Senin, 24 Maret 2014

Trs: Fauzia Nurul K_Tugas3_UU NO.6 2014 DESA



Pada Senin, 24 Maret 2014 17:48, Njii nurul Khotimah <colenax.cochodott@yahoo.com> menulis:
Nama   : Fauzia Nurul Khotimah
Smt   : PMI 2
NIM    : 1113054000007
ANALISIS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
 NO.6 TAHUN 2014
 TENTANG DESA
Desa adalah bentuk pemerintahan terkecil yang ada di negeri ini. Luas wilayah desa biasanya tidak terlalu luas dan dihuni oleh sejumlah keluarga. Mayoritas penduduknya bekerja di bidang agraris dan tingkat pendidikannya cenderung rendah. Karena jumlah penduduknya tidak begitu banyak, maka biasanya hubungan kekerabatan antarmasyarakatnya terjalin kuat. Para masyarakatnya juga masih percaya dan memegang teguh adat dan tradisi yang ditinggalkan para leluhur mereka.

Berbicara tentang desa, sepertinya bak melihat arus dilaut lepas yang terus mengalir, beriak tak pernah putus karena memang keberadaan desa itu sendiri jauh duluan ada daripada Negara Indonesia sendiri diproklamirkan.
Pasca Indonesia merdeka silih berganti regulasi yang mengatur tentang desa dengan memperlakukan kedudukan desa pada posisi yang berbeda-beda. Yakni mulai dari UU No. 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja. Desa ditempatkan sebagai Daerah Tingkat III dengan tata dan sebutan Desa Praja. Terdapat kesamaan antara pengaturan  Inlandshe Gemeente Ordonantie  dan  Inlandshe Gemeente Ordonantie voor Buitengewesten dengan UU No. 19 Tahun 1965 dalam hal memandang desa sebagai sebuah kesatuan masyarakat hukum  (volkgemeenschappen) memiliki hak adat istiadat dan asal usul. Dengan demikian berdasarkan peraturan perundang-undangan ini, nama, jenis, dan  bentuk desa sifatnya tidak seragam. Namun UU ini tidak pernah  terimplementasi karena tidak dikehendaki pemerintah Orde Baru.
Pada masa pemerintahan Orde Baru, kembali peraturan perundang-undangan mengenai desa mengalami perubahan yang ditandai dengan terbitnya UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.
Dalam UU ini kebijakan mengenai desa diarahkan pada penyeragaman bentuk dan susunan pemerintahan desa dengan corak nasional, sehingga keanekaragaman kesatuan masyarakat hukum adat  diseluruh NKRI disamakan nomenklatur, struktur, filosofi dan fungsinya dengan desa.
Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1979, desa adalah suatu wilayah yang ditempati sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hak menyelenggarakan rumah tangganya dalam pengertian ini bukanlah merupakan hak otonomi, sehingga dapat dikatakan bahwa dengan UU No. 5 tahun 1979 administrasi desa dipisahkan dari hak adat istiadat dan hak asal usul. Desa diharuskan mengikuti pola yang baku dan seragam sedangkan hak otonominya yaitu hak untuk mengatur diri sendiri, ditiadakan. Desa sekedar satuan administratif dalam tatanan pemerintah.
Menimbang bahwa : 
A. Desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 
B. Bahwa dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera; 
C. Bahwa Desa dalam susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan perlu diatur tersendiri dengan undang-undang; 
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Desa; 

Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18B ayat (2), Pasal 20, dan Pasal 22D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan ;

Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 
Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 
Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 
Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa. 
Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis. 
Musyawarah Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa untuk menyepakati hal yang bersifat strategis. 
Badan Usaha Milik Desa, yang selanjutnya disebut BUM Desa, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa. 
Peraturan Desa adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa. 
Pembangunan Desa adalah upaya peningkatan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa. 
Kawasan Perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. 
Keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa. 
Aset Desa adalah barang milik Desa yang berasal dari kekayaan asli Desa, dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa atau perolehan hak lainnya yang sah. 
Pemberdayaan Masyarakat Desa adalah upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa. 
Pemerintah Pusat selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 
Pemerintahan Daerah adalah Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 
Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah. 
Menteri adalah menteri yang menangani Desa. 

Pasal 2 Dalam Undang-Undang menjelaskan tentang :
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika. 

Pasal 3 Dalam Undang-Undang menjelaskan tentang Pengaturan Desa berasaskan: 
a. rekognisi;
b. subsidiaritas;
c. keberagaman;
d. kebersamaan;
e. kegotongroyongan;
f. kekeluargaan;
g. musyawarah;
h. demokrasi;
i. kemandirian;
j. partisipasi;
k. kesetaraan;
l. pemberdayaan; dan
m. keberlanjutan.

Pasal 4 Pengaturan Desa bertujuan: 
memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia; 
memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia; 
melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa; 
mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama; 
membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab; 
meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum; 
meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa guna mewujudkan masyarakat Desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional; 
memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; dan 
memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan. 

KEDUDUKAN DAN JENIS DESA
Bagian Kesatu Kedudukan
Pasal 5 tentang : Desa berkedudukan di wilayah Kabupaten/Kota.
Bagian Kedua Jenis Desa
Pasal 6 tentang :
(1) Desa terdiri atas Desa dan Desa Adat.
(2) Penyebutan Desa atau Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan penyebutan yang berlaku di daerah setempat.

PENATAAN DESA
Pasal 7 tentang :
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat melakukan penataan Desa.
(2) Penataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan hasil evaluasi tingkat perkembangan Pemerintahan Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Penataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan:
a. mewujudkan efektivitas penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
b. mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa;
c. mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik;
d. meningkatkan kualitas tata kelola Pemerintahan Desa; dan
e. meningkatkan daya saing Desa.
(4) Penataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pembentukan;
b. penghapusan;
c. penggabungan;
d. perubahan status; dan
e. penetapan Desa.

Kiranya hal ini perlu dipikirkan kembali,  menurut saya ada beberapa hal yang kurang tepat dalam penyusunan RUU tentang Desa saat ini yakni :
  1. Jika dasar yuridis pembentukan UU tentang Desa adalah tetap mengacu pada Pasal 18, Pasal 18 A, Pasal 18B, Pasal 20 Ayat (2), dan Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Apakah hal ini sudah tepat ? menurut saya ini belum tepat dan inkonsistensi dengan UUD 1945, karena tidak bisa semudah itu kita mendefinisikan desa dengan menggeneralisasikannya dengan kesatuan masyarakat hukum adat yang banyak ada di Indonesia sebagaimana yang dimaksudkan dalam UUD 1945 tentang kesatuan masyarakat hukum adat  (volksgemeenschappen). Jikapun desa memang adalah salah satu bagian dari kesatuan masyarakat hukum adat, apakah kesatuan masyarakat hukum adat lainnya yang ada di seluruh wilayah NKRI sudah dapat dikatakan sama dengan desa dengan hanya mensederhanakan dengan mengatakan dengan sebutan nama lainnya saja ?       Menurut saya, desa tidak bisa disamakan dengan sebutan nama lainnya bagi masyarakat hukum adat lainnya yang dianggap setingkat dengan desa. Karena karakterisktik yang membangun dan nilai yang berkembang pada masing masing masyarakat hukum adat di Indonesia memiliki perbedaan yang sangat  beragam dan tajam baik secara filosofis, struktur, kultur maupun fungsinya degan karakteristik desa yang ada di Jawa dan Bali. Karena itu istilah desa tidak bisa digunakan untuk seluruh Negara Indonesia dan disetarakan dengan istilah sebutan nama lainnya.
  1. Sangat tidak logis dan rasional jika kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki beragam adat istiadat dan hukum adat yang tumbuh berurat berakar dari masyarakat hukum adat itu sendiri (Bottom-up), kembali  pengaturannya dilakukan secara seragam dalam bentuk UU tentang Desa yang sangat Top Down.
  2. RUU tentang Desa yang dibuat oleh ketiga lembaga Negara saat ini, pada dasarnya secara substantif sama dengan UU terdahulu yang mengatur tentang desa, yang baru mampu menjangkau pengaturan desa secara parsial, yakni hanya mengatur desa dari segi tekhnis administratif pemerintahan saja, sehingga menisbi dan mengkerdilkan arti dan marwah tentang desa dan masyarakat hukum adat itu sendiri, belum melihat utuh keberadaan sebuah desa secara komprehensif. Yang terlihat akhirnya tetap desa dalam kacamata birokratis mekanis yang strukturalis.
Atas dasar hal tersebut diatas, saya mengusulkan sebelum bangsa kita kembali menelorkan UU tentang Desa, ada baiknya mempertimbangkan hal-hal berikut ini :
  1. Terlebih dahulu negara diharapkan dapat mengidentifikasi, menghimpun dan mengkodefikasi semua aspek adat istiadat dan yang telah menjadi hukum adat pada masing-masing kesatuan masyarakat hukum adat yang ada di wilayah Indonesia, dalam bentuk sebuah dokumen tertulis, yang dapat dipegang dan dipelajari oleh setiap masyarakat hukum adat dan seluruh rakyat Indonesia. Sehingga seluruh wilayah Indonesia dapat terpetakan dan terdokumentasikan dengan baik masing-masing kesatuan masyarakat hukum adatnya.
  2. Identifikasi dan Kodefikasi kesatuan masyarakat hukum adat ini dapat dilakukan oleh masing-masing Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota yang bekerjasama dengan perguruan tinggi, tokoh/lembaga adat, pakar dan unsur/lembaga  terkait lainnya didaerah dengan membentuk tim untuk menelaah masyarakat hukum adat yang tumbuh dan berkembang diwilayahnya sehingga dapat dirumuskan dan didokumentasikan menjadi sebuah Kitab Hukum Adat setempat, yang tentunya difasilitasi dan menjadi program dari pemerintah pusat.
  3. Setelah Kitab Hukum Adat yang ada pada masing-masing kesatuan masyarakat hukum adat ini terbentuk, baru kemudian dipikirkan bentuk dan struktur masyakat hukum adat yang akan dibuat secara nasional, dan dirumuskan bagaimana kaitan, peran, posisi, kewenangan dan hubungan kedudukanya dengan pemerintahan daerah dan pemerintah pusat. Dan juga urgensi level pengaturannya apakah harus diatur dengan  UU, PP, atau cukup Peraturan Daerah pada masing-masing Propinsi atau Kabupaten/Kota saja.
  4. Wujud keseragaman masyarakat hukum adat harus dimplementasikan dalam bentuk aturan yang beraneka ragam pada masing masing masyarakat hukum adat, tidak mungkin bisa seragam.
  5. Cukuplah lucu, jika kita mau mengatur sesuatu subjek, namun subjek yang akan diatur itu sendiri belum teridentifikasi dengan baik, apalagi bagi sebuah subjek yang sangat beranekaragam



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini