Minggu, 09 Desember 2012

Atika Suri_Laporan 5_model dan pola kepemimpian

H.M SOEHARTO : MEMIMPIN DENGAN OTORITER
Atika Suri (1112051100009)
Jurnalistik 1A
 
I.                   Latar Belakang
Menurut George R. Terry yang dikutip dari Sutarto, kepemimpinan adalah hubungan yang ada dalam diri seseorang atau pemimpin, memengaruhi orang lain untuk bekerja secara sadar dalam hubungan tugas untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Ordway Tead mendefinisikan kepemimpinan sebagai perpaduan perangai yang memungkinkan seseorang mampu mendorong pihak lain menyelesaikan tugasnya. Disisi lain, Rauch dan Behling menambahkan bahwa kepemimpinan adalah proses memengaruhi aktifitas-aktifitas sebuah kelompok yang diorganisasi kearah pencapaian tujuan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kepemimpinn adalah hubungan yang ada dalam diri seorang pemimpin untuk bekerja secara sadar,  yang memungkinkan seseorang mampu mendorong pihak lain menyelesaikan tugasnya, guna mencapai suatu tujuan.
Dalam kehidupan yang terorganisir, apapun bentuknya, baik keluarga, kelompok sosial, lembaga, bahkan negara sekalipun tentu memiliki kebutuhan utama berupa seorang pemimpin untuk mengatur berjalannya segala aktifitas demi tercapainya tujuan, demi terciptanya keteraturan. Dalam memimpin, setiap kepala yang berbeda, yang mewakilipemimpin yang berbeda, tentu memiliki model, pola, ataupun gaya memimpin yang berbeda-beda.
Adapun macam-macam gaya kepemimpinan itu adalah seperti gaya kepemimpinan otoriter, yang memusatkan segala keputusan dan kebijakan yang diambil dari dirinya sendiri secara penuh, seringkali terlihat egois dan semaunya sendiri. Pemimpin juga berperan sebagai pengawas terhadap semua aktivitas anggotanya dan pemberi jalan keluar bila anggota mengalami masalah, dengan kata lain, anggota tidak perlu pusing memikirkan apapun, anggota cukup melaksanakan apa yang diputuskan pemimpin. Gaya lain kepemimpinan adalah gaya kepemimpinan demokratis, yaitu gaya pemimpin yang memberikan wewenang secara luas kepada para bawahan. Setiap ada masalah selalu mengikutsertakan bawahan sebagai suatu tim yang utuh. Dalam gaya kepemimpinan demokratis pemimpin memberikan banyak informasi tentang tugas serta tanggung jawab para bawahannya, selain itu anggota juga diberi keleluasaan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Selain kedua macam gaya kepemimpinan yang telah disebutkan, gaya kepemimpinan selanjutnya adalah gaya kepemimpinan bebas, yang ditandai dengan pemimpin yang memiliki keterlibatan dalam kuantitas yang kecil dimana para bawahannya yang secra aktif menentukan tujuan dan penyelesaian masalah yang dihadapi. Gaya kepemimpinan ini merupakan gaya kepemimpinan yang paling dinamis.
Indonesia, sebagai negara yang sudah 67 tahun merdeka, telah merasakan kepemimpinan dari beberapa orang pemimpin yang berbeda, dimulai dari Ir. Soekarno, H.M Soeharto, B.J Habibie, H. Abdurrachman Wahid, Hj. Megawati Soekarnoputri, serta Dr. H Susilo Bambang Yudhoyono yang masih menjabat hingga saat ini. Hal yang menarik yang peneliti tangkap dari masa jabatan yang telah dialami oleh masing-masing presiden tersebut adalah masa kepemimpinan Soeharto yang menjabat hingga mencapai 32 tahun lamanya. Kepemimpinannya yang dapat dikatakan sebagai masa kepemimpinan terlama ini, membuat peneliti terusik dan tertarik untuk mengetahui lebih lanjut tentang kepemimpinan Soeharto ini, terlebih soal model, pola, ataupun gaya kepemimpinannya.
 
II.                Pertanyaan Pokok Penelitian
1.      Bagaimana pola kepemimpinan Soeharto serta bagaimana pengaruhnya terhadap kehidupan rakyat Indonesia?
 
III.             Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah metode penelitian Kualitatif, dengan menggunakan teknik gathering data (pengumpulan data) menggunakan buku, serta media internet. Pengumpulan data dimulai tanggal 7 desember 2012.
 
IV.             Gambaran Subjek penelitian
Soeharto, lahir pada 8 Juni 1921 di desa Kemusuk, Jawa Tengah. Ayahnya bernama Kertoredjo, yang mengubah namanya setelah menikah menjadi Kertosudiro, sedangkan ibunya bernama Sukirah. Soeharto merupakan nama pemberian dari ayahnya. "Soe" berarti "lebih baik" dan "harto" berarti "kekayaan". Kertosudiro berharap agar anaknya itu menjadi orang kaya dan berkedudukan tinggi.
Ketika usianya mencapai 40 hari, ia diserahkan untuk diurus oleh Mbah Kromodiryo, bidan desa yang telah menolong kelahirannya yang juga merupakan adik dari nenek Soeharto di pihak ayah. Kehidupan semasa kecilnya tergolong sangat sederhana. Setelah agak besar, Soeharto menghabiskan waktu senggangnya dengan mengembala. Usai sekolah, ia mengurus kambing dan domba, dan ketika sudah cukup besar beliau mulai mengurus kerbau.
Ketika usianya mencapai delapan tahun, ibunya melahirkan beberapa anak lagi. Ayahnya kemudian memutuskan agar beliau dipelihara oleh adik perempuan ayahnya, ibu Prawirowihardjo, yang tinggal di Wiryantoro, sebuah tempat tinggal yang lebih makmur dari Kemusuk. Ayahnya mempercayakan Prawirowihardjo untuk mengurus beliau karena Prawirowihardjo adalah mantri tani atau petugas tanah, sebuah jabatan yang cukup tinggi di kalangan orang desa, diharap keluarga Prawirowihardjo dapat memberi Soeharto pendidikan yang lebih baik.
Sebagai penganut Islam yang taat, ibu Prawirowihardjo mengajarkan Soeharto bukan hanya tentang petingnya sekolah tetapi juga pentingnya pendidikan kerohanian dan agama. Soeharto meluangkan waktu malamnya untuk belajar Al-qur'an di Langgar. Saat itu lah periode dimana beliau belajar tiga prinsip "jangan" dalam hidup. Yaitu "jangan kagetan", "jangan terkagum-kagum", dan "jangan mencemooh" atau "sabar, nrimo, melek"­- jadilah orang yang sabar, apapun yang terjadi terimalah, jangan mengeluh serta gunakan selalu kewaspadaan.
 
V.                Analisis
Soeharto, presiden yang menduduki jabatan terlama di Indonesia, selama 32 tahun ini memiliki pola pemerintahan yang dapat dikatakan otoriter.  Beliau tidak melibatkan rakyat untuk ikut ambil keputusan terhadap suatu perkara atau urusan. Segalanya beliau yang memutuskan. Beliau termasuk sosok yang ingin terlihat "sempurna", dalam artian dari aspek kepemimpinannya. Pada masanya, rakyat dibuat percaya seolah-olah kesejahteraan sedang pada puncaknya, kehidupan makmur dengan apa adanya, namun dibalik itu semua begitu banyak hutang yang menumpuk, yang selanjutnya menjadi beban bagi Indonesia hingga saat ini.
Beliau senantiasa selalu ingin ditonjolkan image "baik" nya dimata rakyat, terbukti dengan kebijakannya membatasi pers dalam menyampaikan berita. Berita yang disampaikan haruslah berita yang baik-baik, sedangkan berita yang menyangkut hal buruk ditutup-tutupi. Hal inilah yang membuat kebanyakan rakyat Indonesia pada masanya "tertipu". Indonesia, dari luar seolah-olah makmur, dan berada pada posisi yang benar-benar baik.
Soeharto merupakan sosok pemimpin yang sangat tegas, serta tidak neko-neko. Saat kepemimpinannya, Indonesia mampu melakukan swasembada beras, namun ternyata dibalik semua itu beliau menggunakan teknik yang menyusahkan bahkan menjadi beban bagi Indonesia hingga saat ini, yaitu berhutang.
Ketegasan, ketidak neko-nekoan, serta sikap otoriternya tergambar dan terlihat saat orang-orang yang tidak sejalan dengannya tiba-tiba "menghilang", dan sekalipun diketemukan dalam keadaan tak bernyawa. Dalam kasus lain misalnya, beliau juga sempat membatasi ekspresi warga keturunan Tionghoa. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga asing di Indonesia, dan kedudukannya berada dibawah warga pribumi, yang secara tidak langsung menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya imlek, dan pemakaian bahasa Mandarin dilarang. Akhirnya mereka pergi ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia ketika itu memberikan izin dengan syarat bahwa rakyat Tionghoa Indonesia diharuskan berjanji untuk tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Lembaga pers saat itu juga dibatasi, terlebih lembaga pers berbahasa Mandarin. Satu-satunya surat kabar berbahasa mandarin yang diizinkan terbit adalah "Harian Indonesia" yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh orang militer Indonesia, dalam hal ini ABRI, meski beberapa orang Tionghoa Indonesia juga bekerja disana. Agama tradisional Tionghoa juga dilarang, akibatnya agama konghucu kehilangan pengakuan dari pemerintah.
Pada masa pemerintahannya juga, rakyat tidak bebas bersuara, kebebasan rakyat dibatasi dengan banyak aturan, dalam berorganisasipun diatur oleh pemerintah secara nyata. Media pers dibungkam dengan lahirnya UU pokok pers No. 12 tahun 1982. UU ini mengisyaratkan adanya peringatan mengenai isi pemberitaan maupun siaran. Organisasi massa yang terbentuk harus memperoleh izin pemerintah dengan hanya satu organisasi buatan pemerintah yang dibolehkan berdiri.
Sisi baiknya, Pak Harto, panggilan akrab beliau, merupakan pemimpin yang memiliki visi dan misi. Beliau juga memiliki target baik jangka pendek maupun jangka panjang. Beliau juga mahir dalam strategi, detailis, dan pandai dalam menggunakan kesempatan. Pembawaannya formal dan tidak hangat dalam bergaul.
Gaya kepemimpinan Presiden Soeharto merupakan gabungan dari gaya kepemimpinan Proaktif-Ekspresif dengan Adaptif-Antisipatif, yaitu gaya kepemimpinan yang mampu menangkap peluag dan melihat tantangan sebagai sesuatu yang berdampak positif serta memiliki visi yang jauh kedepan dan sadar perlunya langkah-langkah penyesuaian.
Namun disini dapat dilihat bahwa dalam gaya kepemimpinan managerial grid, gaya kepemimpinan Soeharto masuk kedalam Grid 9.1. seorang pemimpin disebut sebagai pemimpin yang menjalankan tugasnya secara otokratis. Pemimpin semacam ini hanya mau memikirkan tentang usaha peningkatan efisiensi pelaksanaan kerja, tidak mempunyai atau hanya sedikit rasa tanggung jawabnya pada orang-orang yang bekerja dalam organisasinya, dan gaya kepemimpinannya lebih menonjol otokratisnya.
 
DAFTAR PUSTAKA
Abdulgani, Retnowati. 2007. Soeharto The Life And Legacy Of Indonesia's Second President. Jakarta: Kata Penerbit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini