Gilang sakti perdana
KPI 1E
1112051000161
Sudut Pandang Emil Durkheim Mengenai Agama
Menurut Raymond Arond buku The Elementary Forms of Religions Life adalah karya Durkheim yang paling penting, yang paling besar dan paling orisinal. Dalam buku ini, Durkheim menmpatkan sosiologi agama dan teori pengetahuan di bagian depan. Singkatkata, dia menemukan hakikat abadi agama dengan cara memisahkan yang sakral dari yang profan. Yang sakral tercipta dari ritual – ritual yang mengubah kekuatan moral masyarakt menjadi simbol simbol religiustang mengikat individu dalam suatu kelompok. Argumen durkheim yang sangat berani adalah ikatan moral tersebut berubah menjadi kognitif karena kategori – kategori pemahaman semisalnya klasifikasi, waktu, tempat, dan penyebab, semuanya berasal dari ritual keagamaan
Menurut durkheim, masayarakt menciptakan agama dengan mendefinisikan fenomena tertentusebagai sesuatu yang sakral sementara yang lain sebagai profan.aspek sosial yang di anggap sakral inilah yaitu sesuatu yang terpisah dari peristiwa sehari hari yang membentuk esensi agama. Dan yang lainya di anggap profan (umum)
di sini durkheim tetap mempertahankan kebenaran esensial agama. Durkheim tidak percaya bahwa agama itu tidak ada sama sekali karena tak lebih dari sekedar sebuah ilusi. Setiap fenomena sosial yang mudah menyebar mesti memiliki kebenaran. Namun, kebenaran tersebut belum tentu sama dengan apa yang diyakini penganutnya. Sebagai seorang agnotis yang kuat, durkheim tidak percaya relitas supranatural apapun yang menjadi sumber agama tersebut. Namun ada suatu kekuatan moral yang superior yang memberi isnpirasi pada pengikut, dan kekuatan itu adlah masyarakat, bukan tuhan. Durkheim berpendapat bahwa secara simbolis masyarakat bertumpu pada masyarakat itu sendiri. Agama adalah sistem simbol yang denganya masyarakat menjadi paham atas dirinya sendiri. Inilah satu satunya cara yang bisa menjelaskan kenapa setiap masyarakat memiliki kepercayaan agamanya masing masing, akan tetapi masing masing kepecayaan tersebut berbeda satu sma lain.
Masyarakat adalah kekuatan yang lebih besar dari kekuatan kita. Ia melampaui kita, menuntut pengorbanan kita, mengikis ego kita, dan mengisi kekuatan kita. Masyarakat, menrut Durkheim, menggunakan kekuatan melalui representasi. Durkheim melihat tuhan tak lebih dari sekedar hasil pemahaman wujud tuhan dan simbolisasinya. Dengan kata lain masyarakat adalah sumber dari kesakralan itu sendiri.
Kepercayaan, Ritual, dan Gereja. Perbedaan antara yang sakral dan yang profan serta terangkatnya beberapa aspek kehidupan sosial ke level yang sakral memang merupakan syarat mutlaq bagi keberadaan agama, namun belum cukup sebagai syarat kemungkinanya. Hubungan timbal balik antara yang sakral, kepercayaan, ritual, dan gereja. Mendorong Durkheim untuk mengemukakan agama sebagai berikut: Agama adalah kesatuan sistem kepercayaan dan praktik yang menyatu dalam sebuah komunitas moral tunggal yang dinamai gereja, semua yang melekat padanya"
Karena durkheim percaya bahwa masyarakat adalah sumber agama, dia sangat berminat pada totemisme masyarakat arunta di australia. Tetemisme adalah sistem agama dimana sesuatu, bisa binatang dan tumbuhan, di anggap sakral dan menjadi simbol klan. Durkheim memandang bahwa tetonisme sebagai agama yang paling sedrhana dan paling premitif dan percaya bahwa totemismenterkait dalam bentuk paling sederhana dari organisasi sosial, sebuah klan.
Durkheim berpendapat bahwa totem tak lain adalah representasi dari sebuah klan. Totemisme, dan agama secara umum, berasal dari moralitas kolektif dan menjadikan dirinya sebagai impersonal. Jadi dia bukanlah sekedar binatang, tumbuhan, sosok, roh, atau dewa dewa mistis. Dalam totemisme, ada tiga jenis hal yang saling berhubungan yaitu: simbol totemik, binatang atau tumbuhan, dan anggota suku. Dengan demikian totemismemenyediakan jalan atau cara untuk mengklasifikasikan objek – objek alam yang merefleksikan organisasi sosial suku. Oleh karna itu, Durkheim berani berpendapat bahwa kemampuan untuk mengklasifikasi alam ke dalam kategori – kategori kognitif berasal dari pengalaman religius dan sosial. Selanjutnya, masyarakat mungkin mengembangkan cara yang lebuh baik untuk mengklasifikasi alam dan simbolnya,misalnya ke dalam jenis dan spesies ilmiyah, akan tetapi ide dasar klasifikasi berasal dari pengalaman sosial.
Sudut Pandang Auguste Comte Mengenai Agama
Menurut teori evolusi Comte, atau hukum tiga tahap. Teori ini menyatakan bahwaterdapat tiga tahap intelektual yang di jalani d dunia ini sepanjang sejarahnya. Menurut Comte, bukan hanya dunia yang mengalami proses ini, namun kelompok manusia, masyarakat, ilmu pengetahuan, individu dan bahkan pikiran pun melalui ketiga tahap tersebut. Dan ketiga tahap tersebut iala;
1. Tahap teologis, teori ini menjadi ciri sebelum tahun 1300. Selama itu, sistem ide dititikberatkan pada keprcayaan bahwa kekuatan atau supranatural dan figur – figur religius, yang berwujud manusia, menjadi akar segalanya. Secara khusus, dunia sosial dan fisik dipandang sebagai dua hal yang dibuat Tuhan.
2. Tahap metafisis, yang dimana tahap ini kira – kira berlangsung antara tahun 1300 sampai 1800. Era ini dicirikan oleh kepercayaan bahwa kekuatan abstrak seperti "alam", dan bukannya tuhan yang dipersonalisasikan, diyakini dapat menjelaskan segalanya. Akhirnya, pada tahun 1800 dunia memasuki tahap ketiga, positivistik.
3. Tahap positivistik, yang dimana tahap ini dicirikan oleh kepercayaan terhadap ilmu pengetahuan. Kini orang cenderung berhenti melakukan pencarian terhadap sebab mutlak (tuhan atau alam) dan lebih berkosentrasi pada penelitian terhadap dunia sosial dan fisik dalam upayanya menemukan hukum yang mengaturnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar