KARL MAX
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
Oleh : yasir Arafat
Dosen pembimbing : Tantan hermansyah,M.si
1. Pertentangan kelas
Teori mengenai pertentangan kelas yang dimaksudkan menurut Marx ialah, suatu kelompok orang-orang yang memiliki fungsi dan tujuan yang sama dalam suatau organisasi produksi. Dan interpretasi marx tertuju pada konflik ekonomi, yang pada dasarnya mengenai pertentangan kelas antara pemilik faktor produksi dan buruh.
Marx menganalisis yang menjadi faktor utama munculnya konflik ialah mengenai proses produksi. Proses produksi yang kebanyakan menganut sistem produksi kapitalis, yaitu kekuasaan terbesar dimiliki oleh pemilik produksi sedangkan pekerjanya hanyalah kaum lemah. Dalam sistem kapitalis ini pemilik dapat seenaknya mentapkan persyaratan, seperti menekan biaya kerja buruh. Sedangkan para buruh menginginkan keringanan jam kerja dan mendapatkan upah sebanyak-banyak. Perspektif marx menunjukan bahwa hubungan kerja dalam sistem produksi kapitalis tidak stabil. Karena kepentingan dua faktor utama kelompok itu tidak dapat diselaraskan. Adapun keselarasan itu sifatnya akan sementara. Dikarenakan salah satu dari dua pihak berkuasa, sedangkan pihak lain dikuasai. Walaupun demikian ketika kekuasaan kelas berkurang, hubungan sosial tidak dapat stabil lagi, kelas buruh secara otomatis akan semakin mampu memenangkan kepentingan mereka. Sehingga pada akhirnya terjadi revolusi dan hak milik pribadi dihapuskan, maka terciptalah masyarakat modern tanpa kelas sebagaimana yang dicita-citakan oleh Marx.
Revolusi pada hakikatnya merupakan kerja keras dalam pernghapusan hak milik pribadi atas sarana produksi. Dengan harapan dengan tidak adanya kelas-kelas atas kepemilikan, maka tidak ada lagi konflik kelas serta tidak adanya negara/hukum untuk menentukan hak kepemilikan atas kebutuhan masyarakat. Dan marx berpendapat dalamkonteks sistem stratifikasi kelas itu pada dasarnya sangat bergantung dari pola hubungan antara kelompok-kelompok manusia terhadap sarana produksi.
Sebagi contoh dalam kehidupan:
Yaitu antara pembantu dengan majikannya
Walaupun secara jelas atas kepemilikan harta benda yang ada dirumah merupakan milik majikan, serta upah pembantu yang diberikan mutlak dari majikan. Keadaan yang demikian ini sering dijadikan majikan sebagai ajang semena-mena atas pembantunya. Majikan sering memperkerjakan pembantunya dengan menguras tenanganya dibatas jam kerjanya, bahkan majikan sering kali bertindak kasar seperti memukul apabila pekerjaan pembantu tidak seperti apa yang dia kehendaki. Perilaku majikan yang seperti itu merupakan salah satu cerminan dari kekuasaan terbesar atas pemilik, dan pekerjanya hanyalah kaum lemah.
2. Ideologi
Karl Marx mengartikan ideologi sebagai keseluruhan ide yang dominan dan diusung oleh masyarakat sebagai kelompok sosial dalam bingkai atau batasan ekonomi dan menjadi semacam refleksi atas bingkai. Oleh karenanya kaum Borjuis yang semakin menonjol telah menentukan pemikiran2 tentang kebebasan hak asasi manusia, kesetaraan di hadapan hukum (hak) dalam bingkai pergulatan menghadapi orde baru atau tatanan lama. Kaum borjuis cenderung memindahkan semua yang menjadi ekspresi kepentingan kelasnya menjadi nilai-nilai yang universal.
3. Agama
Marx berkesimpulan bahwa sebelum orang dapat mencapai kebahagiaan yang senyatanya, agama haruslah ditiadakan karena agama menjadi kebahagiaan semu dari orang-orang tertindas. Namun, karena agama adalah produk dari kondisi sosial, maka agama tidak dapat ditiadakan kecuali dengan meniadakan bentuk kondisi sosial tersebut. Marx yakin bahwa agama itu tidak punya masa depan. Agama bukanlah kencenderungan naluriah manusia yang melekat tetapi merupakan produk dari lingkungan sosial tertentu. Secara jelas, Marx merujuk pada tesis Feuerbach yang ketujuh yakni bahwa sentimen religius itu sendiri adalah suatu produk social.
Dengan kata lain, Marx melihat bahwa sebetulnya agama bukan menjadi dasar penyebab keterasingan manusia. Agama hanyalah gejala sekunder dari keterasingan manusia. Agama menjadi semacam pelarian karena realitas memaksa manusia untuk melarikan diri. Manusia lalu hanya dapat merealisasikan diri secara semu yakni dalam khayalan agama karena struktur masyarakat nyata tidak mengizinkan manusia merealisasikan diri dengan sungguh-sungguh. Karena dalam masyarakat nyata manusia menderita, manusia lalu mengharapkan mencapai keselamatan dari surga. Oleh karenanya, penyebab keterasingan yang utama haruslah ditemukan dalam keadaan masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, kritik jangan berhenti pada agama. Bagi Marx, kritik agama akan menjadi percuma saja karena tidak mengubah apa yang melahirkan agama. Yang menjadi permasalahan kemudian adalah mengapa manusia sampai mengasingkan diri ke dalam agama? Menurut Marx, kondisi-kondisi materiallah yang membuat manusia mengasingkan diri dalam agama. Yang dimaksud dengan kondisi material adalah proses-proses produksi atau kerja sosial dalam masyarakat.
Pertanyaan lebih lanjut. Apa yang perlu dikritik dalam masyarakat? Unsur macam apa yang dalam masyarakat yang mencegah manusia merealisasikan hakikatnya? Marx melihat bahwa keterasingan manusia dari kesosialannya haruslah ditemukan dalam struktur masyarakat. Struktur masyarakat yang tidak memperbolehkan manusia bersikap sosial adalah struktur masyarakat yang mana terjadi perpisahan antara civil society (masyarakat sipil ) dan Negara. Dalam masyarakat sipil, orang bergerak karena dimotori oleh kepentingan egoisme sendiri. Dengan kata lain, masyarakat sipil adalah semacam sistem kebutuhan, ruang egoisme dimana manusia berupaya menjadikan orang lain hanya semata-mata sebagai sarana pemenuh kebutuhannya. Persaingan yang sifatnya egois ini akan melahirkan pemenang dan pecundang. Kemudian negara dimunculkan sebagai kekuatan yang mengatasi egoisme individu-individu. Adanya negara dimaksudkan untuk mempersatukan masyarakat.
Apabila negara tidak ada, maka masyarakat dapat menjadi anarkis. Negara mengusahakan supaya manusia dalam masyarakat bertindak adil terhadap sesamanya. Sebagai individu, manusia itu egois, dan ia menjadi sosial karena harus taat kepada Negara. Jika manusia itu sosial dengan sendirinya, maka tidak perlu ada Negara yang mengaturnya. Dalam struktur masyarakat yang coba ia pahami, Marx melihat bahwa ternyata agama menjadi suatu produk dari sebuah masyarakat kelas. Agama kemudian ia pandang sebagai produk keterasingan maupun sebagai ekpresi dari kepentingan kelas dimana agama dapat dijadikan sarana manipulasi dan penindasan terhadap kelas bawah dalam masyarakat.
Selain itu, Marx menemukan bahwa keterasingan dasar manusia adalah keterasingannya dari sifatnya yang sosial. Tanda keterasingan tersebut adalah adanya eksistensi Negara sebagai lembaga yang dari luar dan atas memaksa individu-individu untuk bertindak sosial, padahal individu itu sendiri bertindak egois. Lebih lanjut, menurut Marx, agama adalah universal ground of consolation dan sebagai candu rakyat. Dalam pengertian ini, termuat suatu implikasi bahwa apapun penghiburan yang dibawa oleh agama bagi mereka yang menderita dan tertindas adalah merupakan suatu penghiburan yang semu dan hanya memberi kelegaan sementara. Agama tidak menghasilkan solusi yang nyata dan dalam kenyataannya, justru cenderung merintangi berbagai solusi nyata dengan membuat penderitaan dan penindasan menjadi dapat ditanggung. Solusi nyata yang dimaksud di sini adalah terkait dengan pengusahaan peningkatan kesejahteraan secara material. Agama ternyata tidak mampu mengarah pada hal tersebut. Agama justru membiarkan kondisi yang sudah ada, meskipun orang sedang mengalami penderitaan. Agama mengajak orang hanya berpasrah dengan keadaan daripada mengusahakan barang-barang yang dapat memperbaiki kondisi hidup. Dalam hal ini, agama cenderung mengabaikan usaha konkrit manusiawi untuk memperjuangkan taraf hidupnya lewat barang-barang duniawi.
Agama malah menyarankan untuk tidak menjadi lekat dengan barang-barang duniawi dan mengajak orang untuk hanya berpikir mengenai hal-hal surgawi sehingga membuat orang melupakan penderitaan material yang sedang dialami. Agama mengajarkan orang untuk menerima apa adanya termasuk betapa kecilnya pendapatan yang ia peroleh. Dengan ini semua, secara tidak langsung agama telah membiarkan orang untuk tetap pada kondisi materialnya dan menerima secara pasrah apa yang ia terima walaupun ia tengah mengalami penderitaan secara material. Agama mengajak orang untuk berani menanggungnya karena sikap menanggung itu sendiri dipandang sebagai keutamaan.
Marx juga mengatakan agama menjadi semacam ekspresi atas protes terhadap penindasan dan penderitaan real. Marx menulis: "penderitaan agama adalah pada saat yang sama merupakan ekspresi atas penderitaan yang real dan suatu protes terhadap penderitaan yang real. Agama adalah keluh kesah mahluk yang tertindas, hati dari suatu dunia yang tak memiliki hati, sebagaimana juga merupakan jiwa dari suatu keadaan yang tidak memiliki jiwa."
Selain itu, dengan pandangan bahwa agama mampu memberi penghiburan dan membuat orang berpasrah, maka agama justru dapat dimanfaatkan oleh kelas atas. Kelas atas justru dapat semakin mengeksploitasi kelas bawah dengan melihat bahwa agama membuat kelas bawah untuk tetap puas dengan penghasilannya. Terlebih lagi, agama menawarkan suatu kompensasi atas penderitaan hidup sekarang ini pada suatu kehidupan yang akan datang sehingga malah justru membiarkan ketidakadilan berlangsung terus menerus. Dengan demikian, kritik agama berarti menyingkirkan ilusi-ilusi dimana manusia mencari rasa nyaman di situ di tengah siatuasi tertindas yang ia alami. Kritik agama justru akan membuat mereka membuka mata terhadap kenyataan diri mereka, menghadapinya sehingga akan berusaha berhenti dari segala bentuk ketertindasannya. Mereka (kelas bawah) tidak lagi mau terbuai dengan ide-ide tentang hidup yang bahagia kelak sesudah mati tetapi akan kemudian berusaha mewujudkannya di dunia ini dengan mengubah masyarakat dan diri mereka sendiri. Dengan kata lain, kritik agama menjadi pembuka kesadaran dari kelas bawah bahwa diri mereka perlu bangkit maju untuk memperbaiki kondisi hidup mereka secara real. Agama perlu ditinggalkan supaya orang dapat merdeka.
4. Modal Produksi
Marx memandang bahwa manusia adalah makhluk yang memperlakukan dirinya sebagai makhluk hidup yang bersifat universal dan memiliki kehendak bebas yang kuat. Konsepsi kerja dalam sistem kapitalisme telah mengubah hakikat manusia yang demikian ini menjadi manusia pekerja tanpa eksistensi antrologisnya. Alienasi pekerja dengan demikian merupakan alienasi alam dari manusia sekaligus alienasi manusia dari dirinya sendiri. Alienasi tenaga kerja menunjukkan hubungan bahwa manusia yang sebenarnya memiliki kesadaran rasional justru menjadikan aktifitas hidupnya hanya semata-mata sebagai alat kehid upan atau produktivitas sistem ekonomi yang berlaku yaitu kapitalisme. Konsekuensinya adalah manusia kemudian saling mengalienasi diri, terjebak dalam paham individualistik yang parah, dan hanya mengembangkan kemampuan akalnya untuk sekedar bertahan hidup dengan berkompetisi satu sama lain tanpa menyadari bahwa sebenarnya mereka memiliki kesadaran kolektif untuk membentuk kehidupan yang lebih manusiawi.
Demikian, semoga bermanfaat.
Daftar pustaka:
Sunarto, kamanto. 1993. Pengantar Sosiologi. Jakarta: lembaga penerbit fakultas ekonomi Universitas Indonesia
Ritzer dan Goodman. 2007. Teori sosiologi modern. Jakarta:Kencana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar