Teori kritik Marx
Terdapat berbagai masalah didalam teori Marx, pertama masalah secara aktual yang terdapat dalam komunisme. Kegagalan masyarakat-masyarakat komunis dan perubahannya menjadi ekonomi yang lebih berorientasi kapitalis memaksa kita mempersoalkan apa makna semua ini bagi peran teori Marxian didalam sosiologi. Ide-ide yang terlihat telah teruji ternyata gagal. Pada suatu waktu, hamper sepertiga populasi dunia hidup dibawah dinegara-negara yang terinspirasi ide-ide marx. Saat ini, banyak Negara Marxis ini menjadi kapitalis, dan bahkan Negara-negara yang masih mengklaim dirinya Marxis, tidak lain adalah bentuk kapitalisme yang terbirokrasi. Padahal, Negara-negara ini sebenarnya tidak pernah mengikutin ajaran serta teori Marx, dan tidak pada tempatnya juka kritik-kritik ditunjukkan untuk menyalahkan Marx atas setiap penggunaan teorinya. Meskipun kritik yang menyatakan bahwa Marx sendiri mendesak teori Marxis tidak harus terpisah dari keadaan sebenarnya secara aktual. Sebagaimana telah dituliskan oleh Alvin Gouldner "karena telah dirancang untuk mengubah dunia, dan bukannya untuk menghasilkan suatu interpretasi lain, maka teori Marxis harusnya diukur berdasarkan skala sejarah." Jika Marxisme tidak pernah terbukti pada praktiknya, maka pada Marx sebaik-baiknya dia akan menjadi sebuah teori yang tidak ada gunanya, dan seburuk-buruknya menjadi ideologis. Kemudian, terlihat jelas bahwa kelemahan Marx dari segi teori tentang problem-problem birokrasi Negara juga berpengaruh pada keruntuhan komunisme. Seandainya dia mengembangkan teori birokrasi Negara yang lengkap, tidak tertutup kemungkinan Marx lebih memilih kapitalisme.
Masalah kedua yang sering dikemukakan adalah tidak adanya subjek emansipatoris. Inilah ide bahwa teori Marx menempatkan proletariat dijantung perubahan sosial yang akan menuju komunisme. Namun, pada kenyataannya proletariat jarang memperoleh posisi ini dan sering termasuk ke dalam kelompok-kelompok yang menentang komunisme. Hal ini juga ditambah dengan fakta bahwa para intelektual, misalnya sosiolog-sosiolog akademis mengisi ruang yang ditinggalkan oleh proletariat dan mensubstitusikan aktivitas-aktivitas intelektual untuk perjuangan kelas. Kekecewaan para intelektual terhadap konsevatisme proletariat diubah menjadi sebuah teori yang menegaskan aturan ideologi lebih sering dibandingkan dengan yang dilakukan oleh Marx dan cenderung melihat pahlawan-pahlawan revolusi masa depan sebagai korban-korban penipuan.
Masalah ketiga adalah hilangnya dimensi gender. Salah satu point utama teori Marx adalah bahwa kerja menjadi sebuah komoditas di bawah kapitalisme, sementara pada fakta historisnya hal ini lebih sedikit terjadi pada wanita dibandingkan laki-laki. Untuk tingkatan yang lebih luas, kerja laki-laki yang diupah tergantung pada kerja wanita yang tidak diupah. Hal ini benar khususnya ketika terjadi pada generasi-generasi pekerja selanjutnya. Sayer(1991) mencatat bahwa hal ini tidak hanya meninggalkan satu ruang kosong di dalam analisisnya, akan tetapi memengaruhi pendapat utamanya bahwa kapitalisme didefinisikan dengan ketergantungan pertumbuhannya pada tenaga kerja, sebab pertumbuhan tenaga kerja tergantung pada tenaga kerja wanita yang tidak diupah. Patriarki mungkin menjadi suatu dasar yang mendasar bagi kemunculan kapitalisme yang begitu diabaikan Marx.
Masalah keempat adalah bahwa Marx melihat ekonomi sebagai sesuatu yang dikendarai oleh produksi dan mengabaikan aturan konsumsi. Fokusnya pada produksi mengirininya untuk memprediksikan bahwa masalah-masalah efisiansi dan pemotongan upah akan menggiring pada proletarianisasi, peningkatan aliansi, dan semakin meruncingnya konflik kelas. Pusat aturan konsumsi di dalam ekonomi modern mendorong beberapa kreatifitas dan usaha yang tidak menyebabkan aliansi.
Terakhir, sebagian menganggap Marx tidak kritis dalam menerima konsepsi kemajuan barat sebagai sebuah problem. Marx percaya bahwa mesin sejarah adalah manusia yang selalu meningkatkan eksploitasi terhadap alam demi kebutuhan –kebutuhan materialnya. Disamping itu, Marx yakin bahwa hakikat manusia adalah kemampuannya mengelola alam demi mencapai tujuan-tujuannya. Asumsi-asumsi inilah yang mungkin menjadi penyebab banyaknya krisis lingkungan saat ini dan mendatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar