Judul Penelitian :
Gagasan serta Pola Pemimpin Sang Guru Bangsa
Peneliti :
Annisa Novianti (1112051100004)
I. Latar Belakang
Pola kepemimpinan pada dasarnya memiliki banyak definisi dari berbagai tokoh. Definisi tersebut antara lain, adalah pendapat dari Drath dan Paus, yaitu kepemimpinan merupakan proses membangun rasa atas apa yang dilakukan bersama sedemikian rupa sehingga orang-orang memahami apa yang dilakukan dan dipertanggung jawabkan. Kemudian, pendapat dari Burns kepemimpinan merupakan latihan yang memobilisasi orang-orang secara institusional, politi, psikologis, dan sumber daya lain sedemikian rupa, untuk membangkitkan, mengikut sertakan, dan memuaskan motif-motif para pengikut. Dfinisi pendapat yang selanjutnya adalah dari Sutanto, yakni rangkaian kegiatan penataan berupa kemampuan mempengaruhi perilaku orang lain dalam situasi tertentu agar bersedia bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sehingga dari semua pendapat para tokoh yang telah dipaparkan diatas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan merupakan, kemampuan mempengaruhi orang lain, bawahan atau kelompok, memiliki kemampuan atau keahlian khusus dalam bidang yang diinginkan oleh kelompoknya, untuk mencapai tujuan organisasi atau kelompok.
Beberapa definisi yang telah dijelaskan oleh peneliti merupakan sebagian kecil dari banyak definisi oleh tokoh mengenai pola kepemimpinan. Pada hakikatnya pola kepemimpinan yang dimiliki oleh setiap orang berbeda-beda dalam menerapkannya. Jenis pola kepemimpinan memiliki tiga macam bentuk, yang pertama adalah gaya kepemimpinan otoriter, dalam pola kepemimpinan ini memusatkan segala keputusan dan kebijakan yang diambil dari dirinya sendiri secara penuh. Pola kepemimpinan yang kedua adalah demokratis, pola kepemimpinan ini memberikan kewenangan secara luas kepada rakyat. Setiap ada permasalahan selalu mengikut sertakan rakyat sebagai satu tim yang utuh. Kemudian, pola kepemimpinan yang terakhir adalah bebas/ liberal. Pola ini penerapan pemimpin jenis ini hanya terlibat dalam kuantitas yang kecil dimana rakyat yang secara aktif menentukan tujuan dan penyelesaian masalah yang dihadapi. Akan tetapi, pola kepemimpinan demokratis yang dipadukan dengan liberal/ bebas merupakan pola kepemimpinan yang paling dinamis.
Peneliti dalam hal ini, mengangkat mengenai pola kepemimpinan yang dilakukan oleh seorang mantan presiden RI keempat, yakni Alm. K.H. Abdurrahman Wahid, yang biasa disapa "Gus Dur". Peneliti merasa tertarik akan pola kepemimpinannya yang berbeda dari presiden sebelumnya, karena meskipun beliau hanya menjabat dalam kurun waktu 21 bulan, beliau mampu menciptakan beberapa gagasan yang sampai sekarang dapat dirasakan dampaknya oleh masyarakat Indonesia. Kemudia, dalam hal ini beliau dapat membuktikan bahwa dalam kurun waktu yang sebentar dapat merealisasikan gagasan yang belum pernah disentuh sebelumnya oleh presiden sebelumnya.
II. Pertanyaan Pokok Penelitian
1. Bagaimana metode kepemimpinan yang dilakukan oleh Gus Dur serta gagasan apa saja yang beliau pegang teguh?
III. Metode Penelitian
Peneliti menggunakan metode kualitatif, namun dengan tehnik gathering data yang menggunakan studi pustaka
IV. Gambaran Subjek/ Objek Penelitian
Pada tanggal 7 Agustus 1940, K.H. Abdurrahman Wahid lahir di Jombang, Jawa Timur dari pasangan K.H. Wahid Hasyim dan Hj. Solechah Wahid Hasyim. Kakenya adalah K.H. Hasyim Asya'ri, yaitu pendiri dari Nahdlatul Ulama (NU). Beliau menempuh pendidikan sekolah dasar di Jakarta pada tahun 1953, kemudian beliau melanjutkannya di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Yogyakarta pada tahun 1956. Selanjutnya, beliau menjadi santri di pesantren tambakberas, Jombang, Jawa Timur. Selepas beliau menjadi santri, pada tahun 1959 beliau menjadi guru di madrasah Mu'allimat, Jombang hingga tahun 1963. Beliau menikah dengan Sinta Nuriyah pada tanggal 11 Juli 1968, akan tetapi pesta pernikahan keduanya baru berlangsung pada tanggal 11 september 1971. Pasangan ini telah dikaruniai empat anak perempuan, yakni Alissa Qutrunnada Munawaroh (Lisa), Zannuba Arifah Cafsoh (Yenny), Anita Yatannufus (Nita), dan yang terakhir adalah Inayah Wulandari (Ina). Gus Dur melanjutkan kembali pendidikannya di Department Higher Islamic and Arabic Studies, Universitas Al-Azhar, Kairo dan juga pada fakultas sastra Universitas Baghdad, Irak. Beliau juga pernah menjadi dosen Universitas Hasyim Asyari, Jombang sejak tahun 1972 hingga tahun 1974. Pada tahun yang sama beliau menjadi pengurus pesantren Tebuireng, Jombang sebagai sekertaris hingga tahun 1984 dan mendirikan pondok pesantren Ciganjur, Jakarta pada tahun 1976. Kemudia, dalam muktamar ke-27 NU di pondok pesantren salafiyah sukarejo (Situbondo), K.H. Abdurrahman Wahid terpilih sebagai ketua tanfidziyah PBNU periode 1984-1989 dan terpilih kembali pada tahun 1989 untuk periode 1989-1994. Pada tanggal 20 Oktober 1999 Gus Dur terpilih sebagai presiden keempat RI, menggantikan B.J. Habibie. Gus Dur merupakan calon presiden dari partai poros tengah, yakni gabungan dari fraksi reformasi, fraksi partai persatuan pembangunan, fraksi kebangkitan bangsa, dan fraksi partai bulan bintang, dengan perolehan suara sebanyak 373 suara dari 691 anggota MPR yang menggunakan hak suaranya. Sejak beliau menjabat sebagai presiden RI, beliau menjadikan istana kepresidenan menjadi istana rakyat atau untuk umum. Lalu, Gus Dur membentuk kementrian Negara urusan HAM dalam kabinetnya serta menghapuskan DEPSOS (Departemen Sosial) dan DEPPEN (Departemen Penerangan) dalam kabinetnya. Beliau pun menerbitkan kepres no. 6 tahun tahun 2000 tentang pencabutan intruksi presiden nomor 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat china. Akan tetapi, tidak lama setelah menjabat mandat Gus Dur selaku presiden RI di cabut melalui rapat paripurna sidang istimewa MPR pada tanggal 23 Juli 2001. Pada tanggal 20 Januari 2002 Gus Dur terpilih kembali sebagai ketua umum dewan syuro PKB periode 2002-2007, hasil muktamar luar biasa PKB di Yogyakarta. Gus Dur mendorong agar PKB menjadi partai yang terbuka. Beliau pun secara resmi mengumumkan pencalonan presiden tahun 2004 pada tanggal 11 Mei 2004 dengan bersama Marwah Daud Ibrahim. Lalu, beliau kembali terpilih sebagai ketua umum dewan syuro PKB periode 2005-2010 hasil muktamar II di Semarang. Abdurrahman Wahid wafat pada tanggal 30 Desember 2009 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta dalam usia 69 tahun.
V. Analisis
Gus Dur memiliki wawasan mengenai spiritual dan keagamaan yang inklusif dan pluralis, yang telah menjadi jiwa serta ruh dirinya dalam menatap dalam semua agenda besar. Agenda demokrasi dan oposisi misalnya, yang menjadi keharusan dalam sistem politik modern, justru berangkat dari wawasan keagamaan Gus Dur yang telah mencapai tahap "al-hanifiyat al-samhah". Yakni sikap keberagamaan yang inklusif, pluralis, dan kosmopolit. Ia didirikan forum demokrasi, karena panggilan ayat suci Al-Qur'an perintah bermusyawarah (syura). Sebagai demokrat, ia pun menjadi kiblat gerakan prodemokrasi, yang untuk masanya, tampil sebagai figure oposisi loyal terhadap kekuasaan. Ia oposan terhadap penguasa yang korup dan otoriter, tetapi tetap loyal akan cita-cita bersama. Yakni, dengan menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa ditengah kebinekaannya. Dalam lika-liku politik praktis, watak demokrat Gus Dur benar-benar dimonitori oleh publik. Pada level elite politiknya, ia harus tampil bijak, adil, dan akomodatif dalam penyusunan komposisi kabinet pemerintahan yang baru. Komposisi personelnya sudah barang tentu didasarkan pada asas keadilan dan proporsionalitas disamping kualitas sumber daya manusia yang menjadi keharusan.
Dari pemikiran dan gagasan Gus Dur, yang terlihat adalah kesan kuat bahwa benang merah gagasannya mengacu kepada islam yang berdimensi substansial. Hal itu dapat dilihat dari pandangannya mengenai Al-Qur'an yang harus dipahami secara kontekstual sesuai dengan kehidupan sosial-kultural yang terus berkembang. Demikian pula gagasannya mengenai kebersamaan dan saling pengertian antar umat beragama. Menurutnya kerukunan antar umat beragama bukan sekedar hidup berdampingan secara damai, tanpa adanya saling mengerti satu sama lain. Gus Dur berargumentasi yang perlu dikembangkan adalah sikap kebersamaan dan saling pengertian diantara semua pihak dan kelompok. Aspek-aspek sosial keagamaan semacam inilah yang menjadi perhatian utamanya sejak awal, dan ia cukup konsisten akan sikapnya itu. Melalui gagasan-gagasannya agar islam benar-benar menjadi landasan nilai hidup yang utuh bagi setiap perilaku umatnya. Hanya dengan pola pandangan seperti itu islam menjadi pola pandangan yang positif kepada kehidupan sepanjang sejarah. Semua yang ditawarkan oleh kelompok islam substansif itu merupakan manifestasi dari sikap mereka yang humanitarian. Sekelompok neomodernis beranggapan bahwa prinsip-prinsip humanitarian adalah jantung islam itu sendiri. Pandangan ini berimplikasi pada sikap kelompok itu yang teguh untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan yang universal, seperti keadilan dan egalitarialisme, tanpa membedakan latar belakang agama, etnis, dan semacamnya.
Daftar Pustaka
Mulkhan Abdul Munir.2010.Perjalanan Politik Gus Dur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar