Pengaruh berbagai tingkat pendidikan serta dampaknya bagi kaum buruh dan pengangguran di desa Gempol Sari.
Penelitian ini dibuat untuk memenuhi
tugas akhir mata kuliah Sosiologi Pedesaan
Dosen Pengampu : Dr. Tantan Hermansyah M,Si.
Disusun oleh:
FASKAN ADITAMA
11150540000024
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
PENGEMBANGANGAN MASYARAKAT ISLAM
Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah
Jakarta
JL. Ir. Haji Juanda No. 95, Ciputat, Tangerang Selatan 15412
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim…
Segala puji bagi Allah SWT, tuhan semesta alam yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian ini yang berjudul "Pengaruh berbagai tingkat pendidikan serta dampaknya bagi kaum buruh dan pengangguran di desa Gempol Sari".
Harapan saya semoga penelitian ini dapat membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembacanya. Saya menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan, maka saya memerlukan kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun untuk melengkapi kekurangan dari penelitian ini, agar saya dapat memperbaiki isi maupun bentuk dalam penelitian ini sehingga kedepannya dapat lebih baik lagi.
Akhir kata, saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan penelitian ini. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi segala usaha yang telah kita lakukan. Aamiin ya rabbal 'alamin.
Ciputat, 29 Desember 2016
DAFTAR ISI
Cover………………………………………………………………..….
Kata Pengantar……………………………………………………..…ii
Daftar isi…………………………………………………….……..…iii
Bab I : Pendahuluan……………………………………………….….1
A. Latar Belakang
B. Pertanyaan Penelitian
C. Metode Penelitian
D. Tinjauan Teoritis
Bab II : Gambaran Umum Obyek Kajian………………..……………6
A. Profil Umum Obyek
B. Lokasi Kajian
Bab III : Analisis Hasil………………………………………………..8
Bab IV : Penutup…………………………………………………….12
Ø Kesimpulan
Daftar Pustaka………………………………………………………..iv
Lampiran……………………………………………………………...v
Bab I : Pendahuluan
A. Latar Belakang
Kehidupan manusia tidak lepas dari pekerjaan. Bahkan seringkali pekerjaan dianggap sebagai hal yang paling sentral dalam kehidupan manusia. Pada titik ini pekerjaan dianggap atau dipandang sebagai hal yang paling sentral dalam kehidupan manusia yang berhubungan bukan saja dengan kelangsungan hidup manusia namun juga masa depan manusia dan sebagai jawaban perkara hidup-matinya manusia. Bekerja sangat penting bagi manusia. Dengan pekerjaan manusia akan lebih manusiawi. Karena bagi manusia yang mau hidup harus makan, yang dimakan adalah hasil kerja, jika tidak bekerja maka tidak makan, jika tidak makan pasti mati.
Besarnya jumlah pengangguran di Indonesia, lambat laun akan menimbulkan banyak masalah sosial yang nantinya akan menjadi krisis sosial, karena banyak orang yang frustasi dalam menghadapi nasibnya. Pengangguran yang terjadi tidak saja menimpa para pencari kerja yang baru saja lulus sekolah, melainkan juga menimpa orang tua yang kehilangan pekerjaan karena kantor dan pabriknya tutup.
Indikator masalah sosial bisa dilihat dari begitu banyaknya anak-anak yang mulai turun ke jalan. Mereka menjadi pengamen, pedagang asongan maupun pelaku tindak kriminalitas. Mereka adalah generasi yang kehilangan kesempatan dalam memperoleh pendidikan maupun pembinaan yang baik. Salah satu faktor yang mengakibatkan tingginya angka pengangguran di Indonesia adalah terlampau banyak tenaga kerja yang diarahkan ke sektor formal sehingga ketika mereka kehilangan pekerjaan di sektor formal, mereka kelabakan dan tidak bisa berusaha untuk menciptakan pekerjaan sendiri di sektor informal.
Jika masalah pengangguran yang demikian pelik dibiarkan berlarut-larut maka sangat besar kemungkinannya untuk mendorong suatu krisis sosial. Suatu krisis sosial ditandai dengan meningkatnya angka kriminalitas, tingginya angka
kenakalan remaja, melonjaknya jumlah anak jalanan serta preman, dan besarnya kemungkinan untuk terjadi kekerasan sosial yang senantiasa menghantui masyarakat kita.
Bagi kebanyakan orang, mendapatkan pekerjaan adalah seperti mendapatkan harga diri dan begitu juga sebaliknya, kehilangan pekerjaan adalah seperti kehilangan harga diri. Walaupun bukan pilihan semua orang, di zaman yang serba susah begini pengangguran dapat dianggap sebagai nasib. Seseorang bisa saja di-PHK karena perusahaannya bangkrut, tetapi sebenarnya ada banyak jutaan pengangguran yang juga antri menanti tenaganya dimanfaatkan. Meski ada kecenderungan pengangguran terdidik semakin meningkat namun upaya yang tinggi tidak boleh berhenti.
Di negara kita saat ini ada kecenderungan bahwa para siswa hanya mempunyai kebiasaan menghafal saja untuk pelajaran-pelajaran yang menyangkut ilmu sosial, bahasa, dan sejarah atau menerima saja berbagai teori namun sayangnya para siswa tidak memiliki kemampuan untuk menggali wawasan pandangan yang lebih luas serta cerdas dalam memahami dan mengkaji suatu masalah. Sedangkan untuk ilmu pengetahuan alam para siswa cenderung hanya diberikan latihan soal-soal yang hanya sekedar melatih kecepatan dalam berpikir untuk menemukan jawaban dan bukannya mempertajam penalaran atau melatih kreativitas dalam berpikir.
Contohnya seperti seseorang yang pandai dalam mengerjakan soal-soal matematika bukan karena kecerdikan dalam melakukan analisis terhadap soal atau kepandaian dalam membuat jalan perhitungan tetapi karena dia sudah hafal tipe soalnya. Seringkali seseorangpun hanya sekedar bisa mengerjakan soalnya dengan menggunakan rumus tetapi tidak tahu asal muasal rumus tersebut. Kenyataan inilah yang menyebabkan sumber daya manusia kita ketinggalan jauh dengan sumber daya manusia yang ada di negara-negara maju.
Kita hanya pandai dalam teori, tetapi gagal dalam praktik dan dalam profesionalisme perusahaan tersebut. Rendahnya kualitas tenaga kerja terdidik
dikarenakan kita terlampaui melihat pada gelar tanpa secara serius membenahi kualitas dari kemampuan dibidang yang kita tekuni. Sehingga karena hal inilah maka para tenaga kerja terdidik sulit bersaing dengan tenaga kerja asing dalam usaha untuk mencari pekerjaan.[1]
Sebenarnya dalam meningkatkan kualitas pendidikan, pemerintah tidak hanya diam. Namun, pemerintah beserta jajaran menteri pendidikan terus berupaya agar mutu pendidikan ini dapat meminimalisir jumlah kaum buruh dan pengangguran di Indonesia. Meskipun ada kecenderungan pengangguran terdidik semakin meningkat namun upaya yang tinggi tidak boleh berhenti dan harus terus berjalan dinamis karena setiap saat akan muncul masalah-masalah baru.
Disinilah para pengembang atau sebagai pemberdaya masyarakat harus ikut berperan dalam memperjuangkan pembangunan dengan berbagai pendekatan dan model ataupun strategi dalam pengembangan masyarakat untuk meminimalisir jumlah kaum buruh dan pengangguran yang selalu meningkat. Maka dalam penelitian ilmiah ini saya akan membahas tentang "Pengaruh berbagai tingkat Pendidikan serta Dampaknya bagi Kaum Buruh dan Pengangguran di Desa Gempol Sari".
B. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana realitas dari berbagai tingkat pendidikan di desa Gempol Sari ?
2. Bagaimana pengaruh pendidikan pada kesempatan kerja ?
C. Metode Penelitian
Hipotesis: dengan minimnya mutu atau kualitas dari berbagai jenjang pendidikan di Indonesia maka jumlah pengangguran dan kaum buruh akan terus meningkat khususnya di desa kempol sari sendiri.
Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah pendekatan kuantatif yang dilakukan dengan pengumpulan data melalui angket koesioner.
Ø Pada proses pengumpulan data yang dilakukan melalui angket koesioner peneliti melakukan penyebaran kepada 20 orang di desa Gempol Sari. Observasi dilakukan selama dua hari pada tanggal 3-4 Desember 2016, dihari pertama peneliti hanya melakukan survei arah jalan dan pengamatan lokasi, pada hari kedua barulah peneliti melakukan pengumpulan data melalui angket kuesioner dari 20 orang, waktu perjalanan yang peneliti tempuh memakan waktu kurang lebih 45 menit menuju desa Gempol Sari kecamatan Sepatan Timur yang dimulai dari tempat tinggal peneliti di kelurahan Kutajaya kecamatan Pasarkemis, karena kedua wilayah tersebut masih berada dalam satu lingkup Kabupaten Tangerang maka jarak yang ditempuh peneliti kurang dari satu jam perjalanan. Pada hari sabtu tanggal 3 Desember 2016 peneliti berangkat dari rumah menuju desa Gempol Sari pada pukul 14:00 WIB dan tiba di lokasi pada pukul 14:45 WIB, saat berada di lokasi peneliti hanya sekedar mengamati lingkungan dan survei arah jalan setelah itu kembali melakukan perjalanan pulang ke rumah pada pukul 15:15 WIB dan tiba di rumah pada pukul 16:00 WIB. Keesokan harinya pada minggu, 4 Desember 2016 peneliti melakukan kunjungan kembali ke desa Gempol Sari untuk melakukan observasi, mulai berangkat pada pukul 8:00 WIB dan tiba di lokasi sekitar pukul 09:00 WIB dan langsung melakukan pengumpulan data dengan menemui 20 orang untuk mengisi angket koesioner, lalu selesai pada pukul 15:20 WIB dan langsung kembali melakukan perjalanan pulang sampai tiba di rumah pada pukul 16:05 WIB. Saat proses pengisian angket peneliti mendapatkan sampel responden dari berbagai kalangan dan golongan dimana setiap masing-masing orangnya memiliki respon yang berbeda-beda.
D. Tinjauan Teoritis
Salah seorang filsuf berkebangsawan Inggris yang bernama John Locke pernah berpendapat, bahwa pekerjaan merupakan sumber untuk memperoleh hak miliki pribadi. Hegel, filsuf Jerman, juga berpendapat bahwa pekerjaan membawa manusia menemukan dan mengaktualisasikan dirinya. Disini pekerjaan menjadi
fungsi penting untuk mengetahui dirinya. Karl Marx, murid Hegel, berpendapat bahwa pekerjaan merupakan sarana manusia untuk menciptakan diri. Dengan bekerja orang mendapatkan pengakuan.[2]
Secara singkat Magnis Suseno menegaskan, bahwa ada tiga fungsi kerja, yakni fungsi reproduksi material, integrasi sosial, dan pengembangan diri. Yang pertama dengan bekerja, manusia bisa memenuhi kebutuhannya. Yang kedua dengan bekerja, manusia mendapatkan status dimasyarakat dan dipandang sebagai warga yang bermanfaat. Lalu yang ketiga dengan bekerja, manusia mampu secara kreatif menciptakan dan mengembangkan dirinya.
Menurut Edgar O. Edwards (1974), untuk melakukan pengelompokkan terhadap jenis-jenis pengangguran, kita perlu memahami dimensi-dimensi berikut ini :
1) Waktu (banyak di antara mereka yang ingin bekerja lebih lama).
2) Intensitas pekerjaan (yang berkaitan dengan kesehatan dan gizi makanan).
3) Produktivitas (kurangnnya produktivitas seringkali disebabkan oleh kurangnya sumberdaya komplementer dalam melakukan pekerjaan).
Berdasarkan beberapa kriteria tersebut, Edwards mengklasifikasikan lima jenis pengangguran yaitu :
1) Pengangguran terbuka : baik sukarela (mereka yang tidak mau bekerja karena mengharapkan pekerjaan yang lebih baik) maupun secara terpaksa (mereka yang mau bekerja namun tidak memperoleh pekerjaan).
2) Setengah menganggur (underemployment) : mereka yang bekerja lamanya (hari, minggu, musiman) kurang dari yang mereka mampu untuk kerjakan.
3) Tampaknya bekerja namun tidak bekerja secara penuh : yaitu mereka yang tidak digolongkan sebagai pengangguran terbuka dan setengah menganggur, yang termasuk disini adalah :
Ø Pengangguran tidak kentara (disguised unemployment) : yaitu para petani yang bekerja di ladang selama sehari penuh, padahal pekerjaan itu sebenarnya tidak memerlukan waktu selama sehari penuh.
Ø Pengangguran tersembunyi (hidden unemployment) : yaitu orang yang bekerja tidak sesuai dengan tingkat atau jenis pendidikannya.
Ø Pensiun lebih awal. Fenomena ini merupakan kenyataan yang terus berkembang dikalangan pegawai pemerintah. Di beberapa negara, usia pensiun dipermuda sebagai alat untuk menciptakan peluang bagi kaum muda untuk menduduki jabatan diatasnya.
Ø Tenaga kerja yang lemah (impaired) : yaitu mereka yang mungkin bekerja full time, namun intensitasnya lemah karena kurang gizi atau penyakitan.[3]
Bab II : Gambaran Umum Obyek Kajian
A. Profil Umum Obyek
Masalah pengangguran terdidik di Indonesia sudah mulai mencuat sejak sekitar tahun 1980-an saat Indonesia mulai memasuki era industri. Pada tahun 1970-an pemerintah melakukan investasi besar-besaran pada sektor-sektor yang berkaitan dengan kebutuhan dasar, seperti pertanian dan pendidikan dasar.
Memasuki desawarsa 1980-an, output pendidikan SD dalam jumlah besar telah mendorong pertumbuhan besar-besaran pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi. Namun, masalah pendidikan menjadi dilematis, disatu sisi pendidikan dianggap sangat lambat dalam mengubah struktur angkatan kerja terdidik. Namun disisi lain, pendidikan juga dipersalahkan karena mengeluarkan lulusan pendidikan tinggi yang terlalu banyak sehingga menjadi pengangguran. Semuanya itu disebabkan oleh kualitas pendidikan yang masih rendah, sehingga tidak sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat.
Diperkirakan angka pengangguran intelektual pada tahun 1995 mencapai 12,36%, pada tahun 1999 meningkat menjadi 18,55%, dan pada tahun 2003 meningkat lagi menjadi 24,5%. Pengangguran intelektual ini tidak terlepas dari
persoalan dunia pendidikan yang tidak mampu menghasilkan tenaga kerja berkualitas sesuai tuntutan pasar kerja sehingga seringkali tenaga kerja terdidik di Indonesia kalah bersaing dengan tenaga kerja asing.
Fenomena inilah yang sedang dihadapi oleh bangsa kita dimana para tenaga kerja yang terdidik banyak yang menganggur walaupun mereka sebenarnya menyandang gelar. Saat ini pendidikan kita terlalu menekankan pada segi teori dan bukannya praktik. Akan tetapi pemerataan pendidikan itu harus dilakukan tanpa mengabaikan mutu pendidikan itu sendiri. Karena itu maka salah satu kelemahan dari sistem pendidikan kita adalah sulitnya memberikan pendidikan yang benar-benar dapat memupuk profesionalisme seseorang dalam berkarier atau bekerja. Pendidikan seringkali disampaikan dalam bentuk yang monoton sehingga membuat para siswa menjadi bosan. Di negara-negara maju, pendidikan dalam wujud praktik lebih diberikan dalam porsi yang relatif besar, cara pembelajaran dan pemberian pendidikan diberikan dalam wujud yang lebih menarik dan kreatif.
Pada kasus kualitas mutu pendidikan rendah yang mengakibatkan jumlah buruh dan pengangguran semakin meningkat ini adalah masalah sosial yang sangat kompleks namun pada proses penelitiannya peneliti memilih Desa Gempol Sari ini sebagai objek kajian penelitian.
B. Lokasi Kajian
Gempol Sari adalah desa yang berada di kecamatan Sepatan Timur, Kabupaten Tangerang, Banten, Indonesia. Pada tanggal 2 Juli 2013, ratusan warga Gempol Sari mengamuk karena tidak mendapat Kartu Perlindungan Sosial (KPS) untuk pencairan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat. Akibat kerusuhan ini, rumah pegawai kantor pos, staf desa, kepala desa, dan kantor desa hancur.
Bab III : Analisis Hasil
Dari hasil observasi yang peneliti lakukan telah didapat hasil berikut :
No | Pernyataan | Setuju | Tidak Setuju |
1. | Lulusan sekolah dasar sudah mampu menjadi tenaga kerja maupun pengusaha | 7 | 13 |
2. | Lulusan sekolah menengah atas telah mampu menjadi tenaga kerja/pengusaha | 9 | 11 |
3. | Lulusan sekolah menengah atas bisa menjadi pengusaha maupun tenaga kerja | 14 | 6 |
4. | Sarjana dapat menjadi tenaga kerja ataupun pengusaha yang sukses | 17 | 3 |
5. | Orang yang tidak berkesempatan ikut dijenjang pendidikan bisa jadi tenaga ahli | 15 | 5 |
6. | kualitas diberbagai tingkat pendidikan telah memenuhi standar internasional | 6 | 14 |
7. | Kaum buruh dan pengangguran selalu berada dilingkaran kemiskinan | 20 | 0 |
8. | Sistem pendidikan di Indonesia bertele-tele dan masih berkualitas rendah | 10 | 10 |
9. | Kaum buruh dan pengangguran selalu bertambah jumlahnya | 20 | 0 |
10. | Pemerintah telah melakukan upaya untuk meminimalisir pengangguran | 7 | 13 |
Pada tabel diatas terdapat sepuluh butir pernyataan yang peneliti buat untuk mendapatkan hasil penelitian secara obyektif. Dan telah didapat pula tanggapan dari para responden yang telah dijabarkan pada jumlah angka dikolom setuju dan tidak setuju.
· Pernyataan nomor satu dikatakan bahwa "lulusan SD sudah mampu menjadi tenaga kerja maupun pengusaha" didapatkan lebih banyak responden yang menyatakan tidak setuju dengan pernyataan tersebut. Maka lulusan pendidikan tingkat SD di Indonesia pada realitanya belum mampu berkemandirian dalam berusaha maupun menjadi tenaga ahli.
· Pernyataan nomor dua dikatakan bahwa "lulusan SMP telah mampu menjadi tenaga kerja/pengusaha" didapatkan hampir setengah dari
keseluruhan responden yang menyatakan setuju. Maka, lulusan pendidikan tingkat SMP di Indonesia pada realitanya juga masih belum begitu mampu untuk menjadi tenaga ahli maupun pengusaha.
· Pernyataan nomor tiga dikatakan bahwa "lulusan SMA bisa menjadi pengusaha maupun tenaga kerja" didapatkan lebih dari ¼ responden yang menyatakan tidak setuju, meskipun sisanya menyatakan setuju akan tetapi pada realitanya masih ada segelintir orang yang beranggapan bahwa lulusan SMA belum mampu untuk menjadi tenaga ahli. Maka lulusan SMA telah cukup layak untuk menjadi tenaga kerja maupunn pengusaha.
· Pernyataan nomor empat dikatakan bahwa "lulusan perguruan tinggi atau sarjana dapat menjadi tenaga kerja ataupun pengusaha yang sukses" didapatkan hampir sepenuhnya responden menyatakan setuju, akan tetapi lagi-lagi masih ada segelintir orang meskipun hanya dibawah ¼ dari jumlah total responden yang menyatakan tidak setuju. Maka sarjana sekalipun masih tidak bisa dinyatakan mampu sepenuhnya untuk menjadi tenaga ahli maupun pengusaha.
· Pernyataan nomor lima dikatakan bahwa "orang yang tidak berkesempatan ikut dijenjang pendidikan bisa jadi tenaga ahli" didapatkan hanya ¼ orang dari jumlah total reponden yang menyatakan tidak setuju. Maka ini berarti bahwa orang yang tidak mengikuti jenjang pendidikanpun belum tentu akan menjadi pengangguran, jadi ini membuktikan bahwa berbagai jenjang pendidikan formal yang ada di Indonesia tidak menjamin setiap lulusannya dapat menjadi tenaga ahli maupun pengusaha.
· Pernyataan nomor enam dikatakan bahwa "kualitas diberbagai tingkat pendidikan telah memenuhi standar internasional" didapatkan hasil yang paling banyak responden menyatakan tidak setuju atas pernyataan ini. Maka hal ini membuktikan berbagai jenjang pendidikan di Indonesia belum memenuhi standar internasional yang mana benar-benar dapat memupuk profesionalisme seseorang dalam berkarier atau bekerja. Namun, pendidikan seringkali disampaikan dalam bentuk yang monoton dan bertele-tele sehingga membuat para siswa menjadi bosan.
· Pernyataan nomor tujuh dikatakan bahwa "kaum buruh dan pengagguran selalu berada dilingkaran kemiskinan" didapatkan keseluruhan responden menyatakan setuju akan hal ini. Maka faktor terbesar yang mengakibatkan tingginya angka kemiskinan di Indonesia juga disebabkan oleh kaum buruh dan pengangguran yang selalu berada dilingkaran kemiskinan.
· Pernyataan nomor delapan dikatakan bahwa "sistem pendidikan yang ada di Indonesia bertele-tele dan masih berkualitas rendah" didapatkan ½ dari total reponden yang menyatakan setuju akan hal ini. Maka pendidikan yang ada di Indonesia masih belum mencapai standar dalam memenuhi mutu pendidikan yang selayaknya seperti di negara-negara maju.
· Pernyataan nomor sembilan dikatakan bahwa "kaum buruh dan pengang-guran selalu bertambah jumlahnya" didapatkan keseluruhan responden menyatakan setuju akan hal ini sebagaimana pada pernyataan nomor tujuh. Maka pada realitanya yang ada di Indonesia jumlah kaum buruh dan pengangguran tidak pernah ada pengurangan jadi harus ada upaya untuk menanggulangi permasalahan ini yaitu dengan meningkatkan mutu pada bidang pendidikan karena upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial faktor utamanya adalah melalui pendidikan.
· Pernyataan nomor 10 dikatakan bahwa"pemerintah telah melakukan upaya untuk meminimalisir pengangguran" didapatkan lebih dari ½ dari total responden yang menyatakan tidak setuju padahal sebenarnya pemerintah sendiripun beserta jajarannya sudah melakukan upaya untuk meminimal-lisir pengangguran yang ada akan tetapi pada realitanya justru angka pengangguran dan kaum buruh di Indonesia terus selalu bertambah dan tidak pernah berkuang inilah yang menyebabkan sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa pemerintah tidak melakukan upaya untuk meminimalisir angka pengangguran yang terus meningkat. Maka sejatinya untuk meminimalisir angka pengangguran yang ada di Indonesia tidak bisa hanya dilakukan oleh pemerintah beserta jajarannya saja akan tetapi ini adalah masalah yang harus ditangani oleh seluruh lapisan masyarakat yang telah memiliki kesadaran akan pentingnya kejesahteraan bangsa.
Sebagaimana pemaparan dari setiap pernyataan yang telah dijabarkan sebelumnya. Berbagai jenjang pendidikan yang ada di Indonesia belum sepenuhnya dapat mencerdaskan kehidupan bangsa, hal ini menandakan bahwa sistem pendidikan yang ada di Indonesia masih berkualitas rendah. Bertambahnya angka pengangguran terdidik yang ada khususnya adalah salah satu faktor yang membuktikan rendahnya mutu pendidikan di Indonesia bahkan tidak sedikit sarjana yang menjadi pengangguran.
Disisi lain ada orang-orang yang tidak berkesempatan mengikuti jenjang pendidikan di Indonesia tetapi sukses dalam kehidupannya meskipun sebagian besar orang yang tidak mengikuti jenjang pendidikan berujung menjadi kaum buruh dan pengangguran, tetapi tetap saja seharusnya orang-orang yang berkesempatan mengikuti pendidikan diberbagai jenjang pendidikan tidak layak untuk menjadi pengangguran.
Seharusnya orang-orang yang telah berkesempatan mengikuti pendidikan diberbagai jenjang sudah mampu untuk berkemandirian dalam perekonomian dan tidak menjadi pengangguran maupun kaum buruh. Hal ini disebabkan karena kelemahan dari sistem pendidikan di Indonesia tidak mampu memberikan pendidikan yang benar-benar dapat memupuk profesionalisme seseorang dalam berkarier maupun bekerja. Maka seharusnya upaya yang harus dilakukan untuk meminimalisir angka kaum buruh dan pengangguran yang terus bertambah adalah dengan kembali menyusun dan membenahi sistem pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik. Seluruh lapisan masyarakat yang telah memiliki kesadaran akan hal ini harus ikut berperan aktif membantu pemerintah beserta jajarannya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan menjadikan pendidikan Indonesia diakui dimata dunia dan memiliki daya saing dengan negara-negara maju.
Bab IV : Penutup
Kesimpulan
Keadaan Indonesia saat ini sudahlah menampakkan gejala-gejala yang menunjukkan akan datangnya masa depan yang lebih berat dimana semakin bertambahnya jumlah pengangguran di Indonesia, lambat laun akan menimbulkan banyak masalah sosial yang nantinya akan menjadi krisis sosial.
Realitas dari berbagai jenjang pendidikan yang ada di Indonesia belum sepenuhnya dapat mencerdaskan kehidupan bangsa, hal ini menandakan bahwa sistem pendidikan yang ada di Indonesia masih berkualitas rendah. Bertambahnya angka pengangguran terdidik yang ada khususnya adalah salah satu faktor yang membuktikan rendahnya mutu pendidikan di Indonesia bahkan tidak sedikit sarjana yang menjadi pengangguran.
Disisi lain ada orang-orang yang tidak berkesempatan mengikuti jenjang pendidikan di Indonesia tetapi sukses dalam kehidupannya meskipun sebagian besar orang yang tidak mengikuti jenjang pendidikan berujung menjadi kaum buruh dan pengangguran, tetapi tetap saja seharusnya orang-orang yang berkesempatan mengikuti pendidikan diberbagai jenjang pendidikan tidak layak untuk menjadi pengangguran.
Seharusnya orang-orang yang telah berkesempatan mengikuti pendidikan diberbagai jenjang sudah mampu untuk berkemandirian dalam perekonomian dan tidak menjadi pengangguran maupun kaum buruh. Hal ini disebabkan karena kelemahan dari sistem pendidikan di Indonesia tidak mampu memberikan pendidikan yang benar-benar dapat memupuk profesionalisme seseorang dalam berkarier maupun bekerja. Fenomena inilah yang sedang dihadapi oleh bangsa kita dimana para tenaga kerja yang terdidik banyak yang menganggur walaupun mereka sebenarnya menyandang gelar.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Yesmil dan Adang. ( 2013). Sosiologi untuk Universitas. Bandung : Refika Aditama.
Suseno, Magnis & Franz. (2009). Kota dan Kerja. Jakarta: Rangkaian Studium General.
Arsyad, Lincolin. (1999). Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta: STIE YKPN.
LAMPIRAN
Bentuk angket koesioner yang diberikan kepada 20 orang untuk dijadikan sampel
Karakteristik Responden :
1. Nama :
2. Jenis Kelamin : a. Laki-laki
b. Perempuan
3. Umur : ___ tahun.
4. Pendidikan Terakhir :
a. Tidak Sekolah
b. Tamat SD
c. Tamat SMP
d. Tamat SMA
e. Perguruan Tinggi
5. Pekerjaan :
Kuesioner :
No | Pernyataan | Setuju | Tidak Setuju |
2. | Lulusan sekolah dasar sudah mampu menjadi tenaga kerja maupun pengusaha |
|
|
2. | Lulusan sekolah menengah atas telah mampu menjadi tenaga kerja/pengusaha |
|
|
3. | Lulusan sekolah menengah atas bisa menjadi pengusaha maupun tenaga kerja |
|
|
4. | Sarjana dapat menjadi tenaga kerja ataupun pengusaha yang sukses |
|
|
5. | Orang yang tidak berkesempatan ikut dijenjang pendidikan bisa jadi tenaga ahli |
|
|
6. | kualitas diberbagai tingkat pendidikan telah memenuhi standar internasional |
|
|
7. | Kaum buruh dan pengangguran selalu berada dilingkaran kemiskinan |
|
|
8. | Sistem pendidikan di Indonesia bertele-tele dan masih berkualitas rendah |
|
|
9. | Kaum buruh dan pengangguran selalu bertambah jumlahnya |
|
|
10. | Pemerintah telah melakukan upaya untuk meminimalisir pengangguran |
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar