Emile Durkheim
Syifa Maulidina KPI 1E, Tugas 2
Agama, secara historis memiliki citra tersendiri. Dari khazanah ilmu-ilmu sosiologi modern, agama ternyata tidak dikaitkan dengan konflik, melainkan lebih kepada integrasi.
Emile Durkheim sebagai salah seorang Sosiolog abad ke-19, menemukan hakikat agama yang pada fungsinya sebagai sumber dan pembentuk solidaritas mekanis. Ia berpendapat bahwa agama adalah suatu pranata yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk mengikat individu menjadi satu-kesatuan melalui pembentukan sistem kepercayaan. Agama mengikat orang-orang kedalam berbagai kelompok masyarakat yag terikat satu kesamaan.
Emile Durkheim sebagai salah seorang Sosiolog abad ke-19, menemukan hakikat agama yang pada fungsinya sebagai sumber dan pembentuk solidaritas mekanis. Ia berpendapat bahwa agama adalah suatu pranata yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk mengikat individu menjadi satu-kesatuan melalui pembentukan sistem kepercayaan. Agama mengikat orang-orang kedalam berbagai kelompok masyarakat yag terikat satu kesamaan.
Durkheim membedakan antara solidaritas mekanis dengan solidaritas organis. Dengan konsep ini ia membedakan wujud masyarakat modern dan masyarakat tradisional. Ide tentang masyarakat adalah jiwa dari agama, demikian ungkap Emile Durkheim dalam The Elementary Form of Religious Life (1915). Berangkat dari kajiannya tentang paham totemisme masyarakat primitif di Australia, Durkheim berkesimpulan bahwa bentuk-bentuk dasar agama meliputi :
1. Pemisahan antara yang suci dan yang tidak suci
2. Permulaan cerita-cerita tentang dewa-dewa
3. Macam-macam bentuk ritual.
Dasar-dasar ini bisa ditemukan di semua kebudayaan, dan akan muncul dalam bentuk sosial. Masyarakat baik di Barat maupun di Timur, menunjukkan adanya suatu kebutuhan sosial yang berupa kebaikan permanent. Menurut teori Durkheim, Agama bukanlah sesuatu yang di luar, tetapi ada di dalam masyarakat itu sendiri, agama terbatas hanya pada seruan kelompok untuk tujuan menjaga kelebihan-kelebihan khusus kelompok tersebut.
Menurut Durkheim, Intelektualisme yang meyakini bahwa jelmaan pertama kali agama dalam bentuk kelompok adalah ritual nenek moyang, yang menyembah para ruh nenek moyang mereka. Kedudukan agama di sini sama dengan kedudukan kekerabatan, kesukuan, dan komunitas-komunitas lain yang masih diikat dengan nilai-nilai primordial.
Masyarakat yang masih sederhana, dengan tingkat pembagian kerja yang rendah terbentuk oleh solidaritas mekanis. Ikatan yang terjadi bukan karena paksaan dari luar atau karena intensif ekonomi semata, melainkan kesadaran bersama yang didasarkan pada kepercayaan yang sama dan nilai-nilai yang disepakati sebagai standar moral dan pedoman tingkah laku. Dengan solidaritas mekanis tersebut masyarakat menjadi homogen dengan kesadaran kolektif yang tinggi tetapi menenggelamkan identitas pribadi untuk agar tercipta kebersamaan. Maka dari itu masyarakat yang berdasarkan system kekeluragaan dan kekerabatan serta kegotong-royongan yang dipertahankan oleh asas keharmonisan.
Solidaritas mekanis akan segera tergantikan oleh solidaritas organis, suatu solidaritas baru yang didasarkan pada kesadaran terhadap kondisi pluralitas yang terbentuk apabila dalam masyarakat yang telah mengalami proses individualisasi itu telah timbul kesadaran adanya saling ketergantungan di antara mereka dan timbul pula rasa saling membutuhkan. Dalam masyarakat modern yang cirinya adalah diferensiasi fungsional yang tinggi dan pembagian kerja yang rumit, maka keharmonisan yang sederhana mulai terancam dan potensi konflik mulai membesar. Oleh sebab itu konflik merupakan gejala yang mendapat perhatian besar bagi para pemikir di masa itu dalam ramgka untuk memahami gejala harmoni dan faktor-faktor integrasi.
Dengan melihat pada latar belakang industrialisasi, perkembangan kapitalisme dan proses terbentuknya masyarakat modern, maka agama dalam tradisisi pemikiran sosiologi, tidak dipersepsikan sebagai sumber konflik. Agama, sebagai sistem kepribadian, sistem sosial dan sisstem budaya, yang berhadapan dengan proses-proses diatas memang mengalami disintegrasi. Dalam proses disintegrasi itu akan timbul konflik. Tetapi sumber konflik itu bukanlah agama melainkan proses terbentuknya masyarakat ekonomi baru yang menimbulkan persaingan, sebagai suatu bentuk konflik yang telah direduksi menjadik konflik yang terkendali, berdasarkan kerangkan aturan main yang disepakati. Dengan perkataan lain bahwa, agama adalah penerima dampak dari proses perubahan. Di sini agama memang bisa berhadapan dengan nilai-nilai baru.
Agama bisa dikatakan sebagai hambatan bagi suatu proses yang dikehendaki, dan agama memang menghadapi konflik. Persoalan yang timbul dari perebutan sumberdaya akan menyeret agama kedalam suatu konflik, apabila agama dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam pembicaraan mengenai agama sebagai faktor integratif dan pencipta harmoni, tersembunyi suatu asumsi tertentu mengenai konflik. Pandangan positif mengenai agama sebagai kekuatan integratif, seperti yang tercermin dalam teori Durkheim, bertolak dari asumsi ini, Durkheim bersifat pesimistis dalam melihat kedudukan dan peran agama dalam masyarakat modern. Karena itulah maka ia berusaha mencari substitusi agama yang ia temukan dalam ideologi sosialisme.
Menurut analisis Durkheim, sosialisme adalah merupakan protes kaum pekerja terhadap situasi disintegrasi yang terjadi pada ikatan-ikatan sosial dan sistem tradisional dan bukannya perjuangan untuk menghapus institusi hak milik pribadi. Pemberontakan timbul karena situasi anomi, dimana masyarakat tidak lagi memiliki pegangan normatif yang menjadikan hidup kosong nilai. Negara sebagai produk modernitas, sebenarnya dimaksudkan juga sebagai substitusi terhadap institusi agama. Sebagaimana halnya agama, maka negara juga menciptakan obyek-obyek suci yang berusaha mengikat individu melalui upacara-upacara repetitif sebagai bentuk ritual baru. Hari-hari besar untuk di peringati, pahlawan, kuburan para pemimpin negara, museum, patung-patung, tugu-tugu, bendera kebangsaan. Upacara- upacara yang dilakukan negara dengan khidmat dan disikapin secara religius. Upacara –upacara dimaksudkan untuk membentuk referensi spiritual mengikat individu dalam solidaritas mekanis dan menimbulkan komitmen nilai yang telah ditetapkan oleh negara.
Ada kalanya negara modern membentuk suatu ideologi nasional yang mewadahi nilai-nilai luhur yang dirumuskan sebagai kesepakatan. Ideologi nasional itu tidak saja memberikan makna, tetapi juga merupakan pedoman tingkah laku. Dengan ideologi, setiap warga negara tidak saja diharapkan patuh kepada pimpinan nasional atau aturan birokrasi, melainkan juga bertindak dengan sikap mengabdi. Disinilah terjadi integrasi penuh antara agama dengan negara. Namun, banyak yang menentang Pandangan Durkheim bahwa seruan Tuhan itu terbatas hanya pada seruan kelompok saja, dinggap tidak benar dan bahkan kebalikan yang terdapat dalam agama. Sebab dalam agama pada umumnya seruan Tuhan tidak membatasi suatu kelompok tertentu. Bahkan seruan Tuhan menyeluruh untuk semua manusia pada persamaan dan persaudaraan.
Auguste Comte
Comte merupakan figur sentral dalam sejarah pemikiran sosial. Dia merupakan pelopor dari suatu ilmu pengetahuan yang kelak tumbuh menjadi demikian penting dan sangat dibutuhkan. Ajaran Comte tentang pentingnya suatu pemahaman terhadap kenyataan-kenyataan objective yang bersifat positif, merupakan dasar dari perkembangan ilmu pengetahuan. Tetapi sebagaimana halnya dengan para pioner lainnya, Comte tidaklah terlepas dari berbagai kekurangannya.
Pertama, kita dapat mencatat tentang kekurangannya ini, sekalipun dia membela sosiologi yang dibangunnya itu sebagai suatu ilmu pengetahuan positif, tetapi pada kenyataannya dia tetap meletakakan sebagai bagian dari filsafat sosial. Namun sekalipun demikian, sosiologi telah berhutang budi sangat besar kepada Comte, yang menunjuk pentingnya penggunaan suatu metode ilmiah yang bersifat induktif didalam sosiologi.
Dia memang telah melakukan kesalahan pada mulanya dengan ajarannya tentang pengertian phenomenalisme dengan objektivisme, tetapi hal tersebut tidaklah membutakan mata kita terhadap nilai positif dari sumbangannya untuk membangun suatu metode ilmiah yang tepat untuk membangun sosiologi.
Auguste Comte membagi sosiologi menjadi dua bagian yaitu Social Statics dan Social Dynamic. Social statics dimaksudkannya sebagai suatu studi tentang hukum-hukum aksi dan reaksi antara bagian-bagian dari suatu sistem sosial. Social statics merupakan bagian yang paling elementer dari ilmu sosiologi, tetapi dia bukanlah bagian yang paling penting dari study mengenai sosiologi, karena pada dasarnya social statics merupakan hasil dari suatu pertumbuhan.
Bagian yang paling penting dari sosiologi menurut Auguste Comte adalah apa yang disebutnya dengan social dynamic, yang didefinisikannya sebagai teori tentang perkembangan dan kemajuan masyarakat. Karena social dynamic merupakan study tentang sejarah yang akan menghilangkan filsafat yang spekulatif tentang sejarah itu sendiri. Pembagian sosiologi kedalam dua bagian ini bukan berarti akan memisahkannya satu sama lain. Bila social statics merupakan suatu study tentang masyarakat yang saling berhubungan dan akan menghasilkan pendekatan yang paling elementer terhadap sosiologi, tetapi study tentang hubungan-hubungan sosial yang terjadi antara bagian-bagian itu tidak akan pernah dapat dipelajari tanpa memahaminya sebagai hasil dari suatu perkembangan. Oleh karena itu, Comte berpendapat bahwa tidaklah akan dapat diperoleh, suatu pemahaman yang layak dari suatu masalah sosial tanpa mengguanakan pendekatan social dynamic atau pendekatan historis.
1. Sosial Dinamis
Social dynamics adalah teori tentang perkembangan manusia. Comte tidak membicarakan tentang asal usul manusia karena itu berada di luar batas ruang lingkup ilmu pengetahuan. Karena ajaran filsafat positif yang diajukannya mengatakan bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah dapat dibuktikan dalam kenyataan. Dia berpendapat bahwa di dalam masyarakat terjadi perkembangan yang terus menerus, sekalipun dia juga menambahkan bahwa perkembangan umum dari masyarakat tidak merupakan jalan lurus.
Ada banyak hal yang mengganggu perkembangan suatu masyarakat seperti faktor ras manusia sendiri, faktor iklim dan faktor tindakan politik. Comte berpendapat bahwa jawaban tentang perkembangan sosial harus dicari dari karakteristik yang membedakan antara manusia dengan binatang. Menurut Comte, yang membedakan manusia dengan binatang adalah perkembangan inteligensi manusia yang lebih tinggi. Comte mengajukan hukum tentang 3 tingkatan inteligensi manusia, yaitu pemikiran yang bersifat theologis atau fictious, metaphisik atau abstrak, scientific atau positive. Sejarah umat manusia sebenarnya ditentukan oleh pertumbuhan dari pemikiran manusia, hukum tertinggi dari sosiologi haruslah hukum tentang perkembangan inteligensi manusia.
2. Sosial Statis
Dengan social statics dimaksudkan Comte sebagai teori tentang dasar masyarakat. Comte membagi sosiologi kedalam dua bagian yang memiliki kedudukan yang tidak sama. Sekalipun social statics adalah bagian yang lebih elememter didalam sosiologi tetapi kedudukannya tidak begitu penting dibandingkan dengan social dynamics. Fungsi dari sosial statis adalah untuk mencari hukum-hukum tentang aksi dan reaksi dari pada berbagai bagian didalam suatu sistem sosial. Sedangkan dalam sosial statis mencari hukum-hukum tentang gejala-gejala sosial yang bersamaan waktu terjadinya. Didalam sosial statis terdapat 4 doktrin yaitu doktrin tentang individu, keluarga, masyarakat dan negara.
Sumber :
Emile Durkheim : http://sos-ant.blogspot.com/2009/05/agama-menurut-pandangan-emile-durkheim.html
Auguste Comte : http://yunianurayni.wordpress.com/2011/01/21/teori-sosiologi-klasik/
Auguste Comte : http://yunianurayni.wordpress.com/2011/01/21/teori-sosiologi-klasik/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar