UNDANG-UNDANG DESA NOMOR 6 TAHUN 2014
Tugas III
Oleh : Dimas Pratio
Perkembangan Masyarakat Islam, Semester II
NIM : 1113054000013
Setelah melalui perjuangan panjang yang melelahkan melalui demonstrasi yang hiruk pikuk memenuhi ruang-ruang publik serta diwarnai dengan ancaman boikot terhadap pelaksanaan program-program strategis pemerintahan, pemerintah dan DPRRI akhirnya mengabulkan tuntutan para kades dan perangkat desa dengan mengesahkan berlakunya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (selanjutnya disebut UU Desa), menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa yang tidak memuaskan bagi para Kepala Desa dan aparatur desa.
Pertimbangan disahkannya UU Desa adalah : Pertama, bahwa Desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kedua, bahwa dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Ketiga, bahwa Desa dalam susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan perlu diatur tersendiri dengan undang-undang.
Keberadaan desa menarik minat berbagai kalangan untuk membahas, mengkaji dan memanfaatkannya. Para pakar banyak yang telah melaksanakan penelitian tentang desa, penguasa telah memproyekkan desa, para politisi telah mempolitisir desa dan para pengusaha telah mengksploitasi desa. Desa, penduduk desa, sistem sosial dan kekerabatan, dinamika politik dan penyelenggaran pemerintahannya telah menjadi obyek bahasan dalam berbagai seminar dan forum-forum ilmiah lainnya. Namun ironis, itu semua belum mampu memberikan solusi yang manjur untuk perkembangan dan kemajuan desa. Desa tetap saja masih harus bergelut dengan masalah-masalah mendasar, baik itu masalah sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan, ketenaga kerjaan dan masalah infrastruktur. Padahal desa memiliki segalanya seperti : sumber daya manusia, sumber daya alam, semangat kegotong-royongan, sistem sosial yang penuh kekerabatan dan toleransi.
Desa yang pada mulanya mampu berkembang dengan segala piranti dan kelembagaan asli sesuai kekhasan masing-masing yang dimiliki dan diciptakan sendiri baik di bidang politik, ekonomi, sosial budaya maupun pertahanan keamanan, mulai kehilangan otonominya ketika diintervensi oleh otoritas yang lebih besar. Pada jaman kerajaan, desa diminta mengakui, patuh dan tunduk terhadap otoritas kerajaan sambil menjalankan otonomi asli. Memasuki era kemerdekaan, terutama era orde baru, otonomi desa direnggut dan penyelenggaraan pemerintahan desa diseragamkan melalui implementasi Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Sejak saat itu, desa kehilangan kekhasan dan keasliannya, pemerintahan desa diformat sesuai main stream kekuasaan dan selera penguasa pada saat itu.
Pemerintah mulai mencoba mengembalikan kedaulatan desa, dengan mencabut UU 5 Tahun 1979 dan menggantinya dengan peraturan perundangan yang baru. Namun, di era reformasi, pengaturan tentang desa justru turun tahta, karena pengaturan tentang pemerintahan desa diatur dalam peraturan teknis di bawah undang-undang, undang-undang sebagai induknya, yaitu Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan pemerintahan desa dalam pasal-pasal yang singkat.
Namun UU 22 Tahun 1999 dan UU 32 Tahun 2004 mengakui desa sebagai kesatuan masyarakat hukum adat dengan hak-hak asal-usul dan adat-istiadatnya. Oleh karena itu, desa bisa disebut dengan nama lain yang sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat. Namun, kewenangan desa dalam UU 32 Tahun 2004 menjadi tidak mempunyai arti apa-apa karena urusan berdasarkan hak asal-usul dan adat istiadat tidak diidentifikasi dan dikategorisasi dengan jelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar