KARL MARX
Teori Kritis dan Marxisme
Marxisme
Marx banyak menganalisis mengenai perubahan-perubahan struktur ekonomi-politik di abad ke-19, tansformasi dari corak feudalisme menuju kapitalisme. Berbeda dengan para pemikir sebelumnya (Adam Smith & David Ricardo) – kedua tokoh tersebut sangat mempengaruhi pemikiran Marx – yang menganggap bahwa hubungan produksi dalam masyarakat kapitalis bersifat dinamis dan saling menguntungkan, Marx justru menganggap bahwa hubungan poduksi tersebut bersifat timpang dan eksploitatif. Kapitalisme sebagaimana feodalisme merupakan gerak dialetik yang menyejarah dari hubungan produksi dan menempatkan masyarakat kedalam 2 bentuk kelas social yang bersifat antagonistic, yakni kelas borjuis (pemilik modal) dan proletar (pekerja). Kaum proletar menjual tenaga kerja karena mereka tidak memiliki faktor produksi sendiri. Sedangkan kaum borjuis, memiliki faktor produksi sendiri dan berperan sebagai pembeli tenaga kerja sehingga Marx menganggap kaum borjuis mengeksploitasi kaum proletar. Negara terutama lebih digerakkan oleh kepentingan kaum borjuisnya (Jackson & Sorensen 1999:240). Marx meyakini bahwa konflik sosial antar kelas ini nantinya akan berakhir apabila terbentuk masyarakat sosialis. Masyarakat sosialis ini dapat terbentuk apabila terjadinya revolusi yang mengakibatkan hilangnya kelas-kelas tersebut.
Pada perkembangan selanjutnya, teori marxisme klasik memperluas pandangan mengenai struktur ekonomi yang menjadi fokusnya. Teori ini berkembang dengan memandang sistem perekonomian yang terjadi antar negara. Fokus yang tadinya hanya melihat situasi interen dalam suatu negara dimana interaksi yang terjadi merupakan interaksi antar individu, kini semakin meluas dengan melihat adanya suatu struktur yang terbentuk dalam sistem perekonomian internasional dan interaksi yang terjadi merupakan interaksi antar negara. Teori dengan pandangan baru ini disebut pula dengan Neo-marxisme. Asumsi dasar dari neomarxisme melihat bahwa sistem kapitasilme yang telah terjadi membagi negara-negara di dunia menjadi dua kelas yaitu negara core/capitalist sebagai negara yang menguasai modal dan faktor-faktor pruduksi, dan negara phery-phery/proletariat sebagai negara yang hanya menerima upah dari negara capitalist dengan cara menjual tenaga kerja. Di sini juga bisa dikatakan bahwa negara capitalist merupakan negara yang "serba punya", sedangkan negara proletariat adalah negara yang "tidak memiliki apa-apa". Oleh karena itu, dalam hubungan internasional terjadilah perebutan atau perjuangan untuk mendapatkan kelas tertinggi. Setiap negara ingin menguasai sistem ekonomi tersebut. Neomarxisme yakin bahwa hal ini terjadi bukan karena pribadi manusia yang ada di tiap negara melainkan struktur-lah yang menekan tokoh-tokoh hubungan internasional ini untuk mengambil sikap tertentu. Teori ini juga berpendapat bahwa institusi-institusi internasional yang selama ini menyatakan tujuan untuk 'mengatur sistem internasional agar seimbang' merupakan agen-agen kapitalis belaka yang semata-mata memberikan keuntunga lebih kepada negara-negara core/capitalist. Pada dasarnya institusi memang dapat membantu menciptakan keseimbangan sistem-sistem internasional yang ada, namun akan jadi persoalan apabila institusi-institusi tersebut justru digunakan oleh negara capitalist sebagai alat "penguasa".
Teori Kritis
Istilah teori kritis pertama kali ditemukan Max Horkheimer pada tahun 30-an. Pada mulanya teori kritis berarti pemaknaan kembali ideal-ideal modernitas tentang nalar dan kebebasan, dengan mengungkap deviasi dari ideal-ideal itu dalam bentuk saintisme, kapitalisme, industri kebudayaan, dan institusi politik borjuis.Untuk memahami pendekatan teori kritis, ia harus ditempatkan dalam konteks Idealisme Jerman dan kelanjutannya. Karl Marx dan generasinya menganggap Hegel sebagai orang terakhir dalam tradisi besar pemikiran filosofis yang mampu "mengamankan" pengetahuan tentang manusia dan sejarah. Namun, karena beberapa hal, pemikiran Marx mampu menggantikan filsafat teoritis Hegel, yang hal ini, menurut Marx, terjadi dengan membuat filsafat sebagai hal yang praktis; yakni merubah praktik-praktik yang dengannya masyarakat mewujudkan idealnya. Dengan menjadikan nalar sebagai sesuatu yang 'sosial' dan menyejarah, skeptisisme historis akan muncul untuk merelatifkan klaim-klaim filosofis tentang norma dan nalar menjadi ragam sejarah dan budaya forma-forma kehidupan.
Teori kritis menolak skeptisisme diatas dengan tetap memertahankan kaitan antara nalar dan kehidupan sosial. Dengan demikian, teori kritis menghubungkan ilmu-ilmu sosial yang bersifat empiris dan interpretatif dengan klaim-klaim normatif tentang kebenaran, moralitas, dan keadilan yang secara tradisional merupakan bahasan filsafat. Dengan tetap memertahankan penekanan terhadap normativitas dalam tradisi filsafat, teori kritis mendasarkan cara bacanya dalam konteks jenis penelitian sosial empiris tertentu, yang digunakan untuk memahami klaim normatif itu dalam konteks kekinian.
Di zaman modern, filsafat secara ketat dibedakan dari sains. Locke menyebut filsafat sebagai 'pekerja kasar'. Bagi Kant, filsafat, khususnya filsafat transenden, memiliki dua peran. Pertama, sebagai "hakim" yang dengannya sains dinilai. Kedua, sebagai wilayah untuk memunculkan pertanyaan normatif. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan normatif, dalam perspektif Kantian, sains tidak dibutuhkan, karena hal itu dijawab melalui analisis transenden. Teori kritis yang berorientasi emansipasi berusaha mengkontekstualisasi klaim-klaim filosofis tentang kebenaran dan universalitas moral tanpa mereduksinya menjadi sekedar kondisi sosial yang menyejarah. Teori kritis berusaha menghindari hilangnya kebenaran yang telah dicapai oleh pengetahuan masa lalu. Tentang hal ini Horkheimer menyatakan "Bahwa semua pemikiran, benar atau salah, tergantung pada keadaan yang berubah sama sekali tidak berpengaruh pada validitas sains".
Teori kritis memungkinkan kita membaca produksi budaya dan komunikasi dalam perspektif yang luas dan beragam. Ia bertujuan untuk melakukan eksplorasi refleksif terhadap pengalaman yang kita alami dan cara kita mendefinisikan diri sendiri, budaya kita, dan dunia. Saat ini teori kritis menjadi salah satu alat epistemologis yang dibutuhkan dalam studi humaniora. Hal ini didorong oleh kesadaran bahwa makna bukanlah sesuatu yang alamiah dan langsung. Bahasa bukanlah media transparan yang dapat menyampaikan ide-ide tanpa distorsi, sebaliknya ia adalah seperangkat kesepakatan yang berpengaruh dan menentukan jenis-jenis ide dan pengalaman manusia.
Dengan berusaha memahami proses dimana teks, objek, dan manusia diasosiasikan dengan makna-makna tertentu, teori kritis memertanyakan legitimasi anggapan umum tentang pengalaman, pengetahuan, dan kebenaran. Dalam interaksi sehari-hari dengan orang lain dan alam, dalam kepala seseorang selalu menyimpan seperangkat kepercayaan dan asumsi yang terbentuk dari pengalaman—dalam arti luas—dan berpengaruh pada cara pandang seseorang, yang sering tidak tampak. Teori kritis berusaha mengungkap dan memertanyakan asumsi dan praduga itu. Dalam usahanya, teori kritis menggunakan ide-ide dari bidang lain untuk memahami pola-pola dimana teks dan cara baca berinteraksi dengan dunia. Hal ini mendorong munculnya model pembacaan baru. Karenanya, salah satu ciri khas teori kritis adalah pembacaan kritis dari dari berbagai segi dan luas. Teori kritis adalah perangkat nalar yang, jika diposisikan dengan tepat dalam sejarah, mampu merubah dunia. Pemikiran ini dapat dilacak dalam tesis Marx terkenal yang menyatakan "Filosof selalu menafsirkan dunia, tujuannya untuk merubahnya".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar