwa sosial beliau sangat tinggi, dalam pengabdiannya kepada masyarakat sangat totalitas. Beliau sangatlah terkenal dalam penyampaian ceramahnya karena lembut dan sangat detail jika menjelaskan suatu masalah yang ada disekitar.
Beliau sebagai tokoh yang sangat inspiratif bagi masyarakat dikalangan masyarakat. Beliau dipandang sangat baik oleh masyarakat dan masyarakat juga sangat senang adanya beliau di lingkungan mereka. Dengan kata lain, pak Asep ini sangatlah berperan aktif sebagai tokoh di kalangan masyarakat pamulang permai khusus nya di sekitar rumahnya.
Masyaraka mengerti akan kesibukannya beliau diluar dan masyarakat pun mengetahui sosok beliau sebagai pembina narapidana di lapas nusa kambangan. Beliau sering berkunjung ke lapas untuk melakukan pembinaan dengan para napi.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Narapidana sebagai orang-orang yang tersesat adalah manusia, dan mereka harus diperlakukan sebgagai manusia. Maka sebagai masyarakat yang bersaudara kita dapat menyumbangkan bantuan berupa keperdulian dalam untuk membantu para narapidana keluar dari dunia yang gelap tanpa arahan cahaya. Dengan memberikan pembinaan, yaitu kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku professional, kesehatan, jasmani, dan rohani. Peran serta masyarakat harus dipandang sebagai aspek integral dari upaya pembinaan,untuk meningkatkan kualitas ketakwaan kepada Tuhan yang Maha Esa, sikap dan prilaku, dijalin kemitraan dan kerjasama dengan Dapartemen Agama dan organisasi-organisasi keagamaan. Maka masyarakat harus ndi pandang sebagai aspek internal dari upaya pembinaan, sehingga dukungan masyarakat sangat diperlukan dalam mencapai tujuan yang diinginkan dalam membantu para napi yang diaplikasikan melalui pembinaan.
Pembinaan adalah pemberian tuntutan untuk meningkatkan kualitas ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap, dan perilaku professional, kesehatan jasmani dan rohani klien permasyarakatan. Kegiatan masa pengamatan, penelitian, dan pengenalan lingkungan untuk menentukan perancanaan pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian. Waktunya dimulai pada saat yang bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampai dengan 1/3 dari masa pidananya. Dalam langkah ini dilakukan beberapa tahapan yaitu: Pembinaan pada tahap awal yang ditujukan untuk narapidana yang disebut pembimbingan klien permasyarakatan. Pembinaan tahap lanjutan merupakan pembinaan yang dilaksanakan di dalam pengawasan memasuki tahap medium security. Pembinaan tahap akhir, dalam tahapan ini napi sudah memasuki tahap pengawasan kepada tahapan minimum security.
Seperti apa yang diterapkan oleh Pak Asep Usman Ismail, di Lapas Nusakambangan. Dimana beliau melakukan pembinaan kepada para napiter dengan cara melakukan pendekatan-pendekatan kepada para napiter dengan langkah rehabilitasi dan re-edukasi yang mana dua langkah tersebut bagian dari program BNPT (Badan Nasional Pennanggulangan Terorisme) dalam melakukan pembinaan terhadap napiter. Tetapi, dalam melakukan pembinaan tersebut tidak semua napiter merespon dengan baik, bahkan banyak diantara mereka yang menolak untuk ditemui Pak Asep dan diberikan pembinaan.
Daftar Pustaka
KJ Veeger. Realitas Sosial: refleksi filsafat sosial atas hubungan individu-masyarakat dalam cakrawala sejarah sosiologi. 1990. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
Sugiyono,Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D, 2013, Bandung: Alfabeta
Purnomo, Bambang Hukum Pidana, 1982, Yogyakarta: Liberty
Petrus Irwan Panjaitan dan Samuel Kikilaitety, Pidana Penjara Mau Kemana, 2007, Jakarta: CV. Indhill Co
J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati terhadap Pembunuhan Berencana, 1982, Jakarta: Rajawali
Bachtiar Agus Salim, Tujuan Pidana Penjara Sejak Reglemen 1917 Hingga Lahirnya Sistem Pemasyarakatan di Indonesia Dewasa ini, 2003, Medan: Pustaka Bangsa
Sudarto, Suatu Dilema dalam Pembaruan Sistem Pidana Indonesia, 1974, Semarang: Pusat Studi Hukum dan Masyarakat
LAMPIRAN
v Berikut Foto Bersama Pak Asep dan Ibu Yeni (Istri Pak Asep)
[1] Sugiyono,Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2013) hal. 9
[2] Ibid. hal. 216-218
[3] KJ Veeger, Realitas Sosial: refleksi filsafat sosial atas hubungan individu-masyarakat dalam cakrawala sejarah sosiologi, (PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 1990)
[4] Bambang Purnomo, Hukum Pidana (Yogyakarta: Liberty, 1982), hal. 27
[5] Petrus Irwan Panjaitan dan Samuel Kikilaitety, Pidana Penjara Mau Kemana (Jakarta: CV. Indhill Co, 2007), hal. 6-27
[6]J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati terhadap Pembunuhan Berencana (Jakarta: Rajawali, 1982) hal. 201
[7] Muladi, Gerakan Abolisionis Ancaman Non-Represif terhadap Kejahatan, Makalah Ceramah Ilmiah, (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Tujuh Belas Agustus 1945, 1988), hal. 4
[8] Gregorius Aryadi, Putusan Hakim dalam Perkara Pidana (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 1995), hal. 17. 28 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat (Bandung: Alumni, 1985), hal. 81-86
[9] Bachtiar Agus Salim, Tujuan Pidana Penjara Sejak Reglemen 1917 Hingga Lahirnya Sistem Pemasyarakatan di Indonesia Dewasa ini (Medan, Pustaka Bangsa, Pemikiran Hukum Guru Besar Dari Masa ke Masa, editor Tan Kamello, 2003). hal. 129.
[10] Ibid. hal. 13-131.
[11]Sudarto, Suatu Dilema dalam Pembaruan Sistem Pidana Indonesia (Semarang: Pusat Studi Hukum dan Masyarakat, 1974), hal. 32.
[12] Bambang Purnomo, Hukum Pidana (Yogyakarta: Liberty, 1982), hal. 27
Tidak ada komentar:
Posting Komentar